FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
Jalan Karya Bakti
MEDAN
2012
PENGESAHAN
Di Setujui Oleh
Pembaca 1
Bustamam S.Ag
(Dosen Agama islam)
PENILAIAN
Jadi, setiap mukmin harus siap melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi
segala larangan-Nya (ajaran Islam). Mukin sejati mempunyai sikap dasar samina wa
athona (kami dengar dan kami patuh).
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya, agar Rasul menghukumi di antara mereka, ialah ucapan kami dengar dan
kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S. 24:51).
Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, jika Allah
dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketentuan akan ada bagi mereka pilihan lain tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya (berpaling dari
ketentuan itu), maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata (Q.S.
33:36).
1. Pengamalan Iman
A. Iman kepada Allah SWT.
Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Allah sebagai Tuhan semesta alam, juga
yakin akan kebenaran keberadaan para Malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah),
para rasul-Nya, hari akhir, dan Qodho dan Qadar Allah SWT bagi setiap manusia.
Pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai pengamalan atas
keimanan tersebut.
Iman kepada Allah SWT merupakan fitrah manusia. Artinya, pada hakikatnya seluruh
umat manusia mempercayai adanya Allah SWT dan mengakui-Nya sebagai Tuhan (Q.S.
7:172). Manusia Jahiliyah pun mengenal adanya Allah SWT sebagai Pencipta dan
Pengatur alam semesta (Q.S. 10:31, 43:9). Mereka menyembah berhala dengan dalih
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (Q.S. 39:3).
Menurut filosof Ibnu Rusyd[2] , ada dua cara untuk membuktikan adanya Allah:
1. Dalil Al-Inayah (The Proof of Providence), yakni dengan melihat kesempurnaan
struktur susunan alam semesta atau keteraturan fenomena alam.
2. Dalil Al-Ikhtira (The Proof of Creation), yakni dengan melihat penciptaan
makhluk hidup. Manusia tidak mungkin mampu membuat makhluk binatang kecil
sekalipun.
Al-Quran sendiri menunjukkan suatu metode yaitu dengan menyelidiki kejadian manusia
dan alam semesta. Dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam
ada tanda-tanda bagi mereka yang berakal yang memikirkannya (Q.S. 3:190-191).
Manusia diperintahkan memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala yang
diciptakan Allah (Q.S. 7:185). Bahkan, diri kita sendiri harus kita perhatikan untuk
memikirkan eksistensi-Nya (Q.S. 51:21).
Nabi Saw bersabda:
Keempat sifat itulah yang disebut Empat Sifat Wajib pada diri Nabi sebagai utusan
Allah SWT. Satu lagi sifat Nabi adalah mashum, artinya terpelihara atau terjaga dari
perbuatan dosa karena Allah terus-menerus memberikan bimbingan kepadanya. Jadi,
mustahil Nabi berbuat salah atau dosa.
Selain itu, ciri khas para Nabi adalah memiliki mujizat. Ia adalah keajaiban (miracle)
yang diberikan Allah sebagai bukti bahwa ia adalah utusan-Nya. Nabi Ibrahim memiliki
mujizat tidak mempan dibakar api ketika Raja Namrud membakarnya hidup-hidup. Nabi
Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya ketika dikejar Raja Firaun. Nabi
Sulaiman dapat memahami bahasa binatang. Nabi Isa dapat menyembuhkan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan manusia biasa. Nabi Muhammad memiliki mujizat
terbesar yakni Al-Quran yang tidak mampu ditiru atau ditandingi oleh ahli bahasa Arab
sekalipun.
Jumlah Nabi tidak diketahui secara pasti. Di dalam Al-Quran hanya disebutkan 25 orang
Nabi, yaitu (1) Adam, (2) Idris, (3) Nuh, (4) Hud, (5) Sholeh, (6) Ibrahim, (7) Luth, (8)
Ismail, (9) Ishaq, (10) Yaqub, (11) Yusuf, (12) Ayub, (13) Syuaib, (14) Musa, (15)
Harun, (16) Ilyasa, (17) Dzulkifli, (18) Daud, (19) Sulaiman, (20) Ilyas, (21) Yunus, (22)
Zakariya, (23) Yahya, (24) Isa, dan (25) Muhammad.
Di antara ke-25 Nabi tersebut, lima di antaranya disebut Ulul Azmi, artinya memiliki
keteguhan hati dan kesabaran yang luar biasa (Q.S. 46:35). Mereka adalah Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa, dan Muhammad (Q.S. 33:7).
Percaya dengan yakin atas eksistensi mereka merupakan keharusan, dengan fokusnya
adalah beriman kepada Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi (Khataman Nabiyin)
dan pembawa ajaran yang menyempurnakan ajaran para Nabi terdahulu. Nabi
Muhammad adalah Nabi Internasional karena ajaran yang dibawanya bersifat universal
dari segi sasaran dan cakupan ajaran.
Keimanan kepada para utusan Allah, minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian
Muhammad Saw, diikuti dengan menjalankan apa yang didakwahkannya. Perilaku Nabi,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan Sunnah, sebagai
teladan bagi kaum mukmin.
E. Iman kepada Hari Akhir
Hari Akhir adalah suatu masa di mana alam dunia beserta seluruh isinya hancur-lebur.
Hari Akhir disebut pula Hari Qiamat (Yaumul Qiyamah).
Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini akan binasa. Hanya Tuhanmu yang memiliki
kebesaran dan kemuliaan akan abadi (Q.S. 55:26-27).
Iman kepada Hari Akhir adalah yakin bahwa setelah kehidupan dunia ini ada alam
kehidupan yang kekal, yakni Alam Akhirat. Bahwa semua makhluk akan mati atau
binasa, kemudian manusia dibangkitkan kembali untuk menjalani kehidupan kedua
Peredaran bintang-bintang di langit, gejala alam, hidup dan mati, semuanya dikuasai oleh
hukum alam tadi[5].
Ada dua aliran pemikiran tentang Takdir:
1. Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak bebas, semuanya
(umur, nasib, dll.) telah ditentukan oleh Allah. Manusia hanya dapat menerima
dan pasrah tidak punya pilihan. Aliran ini berpegang pada ayat-ayat tentang
kekuasaan mutlak Allah.
Tidak akan mengenai sesuatu musibah di bumi ini dan demikian pula tidak akan terjadi
pada dirimu, melainkan sudah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sejak sebelumnya
Kami wujudkan kejadian-kejadian tersebut (Q.S. 57:22).
1. Qodariyah yang mengatakan bahwa manusia bebas mengatur dirinya sendiri dan
menentukan jalan hidup dan nasibnya sendiri. Aliran ini mendasarkan
pendapatnya pada ayat-ayat tentang ikhtiar atau kebebasan memilih (free will,
free choice) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
sendiri yang mengubah keadaan yang ada pada diri mereka (Q.S. 13:11).
Dan katakanlah: Kebenaran itu dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang menghendaki
beriman, maka berimanlah, dan barangsiapa yang menghendaki kafir, maka kafirlah
dia (Q.S. 18:29).
Kedua aliran tersebut sama-sama sesat dan menyesatkan. Keduanya menempuh jalan
ekstrem. Yang satu menutup ikhtiar manusia dan yang kedua mengingkari adanya
ketetapan Allah. Jabariyah menjadikan Allah berlaku tidak adil karena memaksa
manusia. Bahwa Allah menciptakan perbuatan makhluknya, baik dan buruk.
Jalan terbaik adalah sikap moderat atau tengah-tengah di anatara kedua aliran tersebut,
yakni meyakini bahwa amal dan nasib kita sudah ditentukan oleh Allah, namun
ketentuan itu bergantung pada ikhtiar manusia sendiri untuk mempertahankan atau
mengubahnya.
Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)
dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz) (Q.S. 13:39).
2. Istiqomah dalam Keimanan
Istiqomah adalah kukuh, kuat kepada keyakinan yang ada. Tetap teguh menjalankan
konsekuensi keimanan. Dalam terminologi iman sendiri terkandung makna istiqamah,
yakni mengucapkan dengan lisan (ikrarun bil lisan), diiringi dengan pembenaran dalam
hati (tashdiqun bil qalbi), dan dibuktikan dengan tindakan nyata oleh seluruh anggota
tubuh (amalun bil arkan).
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (Q.S.
21:35)
B. Ujian berupa harta dan diri
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu (QS 3:186),
C. Ujian pangkat atau jabatan
Dan Dialah yang menjadikanmu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagiaan kamu atas sebahagiaan (yang lain) beberapa derajat untuk mengujimu
(QS 6:165).
Seorang mukmin sejati tidak akan lupa diri dan bersikap takabur ketika mendapatkan
kesenangan, kebaikan, harta, dan pangkat. Karena ia menyadari bahwa itu semua adalah
ujian Allah SWT: apakah kesenangan dan lainnya itu akan disikapi dengan syukur,
dipergunakan sesuai garis yang ditentukan-Nya, atau malah kufur dan
menyalahgunakannya.
Demikian pula ketika seorang mukmin menghadapi kesusahan, keburukan, atau musibah.
Ia akan menyikapinya dengan sabar dan tawakal. Ia sadar bahwa semua itu merupakan
ujian dari Allah SWT.
D. Ujian Jihad.
Apakah kamu mengira bawah kamu akan dibiarkan, sedangkan Allah belum
mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman setia
selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman(QS 9:16)
Setiap mukmin harus siap berjihad di jalan Allah SWT, yaitu berjuang dengan
mengerahkan segala daya, upaya, harta, dengan pengorbanan jiwa, raga, harta, ilmu, dan
segala apa yang dimiliki demi tegaknya syiar Islam.
Jihad juga berarti menahan atau mengendalikan hawa nafsu (nafs al-amarah) yang,
dengan dukungan godaan setan, selalu mengajak pada perbuatan maksiat dan
pelanggaran terhadap aturan Allah SWT.
Setiap mukmin menyadari bahwa ajaran Islam bukan hanya untuk diamalkan,
didakwahkan, tetapi juga harus dilindungi atau dijaga kesucian dan keluhurannya. Setiap
mukmin tidak akan rela jika ada pihak yang melecehkan Islam, baik melalui penghujatan
terhadap Al-Quran maupun terhadap Nabi Muhammad Saw.
Namun demikian, setiap mukmin pun (harus) menyadari, termasuk pelecehan Islam juga
jika wahyu Allah SWT ini diabaikan dalam kehidupan sehari-hari, alias tidak diamalkan.
Beratkah menjadi seorang mukmin yang benar-benar keimanannya? Tidak, jika keimanan
itu ikhlas atau sepenuh hati. Ya, jika keimanannya setengah hati atau terpaksa. Al-Quran
sendiri telah mensinyalir adanya orang yang beriman setengah hati.
Dan di antara manusia ada yang mengabdi pada Allah dengan berada di tepi (setengah
hati, ragu-ragu). Jika kebaikan menimpanya, ia merasa tenang dan jika ditimpakan
padanya kerugian berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan akhirat dan itulah
kerugian yang nyata (Q.S. Al-Hajj:11).n
[1] Tentang Qadho dan Qadar disebutkan secara terpencar dalam Al-Quran dan HaditsHadits Rasulullah Saw.
[2] Sebagaimana dikutip Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989,
hlm. 131-132.
[3] Sifat-sifat Allah dikenal dengan Asmaul Husna atau Nama-Nama Yang Bagus,
seperti Wujud (ada), Qidam (Terdahuku), Baqa (Kekal), Mukhalafatu Lilhawadits
(Berbeda dengan yang baru ada), Wahdaniyah (Satu), Qudrat (Mahakuasa), Ar-Rahman
(Maha Pengasih), dll.
[4] Sebagaimana dikutip Drs. Nasruddin Razak, op.cit., hlm. 154-155.
[5] Syed Ameer Ali, Api Islam, Bulan Bintang Jakarta, 1978, hlm. 603.