Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh
volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat
(syok
hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah
yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. (Syok
Hipovolemik)
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada
organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat
merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh
syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis
refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari makalah ini adalah syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya.
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi
syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda
resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan.
Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk
penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan
Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat
penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip
yang lain membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan
syok hemoragik traumatik. (Syok Hipovolemik)
2.2 PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada
sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang
selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah.
Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan
darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin
dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru
dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos,
dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air
dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari
perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ
akan
segera
terjadi.
2.3 MANIFESTASI KLINIS
Riwayat Penyakit
;
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain
akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat
tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor)
Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke
punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut,
nyeri punggung, atau nyeri panggul.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan,
sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok;
hal ini menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara
signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi,
frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang
mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa
memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang
hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik
sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada
respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.
;
Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi
pernapasan.
Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah
jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan
tekanan darah sistolik.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari
syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya
tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension
pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma
medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).
Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha,
dan bagian luar tubuh.
;
Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi,
yang menunjukkan cedera intraabdominal.
Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tandatanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan
luar.
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen.
Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit.
Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga
periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada
perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai double set-up
di
ruang
operasi.
Periksa
abdomen,
uterus,atau
adneksa.
2.4 PENYEBAB
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah,
gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan. Penyebab trauma dapat
terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering
menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard,
laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis
dan femur, dan laserasi pada tengkorak.
Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah
antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena. Kelainan pada
previa
Pemeriksaan Laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya
tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari
kondisi pasien itu sendiri.
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis
Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin,
kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma),
dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi
secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan
menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. . Langkah
diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat
ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.
Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi
di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika
dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik,
dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika
Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military
Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan
banyak kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan
syok hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun
1980-an, American College of Surgeon Commite on Trauma memasukkan
penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan
gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan
perbaikan hasil dengan penggunaan MAST. American College of Surgeon Commite
on
Trauma
tidak
lama
merekomendasikan
penggunaan
MAST.
Bidang Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara
lain:
1)
memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang
adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah,
2)
3)
resusitasi cairan.
1)
Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu.
Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan.
Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest)
yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam
jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi
tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok
hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille
mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan
berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal
adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya.
Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena
tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika
digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter
lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang
paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.
Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan
hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara
berkala dan juga analisa gas darah.
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter
pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah
pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus
kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang
terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah
O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia
subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid
dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang
diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi
yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma
kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan
meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan
hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak
memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat
diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah
disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks
dialirkan melalui selang thorakostomi.
2)
sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini
harus dilakukan segera.
Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi
cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang
kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen,
sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi
adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap
pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih
menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk
digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer
laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma,
hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.
Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik
dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun,
pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang
intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner
(< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama
paru).
Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan
volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun,
mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan
kristaloid.
Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein
murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume
yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka
kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel.
Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan
pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama
perawatan, atau kelangsungan hidup.
Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena
fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan
sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan
perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik
atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat
digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat.
Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi
adalah harga cairan tersebut.
3)
Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk
mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal
sebelum control perdarahan.
Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai pasien yang mengalami
syok. Dia kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang dapat terjadi pada
perlukaan tubuh, dengan minimalisasi intensif perdarahan selanjutnya. Penemuan
Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus
selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil
Anak-anak Tidak dianjurkan
;
Interaksi
Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat
ini.
Kontraindikasi
Hipersensitifitas
Kehamilan: Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak
diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada
risiko terhadap janin.
;
Perhatian
Dosis
Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Kehamilan : Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah
ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.
;
Perhatian