A.
KEBIJAKAN PERTANIAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan
umum
kebijakan
pertanian
kita
adalah
memajukan
pertanian,
produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang
bersangkutan itu.
1. Kebijakan Harga
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak
negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut
kebijakan harga dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari
kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi
pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari
musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung
pemberian penyangga (support) atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak
terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu
bagi petani. Di banyak negara seperti; Amerika Serikat, Jepang, dan Australia
banyak sekali hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang
mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan atau subsidi.
Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa hasil
pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai
untuk mencapai tiga tujuan yaitu:
1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
2. meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of
trade)
3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
pembatasan
jumlah
produksi
dengan
pembayaran
kompensasi.
2. Kebijakan Pemasaran
Di samping kebijakan
produksi karena
persentase harga yang diterima oleh petani relatif kecil dibandingkan dengan
bagian yang diterima golongan-golongan lain.
Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor,
kebijakan ini meliputi pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi
petani. Pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat di antara para
pedagang dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida
dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli sarana-sarana produksi tersebut
dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa kebijakan
pemasaran merupakan usaha campur tangan pemerintah dalam bekerjanya
kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak pemerintah dapat mengurangi pengaruh
kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan pedagang dan petani,
tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk mencapai efisiensi ekonomi
3. Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki
strukutur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan
alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya
baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat
dari beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini
tidak mudah untuk mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini
disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi
juga merupakan bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh
karena itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan
struktural dalam sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih
mudah pada sektor industri. Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan
yang intensif merupakan satu contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran
yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat
proses perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-komoditi
pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan
lain-lain. Dalam kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan
struktural tidak dapat dipisahkan, dan ketiganya saling melengkapi.
4. Kebijakan Pertanian dan Industri
Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:
1. Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung
pada alam yang kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk
mengontrolnya, sedangkan industri tidak demikian.
Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai
perbedaan dalam respons permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan
harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih
kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan
radio, buku-buku, mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga
atas permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan pendapatan sektor
industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor pertanian maka
elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih besar
daripada atas bahan makanan pokok.
5. Pendapatan Penduduk Desa dan Kota
Perbedaan kebijakan antar sektor pertanian dan industri dapat dilihat pula
dalam keperluan akan kebijakan yang berbeda antara penduduk kota dan
penduduk desa. Perbedaan pendapatan antara penduduk kota dan penduduk
pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola
pengeluaran konsumsi dan perilaku ekonomi lain-lainnya.
Ada tiga hal yang meyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih tinggi
dibanding penduduk desa yaitu:
B. Permasalahan Pertanian
1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan
dalam Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan
langsung dengan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani
pertanian juga merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara hidup (way of
live), sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial dan
kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi
semuanya memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun
demikian dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan
tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan
persoalan ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap)
antara pengeluaran yang harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan
penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut gestation period,
yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang industri. Di
dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dari
penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi.
Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan
yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual ikannya. Jadi ciri khas
kehidupan
petani
adalah
perbedaan
pola
penerimaan
pendapatan
dan
deret ukur, sedangkan produksi bahan makanan hanya bertambah menurut deret
hitung. Persoalan penduduk di Indonesia tidak hanya dalam kepadatannya tetapi
juga pembagian antardaerah tidak seimbang. Komposisinya menunjukkan suatu
penduduk yang muda dengan pemusatan penduduk di kota-kota besar. Tingkat
pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran tinggi, sedangkan angka
kematian menurun. Menurunnya angka kematian disebabkan oleh kemajuan
kesehatan dan sanitasi.
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat
dilihat dari tanda-tanda berikut:
1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil
2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun
3. bertambahnya pengangguran
4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya
hutang-hutang pertanian.
3. Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan
mengenai ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari
kata subsist yang berarti hidup. Pertanian yang subsisten diartikan sebagai suatu
sistem bertani dimana tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi
keperluan hidupnya beserta keluarganya. Namun dalam menggunakan definisi
yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak ada petani susbsisten yang
begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain. Dalam
kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan
kesuburan tanah yang dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi
lingkungan hidupnya.
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka memandang
pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu
melalui hasil produksi pertanian itu. Dengan definisi tersebut sama sekali tidak
berarti bahwa petani susbsisten tidak berfikir dalam pengertian biaya dan
penerimaan. Mereka juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk
pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.
10
sistem kredit, serta efisiensi. Dari berbagai ragam tantangan dan permasalahan
tersebut yang sering kali terlupakan oleh pengamat adalah efisiensi dalam
pengelolaan usaha tani terutama yang berhubungan dengan kerja petani.
Perlunya Efisiensi
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian, pemakaian tenaga kerja
di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di
Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang
Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika
Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya perbedaan nyata
antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan
Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang
utama dalam produktivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan
yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang
efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya
diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se
efisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber
tenaga dapat menangani suatu bahan, masih belum mendapat perhatian secara
serius. Padahal fungsi perbaikan pertanian adalah menaikkan pendapatan,
kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat kecilnya efisiensi petani
merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi
pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya
memberi landreform (Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian
Kredit Usaha Tani), tetapi perlu juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja
yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan petani mengalami
11
kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan petani ini terus
berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakangebrakan baru yang menggairahkan petani.
Hambatan pembangunan dalam sektor pertanian di Indonesia adalah
lambatnya kemajuan teknologi. Kontras teknologi selalu dipersoalkan. Tingkat
teknologi yang rendah menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam proses
produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi sangat besar,
sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi. Contoh paling sederhana adalah
dalam memanen padi. Untuk 9 kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika total hasil
panen padi (dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah, maka biaya
pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan
produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang
efisien selalu dihantui oleh pembengkakan pengangguran terutama di wilayah
perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sektor pertanian
di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga kerja semu ini karena
efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau memang
karena distribusi kerja yang tidak merata.
Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, pembangunan sektor
pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli,
taraf hidup, kapasitas dan kemandirian serta akses masyarakat pertanian dalam
proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta
distribusi
dan
keanekaragaman
hasil
pertanian.
Pembangunan
pertanian
12
13
D.
dan pemasaran hasil pertanian, maka strategi kebijakan yang ditempuh harus
mencerminkan visinya, yaitu: tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dalam
hubungan tersebut maka strategi pokok pembangunan pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian adalah:
14
1.
pertanian di tanah air adalah masih lemahnya kemampuan sumber daya manusia
dan kelembagaan usaha dalam hal penanganan pasca panen, pengolahan dan
pemasaran hasil. Hal tersebut disebabkan oleh karena pembinaan SDM pertanian
selama ini lebih difokuskan kepada upaya peningkatan produksi (budidaya)
pertanian, sedangkan produktivitas dan daya saing usaha agribisnis sangat
ditentukan oleh kemampuan pelaku usaha yang bersangkutan dalam mengelola
produk yang dihasilkan (pasca panen dan pengolahan hasil) serta pemasarannya.
Adapun beberapa kebijakan operasional terkait dengan strategi tersebut adalah:
1. Meningkatkan penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan di
bidang pasca panen, pengolahan serta pemasaran hasil pertanian;
2. Mengembangkan kelembagaan usaha pelayanan pascapanen, pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian yang langsung dikelola oleh petani/kelompok tani.
2.
kepada usaha produksi (budidaya) selama ini adalah kurang memadainya upayaupaya inovasi teknologi pasca panen dan pengolahan serta diseminasinya. Hal
tersebut mengakibatkan lemahnya daya saing dan kecilnya nilai tambah yang
dapat dinikmati oleh petani, sehingga kesejahteraan tidak meningkat dari tahun ke
tahun. Untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian maka
perlu ditingkatkan upaya-upaya inovasi teknologi pasca panen dan pengolahan
hasil pertanian serta diseminasinya. Dalam hubungan tersebut, beberapa kebijakan
yang akan dilaksanakan adalah:
15
3.
baik produk segar maupun olahan hasil pertanian adalah mutu produk yang baik
dan efisiensi dalam proses produksi maupun pada tahap pemasarannya. Mutu
produk dan efisiensi akan berpengaruh langsung terhadap harga dari setiap
produk bersangkutan. Kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu dan efisiensi
produksi dan pemasaran hasil pertanian di antaranya adalah:
1. Revitalisasi teknologi dan sarana/ prasarana usaha pasca panen pengolahan
dan pemasaran hasil pertanian;
2. Mengembangkan produksi sesuai potensi pasar;
3. Menerapkan sistem jaminan mutu, termasuk penerapan GAP, GHP dan GMP;
4. Mengembangkan kelembagaan pemasaran yang dikelola oleh kelompok tani di
sentra produksi;
5. Mengupayakan sistem dan proses distribusi yang efisien.
6. Memfasilitasi pengembangan kewirausahaan dan kemitraan usaha pada
bidang pemasaran hasil pertanian
16
4.
Meningkatkan
Pangsa
Pasar
Baik
Di
Pasar
Domestik
Maupun
Internasional.
Pasar merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha agribisnis;
oleh karena itu maka pengembangan pemasaran harus selalu dilakukan sejalan
dengan pengembangan usaha produksi. Seperti usaha industri pada umumnya,
sistem usaha produksi pertanian atau agribisnis dimulai dengan salah satu
kegiatan pemasaran yaitu Riset Pasar. Dari kegiatan riset pasar dihasilkan
informasi pasar yaitu antara lain berupa potensi pasar dan harga. Sub sistem
selanjutnya adalah perencanaan produksi, termasuk penentuan desain produk,
volume dan waktu. Dalam sistem budidaya pertanian, perencanaan tersebut lazim
disebut sebagai penentuan pola tanam atau penentuan luas tanam untuk tanaman
semusim. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas harga
produk yang bersangkutan tetap berada pada tingkat harga yang wajar
berdasarkan
keseimbangan
kebutuhan
dan
pasokan
atas
produk
yang
2.
3.
4.
5.
6.
17
5.
18