PENDAHULUAN
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda tanda kematian dan
perubahan
yang
terjadi
setelah
seseorang
mati
serta
faktor
yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda tanda kematian dan
perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang
mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling
penting dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan
jenazah (visum et repertum).
2.2 Jenis-Jenis Kematian
Jenis kematian ada 3 yaitu :
a.
b.
paru-paru.
Organ organ belum tentu mati, masih bisa dimanfaatkan untuk
transplantasi.
- Definisi ini yang sering dianut oleh orang awam.
Mati seluler / molekuler
- Proses kematian sel/ jaringan setelah mati klinis.
- Waktu kematian tiap jaringan / organ berbeda. Otak merupakan
organ yang paling sensitif yaitu sekitar 3-5 menit. Jaringan otot
akan mengalami mati seluler setelah 4 jam dan kornea masih dapat
diambil dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang dinyatakan
-
c.
mati somatis.
Penentuan mati seluler ini terutama penting dalam hal transplantasi
organ.
Mati cerebral
- Yaitu proses kematian yang ditandai dengan tidak berfungsinya
otak dan susunan saraf pusat. Definisi ini adalah definisi yang
-
menjadi merah.
Diaphonos test.
Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan
3.
4.
darah.
Tes lilin.
Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi
vasodilatasi (hiperemi) sebagai reaksi terhadap rangsang panas
Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau
2.
mulut korban.
Bulu-bulu halus.
Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan
3.
4.
Stetoskop.
c. Tes Saraf
1. Memeriksa reflex : reflex kornea
2. EEG
lividity).
Lebam mayat.
cepat terjadi).
Faktor faktor penyebab kematian lainnya seperti :
Apoplaxia (perdarahan karena hipertensi) akan tampak kornea
kematian.
Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah kalium
kematian.
Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.
Sehingga bisa menetapkan apakah luka pada tubuh korban didapat
intravital atau post mortem, yaitu :
Luka pada intravital akan berbekas dengan ukuran lebih kecil
daripada ukuran senjata, dermis berwarna merah, antara epidermis
mudah mengelupas.
Pada kasus tenggelam, kulit tangan keriput (washer woman hand).
Jika terjadi pada ujung jari saja maka kematian 4 jam yang lalu.
Jika terjadi pada telapak tangan dan seluruh jari maka kematian 24
jam yang lalu.
Anak anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami
pendinginan yang lebih cepat daripada orang dewasa yang berukuran lebih
besar. Jumlah dari lemak subkutan dan lemak preperitoneal berperan
dalam menentukan cepat lambatnya proses pendinginan. Tubuh seorang
yang kurus akan lebih cepat mendingin karena luas permukaan tubuhnya
yang kecil dan kurangnya lemak.
- Aliran udara dan kelembapan.
Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam
beberapa kondisi, udara hangat biasanya menyelimuti permukaan tubuh
dengan demikian akan memblok perubahan temperatur. Pergerakan udara
pada permukaan tubuh membawa udara dingin yang mempunyai kontak
langsung pada tubuh yang mendorong hilangnya panas. Udara yang
lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding yang kering.
- Post mortem caloricity.
Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati
sebagai pengganti akibat pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses
glikogenolisis post mortem yang berlangsung pada kebanyakan tubuh
sesudah mati, dapat memproduksi kira kira 140 kalori yang akan
meningkatkan suhu tubuh temperatur 2 derajat celcius.
Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu
lingkungan sebesar 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai
berikut :
Saat Kematian = 98,6 o F Suhu Rektal
1,5
Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C
per jam 6 jam pertama, 1 o F jam 6 kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah
12 jam mencapai suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit).
Sedangkan untuk organ organ dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu
lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6 jam sudah mencapai suhu
lingkungan.
2.9 Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)
Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang
cukup jelas. Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem
8
lividity, post mortem staining, sugillations, vibices, dan lain lain. Kata
hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau
bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh
pembuluh darah kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah.
Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat kematian, darah
mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area
terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah
keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah.
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian
somatis atau segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan.
Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan secara berangsur
angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area
yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan
lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak
akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya,
pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia,
kehilangan darah akut, dan lain lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah.
Darah akan mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden death
dimana otopsi dilakukan antara 1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin akan
hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak adanya fibrinogen pada darah
post mortem akan menyebabkan tidak terjadinya koagulasi spontan.
Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya bertindak pada fibrin,
bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya
pada bekuan yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan
bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk oleh sel endotel dalam
pembuluh darah.
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian.
Dengan posisi berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian
posterior bergantung pada areanya seperti daerah lumbal, posterior abdomen,
bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari anggota tubuh atas, dan
permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah. Area area ini disebut juga
areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri, lebam akan terjadi pada
daerah tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika
penggantungan ini lama, akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang
cukup untuk menyebabkan ruptur kapiler subkutan dan membentuk
perdarahan petekiae pada kulit. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa
ditemukan pada wajah, bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan
tungkai bawah karena pada saat tubuh mengambang, bagian perut lebih
ringan karena akumulasi gas yang cukup banyak kuat dibanding melawan
kepala atau bahu yang lebih berat. Ekstremitas badan akan menggantung
secara pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi karena adanya
perubahan aliran air, maka lebam tidak akan terbentuk.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat.
Pertama tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada
pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi tubuh terendah
dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai
terkumpul pada bagian bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga
hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena
terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain
itu dikarenakan bertimbunnya sel sel darah dalam jumlah cukupbanyak
sehingga sulit berpindah lagi.
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada
tingkat oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna
lainnya dapat mencakup:
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.
- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium
chlorate, potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain lain.
- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.
- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan
berada didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak
10
Lokasi
Permukaan
Batas
Warna
Lebam Mayat
Bagian tubuh terbawah
Tidak menimbul
Tegas
Kebiru biruan atau
Memar
Dimana saja
Bisa menimbul
Tidak tegas
Diawali dengan
lama
kelamaan
merah
seiring
bertambahnya waktu
Ekstravasasi darah dari
kapiler
akan Tidak ada efek penekanan
Efek penekanan
Bila
ditekan
Bila dipotong
memucat
Akan terlihat darah yang Terlihat perdarahan pada
terjebak antara pembuluh jaringan dengan adanya
darah,
tetesan
perlahan lahan
Mikroskopis
Enzimatik
yang
berasal
dari
pembuluh
darah
dan
tampak
bukti
tidak
terdapat dan
peradangan
Tidak ada perubahan
peradangan
Perubahan
level
dari
11
terlibat
waktu Memperkirakan
Kepentingan
Memperkirakan
cedera,
medicolegal
Lokasi
tertentu
Penyebab
penyakitnya
Tidak ada
Dapat bermakna
Darah mengalir pelan pelan Keluar
cairan,
Hollow viscus
akan
dengan
tampak direntangkan
perubahan perubahan
usus
saat
akan
tampak
warna
yang
tercampur
12
Disebut juga cadaveric rigidity. Kaku mayat atau rigor mortis adalah
kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang kadang disertai dengan sedikit
pemendekkan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi
primer.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai
puncaknya setelah 10 12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama
24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan
urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot otot wajah, leher, lengan, dada,
perut, dan tungkai.
Kekakuan pertama ditemukan pada otot otot kecil, bukan karena itu terjadi
pertama kali disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas, seperti
contohnya tulang rahang yang lebih mudah diimobilisasi.
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk memecah ADP menjadi
ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur.
Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi,
aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor faktor yang
mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu
tubuh yang tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot otot kecil dan suhu
lingkungan yang tinggi. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa
persendian. Kaku mayat mulai tampak kira kira 2 jam setelah mati klinis,
dimulai dari bagian luar tubuh (otot otot kecil) ke arah dalam (sentripetal).
Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal.
Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku
mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum
terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat
terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :
- Fase pertama
13
Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh
yang mati akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan ATP
tersebut diresintesa dari cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat
yang cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan
yang kuat sebelum mati, seperti mati saat terjadi serangan epilepsi atau
spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.
- Fase kedua
Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk
saat konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan lengkap
jika berada dibawah 15%.
- Fase ketiga
Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.
- Fase keempat
Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi
lemas. Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses denaturasi
dari enzim pada otot.
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis
adalah dengan melakukan fleksi atau ekstensi pada persendian tersebut.
Beberapa subyek, biasanya bayi, orang sakit, atau orang tua, dapat
memberikan kekakuan yang kurang dapat dinilai, kebanyakan dikarenakan
lemahnya otot mereka.
Kaku menyebar ke seluruh otot dalam beberapa kondisi dapat mencapai nilai
maksimum antara 6 12 jam. Kondisi ini tidak berubah sampai massa otot
mulai menjalani autolisis, dimana akan melemas berangsur angsur kembali
seperti periode perubahan awal post mortem. Kekakuan mayat lengkap
dapat terjadi antara 18 36 jam.
14
mortem menjadi indikator yang tidak dapat dipercaya pada kondisi toksik
atau neurologis selama hidup.
Pada jantung, kekakuan menyebabkan kontraksi ventrikel, yang menyerupai
pembesaran ventrikel kiri, hal ini dapat dihindari dengan pengukuran berat
total, menilai ukuran normal jantung kiri, mengukur ketebalan ventrikel, dan
yang paling penting dengan pembedahan dan membandingkan berat kedua
ventrikel.
Kekakuan muskulus dartos pada skrotum dapat menghimpit testes dan
epididimis, dimana akan membuat kontraksi serabut otot vesikula seminalis
dan prostat menyebabkan terjadinya ekstrusi semen dari uretra eksterna pada
post mortem.
Kekakuan pada muskulus erector pili yang menempel pada folikel rambut
dapat mengakibatkan gambaran dengan elevasi dari folikel rambut (goose
flesh appearence).
Proses Biokimiawi yang Terjadi Pada Rigor Mortis
Szent Gyorgi (1947) menemukan bahwa substansi kontraktil essensial pada
otot adalah protein actin dan miosin. Energi ini didapat dengan membagi
kompleks fosfat dari ADP menjadi ATP (Erdos, 1943). Gugus fosfat yang
bebas akan membentuk reaksi fosforilasi yang mengubah glikogen menjadi
asam laktat. ADP dibentuk kembali dengan meresintesa ATP dengan
tambahan kreatin fosfat.
Sebagai tambahan untuk persediaan energi, ATP bertanggung jawab terhadap
kekenyalan otot. Asam laktat disaring kembali masuk kedalam peredaran
darah dan kembali ke hati untuk dikonversikan kembali menjadi glikogen.
Semua reaksi ini anaerob dan dapat berlanjut setelah kematian.
Saat hidup, terdapat konsentrasi ATP yang konstan pada jaringan otot,
terdapat keseimbangan antara penggunaan dan resintesis ATP. Saat mati,
bagaimanapun reaksi perubahan ADP menjadi ATP berhenti dan kadar
trifosfat berangsur angsur berkurang dengan akumulasi asam laktat.
Sesudah beberapa waktu, bergantung pada temperatur dan jumlah ATP yang
tersisa, aktin dan miosin berikatan, mengakibatkan otot menjadi kaku sebagai
akibat timbulnya kekakuan pada otot (Bate Smith and Bendall, 1947)
15
kekakuan.
Sebaliknya,
cuaca
panas
atau
tropis
dapat
16
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 8
jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 36
jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati
lebih dari 36 jam.
Faktor yang mempengaruhi onset dan durasi kaku mayat
- Temperatur
Nysten (1811) mengatakan bahwa kekakuan bertahan lama di dalam
dingin, udara lembab dibanding udara kering. Hal ini menyebabkan
kenapa onset kekakuan berjalan lambat dan durasinya berjalan lama pada
negara dingin atau cuaca dingin sedangkan onsetnya cepat dan durasi cepat
pada cuaca panas. Hal ini dikarenakan perusakan ATP lebih cepat pada
cuaca panas.
- Kondisi fisiologis sebelum mati
Berdasarkan observasi, tubuh seseorang yang kurus atau mati karena
penyakit akan melalui proses yang cepat menuju kekakuan, dimana
biasanya dengan durasi yang cepat. Pada kasus orang yang meninggal
karena septicemia, kaku mayat terlihat lebih dini sejak 3 setengah menit
pertama dan hilang pada 15 menit sampai 1 jam, saat pembusukan dimulai.
Pada kematian karena asfiksia, perdarahan hebat, apoplexy, pneumonia,
dan penyakit saraf dengan paralisis otot, maka onset akan lebih lama.
- Kondisi otot sebelum mati
Onset akan berjalan lambat dan durasi berjalan lama pada kasus dimana
otot dalam kondisi sehat sebelum kondisi mati. Onset akan berjalan cepat
jika otot berada dalam kondisi kelelahan. Pada orang yang mati saat lari,
kaku akan terbentuk dengan cepat pada daerah kaki sebelum menuju ke
daerah lainnya.
- Pengaruh sistem saraf pusat
Pada saat stres, kaku mayat terjadi karena perubahan kimia yang terjadi
pada otot setelah kematian sebagai bentuk dari aktifitas selular dan
enzimatik.
- Umur
17
Kaku biasanya tidak terjadi pada janin yang tidak lebih dari 7 bulan, tapi
masih bisa ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Kaku bisa timbul dan
menghilang dengan sangat dini.
18
mayat akan lemas dan kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).
Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang
dingin -> tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara
dingin, tetapi setelah dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas.
Tidak akan terjadi rigor mortis.
Cadaveric Spasm
Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang
berada ditengah aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian
menuntun pada kekakuan post mortem instan yang sedikit kurang dapat
dipahami. Hal ini harus diawali dengan aktifitas saraf motorik, tetapi
beberapa alasan mengatakan terdapat kegagalan relaksasi normal.
Fenomena biasanya terjadi hanya pada 1 daerah otot, contohnya otot
fleksor tangan, dibanding seluruh tubuh. sesungguhnya merupakan kaku
mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh
relaksasi primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan
glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena
kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang
diduga mati dibunuh atau bunuh diri saat melihat tangannya yang
menggenggam senjata. Jika menemukan korban yang tenggelam, atau
jatuh dari ketinggian, hal ini memiliki nilai yang memastikan bahwa
19
orang tersebut masih hidup saat dia jatuh, dengan demikian hal ini
membedakan pada korban post mortem yang dibuang.
Onset
Rigor Mortis
Dikarenakan perubahan
Cadaveric Spasm
Keadaan lanjut dari
primary flaccidity
Semua otot dalam tubuh
Intensity
Durasi
Moderate
12 24 jam
mati
Sangat kuat
Beberapa jam, sampai
digantikan posisinya oleh
rigor mortis
Rangsangan, ketakutan,
Mekanisme pembentukan
kelelahan
Tidak diketahui
Hubungan medikolegal
level kritis
Mengetahui waktu
Mengetahui cara
kematian
Faktor predisposisi
Autolisis.
Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang
diakibatkan oleh kerja enzim digestif yang dikeluarkan sel setelah
kematian dan dapat dihindari dengan membekukan jaringan. Perubahan
20
21
iliaca,
dimana
daerah
tersebut
merupakan
daerah
colon
yang
lunak.
Skeletonisasi.
Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan
lingkungan dari mayat tersebut, apakah terdapat di udara, air, atau
terkubur. Pada umumnya tubuh yang terkena udara mengalami
skeletonisasi sekitar 2 4 minggu tetapi dapat berlangsung lebih cepat
bila terdapat binatang seperti semut dan lalat, dapat pula lebih lama bila
tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan dalam semak.
Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian
tubuh yang satu dengan yang lain. Terkadang, satu bagian tubuh telah
mengalami mumifikasi sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan
pembusukan. Adanya binatang akan menghancurkan jaringan luna dalam
f.
waktu yang singkat dan dalam waktu 24 jam akan terjadi skeletonisasi.
Pembusukan Organ Dalam.
Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun
prosesnya lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan
banyak vascular maka akan membusuk lebih cepat. Warna merah
kecoklatan pada bagian dalam aorta dan pembuluh darah lain muncul
pada perubahan awal. Adanya hemolisis dan difusi darah akan mewarnai
sekeliling jaringan atau organ dan merubah warna organ tersebut menjadi
hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian menjadi
masa semiliquid.
23
Awal
Akhir
Laring dan trakhea
Paru paru
Lambung dan usus
Jantung
Limpa
Ginjal
Omentum dan mesenterium
Oesofagus dan diafragma
Hati
Kandung kencing
Otak
Pembuluh darah
Uterus gravid
Prostat dan uterus
Tabel 4. Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam
Keadaan yang mempengaruhi onset dan lama pembusukan :
a. Faktor Eksogen
1. Temperatur atmosfer.
Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat
pembusukan. Pada umumnya, proses pembusukan berlangsung
optimal pada suhu 70 sampai 100 derajat Fahrenheit dan bila
temperatur dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses menjadi lebih
lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri terus berlangsung.
Tubuh yang sudah mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam
lemari pendingin, salju, dan sebagainya. Pada beberapa kondisi
(khususnya pada bulan musim hujan), warna hijau ditemukan pada
mayat setelah 6 12 jam post mortem.
2. Adanya udara dan cahaya.
Udara sangat mempengaruhi temperatur dan kelembapan yang
mengakibatkan seperti hal diatas. Secara tidak langsung, lalat dan
serangga biasanya menghindari bagian tubuh yang terekspos sinar,
cenderung meletakan telurnya pada kelopak mata, lubang hidung, dan
sebagainya.
3. Terbenam dalam air.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Air yang diam
atau mengalir, air laut atau air berpolusi, suhu air, kedalaman air dan
lainnya dapat mempengaruhi pembusukan.
Pembusukan berlangsung lebih lambat di air dibandingkan di udara.
Rumus Casper menyatakan bahwa waktu pembusukan di udara diberi
nilai 1, jika di air bernilai 2, dan pada mayat yang terkubur bernilai 8.
4. Mengapung diatas air.
24
25
Tubuh yang terkubur tanpa pakaian atau kafan pada tanah berpori
yang kaya bahan organik, akan menunjukkan pembusukan yang lebih
lama.
Waktu antara saat kematian dengan saat dikuburkan dan lingkungan
sekitar tubuh pada waktu ini akan mempengaruhi proses pembusukan.
Semakin lama tubuh berada di tanah sebelum dikuburkan, maka akan
mempercepat pembusukan khususnya bila tubuh diletakkan pada
udara yang hangat.
b. Faktor Endogen
1. Sebab kematian.
Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan
berlangsung lebih lama daripada orang yang meninggal karena sakit.
Kematian karena gas gangren, sumbatan usus, bakteriemia /
septikemia, aborsi akan menunjukkan proses pembusukan yang lebih
cepat. Racun yang dapat memperlambat pembusukan yaitu potassium
sianida, barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada
kasus strychnine, terjadi kejang yang lama dan berulang, proses
pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit
kelelahan otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan
kronis
oleh
logam
akan
memperlambat
pembusukan
karena
26
27
Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada pada
dagu, buah dada, bokong, dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut
mempunyai lemak lebih banyak. Namun proses saponifikasi dapat terjadi di
semua bagian tubuh yamg terdapat lemak. Otot menjadi dehidrasi dan
menjadi sangat tipis, berwarna keabu abuan. Organ organ dalam dan paru
paru konsistensinya menjadi seperti perkamen. Secara histologis,
makroskopis organ masih dapat dikenali. Walaupun secara mikroskopis sulit
untuk dikenali.
Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun seringnya
pembentukan saponifikasi bervariasi dari dua minggu atau dua bulan
tergantung faktor faktor yang mendukung seperti temperatur, pembalseman,
kondisi penguburan, dan barang barang sekitar jenazah. Keuntungan adanya
adiposera ini :
-
Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang
lama.
Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.
Tanda tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai
beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan.
Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari
asam lemak bebas namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat
meningkat sampai 20% dan setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi 70%
bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat dengan jelas berwarna
putih keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada awal saponifikasi, dimana
belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan menggunakan analisa
asam palmitat.
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain
tergantung dari letak tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu
tubuh dapat menjadi saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat menjadi
mumifikasi atau pembusukan.
28
2.13 Mumifikasi
Perubahan perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat
dihambat dan digantikan dengan mumifkasi. Mumifikasi secara harafiah
menggambarkan proses pembentukan mumi, sebuah kata yang diambil dari
bahasa Persia mum yang berarti lilin. Kata ini diambil dari catatan sejarah
Yunan kuni yang menggambarkan bangsa Persia, dalam penghormatan
terhadap bangsawannya, mengawetkan mereka dengan lilin. Mayat yang
mengalami mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai
bercak warna putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik
terutama pada tonjolan tulang, seperti pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul.
Organ dalam umumnya mengalami dekomposisi menjadi jaringan padat
berwarna coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami proses mumifikasi,
maka kondisinya tidak akan berubah, kecuali bila diserang oleh serangga.
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada seluruh bagian
tubuh. Pada umumnya mumifikasi terjadi pada sebagian tubuh, dan pada
bagian tubuh lain proses pembusukan terus berjalan. Menurut Knight,
mumifikasi dan adiposera kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak
membantu proses pengeringan mayat.
Mumi secara alami jarang terbentuk karena dibutuhkannya suatu kondisi yang
spesifik, namun proses ini menghasilkan mumi mumi tertua yang dikenal
manusia. Mumi alami yang tertua, diperkirakan berasal dari tahun 7400SM.
Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan kelembapan yang rendah,
sirkulasi udara yang baik dan suhu yang hangat, namun dapat pula terjadi di
daerah dingin dengan kelembapan rendah. Ditempat yang bersuhu panas,
mumifikasi lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur dangkal
mayat dalam tanah berpasir. Faktor dalam tubuh mayat yang mendukung
terjadinya mumifikasi antara lain adalah dehidrasi premortal, habitus yang
kurus dan umur yang muda, dalam hal ini neonatus.
Kasus mumifikasi dengan preservasi anatomi dan topografi yang cukup baik
di Indonesia ditemukan pada Januari 1988 di desa Cibitung kabupaten Bekasi,
Jawa Barat. Kasus ini adalah temuan kedua di Indonesia, mayat ditemukan
29
30
luka yang ada cocok dengan luka akibat bacokan kapak atau pedang,
tusukan tombak dan pukulan dari pegangan tombak. Foto kepala
menunjukkan korban diserang saat tidur yang disimpulkan Elliot dari luka
pada puncak kepala yang menurutnya tidak mungkin atau sulit dilakukan saat
korban berdiri. Tidak adanya luka pada daerah lain membuat Elliot
menyimpulkan bahwa tidak ada tanda perlawanan.
Karena sifat dari jaringan tubuh yang termumifikasi cenderung keras dan
rapuh, maka untuk dapat memeriksanya potongan kecil jaringan direndam
dalam sodium karbonat atau campuran alkohol, formalin dan sodium
carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh yang lebih lengkap, maka untuk
dapat melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam glycerin
15% selama beberapa saat.
Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah
identifikasi. Walau terjadi pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan
beberapa kekhususan pada tubuh seperti tato dapat bertahan sampai bertahun
tahun. Terperliharanya sebagian dari anatomi dan topografi jenasah pada
proses mumifikasi memungkinkan pemeriksaan radiologi yang lebih teliti.
Dengan pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang mungkin terlewatkan dalam
pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan
dieksplorasi kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan
pada mumi juga dapat mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau,
bahkan dengan pemeriksaan bedah mayat.
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA,
baha pada jenasah yang berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar
yang miskin akan inti sel mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel,
namun tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang
mengering pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA. Yang harus
diingat dalam pemanfaatan mumi untuk kepentingan forensik bahwa pada
mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada
kulit yang menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah
disekiter leber, dan axilla.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munim Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama.
Binarupa Aksara. Hal. 54-77
Saukko, P; Knight, B . 2004. The Pathophysiology of Death in Knights Forensic
Pathology. 3th edition. Hodder Arnold. Page 52-90
Shepherd, R. 2003. Changes After Death in Simpsons Forensic Medicine. 12 th
edition. Arnold. Page 37-48
Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in
Textbook of Forensic Medicine and Toxicology Principles and Practice. 4 th editon.
Elsivier. Page 101-133
32
33