Anda di halaman 1dari 16

STATUS ASMATIKUS

Definisi
Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak responsif
dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian nebulasi -agonis
(bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan respon yang baik. Serangan pada
status asmatikus dapat terjadi dari yang ringan sampai yang berat tergantung dari tingkat
obstruksi pada bronkus yang disebabkan oleh bronkokonstriksi, sekresi mukus dan inflamasi
pada saluran pernapasan. Semuanya itu dapat menyebabkan gejala berupa sesak napas,
retensi dari karbondioksida, hipoksemia dan kegagalan pernapasan.2
Asma adalah suatu inflamasi kronik pada saluran pernapasan pada paru yang
menyebabkan terjadinya obstruksi pada bronkus secara episodik, bersifat reversible,
umumnya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam dan secara klinis dapat
pulih secara normal.7
Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan gambaran klinis (sumber : PDPI, 2006)3,4
Derajat Asma

Gejala

Intermitten

o
o

Gejala < 1x/ minggu


o
Tanpa gejala di luar

serangan
Serangan singkat

(Bulanan)

Gejala malam
2 kali sebulan

Faal paru
o VEP1 80 % nilai
prediksi
o APE 80

nilai

terbaik
o Variabilitas APE < 20
%

Persisten ringan

o Gejala > 1x / minggu, o

(mingguan)

tetapi < 1x/ hari


o Serangan dapat
o Mengganggu aktivitas

> 2x sebulan

o VEP1 80 % nilai
prediksi
o APE 80

nilai

terbaik
o Variabilitas APE

dan tidur

20

-30%
Persisten sedang o Gejala setiap hari
o Serangan mengganggu
(harian)
aktivitas dan tidur
o Membutuhkan
bronkodilator setiap

> 1x seminggu

o VEP1 60 - 80 % nilai
prediksi
o APE 60 - 80 % nilai
terbaik
o Variabilitas APE >30 %

hari
Persisten berat
(kontinyu)

o
o
o

Gejala terus menerus


o
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas

Sering

o VEP1 60 % nilai
prediksi
o APE 60 % nilai
terbaik
o Variabilitas APE >30%

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemilihan jenis pemeriksaan tergantung dari data riwayat penyakit dan kondisi pasien.2
1.

Pulse oximetry memberikan evaluasi saturasi oksigen, yang sangat penting karena
penyebab kematian utama pada status asmatikus adalah hipoksia. Keuntungan
penggunaan pulse oximetry adalah ia mudah didapatkan, tidak invasive, menunjukkan
monitoring yang berterusan, dan merupakan indikator yang baik untuk hipoksemia

2.

akibat gangguan ventilasi/perfusi mismatch.


Pengukuran elektrolit serum adalah sangat penting, terutama untuk memonitor kadar
kalium serum. Obatan yang digunakan untuk mengobati status asmatikus bisa
menyebabkan hipokalemia. Nilai pH yang rendah bisa menyebabkan peningkatan

3.

transien dari kalium.


Pemeriksaan analisa gas darah untuk mengukur kadar oksigen dan karbondioksida
didalam darah yang mengindikasikan terjadinya hipoksia dan hipoksemia. Serta untuk
mengetahui apakah telah terjadi asidosis atau alkalosis dengan mengukur Ph dan

4.

HCO3-.
Pemeriksaan darah lengkap, bisa mengindikasikan ada infeksi bakteria; tapi dengan
penggunaan beta-agonis dan kortikosteroid bisa mengubah komposisi dari sel darah

5.

putih dengan meningkatkan hitung sel darah putih perifer.


Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi ,menilai hasil provokasi
bronkus, menilai hasil pengobatan, dan mengikuti perjalanan penyakit. Pemeriksaan
faal paru yang penting pada asma adalah aliran puncak ekspirasi (APE), Volume
kapasitas paksa (FVC), Volume ekspirasi selama 1 detik (VEP1). Memonitor peak
flow merupakan suatu pengukuran objektif terhadap obstruksi saluran pernafasan pada
anak yang cukup berusia dan kooperatif, dan bisa mentolerir pemeriksaan ini tanpa

6.

memperparah penyakit yang dideritainya.1


Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis diragukan. Tujuannya untuk
menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Dapat dilakukan dengan histamine,
2

metakolin, beban lari, udara dingin, uap air, allergen. Hipereaktivitas bronkus positif
aliran puncak ekspirasi (APE), Volume ekspirasi selama 1 detik (VEP1) menurun >
15% dari nilai uji provokasi sebelumnya dan setelah diberi bronkodilator nilai normal
akan tercapai lagi. Bila APE dan VEP1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator
naik >15% berarti hipereaktivitas positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan.1
PEMERIKSAAN RADIOLOGI2
Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan pada anak-anak dengan presentasi yang
atipikal atau yang tidak berespon terhadap terapi. Pada anak-anak yang sudah diketahui
menderita asma, pemeriksaan foto thoraks dilakukan jika curiga menderita pneumonia,
pneumothoraks, pseudomediastinum atau atelektasis yang signifikan.
PENATALAKSANAAN
Penanggulangan status asmatikus1
1. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.
2. Oksigen 2 4 l/m melalui kanul nasal.
3. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan maintenance
20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip.
4. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subkutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam subcutan
atau I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna)
5. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga
memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan 160 mg
methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid diberikan sampai
membaik secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral diberikan juga Prednison
peroral 3 x 10 mg per hari sampai keadaan membaik diberhentikan secara tappering off.
Kortikosteroid yang sudah diberikan diteruskan pemberiannya, bila belum harus
diberikan. Kortikosteroid diberikan intravena, karena sangat diperlukan untuk
mempercepat hilangnya udem dan mengembalikan sensitivitas terhadap bronkodilator.
6. Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik perlu dipertimbangkan karena biasanya
pada keadaan seperti ini terdapat banyak lendir dan lengket di seluruh cabang-cabang
bronkus.

7. Antibiotik bila jelas ada infeksi. Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin /


Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau golongan antibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya.
8. Menilai hasil tindakan dan terapi
Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal paru,
analisa gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta monitoring EKG & foto rontgen
Tindak lanjut bila terjadi kegagalan terapi
a. Asidosis respiratorik
Ventilasi diperbaiki
Pemberian Na Bikarbonat
b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )
Pemberian O2 4- 6 L/m dengan ventilasi mask
c. Gagal napas akut
alat bantu napas ( ventilator mekanik )
syarat :
apneu
kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik akut
Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik akut
Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2
PROGNOSIS
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10
juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas
kesehatan terbatas. 9
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada
masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun setelah diagnosis
pertama bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang
menderitaringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma
penyakit yang berat relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma
anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. 9
4

Prognosis pada pasien dengan status asmatikus pada umumnya baik apabila dilakukan
penanganan yang tepat dan cepat. 2
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Rogayah R. Penatalaksanaan asma bronkial prabedah. J Respir Indo1995;15:177-81


2. Surjanto E, Hambali S, Subroto H. Pengobatan jalan untuk asma. J Respir Indo
1988;8:30-5.
3. Alpers JH. The Changing approach to the pharmacotherapy of asthma.
4. dr. Latief A, dr. Napitupulu, dkk. 2007. Ilmu Kesehatan Anak Volume 3. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal.1203-28.
5. Status Asthmaticus. Author : Constantine K Saadeh, MD; Chief editor : Zab
Mosenifar, MD. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/2129484overview. Accessed on 9 Mei 2013
6. UniversitasSumateraUtara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23341/4/C
hapter%20II.pdf. Accessed on 9 Mei 2013
7. UniversitasSumateraUtara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23277/4/C
hapter%20II.pdf. Accessed on 10 Mei 2013
8. Asthma UK; Key facts & statistics.
9. Allergy and asthma proceedings : the official journal of regional and state allergy
societies 33Suppl 1: pg S47-50
10. Ariz Pribadi, Darmawan BS. Serangan Asma Berat pada Asma Episodik sering. Sari
Pediatri Vol. 5, No. 4. Maret 2004: 171 - 177
11. Kay AB. Asthma and inflammation. J Allergy Clin Immunol 1991;5:893-910.
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan
di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
13. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.
14. Zahorik KJ, Busse WW. Chronic asthma. Hall JB, Corbridge TC, Rodrigo C,
Rodrigo GJ, Acute Asthma. Singapore: McGraw-Hill, 2000 : 232-45

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura
yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (3).

B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

(2), (3)

:
1. Pneumotoraks spontan
6

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba
tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,
dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun
paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena
jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan

untuk

tujuan

pengobatan,

misalnya

pada

pengobatan

tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan


paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke


dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
7

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan
udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan
menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound) (2).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama
makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan
selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di
dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal
napas (2).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru
(< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>
50% volume paru).

C. Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah (2), (4), (5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan
mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek,
dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi
yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada
jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut, (2):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
9

2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada
tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila
penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan
pengisian yang kurang.
D. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3), (4):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada)
b.

Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat


2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks antara
lain (6):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.

10

b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut (3):
1)

Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,


mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel
mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.

2)

Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.
Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara
yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat
banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.

3)

Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

11

Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah


merupakan bagian paru yang kolaps
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

F. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup,
maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi
tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam
beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari

(2)

Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara (2) :

12

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1)

Dapat memakai infus set


Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang
berada di dalam botol (4).

2)

Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik
infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (4).

3)

Pipa water sealed drainage (WSD)


Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau
pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2
di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke
rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter
toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter
toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya
berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif
13

sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang.


Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura
sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam.
Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa
belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam
keadaan ekspirasi maksimal (2).

3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat
bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

14

G. Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap
penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis
dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian

antibiotik

profilaksis

setelah

setelah

tindakan

bedah

dapat

dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema (3).


I. Rehabilitasi(4)
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara
tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.


Jakarta : EGC; 1997. p. 598.

2.

Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.


Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 1063.

3.

Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated:


2010

May

27;

cited

2011

January

10.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/827551
4.

Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya


: Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
15

5.

Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed


Lung).

Cited

2011

January

10.

Available

from

http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6.

Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka


Cendekia Press; 2007. p. 56

16

Anda mungkin juga menyukai