Anda di halaman 1dari 11

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Bonegraft
Bonegraft adalah suatu bagian jaringan yang diambil dari satu tempat
dan ditransplantasikan ke tempat lain, baik pada individu yang sama maupun
yang berlainan. Tujuannya adalah untuk memperbaiki suatu cacat yang
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau anomali pertumbuhan dan
perkembangan. Bonegraft adalah pilihan yang banyak digunakan untuk
memperbaiki kerusakan tulang periodontal (Darwono, 2001). Teknik
perbaikan ini terbukti dapat memperbaiki suatu jaringan tulang yang rusak.
Jenis bonegraft terdiri dari dua jenis yaitu; jenis bonegraft dari bahan sintesis
dan jenis bonegraft dari tulang yang murni, seperti; Autograft, Allograft dan
Xenograft (Wirjokusumo, 2002).
Autograft adalah graft yang berasal dari donor sendiri yang hanya
dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Secara fisiologis paling unggul
karena berasal dari jaringan tubuh sendiri, tetapi mempunyai beberapa
kekurangan;

jumlahnya

terbatas,

sulit

mengambil

material

graft,

meningkatkan resiko infeksi, meningkatkan resiko kehilangan darah dan


menambah waktu anestesi, menyebabkan morbiditas serta kemungkinan
resorbsi akar pada daerah donor (Wirjokusumo, 2002). Allograft adalah

jaringan yang ditransplantasikan dari seseorang kepada yang lain baik dalam
spesies sama maupun spesies yang berbeda. Allograft mungkin memiliki
kemampuan

menginduksi

regenerasi

tulang,

bahan

ini

juga

dapat

membangkitkan respon jaringan yang merugikan dan respon penolakan


hospes, kecuali diproses secara khusus. Xenograft adalah bahan graft yang
diambil dari spesies yang berbeda, biasanya berasal dari lembu atau babi,
untuk digunakan pada manusia. Graft tulang diharapkan dapat melakukan
perbaikan klinis pada tulang periodontal. (Laurencin, 2003).
Fungsi dari autograft itu sendiri secara garis besar terdapat dua fungsi
utama, antara lain memberikan dukungan mekanis pada kerangka resipien dan
terhadap

tulang

resipien

yaitu

mendorong

terjadinya

osteogenesis

(pembentukan tulang) melalui 3 cara, yaitu; 1). Membelah diri, yaitu sel
dipermukaan graft dan tulang yang masih hidup pada saat dipindahkan,
kemudian membelah diri dan membentuk tulang baru. 2). Osteoinduksi, yaitu
merupakan proses menarik sel pluripotensial dari resipien yang terdapat
disekitar graft dan tulang, proses osteoinduksi tersebut terjadi karena graft dan
tulang mengandung mediator osteoinduksi seperti BMP (Bone Morphogenic
Protein), yang merupakan matrik tulang sehingga aktifitasnya tidak
dipengaruhi oleh ada tidaknya sel tulang yang hidup. 3). Osteokonduksi, yaitu
merupakan proses resorpsi graft, kemudian diganti oleh tulang baru dari
respien secara bertahap (Wirjokusumo, 2002). Konstribusi graft dimulai
dengan proses osteokonduksi yaitu membuat kerangka sebagai matrik tulang

di jaringan resipien, dilanjutkan dengan stimulasi pembentukan tulang sebagai


proses osteoinduksi (Kurnianto, 2011).

2. Scaffold
Scaffold merupakan susunan tiga dimensi yang berfungsi sebagai
bantuan sementara pada tulang. Scaffold harus memiliki struktur pori yang
baik dan mampu mengatur pertumbuhan jaringan baru. Pori didalam scaffold
harus saling berhubungan (interkoneksi) untuk difusi gas, nutrisi, limbah dan
metabolik (Guan, 2010). Komposisi kimia pada permukaannya biocompatible
sehingga dapat meminimalkan kekebalan dan inflamasi serta tidak
memunculkan perlawanan imunitas saat digunakan pada tubuh. Seiring
dengan perkembangan jaringan yang diinginkan, scaffold harus mengalami
degradasi, oleh karena itu scaffold juga harus mempunyai sifat biodegradable
(Hutmacher, 2000).
Sifat bioaktif yang harus dimiliki oleh scaffold berfungsi untuk
memfasilitasi ikatan biokimia dengan jaringan tulang yang akan diperbaiki.
Osteokonduktif mendukung proses pertumbuhan dan pengembangan jaringan
tulang baru, selain itu sifat lain yang harus dimiliki oleh sebuah scaffold ialah
memiliki kekuatan mekanik yang cukup untuk membantu bertahan dari
pengaruh gaya luar, seiring proses pertumbuhan jaringan baru (Klawitter dan
Hulbert, 2004).

10

Bahan yang digunakan untuk scaffold dapat berupa polimer alami,


keramik maupun sintetik. Polimer yang digunakan harus memiliki sifat
biocompatible, biodegradable, kekuatan mekanik, adhesif yang tinggi, pori
dan strukur tiga dimensi yang tinggi, contoh polimer antara lain; fibrin,
kolagen, gelatin, kitosan, asam alginat dan asam hyaluronat (Jones dkk.,
2007). Bahan dasar sintesis umumnya lebih disukai karena mempunyai sifat
biodegradable dengan proses yang mudah, diantaranya Poly (-hydroxyster)
s, polylactide (PLA), dan Polyglicolide (PGA) yang paling sering digunakan
dalam scaffold karena mempunyai sifat biocompatible, biodegradable dan
bioresorbable (Sloane, 2003).
Bahan keramik, digunakan untuk aplikasi medis terdiri dari kasium
fosfat, silica, alumina, zirkonia, dan titanium oksida. Komponen-komponen
tersebut memiliki interaksi yang positif dengan jaringan manusia, khususnya
hidroksiapatit berbasis senyawa kalsium fosfat dan bioactif glass karena
sebagai scaffold yang memiliki sifat osteokonduktif. (Hutmacher, 2000).

3. Alginat
Alginat merupakan zat biodegradable yang diekstrak dari rumput laut.
Alginat berasal dari rumput laut coklat (Phaeophyta). Alginat secara alami
merupakan polimer yang membentuk gel sepanjang kation divalen seperti
Ca2+. . Hidrogel alginat umumnya digunakan sebagai matrik ekstraselular yang
mengandung kalsium, magnesium, strontium, dan barium ion (Strathman,

11

2006). Fungsi utama alginat dalam teknik jaringan digunakan sebagai rangka
yang memberikan kekuatan, biocompatible dan fleksibilitas (Junita, 2002).
Kekuatan mekanik alginat

akan berkurang dalam waktu 15 jam, karena

hilangnya ion divalen dari hidrogel yang mengalami pertukaran dengan ion
monovalen, hal tersebut dapat dihindari dengan menambahkan ion kalsium.
(Yildrim, 2004).

4. Apatit
Karbonat apatit merupakan suatu material yang dapat menginisiasi
proses

perkembangan

(Ca10(PO4)x(CO3)y(OH)z)

dari
adalah

sel
material

tulang.

Karbonat

biokeramik

yang

apatit
memiliki

karakteristik layaknya tulang manusia. Kemiripan ini disebabkan keberadaan


tiga komponen utama penyusun tulang, yakni Ca,PO4, dan CO3, pada karbonat
apatit Fungsi karbonat apatit sebagai penyeimbang sifat hidroksiapatit yang
keras dan padat (Gleeson dkk., 2010).
Karbonat apatit ini memiliki sifat mudah diserap oleh larutan tubuh
sehingga memudahkan pertumbuhan tulang, dihasilkan dengan mereaksikan
senyawa kalsium dari cangkang telur dan fosfor dari diamonium hidrogen
fosfat dengan metode presipitasi yang digunakan pada sintesi hidroksiapatit
(Matsuura dkk., 2009). Penggunaan karbonat apatit dapat meningkatkan sifat
osteokonduktivitas scaffold ,sehingga proses perbaikan dan perkembangan
jaringan akan berjalan dengan lebih cepat (Venkatesan dan Kim, 2010).

12

5. Kitosan
Kitosan merupakan polimer alami yang diperoleh dari hewan-hewan
krutasea. Kitosan adalah kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya melalui
proses

deasitilasi,

sehingga

menyisakan

gugus

amina

bebas

yang

menjadikannya bersifat polikationik (Venkatesan dan Kim, 2010). Kitosan


merupakan polimer yang baik untuk rekayasa jaringan karena memiliki sifat
yang menguntungkan seperti non toksik, non alergi,

mukoadhesif,

biocompatible dan biodegradable, dan osteokonduktif.


Sifat osteokonduktif yang dimiliki oleh kitosan dapat mempercepat
pertumbuhan osteoblas sehingga mempercepat proliferasi sel. Kelebihan
kitosan yang lain yaitu kemampuannya yang dapat membuat pertumbuhan
tulang lebih cepat, hal ini disebabkan gugus amino yang terdapat di kitosan
(NH2) yang bersifat polar akan berikatan dengan OH- yang berasal dari darah
sehingga membuat matrix yang dapat memfasilitasi pertumbuhan tulang baru
(Kim, 2011). Sifat-sifat inilah yang kemudian menyebabkan kitosan mulai
banyak digunakan sebagai bahan pembuatan scaffold. Menurut Bhuvana
(2006) kitosan juga mempunyai sifat biologi, diantaranya;
a. Bersifat biocompatible artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak
mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah
diuraikan oleh mikroba (biodegradable).
b. Berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif.

13

c. Mampu meningkatkan pembentukan yang berperan dalam pembentukan


tulang.
d. Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol,
e. Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat.

6. Freeze Drying
Freeze Drying merupakan suatu metode konvensional yang digunakan
dalam proses pembuatan material porus (Pikal dan Reiter, 2008). Larutan
organik yang akan digunakan sebagai bahan scaffold dimasukan kedalam
suatu cetakan kemudian didinginkan hingga campuran menjadi padat. Proses
drying dilakukan untuk memisahkan pelarut sehingga diperoleh sifat porus
pada scaffold (A.L.Corporation, 2010).

7. Scanning Electron Microscope (SEM)


Scanning Electron Microsope merupakan alat karakterisasi yang dapat
melihat mikrostruktur dari sampel hingga perbesaran 150000 kali. Prinsip
kerja SEM adalah elektron yang berasal dari electron gun ditembakkan ke
sampel (benda kerja), kemudian interaksi antara primary electron dengan
sampel akan menghasilkan beberapa jenis elektron (Nizar, 2010). Scanning
Electron Microsope mempunyai resolusi yang tinggi jika dibandingkan
dengan mikroskop optik. Morfologi dari suatu material dapat diamati dengan
menggunakan alat ini.

14

8. Fourier Transform Infrared (FTIR)


Fourier Transform Infrared merupakan suatu metode karakterisasi yang
dapat digunakan untuk mengetahui frekuensi vibrasi dari ikatan kimia antar
atom dari objek yang dikaji. Proses karakterisasi menggunakan FTIR,
digunakan radiasi inframerah sebagai medianya (Bandanadjaja dan Fazni,
2005). Spektrum yang didapatkan adalah hasil dari penyerapan ataupun
transmisi gelombang inframerah tersebut. Spektrum ini merupakan identitas
dari objek yang diuji yang mana puncak-puncak absorbsi yang terjadi
berkaitan dengan frekuensi vibrasi diantara ikatan-ikatan atom yang terdapat
di dalam struktur molekul objek. Setiap unsur pada dasarnya memiliki
spektrum yang khas. Teknik ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
berbagai macam jenis bahan (T.N. Corporation, 2001).

9. Uji Sifat Mekanik


Sifat mekanik material merupakan salah satu faktor terpenting yang
mendasari pemilihan bahan dalam suatu perancangan. Sifat mekanik dapat
diartikan sebagai respon atau perilaku material terhadap pembebanan yang
diberikan. Jenis uji sifat mekanik diantaranya yaitu, modulus elastisistas, uji
kekerasan, dan uji kekuatan tekan. Penelitian sifat mekanik yang akan
dilakukan adalah kekuatan tekan bahan.
Kekuatan tekan adalah kekuatan suatu benda terhadap beban yang
diterima, dilakukan dengan cara memberikan beban terhadap sampel sampai

15

menimbulkan keretakan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan


bahan terhadap tekanan, dengan menggunakan alat yang mempunyai prinsif
serupa dengan universal tensile machine (Kurnianto, 2011).

10. Sifat Bioaktif


Sifat bioaktif adalah sifat yang dimiliki oleh suatu material yang biasa
digunakan untuk memperbaiki dan merekontruksi bagian tubuh manusia.
Suatu bahan yang mengeluarkan respon biologis spesifik pada pertemuan
permukaan bahan dengan jaringan, dengan hasil berupa pembentukan ikatan.
Material bioaktif mempunyai kemampuan untuk terikat secara langsung
dengan tulang. Keuntungan material seperti ini lebih stabil dan lebih tahan
lama. Uji sifat bioaktif suatu bahan biasanya dilakukan dengan merendam
suatu bahan dalam cairan yang mengandung ion-ion garam dan menyerupai
plasma darah, seperti Simulation Body Fluid (Jones dkk., 2007).
Uji bioaktif dalam penelitian ini dengan merendam sampel didalam
larutan Simulation Body Fluid kemudian dilihat pertumbuhan apatit pada
scaffold. Mekanisme pertumbuhan apatit dalam Simulation Body Fluid
dimulai ketika sampel direndam, gugus OH- dari sampel maupun Simulation
Body Fluid cenderung berkumpul dipermukaan sampel, karena gugus OHyang bersifat hidrofilik. Ion OH- di permukaan membuat ion Ca2+ yang
bermuatan positif berikatan dengan OH-, diikuti PO43- , inilah yang disebut
dengan apatit (Lestari, 2012).

16

11. Simulation Body Fluid (SBF)


Simulation Body fluid dikenal juga sebagai Synthetic Body Fluid adalah
suatu larutan yang dibuat menyerupai kondisi tubuh (darah) manusia yang
sebenarnya, dengan cara mengatur konsentrasi ion-ion seperti yang
terkandung di dalam tubuh manusia sehingga pH menyerupai kondisi tubuh
manusia. Standar yang lazim digunakan untuk mengatur konsentrasi ion-ion
tersebut agar menyerupai kondisi tubuh manusia yang sering digunakan
adalah blood plasma, Hanks' Balanced Salt Solution (HBSS), Ringers
solution dan kokubo (Abe dkk., 2001).
Tabel 2.1. Konsentrasi Ion dalam SBF dan Plasma darah
Concentration (mmol/dm3)
Ion
Simulated body fluid (SBF)
Human blood plasma
Na+
K+
Mg2+
Ca2+
ClHCO3HPO42SO42-

142.0
5.0
1.5
2.5
147.8
4.2
1.0
0.5

142.0
5.0
1.5
2.5
103.0
27.0
1.0
0.5

Pada penelitian kali ini SBF yang digunakan adalah kokubo yang
mempunyai konsentrasi ion sebagai berikut;

17

Tabel 2.2. Konsentrasi Ion Kokubo


Simulated body fluid (SBF)
Ion
Kokubo SBF
Na+
K+
Mg2+
Ca2+
ClHCO3HPO42SO42-

142.0
5.0
1.5
2.5
147.8
4.2
1.0
0.5

Anda mungkin juga menyukai