Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Kecemasan

pada anak-anak telah diakui sebagai masalah selama

bertahun-tahun yang menyebabkan anak sering menunda dan menolak untuk


melakukan perawatan.1 Suatu penelitian di Australia memperkirakan bahwa
antara 50% hingga 80 % dari seluruh kasus penyakit yang terjadi berkaitan
secara langsung dengan kecemasan sebagai faktor etiologi.2 Kecemasan
perawatan gigi sering berasal di masa kecil (51%) atau remaja (22%).3 Salah
satu aspek terpenting dalam mengatur tingkah laku anak dalam perawatan gigi
adalah dengan mengontrol rasa sakit,

karena pengalaman yang tidak

menyenangkan akan berdampak terhadap perawatan giginya dimasa depan.


Penundaan terhadap perawatan dapat mengakibatkan bertambah parahnya
tingkat kesehatan mulut pasien dan terkadang menambah ketakutan pasien
untuk berobat ke dokter gigi. 1
Perawatan gigi anak umumnya dimulai saat usia sekolah dasar, dimana
banyak

diantaranya

menghadapi

pengalaman

pertama

yang

kurang

menyenangkan sehingga dapat menjadi suatu kecemasan yang berkembang


menjadi ketakutan yang kemudian menetap hingga dewasa.3

Perkembangan emosi berhubungan dengan seluruh aspek perkembangan


anak. Perkembangan emosi dan sosial merupakan dasar perkembangan
kepribadian di masa datang. Setiap orang akan mempunyai emosi rasa senang,
marah, kesal dalam menghadapi lingkungannya sehari-hari. Pada tahap ini
emosi anak usia dini lebih terperinci bernuansa atau terdeferensiasi,
(Patmonodewo, 2003). Setiap anak menunjukkan ekspresi yang berbeda
sepanjang perkembangannya. Pada awal perkembangan anak, mereka telah
menjalin hubungan timbal balik dengan orang yang mengasuhnya. Menurut
Beaty (1994) yang dikutip oleh Susanto (2011) dalam sebuah buku
Perkembangan anak usia dini mengemukakan bahwa, ada beberapa emosi
yang umum pada anak sebagai berikut : (a) kemarahan, terjadi saat keinginan
tidak terpenuhi; (b) kasih sayang, sesuatu yang sangat dibutuhkan anak setiap
saat; (c) cemburu apabila ada hal yang dilakukan anak lain melebihi apa yang
dia lakukan; (d) takut akan sesuatu yang baru; (e) sedih, yang disebabkan
hilangnya anggota keluarga, mainan, atau teman; dan (f) senang dan malu.
Perkembangan emosi yang muncul pada setiap anak pasti berbeda antara anak
yang satu dan anak yang lainnya. Ini disebabkan karena adanya faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Menurut Hurlock (1978), sedikitnya ada dua faktor
yang mempengaruhi emosi anak, yaitu peran kematangan dan peran belajar.4
Rasa sakit dan perawatan gigi sering disamakan persepsi oleh pasien,
terkhusus pada masalah pertumbuhan gigi yang mengharuskan untuk dilakukan
pencabutan, penyakit periodontal yang menghendaki tindakan bedah, atau gigi
yang menghendaki perawatan saluran akar.

Sehingga penting pada setiap

kunjungan untuk mengurangi dan mengontrol rasa sakit. Terdapat banyak


teknik dalam mengontrol rasa sakit untuk membantu anak menanggulangi
situasi seperti ini baik sebelum perawatan dan setelah perawatan. Teknik
tersebut meliputi penggunaan anastesi lokal atau obat anti sakit.6 Anastesi
lokal adalah menghilangkan sensasi rasa nyeri sementara dibagian tubuh yang
diperoleh dari aplikasi topikal atau agen injeksi tanpa menghilangkan tingkat
kesadaran. Pencegahan nyeri selama prosedur perawatan gigi dapat
memelihara hubungan pasien dan dokter gigi, membangun kepercayaan,
menghilangkan kecemasan dan ketakutan pasien, serta memberikan sikap
positif terhadap perawatan gigi, sehingga teknik tata cara anastesi perlu
dipertimbangkan sebagai pedoman dalam mengatur tingkah laku pasien anak
selama perawatan gigi.7

1.2

RUMUSAN MASALAH
1.

Apakah ada perbedaan rasa cemas anak terhadap penggunaan anastesi


topikal dan non topikal pada pencabutan gigi?

1.3

TUJUAN PENELITIAN
1.

Untuk mengetahui perbedaan

rasa cemas anak terhadap penggunaan

anastesi topikal dan non topikal pada pencabutan gigi

1.4

MANFAAT PENELITIAN

Memberikan gambaran mengenai perbedaan rasa cemas anak terhadap


penggunaan anestesi topikal dan non topikal pada pencabutan gigi sehingga
dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu kedokteran gigi khususnya kedokteran
gigi anak serta dapat berguna dalam aplikasi secara klinis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

KECEMASAN

Kecemasan berasal dari kata cemas yang artinya khawatir, gelisah, dan
takut. Kecemasan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kekhawatiran atau
ketegangan yang berasal dari sumber yang tidak diketahui. Dalam hal ini
kecemasan pada anak dapat dimaksudkan sebagai rasa takut terhadap
perawatan gigi. Hal ini merupakan hambatan bagi dokter gigi.8 Kecemasan
juga dapat didefenisikan sebagai tanda psikologi yang tidak menyenangkan
atau tidak nyaman disertai tanda bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan
terjadi.9
Kecemasan atau rasa takut pada anak merupakan suatu keadaan yang
multifaktorial. Kecemasan terhadap perawatan gigi seringkali dinyatakan
dengan penolakan perawatan gigi atau ketakutan terhadap dokter gigi. Banyak
hal yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan atau rasa takut anak
terhadap perawatan gigi, antara lain : a) pengalaman negatif selama kunjungan
ke dokter gigi sebelumnya, b) kesan negatif dari perawatan gigi yang
didapatkan dari pengalaman keluarga atau temannya, c) perasaan yang asing
selama perawatan gigi misalnya penggunaan sarung tangan, masker, pelindu

mata oleh dokter gigi, takut jarum suntik, dll, d) merasa diejek atau disalahkan
oleh karena keadaan kesehatan rongga mulut yang tidak baik, e) bunyi dari
alat alat kedokteran gigi, misalnya bunyi bur, ultra skeler, dll, f) kecemasan
yang tidak diketahui penyebabnya.8 sehingga kecemasan memberikan efek
negatif terhadap prosedur perawatan yang akan dilakukan. Kecemasan dalam
praktek dokter gigi merupakan halangan yang sering mempengaruhi perilaku
pasien dalam perawatan. Kecemasan dapat menyebabkan pasien mengeluh
nyeri, walau tidak didapatkan adanya dasar patofisiologis, misalnya melakukan
preparasi gigi dengan pulpa non-vital, kadang pasien tetap mengeluh nyeri
walaupun telah dilakukan anestesi lokal. Situasi ini berhubungan erat dengan
ketakutan pasien terhadap perawatan dokter gigi, karena rasa nyeri memiliki
sifat subyektif, sehingga tidak dapat dibedakan antara nyeri karena alasan
psikologis dan nyeri karena reaksi jaringan, Karena pasien menganggap
keduanya sebagi rasa nyeri. Pasien yang tegang dan cemas lebih banyak
merasakan nyeri selama perawatan dibandingkan pasien yang rileks karena
kecemasan menciptakan harapan akan

rasa nyeri, oleh karena itu pasien

dengan kecemasan yang datang untuk perawatan dengan ingatan akan rasa
nyeri yang sebelumnya pernah dialami cenderung membayangkan timbulnya
rasa nyeri selama perawatan, sehingga pasien tersebut menyaring secara
selektif setiap informasi sebelum perawatan memusatkan perhatian pada setiap
rangsangan yang menyerupai atau berhubungan dengan rasa nyeri. Kondisi
pasien yang diliputi kecemasan akan memperkuat rangsang nyeri yang

diterimanya karena kecemasan menyebabkan zat penghambat rasa nyeri tidak


disekresikan.3 Oleh sebab itu, Dalam penanganan kecemasan pada anak, dokter
gigi memerlukan suatu pemahaman terhadap perkembangan anak dan rasa
takut yang berkaitan dengan usia, penanganan pada kunjungan pertama, dan
pendekatan selama perawatan.8

2.2

PERKEMBANGAN EMOSIONAL DAN KOGNITIF ANAK USIA 6-12


TAHUN

Perkembangan adalah

perubahan

mental yang berlangsung secara

bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi
kemampuan yang lebih sulit. Fase perkembangan dapat diartikan sebagai
penahapan atau babakan rentang perjalanan kehidupan individu yang diwarnai
ciri khusus atau pola tingkah laku tertentu.4
Fase perkembangan menurut Sumiati Ahmad yang dikutip oleh Susanto
(2011), membagi periodisasi biologis dan perkembangan emosional anak.
4,10

Tahap I : mulai dari 0-1 tahun, disebut bayi. Sejak lahir, seorang individu

sudah memiliki kemampuan untuk merasakan dan memberi respon emosi


dalam bentuk tertarik pada sesuatu, merasa tertekan dan merasa jijik. Bayi
sudah bisa memberikan senyuman sosial sebagai bentuk ekpsresi emosi, pada
usia mulai 4-6 minggu. Emosi yang lain berkembang secara bertahap dan
ditunjukkan dengan semakin banyaknya respon ketika anak berkembang
seiring dengan waktu. Emosi marah, terkejut dan sedih mulai muncul pada usia

3-4 bulan, dan anak mulai bisa merasakan takut pada usia antara 5 7 bulan.
Rasa malu mulai muncul pada usia 6-8 bulan, dan perasaan bersalah baru
muncul pada anak sekitar usia 1 tahun. Ketika anak belum bisa bicara, mereka
menggunakan emosi, khususnya senyuman dan tangisan untuk berkomunikasi.
Senyuman bayi mengkomunikasikan rasa senang dan nyaman kepada orang
tuanya, dan meningkatkan semakin banyaknya pernyataan cinta dan perhatian
yang disampaikan oleh orang tuanya. Sebaliknya, tangisan merupakan bentuk
komunikasi dari perasaan tertekan karena lapar, sakit atau marah.10 Tahap II :
mulai dari 1-6 tahun, disebut masa prasekolah. Secara emosional, anak usia
prasekolah sudah bisa merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk
menjadi anak yang penuh kasih sayang, baik dan sangat menolong, dan pada
saat yang bersamaan bisa juga sangat egois dan agresif. Anak sudah bisa
merasakan dan menyadari jika ada anak lain yang sedih, merasa bersimpati dan
ingin menolong. Namun demikian, karena mereka belum bisa berpikir dari
sudut pandang orang lain, mereka belum bisa diharapkan untuk berempati.
Ketika anak semakin matang, mereka akan mampu untuk mengidentifikasi atau
mengenali perasaan mereka, dan menghubungkannya dengan kejadian atau
peristiwa yang spesifik. Anak usia 3 tahun bisa menceritakan perbedaan antara
reaksi senang dan sedih pada sebuah cerita, dan seiring dengan meningkatnya
kemampuan bahasa mereka, anak usia 4 dan 5 tahun sudah bisa menyampaikan
perasaan mereka pada orang lain. Anak usia ini sudah bisa mengekspresikan
emosi dasar dari rasa marah dan takut, baik dengan cara yang positif maupun
negatif. Marah sebagai bentuk pernyataan asertif, sebagai dasar dari cara anak

mengembangkan kemampuan inisiatif, dan bisa mendorongnya kearah prestasi


dan penyelesaian masalah. Rasa takut, yang diekspresikan dalam bentuk
kecemasan yang ringan justru bisa menjadi sebuah motivator bagi mereka.
Marah juga bisa mereka ekspresikan dalam bentuk agresisivitas, biasanya hal
ini disebabkan karena mainan dan ruang bermain atau tempat untuk
bereksplorasi yang kurang, dan kecemburuan biasanya berkaitan dengan
persaingan antar saudara kandung. Anak prasekolah hanya mengekspresikan
satu emosi pada satu waktu, dan belum bisa memadukan emosi atau perasaan
dari hal-hal yang membingungkan. Karena itu, anak-anak ini menjadi bingung
dan sulit untuk membedakan emosi mereka, dan tidak tahu bagaimana cara
menyampaikan apa yang mengganggu atau apa yang mereka inginkan.10 Tahap
III : mulai dari 6-12 tahun, disebut masa sekolah. Perkembangan emosi anak
usia sekolah kurang lebih sama dengan anak usia prasekolah, namun karena
kemampuan kognitif mereka sudah lebih berkembang, hal ini memungkinkan
mereka untuk bisa mengekpresikan emosinya dengan lebih bervariasi, dan
terkadang bisa mengekpresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang
berbeda dan bahkan bertolak belakang, Cenderung aktif, lebih yakin dan ramah
dalam bergaul, tegas, tertarik dan senang dengan hal-hal yang baru, seperti :
keterampilan baru atau pelajaran baru. Menunjukkan ketegasan, dan jika diberi
kesempatan

dapat

menjadi

bertahan

(defensif)

serta

berbantah

(argumentatif).10,11 Perkembangan kemampuan kognitif mereka juga yang


membuat anak usia antara 6-8 tahun sudah mengetahui bahwa orang lain bisa
mempunyai perasaan dan pikiran berbeda mengenai suatu hal.10,12 Pada usia 8-

10 tahun mereka bisa mempersepsikan mengenai apa yg orang lain pikir dan
rasakan, dan pada usia 12 tahun keatas mereka sudah mampu menganalisa dan
mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu, begitu juga
orang lain, dan mereka sudah mulai bisa merasakan bentuk empati yang lebih
dalam. Pengetahuan mengenai benar atau salah dan perkembangan emosi
mengenai perasaan benar dan salah pada anak usia ini ditentukan oleh aturan
yang ada dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan teman sebaya mereka.
Begitu anak-anak tumbuh dan berkembang, mereka semakin matang untuk
membentuk aturan dan nilai-nilai mereka sendiri dalam kerangka sosial dan
budaya yang lebih luas. Anak pada usia 6-7 tahun mengetahui adanya aturan,
dan menganggap hal tersebut tidak bisa diubah, dan mereka selalu memikirkan
mengenai hukuman yang akan mereka dapat jika mereka melanggar aturan.
Mulai usia 10 tahun keatas, mereka mulai bisa mempertimbangkan antara
tujuan tingkah laku dan konsekuensinya, mereka juga menyadari bahwa sebuah
tingkah laku bisa memiliki makna berbeda tergantung sudut pandangnya.
Mereka juga tahu bahwa aturan bisa diubah dan dikompromikan.10
Jean Piaget

(1954)

mengemukakan teori

mengenai

Tahapan

Perkembangan Kognitif yang membagi fase perkembangan anak menjadi 4


tahapan, yaitu: Sensory-motor Stage (0-2 tahun) yaitu keadaan dimana seorang
anak mulai menyadari keberadaan dirinya dan mulai melakukan suatu tindakan
secara terarah, tahap selanjutnya adalah Preoperative Stage (2-7 tahun), yaitu
fase diamana seorang anak mulai belajar menggunakan bahasa, kata-kata dan
mengenal gambar dan simbol. Pada tahap ini, sifat seorang anak masih

10

egosentris. Tahap ketiga adalah Concrete Operasional Stage ( 7-11 tahun),


merupakan tahap diamana seorang anak mulai berpikir secara logis mengenai
benda-benda dan kejadian disekitarnya dan terkadang pemikirannya masih
bersifat konkrit atau harafiah. Formal Operational Stage, yaitu tahapan dimana
seorang anak dapat berpikir secara konkrit dan abstrak. Mereka mulai dapat
berpikir tentang masa depan, membuat hipotesis, dan sebagainya (11 tahun ke
atas). 4

2.3

PERTUMBUHAN GIGI ANAK USIA 6-12 TAHUN


Pertumbuhan gigi dimulai dengan munculnya gigi sulung sejak usia 6
bulan sampai 2 tahun. Gigi sulung ini akan digantikan oleh gigi tetap yang
tumbuh mulai usia 6-12 tahun.13 Saat anak berusia 6-7 tahun gigi sulung akan
tercabut untuk digantikan dengan gigi tetap. 14 Gigi tetap yang pertama muncul
dalam rongga mulut adalah gigi geraham tetap yang mulai muncul diusia
sekitar 6 tahun, gigi ini tidak menggantikan gigi sulung. 15 Dilanjutkan gigi seri
rahang bawah dan rahang atas sekitar usia 6-9 tahun, kemudian gigi geraham
kecil rahang bawah dan rahang atas pada usia 10-12 tahun, sedangkan gigi
taring tumbuh pada usia sekitar 9-12 tahun.14 Seperti pada gambar di bawah ini
terdapat gambaran urutan pertumbuhan gigi geligi tetap.

11

Gambar 1.. Erupsi gigi tetap. Itjingningsih. Anatomi gigi. Jakarta : EGC.
1991.

2.4

ANESTESI LOKAL PADA ANAK


Umumnya hanya sedikit anak-anak yang menyukai untuk dilakukan
perawatan gigi, terutama bila perawatan tersebut mengharuskan dilakukan
anastesi. Namun sebenarnya hanya sedikit anak-anak menolak analgesia lokal
dalam

perawatan

gigi, bila analgesia digunakan secara tepat. Meskipun

anestesi lokal merupakan alat bantu dalam mendapat kerja sama pasien anak,
anestesi sebaiknya baru diberikan bila anak merasa sakit atau kurang nyaman.16
2.4.1 ANASTESI TOPIKAL :
Anastesi topikal yaitu pengolesan analgetik lokal diatas selaput
mukosa. Anestesi topikal diperoleh melalui aplikasi agen anestesi
tertentu pada daerah kulit maupun membran mukosa yang dapat

12

dipenetrasi untuk memblok ujung-ujung saraf superfisial. Semua agen


anestesi topikal sama efektifnya sewaktu digunakan pada mukosa dan
menganestesi dengan kedalaman 2-3 mm dari permukaan jaringan jika
digunakan dengan tepat. 17
Anastesi topikal tersedia dalam bentuk :
1.

Semprotan (spray form) yang mengandung agen anestesi lokal


tertentu dapat digunakan untuk tujuan ini karena aksinya berjalan
cukup cepat. Bahan aktif yang terkandung dalam larutan adalah
lignokain hidroklorida 10% dalam basis air yang dikeluarkan dalam
jumlah kecil kontainer aerosol. Penambahan berbagai rasa buahbuahan dimaksudkan untuk membuat preparat tersebut lebih dapat
ditolerir oleh anak, namun sebenarnya dapat menimbulkan masalah
karena merangsang terjadinya salivasi berlebihan. Bila anestesi
dilakukan dengan menggunakan semprotan, larutan umumnya
dapat didistribusikan dengan lebih mudah dan efeknya akan lebih
luas daripada yang kita inginkan. Waktu timbulnya anastesi adalah
1 menit dan durasinya adalah sekitar 10 menit. 16

2.

Salep yang mengandung lignokain hidroklorida 5% juga dapat


digunakan untuk tujuan yang sama, namun diperlukan waktu 3-4
menit untuk memberikan efek anastesi. Beberapa industri farmasi
bahkan menyertakan enzim hialuronidase dalam produknya dengan
harapan dapat membantu penetrasi agen anastesi lokal dalam
jaringan. Amethocaine dan benzocaine umumnya juga ditambahkan

13

dalam preparat ini. Salep sangat bermanfaat bila diaplikasikan


pada gingiva lunak sebelum pemberian tumpatan yang dalam. 16
3.

Emulsi yang mengandung lignokain hidroklorida 2% juga dapat


digunakan. Emulsi ini akan sangat bermanfaat bila kita ingin
mencetak seluruh rongga mulut dari pasien yang sangat mudah
mual. Sesendok teh emulsi dapat digunakan pasien untuk kumurkumur disekitar rongga mulut dan orofaring dan kemudian
dibiarkan satu sampai dua menit, sisanya diludahkan tepat sebelum
pencetakan. Emulsi ini juga dapat bermanfaat untuk mengurangi
rasa nyeri pascaoperatif seperti setelah gingivektomidan tidak
berbahaya bila tertelan secara tidak disengaja. 16

4.

Etil klorida, disemprotkan pada kulit atau mukosa akan menguap


dengan cepat sehingga dapat menimbulkan anastesi melalui efek
pendinginan. Manfaat klinis hanya bila semprotan diarahkan pada
daerah terbatas dengan kapas atau cotton bud sampai timbul uap es.
Namun tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari terstimulasinya pulpa gigi-gigi tetangga dan inhalasi
uap oleh pasien. Manfaat teknik ini memang terbatas tetapi kadangkadang dapat digunakan untuk mendapat anastesi permukaan
sebelum insisi dari abses fluktuan. 16-

2.4.1.1 Cara melakukan anastesi topikal adalah :


1. Membran

mukosa dikeringkan untuk mencegah larutnya

bahan anastesi topikal. 17

14

2. Bahan anastesi topikal dioleskan melebihi area yang akan


disuntik 15 detik (tergantung petunjuk pabrik) kurang dari
waktu tersebut, obat tidak efektif.17
3. Anastesi topikal harus dipertahankan pada membran mukosa
minimal 2 menit, agar obat bekerja efektif. Salah satu
kesalahan yang dibuat pada pemakaian anastesi topikal
adalah kegagalan operator untuk memberikan waktu yang
cukup bagi bahan anastesi topikal untuk menghasilkan efek
yang maksimum.17

2.4.2 ANASTESI INFILTRASI


Sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang
bawah, mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasinya pada anak cukup
dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak.

17

Anestesi

infiltrasi digunakan untuk menunjukkan tempat dalam jaringan dimana larutan


anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf yang berhubungan
dengan periosteum bukal dan labial. Pada anak, bidang alveolar labio-bukal
yan tipis umumnya banyak terdapat saluran vaskular dari pembuluh darah,
maka teknik infiltrasi dapat digunakan dengan efektif untuk mendapat efek
anestesi pada gigi-gigi susu atas dan bawah. Infiltrasi 0,5-1,0 ml larutan
anestesi lokal cukup untuk menganestesi pulpa dari kebanyakan gigi anak.
Penyuntikan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kesalahan
insersi jarum yang terlalu dalam ke jaringan.16

15

2.4.2.1 Cara melakukan Anastesi Infiltrasi


Kasa atau kapas steril diletakkan diantara jari dan
membran mukosa mulut, tarik pipi atau bibir serta membran
mukosa yang bergerak kearah bawah untuk rahang atas dan
kearah atas untuk rahang bawah sehingga membran mukosa
menjadi tegang, untuk memperjelas daerah lipatan muk
mukobukal atau mukolingual. Aplikasikan terlebih dahulu
anestesi topikal jika diperlukan sebelum insersi jarum. Suntik
jaringan pada lipatan mukosa dengan bevel jarum mengarah ke
tulang dan sejajar bidang tulang. Setelah posisi jarum tepat,
lanjutkan

insersi

jarum

menyelusuri

periosteum

sampai

ujungnya mencapai setinggi akar gigi lalu larutan dideposit.


Suntikan dengan perlahan-lahan agar memperkecil

atau

mengurangi rasa sakit, anastesi akan berjalan dalam waktu lima


menit. 17

Gambar 2. Anastesi infiltrasi. Sjaril Nurdin. Penatalaksanaan Pemberian


anastesi Lokal pada Gigi Anak. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia. 2000.

16

2.4.2.2 Teknik Anastesi infiltrasi


1. Suntikan submukosa. Istilah ini diterapkan bila larutan
didepositkan tepat dibalik membran mukosa. Walaupun
cenderung tidak menimbulkan anastesi pada pulpa gigi,
suntikan ini sering digunakan baik untuk menganastesi saraf
bukal panjang sebelum pencabutan molar bawah.16
2. Suntikan supraperiosteal. Pada beberapa daerah seperti
maksila, bidang kortikal bagian luar dari tulang alveolar
biasanya tipis dan dapat terperforasi oleh saluran vaskular
yang kecil. Pada daerah-daerah ini bila larutan anastesi
didepositkan di luar periosteum, larutan akan terinfiltrasi
melalui periosteum, bidang kortikal, tulang dan medularis ke
serabut saraf.16
3. Suntikan subperiosteal. Pada teknik ini, larutan anastesi
didepositkan antara periosteum dibidang kortikal. Karena
struktur ini terikat erat suntikan tentu terasa sangat sakit.
Karena itu, suntikan ini hanya digunakan bilsa tidak ada
alternatif lain atau bila anastesi superfisial dapat diperoleh
dari suntikan supraperiosteal. 16

17

Gambar 3 Penyuntikan supraperiosteal. Howe L, Whitehead. Anestesi


Lokal. 3rd Ed. 1990.

4. Suntikan intraoseus. Seperti terlihat dari namanya, pada


teknik ini larutan didepositkan pada tulang medularis.
Larutan anastesi 0,25 ml didepositkan perlahan ke ruang
medularis dari tulang. Jumlah larutan tersebut biasanya cukup
untuk sebagian besar prosedur perawatan gigi. Teknik
suntikan intraoseus akan memberikan efek anatesi yang baik
disertai dengan gangguan sensasi jaringan lunak yang
minimal.16

Gambar 4 . Teknik intraoseus. Howe L, Whitehead. Anestesi Lokal. 3 rd Ed.


1990.

18

5. Suntikan intraseptal. Merupakan versi modifikasi dari teknik


intraoseus yang kadang-kadang digunakan bila anastesi yang
menyeluruh sulit diperoleh. Larutan didepositkan dengan
tekanan dan berjalan melalui tulang medularis serta jaringan
periodontal untuk memberi efek anastesi. Teknik ini hanya
dapat digunakan setelah diperoleh anastesi superfisial. 16
6. Suntikan intraligamen atau ligamen periodontal. Teknik ini
menggunakan syringe konvensional yang pendek dan
lebarnya 27 gauge atau syringe yang didesain khusus untuk
tujuan tersebut, seperti Ligmaject, Rolon atau Peripress, yang
digunakan bersama jarum 30 gauge. 16

2.5

PENGUKURAN TINGKAT KECEMASAN


Kecemasan

merupakan masalah yang menyebabkan anak sering

menolak untuk melakukan perawatan.1 Kecemasan dalam praktek dokter gigi


merupakan halangan yang sering mempengaruhi perilaku pasien dalam
perawatan, dapat menimbulkan sikap yang tidak kooperatif, memberikan efek
negatif terhadap prosedur perawatan yang akan dilakukan sehingga akan
menghambat proses perawatan gigi.2,8 Untuk mencegah terjadinya masalah
ini, sebaiknya digunakan teknik manajemen bagi anak-anak untuk
mengidentifikasi kecemasan dalam perawatan gigi pada usia sedini mungkin.
Untuk mengukur tingkat kecemasan, dapat digunakan macam
kuesioner, skala atau derajat dengan tingkat validitas dan reabilitas yang

19

berbeda-beda. Secara garis besar metode untuk mengukur derajat kecemasan


tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua. Metode pengukuran langsung,
yaitu dimana si anak diminta untuk mengisi secara langsung kuesioner yang
diberikan. Metode ini mempunyai kelemahan dapat menunjukkan hasil yang
bias karena kemungkinan anak tidak mengerti isi kuesioner atau ada perasaan
malus erta takut unyuk mengisi kuesioner secara jujur. Metode pengukuran
tidak langsung, yaitu melalui pengamatan penelitian terhadap anak tersebut
atau melalui interview terhadap pihak ketiga (orang tua, dokter gigi anakyang
bersangkutan, atau orang-orang dalam lingkungan anak si anak). Pada
metode ini anak sama sekali tidak melakukan pengisian survey karena
pengisian survey langsung dilakukan oleh peneliti.1
Untuk menilai kecemasan dalam perawatan gigi, banyak teknik
pengukuran yang dapat digunakan. Dalam menilai kecemasan atau ketakutan
pada anak, dibedakan menjadi dua tipe teknik penilaian : teknik yang
berdasarkan observasi eaksi anak (misal penilaian perilaku dan psikologis)
dan teknik yang berdasar pada beberapa bentuk dari verbal-cognitive selreport (misal kuesioner).1 The Venham Picture Test (VPT). VPT merupakan
skala pengukuran tingkat kecemasan yang menggunakan teknik gambar
dalam menjawab dan terdiri dari delapan jenis yang menggambarkan situasi
atau keadaan dari kecemasan. Anak diwakili delapan pasang gambar anak
kecil yang memperlihatkan emosi yang bervariasi dan diminta untuk memilih
gambar yang mencerminkan emosi anak itu sendiri. Skor yang dihasilkan
dapat bervariasi dari 0 hingga 8. VPT juga dapat digunakan sebagai alat ukur

20

kecemasan situasional yang dapat memprediksi tingkah laku anak selama


perawatan, namun reabilitas VPT masih memerlukan studi lanjut.1, Face
Images Scale (FIS) merupakan skala pengukuran tingkat kecemasan yang
terdiri dari lima baris ekspresi wajah yang menggambarkan situasi atau
keadaan dari kecemasan, mulai dari ekspresi wajah sangat senang hingga
sangat tidak senang. Skala ini menunjukkan dari skor

satu

yaitu

menunjukkan ekspresi yang paling positif (sangat senang) sampai skor lima
pada bagian wajah yang paling menunjukkan ekspresi negatif (sangat tidak
senang). FIS dapat digunakan untuk mengukur tinkat kecemasan anak karena
reliabilitas, stabilitas dan validitasnya cukup baik.1
Pada penelitian ini akan diamati perbedaan rasa cemas anak terhadap
penggunaan anestesi topikal dan non topikal pada pencabutan gigi dengan
menggunakan pendekatan ekspresi wajah yaitu skala pengukuran tingkat
kecemasan dengan menggunakan Face Image Scale.

Gambar 5. Facial Image Scale with image. scores, 15. Buchannan H, Niven H.
Validation of a facial Image Scale to assess child dental anxiety. Int J Paediatr Dent. 200
2002

21

BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1

KERANGKA KONSEP

Anak usia
6-12 tahun

Perkembangan
emosional
Perkembangan
kognitif

Perawatan gigi

Kecemasan

(Pencabutan gigi)

Jenis anastesi
Jenis kelamin
Latar belakang mental
Kunjungan ke
dokter gigi
Lokasi rahang
(Rahang atas dan rahang
bawah)
Regio rahang
(anterior dan posterior)

22

3.2

HIPOTESIS
1. Terdapat perbedaan rasa cemas anak terhadap penggunaan anastesi topikal
dan non topikal pada pencabutan gigi.
2. Terdapat perbedaan rasa cemas anak normal dan anak keterbelakangan
mental terhadap penggunaan anastesi topikal dan non topikal pada
pencabutan gigi .

3.3

VARIABEL
1. Variabel Bebas

: Penggunaan anestesi topikal dan non topikal pada


pencabutan gigi

2. Variabel Terikat

: Rasa cemas anak

23

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1

JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik.

4.2

RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian dilakukan di klinik dan di SLB-D Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(SLB-D YPAC), dengan study Cross-Sectional (Transversal)

4.3

TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan di klinik Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Hj.
Halimah Daeng Sikati (RSGMP) Tamalanrea dan di SLB-D YPAC, pada
Bulan Mei sampai Juli 2012.

4.4

SUBYEK PENELITIAN
Pada anak yang melakukan perawatan pencabutan gigi sulung pada anak usia
6-12 tahun.

4.5

DATA PENELITIAN
a. Jenis Data

: Data Primer

b. Pengelolaan Data

: Perhitungan menggunakan program SPSS 16,

c. Penyajian Data

: Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi

24

4.6

DEFENISI OPERASIONAL

1. Pasien anak

: Anak berusia 6-12 tahun yang melakukan pencabutan gigi

sulung.
2. Anestesi Topikal : Pengolesan atau penyemprotan analgesik lokal diatas
membran mukosa, menghilangkan sensasi rasa nyeri sementara, pencegahan
nyeri selama prosedur perawatan gigi yang diperoleh dari aplikasi topikal
tanpa menghilangkan tingkat kesadaran. 17,18
3. Anestesi Non topikal : Anestesi yang dilakukan dengan teknik penyuntikan
larutan analgesik lokal pada jaringan lunak, sehingga menimbulkan efek
anestesi dari daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf.17
4. Rasa Cemas : Harapan negatif yang sering dikaitkan dengan pengalamanpengalaman traumatis sebelumnya, takut sakit, trauma dan persepsi dari
gagal atau perawatan gigi yang menyakitkan sebelumnya.

4.7

LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

1. Melakukan pemilihan subyek dengan cara Convenience Sampling dan


sesuai kriteria subyek penelitian
2. Mencatat data subyek penelitian : Jenis kelamin, usia, kunjungan ke dokter
gigi, dan latar belakang mental.
3. Mengamati

pemberian anestesi pada pencabutan gigi, baik yang

menggunakan anestesi topikal dan non topikal


4. Mengamati ekspresi yang ditimbulkan saat pemberian anestesi

25

4.8

ALUR PENELITIAN

Pembuatan proposal

Penentuan populasi (subyek penelitian)

Pengambilan sampel penelitian di


SLB-D YPAC
(anak keterbelakangan mental)

Pengambilan sampel penelitian di


klinik RSGMP Tamalanrea
(anak normal)

Pengolahan data

Laporan hasil penelitian

26

BAB V
HASIL PENELITIAN
Dari penelitian analitik observasional dengan rancangan cross sectional yang
dilakukan di klinik RSGMP Tamalanrea dan di SLB-D YPAC pada bulan Mei
hingga juli 2012 dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan rasa cemas anak
terhadap penggunaan anastesi topikal dan non topikal pada pencabutan gigi, didapat
data distribusi frekuensi subyek penelitian dengan

berbagai tingkat kecemasan.

Subyek penelitian berumlah 45 anak yang terbagi atas 11 anak keterbelakangan


mental dan 34 sisanya adalah anak normal.
Rasa cemas pada penelitian ini diukur menggunakan Face Images Scale atau
FIS yang merupakan skala pengukuran berjenis likert untuk mengukur tingkat
kecemasan yang terdiri atas lima baris ekspresi wajah mulai dari ekspresi wajah
sangat senang (skor satu) hingga sangat tidak senang (skor lima). Anastesi topikal
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggunaan etil klorida, sedangkan
anastesi non topikal dalam penelitian ini adalah penggunaan infiltrasi.
Hasil penelitian kemudian dikumpulkan dan akan dilakukan analisis dat

27

Tabel 1. Distribusi karakteristik sampel penelitian (N=45)


Karakteristik subjek penelitian
Frekuensi (n)
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Latar belakang mental
Anak normal
Anak berkebutuhan khusus
Anastesi
Anastesi topical
Anastesi non topical
Riwayat ke dokter gigi
Pernah ke dokter gigi
Belum pernah ke dokter gigi
Lokasi rahang yang dianastesi
Rahang atas
Rahang bawah
Letak pemberian anastesi
Anterior
Posterior
Klasifikasi rasa cemas (FIS)
Sangat senang
Senang
Biasa-biasa saja
Tidak senang
Sangat tidak senang

Persen (%)

23
22

51.1
48.9

34
11

75.6
24.4

21
24

46.7
53.3

18
27

40
60

14
31

31.1
68.9

15
30

33.3
66.7

6
0
16
11
12

13.3
0
35.6
24.4
26.7

Tabel 1 menunjukkan distribusi karakteristik sampel penelitian yang secara


keseluruhan berjumlah 45 orang (100%). Hasil penelitian yang dijabarkan pada tabel
1 menunjukkan bahwa jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan, yaitu 23
laki-laki (51.1%) dan 22 perempuan (48.9%). Selain itu, sampel juga terbagi dalam
dua latar belakang mental, yaitu anak normal, yang berjumlah 34 orang (75.6%), dan
anak yang berkebutuhan khusus, yang berjumlah 11 orang (24.4%). Penggunaan
anastesi dibagi dalam dua kelompok seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu
anastesi topikal dan anastesi non topikal, dengan jumlah 21 topikal (46.7%) dan 24
non-topikal (53.3%). Selain itu, terdapat dua kelompok anak dengan riwayat ke
dokter gigi, yaitu kelompok anak yang pernah ke dokter gigi dan kelompok anak

28

yang belum pernah sama sekali ke dokter gigi. Kelompok anak yang pernah ke
dokter gigi lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok anak yang belum pernah
sama sekali ke dokter gigi, yaitu 27 orang (53.3%) anak yang belum pernah ke
dokter gigi dan 18 orang (40%) anak yang pernah ke dokter gigi.
Adapun, dari segi lokasi rahang yang dianastesi, terbagi atas rahang atas dan
rahang bawah. Rahang yang paling banyak dianastesi adalah rahang bawah dengan
jumlah 31 orang (68.9%), sedangkan rahang atas hanya 14 orang (31.1%).
Berdasarkan letak pemberian anastesi, pada daerah posterior lebih banyak dari
daerah anterior, dengan jumlah 30 penggunaan anastesi pada bagian posterior
(66.7%), dan 15 penggunaan anastesi pada bagian anterior (33.3%). Hasil jawaban
kuesioner FIS diklasifikasikan menjadi lima kategori tingkat rasa cemas, yaitu sangat
senang, senang, biasa-biasa saja, tidak senang, dan sangat tidak senang. Kategori rasa
cemas yang paling tinggi adalah kategori biasa-biasa saja dengan jumlah 16 anak
(35.6%), yang diikuti dengan kategori sangat tidak senang yang berjumlah 12 anak
(26.7%). Tidak terdapat seorang anak pun pada kategori senang dan hanya enam
orang (13.3%) yang berada pada kategori sangat senang.

Tabel 2. Distribusi penggunaan anastesi berdasarkan karakteristik subjek


Karakteristik subjek penelitian
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Latar belakang mental
Anak normal
Anak berkebutuhan khusus
Riwayat ke dokter gigi
Pernah ke dokter gigi
Belum pernah ke dokter gigi
Lokasi rahang yang dianastesi

Penggunaan Anastesi
Topikal
Non-topikal

Total

10 (47.6%)
11 (52.4%)

13 (54.2%)
11 (45.8%)

23 (51.1%)
22 (48.9%)

20 (95.2%)
1 (4.8%)

10 (41.7%)
14 (58.3%)

11 (24.4%)
34 (75.6%)

8 (38.1%)
13 (61.9%)

10 (41.7%)
14 (58.3%)

18 (40%)
27 (60%)

29

Rahang atas
Rahang bawah
Letak pemberian anastesi
Anterior
Posterior
Klasifikasi rasa cemas (FIS)
Sangat senang
Senang
Biasa-biasa saja
Tidak senang
Sangat tidak senang
Total

Tabel 2 menunjukkan

6 (28.6%)
15 (71.4%)

8 (33.3%)
16 (66.7%)

14 (31.1%)
31 (68.9%)

9 (42.9%)
12 (57.1%)

6 (25%)
18 (75%)

15 (33.3%)
30 (66.7%)

1 (4.8%)
0 (0%)
9 (42.9%)
5 (23.8%)
6 (28.6%)
21 (46.7%)

5 (20.8%)
0 (0%)
7 (29.2%)
6 (25%)
6 (25%)
24 (53.3%)

6 (13.3%)
0 (0%)
16 (35.6%)
11 (24.4%)
12 (26.7%)
45 (100%)

distribusi penggunaan anastesi berdasarkan

karakteristik subjek penelitian. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan lebih banyak


diberi anastesi topikal (11 anak), sedangkan laki-laki lebih banyak diberi anastesi
non topikal (13 anak). Dari segi latar belakang mental anak tersebut, ternyata anak
normal lebih banyak diberi anastesi topikal (20 anak) dibandingkan anak
berkebutuhan khusus, di mana penggunaan anastesi non-topikal lebih banyak
digunakan (14 anak). Adapun, berdasarkan riwayat ke dokter gigi, anak-anak yang
pernah ke dokter gigi lebih memilih diberikan anastesi non-topikal, yaitu dengan
jumlah 10 orang (41.7%). Pada kelompok anak yang belum pernah ke dokter gigi,
hanya berbeda satu orang pada pemberian anastesi. Lokasi rahang yang berikan
anastesi baik topikal maupun non-topikal yang paling banyak adalah rahang bawah.
Dari segi letak pemberian anastesi, baik topikal maupun non-topikal, yang paling
banyak adalah pada daerah posterior. Berdasarkan klasifikasi rasa cemas, anak-anak
sangat senang diberikan anastesi non-topikal dibandingkan topikal, yaitu 5 orang
(20.8%) untuk non-topikal dan 1 orang untuk topikal (4.8%). Pada kategori sangat
tidak senang, jumlah penggunaan anastesinya seimbang.

30

Tabel 3. Perbedaan nilai rasa cemas berdasarkan karakteristik subjek


Karakteristik subjek penelitian
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Latar belakang mental
Anak normal
Anak berkebutuhan khusus
Anastesi
Anastesi topikal
Anastesi non topikal
Riwayat ke dokter gigi
Pernah ke dokter gigi
Belum pernah ke dokter gigi
Lokasi rahang yang dianastesi
Rahang atas
Rahang bawah
Letak pemberian anastesi
Anterior
Posterior
Total

Usia
Mean SD

Nilai rasa cemas (FIS)


Mean SD
p-value

9.17 1.74
9.27 1.38

3.57 1.30
3.45 1.26

0.774*

8.82 1.19
10.45 1.96

3.35 1.32
4.00 1.00

0.145*

8.57 1.24
9.79 1.61

3.71 1.05
3.33 1.43

0.778*

9.11 1.18
9.30 1.79

3.44 1.33
3.56 1.25

0.322*

9.43 1.50
9.13 1.60

3.07 1.59
3.71 1.07

0.120*

8.87 1.40
9.40 1.63
9.22 1.56

3.40 1.35
3.57 1.25
3.51 1.27

0.684*

*Independent sample t-test: p>0.05; not significant

Pada tabel 3 terlihat perbedaan nilai rasa cemas berdasarkan karakteristik


subjek penelitian yang terdiri atas jenis kelamin, latar belakang mental, penggunaan
anastesi, riwayat ke dokter gigi, lokasi rahang yang dianastesi, dan daerah pemberian
anastesi. Nilai rasa cemas diukur berdasarkan Face Imaging Scale (FIS). Pada jenis
kelamin, ternyata nilai rasa cemas laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Adapun, anak-anak yang berkebutuhan khusus memiliki rasa cemas yang lebih tinggi
dibandingkan anak yang normal. Dari segi pemberian anastesi, anastesi topikal
ternyata menimbulkan rasa cemas yang lebih tinggi dibandingkan anastesi nontopikal. Berdasarkan riwayat ke dokter gigi, terlihat jelas bahwa anak-anak yang
belum pernah ke dokter gigi memiliki rasa cemas yang lebih tinggi. Lokasi rahang
bawah dan letak pemberian anastesi pada daerah posterior menimbulkan kecemasan
yang lebih besar. Tabel 3 juga menunjukkan hasil uji statistik independent sampel t-

31

test, dan dari hasil uji ini terlihat nilai p untuk semua karakteristik subjek, termasuk
penggunaan anastesi, menunjukkan p>0.05, yang berarti tidak terdapat perbedaan
rasa cemas yang signifikan antara karakteristik subjek.

Tabel 4. Perbedaan rasa cemas antara anastesi berdasarkan lokasi rahang


Lokasi Rahang
Maksila

Mandibula

Penggunaan Anastesi
Anastesi topical
Anastesi non topikal
Total
Anastesi topical
Anastesi non topikal
Total

Nilai rasa cemas (FIS)


Mean SD
p-value
3.33 1.506
0.614*
2.88 1.727
3.07 1.59
3.87 0.834
0.439*
3.56 1.263
3.71 1.07

*Independent sample t-test: p>0.05; not significant

Tabel 4 menunjukkan perbedaan rasa cemas antara penggunaan anastesi dari


segi lokasi rahang. Pada tabel 4 ini, sampel telah dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu lokasi pemberian anastesi pada maksila dan mandibula. Dari setiap kelompok,
akan dibedakan rasa cemas berdasarkan penggunaan anastesinya. Terlihat pada tabel
4, pada lokasi rahang maksila yang dianastesi, penggunaan anastesi topikal
menimbulkan rasa cemas yang lebih tinggi dibandingkan anastesi non topikal. Akan
tetapi, hasil uji beda statistik menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan rasa cemas
yang signifikan antara anastesi topikal dan non-topikal pada rahang maksila. Pada
rahang mandibula yang dianastesi, penggunaan anastesi topikal tetap menimbulkan
rasa cemas yang lebih tinggi dibandingkan anastesi non-topikal. Akan tetapi, sejalan
dengan hasil pada rahang maksila, hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan
rasa cemas tersebut tidak signifikan.

32

Tabel 5. Perbedaan rasa cemas antara anastesi berdasarkan lokasi rahang


Letak Anastesi
Anterior

Posterior

Anastesi
Anastesi topical
Anastesi non topikal
Total
Anastesi topical
Anastesi non topical
Total

Nilai rasa cemas (FIS)


Mean SD
p-value
3.89 1.054
0.086*
2.67 1.506
3.40 1.35
3.58 1.084
0.954*
3.56 1.381
3.57 1.25

*Independent sample t-test: p>0.05; not significant

Bila pada tabel 4, kelompok sampel dibagi dalam lokasi rahang yang
dianastesi, maka pada tabel 5, kelompok sampel dibagi berdasarkan daerah yang
dianastesi, yaitu pada daerah anterior dan daerah posterior. Terlihat pada tabel 5 hal
yang serupa dengan tabel 4, yaitu baik pada daerah anastesi anterior maupun
posterior, rasa kecemasan pada anak yang diberi anastesi topikal lebih tinggi
dibandingkan pada anak yang diberikan anastesi non-topikal. Pada daerah anastesi
anterior, nilai kecemasan anastesi topikal mencapai 3.89 dan pada daerah anastesi
posterior, nilai kecemasan anastesi topikal mencapai 3.58. Akan tetapi, hasil uji
statistik, baik pada daerah anastesi anterior maupun posterior, menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan.

33

BAB VI
PEMBAHASAN
Rasa cemas pada penelitian ini diukur menggunakan Face Images Scale atau
FIS yang merupakan skala pengukuran berjenis likert untuk mengukur tingkat
kecemasan yang terdiri atas lima baris ekspresi wajah mulai dari ekspresi wajah
sangat senang (skor satu) hingga sangat tidak senang (skor lima).

Menurut

Buchannan (2002), FIS dipakai untuk menilai prevalensi kecemasan anak dalam
perawatan gigi pada anak-anak di Inggris, FIS juga telah diusulkan sebagai skala
pengukuran yang stabilitas serta validitas yang cukup baik.1
Penelitian ini mengambil anak usia 6-12 tahun sebagai subyek penelitian
dengan pertimbangan bahwa anak pada usia ini mengalami erupsi gigi permanen dan
memperlihatkan kuantitas serta kualitas pengalaman perawatan gigi yang
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan.
Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan penggunaan
anastesi topikal dan non topikal pada pencabutan gigi baik berdasarkan usia, jenis
kelamin maupun berdasarkan latar belakang mental menunjukkan perbedaan, tetapi
tidak signifikan. Hal ini juga ditunjukkan dari penelitian di Inggris oleh Buchannan
(2002) dan Rantavuori (2002) di Finland yang meneliti tentang kecemasan dengan
tujuan perawatan gigi,

1,19

sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Amin dan

Hamila (2004) yang menyebutkan bahwa jenis kelamin secara signifikan tidak
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan.

34

Menurut penelitian Liddell dan Murray (1989) yang menyebutkan bahwa


anak yang pernah mendapatkan pengalaman dalam perawatan gigi sebelumnya
cenderung tidak begitu cemas dibandingkan dengan anak yang sebelumnya belum
pernah sama sekali mengalami pengalaman perawatan ke dokter gigi. 20 Hal ini
dikuatkan dengan pengamatan Locker dan Liddell (1999) yang mengemukakan
bahwa terdapat status kecemasan perawatan gigi dan pengalaman negatif misalnya
rasa sakit.21 Dari hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Sedangkan penelitian yang
berkaitan dengan lokasi rahang yang dianastesi ternyata terdapat perbedaan yang
bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zwain (2006) di
Baghdag.23
Kelemahan yang terdapat pada penelitian ini adalah tidak disertai dengan
pemeriksaan secara fisiologis (misalnya tekanan darah, denyut nadi).

35

BAB VII
PENUTUP

7.1

SIMPULAN

1. Pada jenis kelamin, nilai rasa cemas laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Anak-anak yang berkebutuhan khusus memiliki rasa cemas
yang lebih tinggi dibandingkan anak yang normal. Dari segi pemberian
anastesi, anastesi topikal ternyata menimbulkan rasa cemas yang lebih
tinggi dibandingkan anastesi non-topikal, berdasarkan riwayat ke dokter
gigi, terlihat jelas bahwa anak-anak yang belum pernah ke dokter gigi
memiliki rasa cemas yang lebih tinggi. Lokasi rahang bawah dan letak
pemberian anastesi pada daerah posterior menimbulkan kecemasan yang
lebih besar. Dari hasil uji antara karakteristik subjek tersebut tidak terdapat
perbedaan rasa cemas yang signifikan.
2. Penggunaan anastesi topikal pada lokasi rahang maksila menimbulkan rasa

cemas yang lebih tinggi dibandingkan anastesi non topikal. Akan tetapi,
hasil uji beda statistik menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan rasa
cemas yang signifikan antara anastesi topikal dan non-topikal pada rahang
maksila. Pada rahang mandibula yang dianastesi, penggunaan anastesi
topikal tetap menimbulkan rasa cemas yang lebih tinggi dibandingkan
anastesi non-topika

36

Akan tetapi, sejalan dengan hasil pada rahang maksila, hasil uji statistik
menunjukkan bahwa perbedaan rasa cemas tersebut tidak signifikan.
3. Pada daerah anastesi anterior maupun posterior, rasa kecemasan pada anak
yang diberi anastesi topikal lebih tinggi dibandingkan pada anak yang
diberikan anastesi non-topikal. Akan tetapi, hasil uji statistik, baik pada
daerah anastesi anterior maupun posterior, menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan.

7.2

SARAN
1. Pada penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan subyek yang lebih

banyak.
2. Penelitian ini belum memberikan hasil yang maksimal sehingga diperlukan
penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode dan pengolahan sampel
yang lebih baik.
3. Cara menentukan ekspresi ditentukan oleh sampel untuk menunjukkan hasil
yang lebih objektif.

37

DAFTAR PUSTAKA
1. Buchannan H, Niven H. Validation of a facial Image Scale to assess child
dental anxiety. Int J Paediatr Dent. 2002;12:47-52.
2. Prasetyo EP. Peran musik sebagai fasilitas dalam praktek dokter untuk
mengurangi kecemasan pasien. Majalah Kedokteran Gigi. 2005;38;41-44.
3. Nicolas E, Bessadet M, Collado V, Carrasco P, Roger L. Factor affecting
dental fear in french children aged 5-12 years. Int J Paediatr Dent.
2010;20;366-373.
4. Susanto A. Perkembangan anak usia dini. Ed.I. Jakarta : Kencana. 2011.
5. Bahl R. Local anesthesia in Dentistry. American Dental Society of
Anesthesiology. 2004; 138-142.
6. McDonald, Avery, Dean. Dentistry for the Child and Adolescent. 8th ed.
Washington : The c.v Mosby Company; 1988.
7. Council on Clinical Affairs. Guideline on Use of local Anesthesia for
Pediatric Dental Patients. American Academy of Pediatric Dentistry.
2009;11-12.
8. Soeparmin, Surjaya, Tyas. Peranan musik dalam mengurangi kecemasan anak
selama perawatan gigi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar.
9. Biltucci, RDH, MA. Fear and anxiety in dental environment. [Monograph on
the internet]. [cited 20 Dec 2011].
Available from: URL:
http://www.rdhmag.com/index/display/articledisplay/4669445151/articles/rdh/volume-31/issue-7/features/fear-andanxiety-in-the-dental-environm,ent.html..
10. Sholihat N. Memahami Perkembangan dan Masalah Emosi Anak.
[Monograph on the internet]. [cited 20 Oct 2012]. Available from: URL:
http://www.Memahami/Perkembangan/dan/Masalah/Emosi/Anak/c2/AB/Nen
i/Sholihat/world.html

38

11. Rachman, Nugraha. Perkembangan sosial dan emosional Anak usia dini.
.[Monograph on the internet]. [cited 20 Oct 2012]. Available from: URL:
http://www.Perkembangan-sosial-dan-emosional-anak-usia-dini.html.

12. Oesterreich L. Age and Stage six through eight years old. [Monograph on the
internet]. [cited 20 Dec 2011].
Available from: URL:
http://www.capitalhealth.ca/nr/rdonlyres/e55gswjsufs35y4ok2iq5k33qyftfosc
b5d45yuj3eihddmfidfhf2gp3glacy2wtdmm66lmvafnif5elcjnsup3oe/6normalc
hilddevelopment.pdf

13. Evy. Pertumbuhan gigi geligi. [Monograph on the internet]. [cited 20 Oct

2012].

Available

from:

URL:

http://www.PERTUMBUHAN%20GIGI%20GELIGI%20%C2%AB%20SENYUM%20itu%
20SEHAT.html.
14. Artikel Kesehatan Anak. Pertumbuhan Gigi Balita.

internet].

[cited

20

Oct

2012].

[Monograph on the
Available from: URL:

http://www.pertumbuhan-gigi-balita.html.

15. Itjingningsih. Anatomi gigi. Jakarta : EGC. 1991


16. Howe L, Whitehead. Anestesi Lokal. 3th Ed. Ahli bahasa : Lilian Yuwono.
Butterworth-heinermann (Oxford). 1990.

17. Anastesi Lokal Pada Anak. [internet] Available from URL:


http://www.scribd.com/doc/76682421/Anestesi-lokal-pada-anak-makalah].
diakses 20 Desember 2011.

18. Ogston. R, Harty. F.J. Kamus Kedokteran Gigi. Alih bahasa : Narlan
Sumawinata. Jakarta : EGC. 1995.
19. Rantavuori. K. Aspects and Determinants of Childrens Dental Fear.
University of Oulu, Finland. 2008

39

20. Murray. P,Liddell. A, et.al. A Longitudinal Study of Contribution of Dental


Experience to Dental Anxiety in Children between 9 and 12 years of age.
Journal of Behaviour Medicine. 1989;12(3);309-320.

21. Liddell. A, Murray. P. Age and sex differency in Childrens reports of Dental
Anxiety and Self-Eficacy Relating to Dental Visits. Journal Behaviour
science. 1989;21(3):207-9

22. Amin. HE, Hamila. NAAA. Dental Anxiety and Its Relationship to Dental
and Non Dental Background variables among 6-12 Years Old Pedodontic
Patients. Egyptian Dental Journal. 2004;50:851-63.

23. Zwain. A. Local Anasthetic Quality in Pedodontic Department. J. Bagh Coll


Dentistry. 2006;18(2);96-8.

40

LAMPIRAN-LAMPIRAN

41

Anda mungkin juga menyukai