Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu


senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat
fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Hipersensitivitas merupakan reaksi imun
tipe I, namun berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi,
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe lagi: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit
tertentu dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas. Terdapat beberapa
tipe dari reaksi hipersensitivitas tubuh, salah satu tipenya adalah reaksi hipersensitivitas
kompleks imun, salah satu penyakit yang merupakan tipe hipersensitivitas kompleks imun
adalah SLE (systemic Lupus Erythematosus).
SLE merupakan penyakit peradangan kronik multisistem yang dihubungkan dengan
ketidaknormalan system imun. SLE berpengaruh pada kulit, persendian dan membrane serosa
(pleura, pericardium), jantung, ginjal, system hematologi dan neurologi (Lewis et al, 2004).
Penyakit lupus ini lebih sering menyerang perempuan dan sampai saat ini penyakit lupus
belum bisa disembuhkan, hanya saja pasien penderita lupus dapat mengonsumsi obat-obat
yang dapat menjaga kondisi pasien untuk tetap stabil, dan dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Rachmat Gunadi, dokter yang menjadi sukarelawan SDF Syamsi Dhuha Foundation,
mengatakan, saat ini Indonesia belum memiliki data epidemiologi lupus. Angka yang dipakai
sebagai acuan di Indonesia biasanya diambil dari data penderita lupus di dunia yang
jumlahnya sekitar 5 juta orang. Di Indonesia diperkirakan 400.000 orang terkena lupus.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimana konsep dasar penyakit Systemic Lupus Arterios Erythematosus (SLE) ?
2.Bagaimana asuhan keperawatan mengenai Systemic Lupus Arterios Erythematosus
(SLE)??
3.Bagaimana penatalaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Systemic Lupus Arterios
Erythematosus (SLE)?

1.3 Tujuan
1.

Mengetahui konsep dasar penyakit Systemic Lupus Arterios Erythematosus (SLE).

2.

Mengetahui asuhan keperawatan anak dengan Systemic Lupus Arterios Erythematosus


(SLE).

3.

Mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan Systemic Lupus Arterios


Erythematosus (SLE).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 LUPUS

Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti Anjing hutan, atau Serigala,
merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat
kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian
bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat
menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit
untuk menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi
yang membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari
penderita lupus benar-benar memiliki ruam kupu-kupu, klasik tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit
autoimun.Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara
yaitu :Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada
sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan
penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.Kedua, antibodi bisa bergabung dengan
antigen (zat perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks
imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh
darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan
dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak
dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan
enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan
berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal
ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang
fungsi organ tubuh akan terganggu.

2.2 KLASIFIKASI LUPUS


1)

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Lupus jenis eritematosus sistemik adalah bentuk paling umum dari lupus. SLE
memengaruhi beberapa organ tubuh sekaligus, dan dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dan menyebabkan peradangan. Sedangkan penyebabnya belum diketahui
sampai sekarang. Lupus jenis ini diyakini memiliki faktor genetik, faktor
lingkungan, dan hormonal. SLE juga mendominasi sekitar 70 persen dari semua
kasus lupus di dunia.
Penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh keliru menyerang jaringan
sehat. Hal ini menyebabkan peradangan kronis jangka panjang. Dari segi bahasa,
Eritematosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik berarti tersebar luas
diberbagai organ tubuh, tetapi dalam pembicaraan sehari-hari SLE disebut lupus
saja (Philips, 1996; Heru, 2002).
Suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa
menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.
Produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan
manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan
ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat
episodik diselangi episode remisi.
Penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan
penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi,
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

2)

Drug-Induced Lupus Erythematosus

Bentuk lupus ini, sesuai dengan namanya, dipicu oleh obat-obatan tertentu. Tandatanda dan gejala yang khas lupus ini termasuk nyeri sendi, nyeri otot, dan demam.
Bagaimanapun, lupus jenis ini memengaruhi tubuh secara sistemik, sehingga organ-organ
lain tidak terpengaruh. Lupus ini dipicu sebagian besarnya karena kondisi kronis penyakit
lainnya. Misalnya seseorang suka menderita kejang, rheumatoid arthritis, TBC, detak
jantung yang tidak teratur, dan tekanan darah tinggi. Setelah pemakaian obat dihentikan,
gejala lupus biasanya akan hilang dalam waktu enam bulan.
3)Cutaneous Lupus Erythematosus (CLE)
Jenis lupus ini terbatas pada penampakan kulit, tetapi juga dapat terjadi bersama
dengan lupus jenis SLE. Gejala lupus terbatas pada kulit berupa ruam, lesi, kehilangan
rambut, pembuluh darah melebar (sehingga mereka dapat dilihat melalui kulit), bisul, dan
kepekaan terhadap matahari.
Ada tiga jenis CLE.
a. Subacute Cutaneous Lupus Crythematosus (SCLE)
Jenis lupus ini menyebabkan 10 persen dari kesleuruhan lupus CLE. Sebanyak 50
persen dari individu yang terkena SCLE akhirnya berkembang menjadi lupus jenis
SLE. Meskipun ada lesi kulit terkait dengan SCLE, lesi tersebut biasanya tidak
meninggalkan bekas.
b. Discoid Cutaneous Lupus Erythematosus atau DLE
Bentuk kulit ditandai dengan warna merah, ruam kulit semakin jelas dan akhirnya
menjadi bersisik atau berubah menjadi warna coklat tua. Mereka yang menderita DLE
sebagian besarnya ruam ini muncul di wajah dan kulit kepal. Lesi juga bisa muncul
sebagai bentuk luka di mulut atau hidung, dan dapat meninggalkan bekas luka. Saat ini,
tidak ada korelasi apakah DLE dapat menyebabkan SLE di kemudian hari.
c. Tumid Lupus

Lupus jenis ini menyebabkan pembengkakan pada kulit. Individu yang terkena tumid
lupus biasanya badannya membengkak, misalnya saat terkena sinar matahari. Pada
tubuhnya kemudian terdapat plak.

Jenis Lupus Lainnya :


1. Childhood Lupus
Bentuk lupus ini umumnya memengaruhi anak-anak dalam cara yang sama seperti
lupus yang mempengaruhi orang dewasa. Hal ini dapat lebih spesifik pada anak-anak,
namun, lupus pada anak lebih berdampak serius memengaruhi ginjal dibandingkan organ
lain. Lupus childhood juga terjadi dan berkembang lebih sering daripada lupus dewasa.
Tanda dan gejalanya sama dengan SLE. Lupus jenis ini lebih sulit diobati. Dokter sering
kali mengingatkan risiko lupus ini bisa diderita sang anak dalam jangka panjang, apalagi
jika si anak menjalani terapi dan obat-obatan. Beberapa obat dapat menyebabkan efek
samping yang dapat memengaruhi anak di kemudian hari. Lupus bisa menjadi penyakit
melemahkan yang dapat menurunkan kualitas kesehatan individu secara drastis.

2. Neonatal Lupus Erythematosus (NLE)


Ini adalah suatu bentuk lupus yang paling jarang terjadi. Lupus jenis ini berpotensi
memengaruhi bayi yang lahir dari ibu yang menderita lupus. Ini terjadi ketika antibodi
lupus ibu bereaksi atas bayi dalam kandungan. Sehingga setelah lahir, bayi dapat memiliki
ruam kulit, tingkat sel darah putih yang rendah, dan masalah hati. Dalam kebanyakan
kasus, bayi yang terkena lupus jenis ini akan pulih pada akhirnya. Ini artinya, efeknya tidak
seumur hidup. Dalam beberapa kasus, NLE dapat menyebabkan cacat jantung. Bayi anda
mungkin memerlukan alat pacu jantung semasa hidupnya. Anda sebaiknya membicarakan
dengan dokter anda tentang lupus jenis ini.

Seseorang dikatakan menderita SLE, jika memenuhi 4 dari 11 kriteria SLE menurut
American Reumatism Association (ARA, 1992), yaitu :
1.

Artritis / nyeri sendi

2.

ANA di atas normal

3.

Bercak malar / butterfly rash

4.

Bercak diskoid

5.

Sensitif terhadap sinar matahari (timbul bercak setelah terkena sinar UV A dab B)

6.

Terjadi satu kelainan darah


- Anemia hemolitik
- Leukosit < 4.000/mm3
- Limfosit < 1.500/mm3
- Trombosit < 100.000/mm3

7.

Kelainan ginjal proteinuria > 0.5 g/24 jam

8.

Pleuritis / perikarditis

9.

Kelainan neurologi konvulsi atau psikologis

10. Ulserasi di rongga mulut


11. Adanya salah satu kelainan imunologi
- sel LE (+)
- anti ds DNA >200

- anti Sm di atas titer normal


- tes serologi sifilis positif palsu

2.3 ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit ini tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Ada beberapa faktor yang mendukung
kecenderungan terjadinya SLE.
Faktor Genetik
a) Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigot versus kembar
dizigotik. (1%-3%).
b) Anggota keluarga mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita SLE, hingga
20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena tapi
menunjukan adanya autoantibodi.
c) Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara, terdapat hubungan positif
antara SLE dan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ
d) Beberapa pasien lupus (sekitar6%) mengalami defisiensi komponen kmplemen
mungkin akan mengganggu pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan
memudahkan deposisi jaringan yang menimbulkan jejas jaringan.
Faktor Non Genetik
a) Lingkungan
b) Sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu contohnya
prokainamid dan hidralazin (sebagian besar orang yang diobati dengna obat

tersebut selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA, disertai gambaran
SLE yang muncul pada 15-20%)
c) Esterogen berpengaruh pada sintesis antibodi.
d) Sinar UV merusak DNA meningkatkan jejas jaringan melepaskan kandungan sel
meningkatkan

pembentukan

kompleks

imun

DNA atau

anti

DNA

meningkatkan keratinosit IL-1.


e) Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.

2.4 PATOFISOLOGI
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu :
faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik
Fakot ini memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor
genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang
mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur
produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau
kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan
interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun
oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.

10

Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga


komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
2. Faktor lingkungan
Faktor ini diantaranya, radiasi ultra violet, obat-obatan, dan virus. Sinar UV
mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis
keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita
lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan
terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi
pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain
yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
3.

Faktor imunologis
Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari

pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung


bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam
membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering
dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA,
RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah
destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun.
Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi

11

dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi


trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk
kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada
adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan
dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan
afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan
menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
4. Hormon steroid (sex hormone)
Tidak menyebabkan SLE, namun mempunyai peran penting dalam predisposisi
dan derajat keparahan penyakit. Penyakit SLE terutama terjadi pada perempuan antara
menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh
Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat
mendapat SLE, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko
terbesar untuk mendapat SLE.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin
meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa
hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum.

2.5 MANIFESTASI KLINIS

12

Gambar 1. Manifestasi SLE

Manifestasi SLE dapat bervariasi, dari ruam kulit yang ringan, gangguan
muskuloskeletal, sampai berpotensi mengancam jiwa karena melibatkan sistem organ
besar, meliputi ginjal, paru, jantung, darah, gastrointestinal, dan sistem saraf pusat.
SLE dapat hanya meliputi satu sistem organ (manifestasi lain timbul belakangan) atau
dapat multisistem. Sebagian besar pasien mengalami eksaserbasi dengan diikuti
periode tenang. Remisi sejati (true remissions) adalah tanpa gejala dan tanpa
memerlukan terapi yang terjadi pada 20 % pasien tetapi biasanya tidak menetap.
Gejala sistemik biasanya sangat menyolok, berupa kelelahan, lesu (malaise), demam,
anoreksia dan penurunan berat badan. Manifestasi klinis secara lengkap beserta
presentasenya pada penderita SLE dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Manifestasi Klinis SLE

Klinis

Persentase

Sistemik

95 %

Kelelahan, lesu, demam, anoreksia, mual, penurunan berat badan

13

Muskuloskeletal

95 %

Artralgia/mialgia

95 %

Poliartritis non-erosif

60 %

Deformitas tangan

10 %

Miopati/miositis

25 / 5 %

Nekrosis iskemik tulang

15 %

Kulit

80 %

Fotosensitifitas

70 %

Ruam malar

50 %

Ulkus mulut

40 %

Alopesia

40 %

Ruam diskoid

20 %

Vaskulitis

20 %

Ruam lain: makulopapular, urtikaria, bula, lupus kutaneus subakut

15 %

Hematologi

85 %

Anemia (penyakit kronis)

70 %

Lekopenia (< 4000/m3)

65 %

14

Limfopenia ( < 1500/m3)

50 %

Trombositopenia ( < 100.000/m3)

15 %

Splenomegali

15 %

Limfadenopati

15%

Anemia hemolitik

10 %

Neurologi

60 %

Disfungsi kognitif

50 %

Gangguan mood

40 %

Nyeri kepala

25 %

Kejang

20 %

Mono- atau polineuropati

15 %

Stroke atau TIA

10 %

Acute confusional state atau gangguan gerak

2-5 %

Meningitis aseptik, mielopati

1%

Kardiopulmonar

60 %

Pleuritis, Perikarditis, Efusi

30-50 %

Miokarditis, Endokarditis

10 %

15

Pneumonitis lupus

10 %

Penyakit arteri koroner

10 %

Fibrosis interstisial

10 %

Hipertensi pulmonal, ARDS, perdarahan

5%

Ginjal

30 - 50 %

Proteinuria > 500 mg/24 jam, Cetakan seluler

30-50 %

Sindroma nefrotik

25 %

Gagal ginjal stadium akhir

5 10 %

Gastrointestinal dan Hepar

30 %

Tidak spesifik (anoreksia, mual, nyeri ringan, diare)

30 %

Enzim hati abnormal

40 %

Vaskulitis

5%

Trombosis

15 %

Vena

10 %

Arteri

5%

Mata

15 %

Sindroma sikka

15 %

16

Konjungtvitis/episkleritis

10 %

Vaskulitis retina

5%

Kelelahan
Kelelahan (fatigue) didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam mempertahankan
memberikan tenaga atau menghasilkan kekuatan. Kelelahan otot adalah berkurangnya respon
terhadap stimulus yang tetap atau memerlukan stimulus yang lebih besar untuk menghasilkan
respon

yang

sama.

Secara

fisiologis,

kelelahan

otot

dapat

hilang

dengan

istirahat. Keterbatasan kemampuan seseorang untuk mempertahankan kekuatan kontraksi otot


dapat terjadi pada sistem saraf pusat (sel saraf dari korteks motorik pada otak atau pada sinaps
antara neuron yang terletak pada jaras dari korteks motorik ke final motor nerve pada medula
spinalis). Kelelahan juga dapat terjadi pada final motor nerve, pada neuromuscular junction
(motor end-plate), atau pada otot itu sendiri.
Kelelahan sangat sering terjadi pada pasien SLE, berkisar antara 46 100%. Beberapa
pasien melaporkan tidak mempunyai cukup energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dan
kelelahan seringkali harus membuat pasien menyesuaikan diri dengan aktivitas,
mempengaruhi fungsi fisik, menurunkan kualitas hidup, dan mengganggu pekerjaan.
Kelelahan pada pasien SLE ini didefinisikan sebagai suatu persepsi kelelahan pada seluruh
tubuh yang tidak dapat dipulihkan dengan istirahat.
Sensasi kelelahan dan lesu sering ditemukan pada pasien dengan SLE, terutama selama
periode aktivitas penyakit. Mereka merasa letih dan lesu tetapi pada awalnya ditemukan
kesukaran dalam menunjuk dengan tepat masalahnya. Demam, anemia, komplikasi dari obatobatan, atau sumber lain dari inflamasi dapat menyebabkan kelelahan, dapat juga stres

17

emosional, fibromialgia, dan depresi. Kerja dari beberapa sitokin, seperti IL-2 dan interferon menginduksi kelelahan dan SLE berhubungan dengan gangguan regulasi sitokin.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a.

Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin


Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,

trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat


selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albuminglobulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Sedangkan hasil pemeriksaan urin pada
penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan
ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
b. Pemeriksaan Autoantibodi
c.

Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik
terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease
seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom
sjogrens primer. Nilai normalnya 0.

d. Antibodi terhadap DNA


Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif
terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Nilai normalnya 70-200 iu/ml. Dinyatakan
SLE (+) jika >200 iu/ml.
e.

Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik. Pada LES, kadar
C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal.

18

f.

LED (Laju Endap Darah)


Laju endap darah pada lupus akan LED akan lebih cepat dari pada normal.

g.

Biopsi
Untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal

h. X-Ray dada
X-ray dada dilakukan untuk mengetahui apakah ada efusi pleura, pleuritis atau penyakit
pada cardio (endokarditis, perikarditis dan miokarditis).
i.

Uji Imunoflouroresensi
Uji imunoflouroresensi ANA pada pasien SLE+ sehingga ujitersebut sangat sensitif.

j.

Pemeriksaan anti-Sm antibodi


Untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukan dalam sel
protein inti).

2.7 KOMPLIKASI
Berikut ini adalah komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat SLE yang sudah
menginfiltrasi ke beberapa sistem dan organ tubuh.
1) Gagal ginjal adalah penyebab tersering kemtian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat
terjadi akibat deposit kompleks antibodiantigen pada glomerolus disertai pengaktifan
komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas
tipe III.
2) Dapat terjadi perikarditis atau peradangan kantung perikardium yang mengelilingi
jantung.

19

3)

Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernapasan.


Sering terjadi bronkitis.

4)

Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.

5) Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian,
termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan
dengan terapi obat atau penyakitnya.

2.8 PENATALAKSANAAN
Farmakologis
a. Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1
gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele
ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Pemberian per
oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan
kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m 2 setiap 1-3
bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan
rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Pada penderita SLE dengan nefropati
lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

2. Mycophenolate Mofetil (MMF)

20

MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul
adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum
pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping
yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.. MMF diberikan dengan
dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat
disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pemberian mulai dengan dosis 1,5
mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi
2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000.
Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi
60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya
terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga
sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit
dan peningkatan serum transaminase.

4. Leflunomide (Arava)
Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian
diikuti dengan 20 mg/hari.

5. Methotrexate

21

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan
terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa
terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan
oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.

6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia,
parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.

b. Agen Biologis
1.

Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B


Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B

dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik


terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen
sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20
yang dipresentasikan limfosit B.
2.

Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang

refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus


refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.
3.

LJP 394

22

LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi
flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA
melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu
senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada
rantai trietilen glikol.
4.

Anti B lymphocyte stimulator


Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis

factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal


terhadap BlyS.
5.

Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan

meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang


percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita
SLE.

c. Antimalaria
Efektivitas Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di
makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola
lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dan metabolisme membran
fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV.
Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian
melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada
penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200400mg/hari), klorokuin (250mg-500/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Setelah 1 atau 2
tahun pengobatan, penurunan bertahap dosis dapat dicoba. Beberapa pasien mungkin

23

memerlukan tablet hanya 1 atau 2 per minggu untuk menekan manifestation pada
jaringan kutan.

d. Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron
(DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole
(sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia
autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik.

e. Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE.
Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan
untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik.
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan
amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah
prednison dan metilprednisolon. Prednison 2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis
ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis:
1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap
(tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat
mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf,
serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis.

24

Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5


hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol
penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang
menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi
SLE jangka lama.
Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau
cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5
mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.

f. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)


NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan
antiinflamasi. Obat ini berguna untuk

mengatasi SLE

dengan keluhan

nyeri

muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis, sakit kepala, demam dan arthralgia/arthritis.


- Aspirin adalah Dosis yang digunakan adalah 1,5 g.
- Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati SLE dengan arthritis dan
pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria.
- Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari
- Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari
- Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

25

Efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2
dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, Efek samping
lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis
aseptik. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan
gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel
g. Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah
kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc
Thrombocytopenic Purpura).
h. Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja
yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti
immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis
400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,
artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang
terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.
Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal
Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam
makalah ini tim penulis juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus
secara herbal alami dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :
1.
2.
3.
4.

XAMthone Plus
Madu Cerna
Teh Murbei
Kapsul MGL Super

26

Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang
sehingga nanti bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk
menormalkan sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut.
Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal
yang sudah rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau
lumpuh.
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit
yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam
manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada
wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka
sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat
mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama
hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group
atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus,
yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka
bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus.
Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang
kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain
perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

27

4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari,
sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan
menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang
tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok,
obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
6. Melakukan hobi yang disenangi agar dapat mengurangi stres.

BAB III
ANALISA KASUS

28

KASUS
Kupu-kupu Merah ku
Seorang pasien berumur 20 tahun seorang penjaja keliling jamu gendong, datang ke
poli penyakit dalam dengan keluhan sering merasa kelelahan, nyeri pada persendian, kulit
pada tangan dan kaki terasa panas dan gatal terutama bila terkena dengan sinar matahari.
Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan data : pasien tampak lemah, terdapat eritema dan lesi
pada kulit di dada., ekstremitas atas dan bawah, eritema pada sekitar hidung (butterfly rash),
pada mukosa mulut terdapat ulserasi, Tekanan darah = 100/60 mmHg, nadi = 96x/menit ; suhu
= 37,8C, pernafasan = 24x/menit. Rambut rontok, mudah dicabut,; konjunctiva anemis ; hasil
pemeriksaan lab, darah rutin ditemukan nilai Hb = 8 gr/dl, LED 62 mm/jam, Leukosit =
2400/ul. Anti ds DNA 210 iu.

3.1 LEARNING OBJECTIVE


1. Anti ds-DNA 210 iu ?
Anti ds-DNA digunakan untuk menentukan apakah pasien memeliki antibodi
terhadap materi genetik didalam sel, batas normal 70-200 ui/ml, negative kurang dari 70,
positif lebih dari 200. Antibodi ini di temukan pada 65-80 % pada penderita SLE, dan
jarang ditemukan pada penyakit lain.

2. Kenapa terjadi Butterfly rash dan Perbedaan Butterfly rash dengan closma ?
1) Butterfly Rash

29

a. Karena hipersensitivitas terhadap sinar ultraviolet.


b. Inflamasi berkepanjangan mengakibatkan terganggunya organ terutama kulit
hipersensitivitas meningkat terjadi pengeluaran sitokin dan prostatgladin
menimbulkan dilatasi arteriol di daerah wajah mengakibatkan kongesti atau
hiperemi dan terjadi butterfly Rash di wajah tepatnya di sekitar hidung dan
pipi.
2) Closma
a.

Peningkatan hormon esterogen dan progesterone bisa hilang, terjadi pada


waktu trimester II.

b.

Produksi melanin meningkat.

c.

Bisa terjadi di wajah, ketiak dan leher.

3. Kenapa wanita yang lebih beresiko terkena lupus ?


a.

Wanita memiliki hormone estrogen yang meningkatkan produksi autoimun.

b.

1:40 Perempuan, 1:200 Laki-laki.

c.

Wanita lebih rentang terkena lupus saat usia produktif.

d.

Laki-laki yang beresiko kalau kadar endrogen dan testoteronnya rendah.

e.

Stress bisa jadi penyebab resiko SLE pada wanita.

4. Bagaimana psikologis umur 20 tahun pada wanita ?

30

Menurut Havighurst, tugas perkembangan periode usia dewasa awal adalah


sebagai berikut :
a.

Memilih teman hidup

b.

Belajar untuk hidup bersama pasangan

c.

Membentuk keluarga

d.

Membesarkan anak

e.

Mengatur rumah tangga

f.

Mulai bekerja

g.

Menjalani tanggung jawab sebagai warga negara

h.

Menemukan kelompok sosial yang sesuai


Menurut

Erikson, tahap perkembangan dewasa muda (18-25 tahun) yaitu

memiliki hubungan intim dengan orang lain dan memiliki komitmen terhadap
pekerjaan serta hubungan.
Selain itu, wanita usia 20 tahun juga memiliki perkembangan psikologis sebagai
berikut :
a. Sudah merencanakan masa depan .
b. Sulit menyelesaikan konflik, emosi labil.
c. Emosi meningkat pada usia ini, mudah terpengaruh lingkungan sekitar.

5. Etiologi SL E pada kasus di atas ?

31

SLE disebabkan oleh terpapar sinar UV dalam waktu yang lama dan kemngkinan
mengonsumsi jamu / obat jenis asetilator lambat yang mengandung HLA DR 4.

6. TTV Normal ?
Pada kasus

Normal

a.

TD 100/60 mmHg

120/80 mmHg

b.

HR 96x/menit

60-100 x/menit

c.

RR 24 x/menit

12-20 x/menit

d.

Suhu 37,8C

36,5-37,5C

3.2 ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
A. Data Biologis
1. Identitas Pasien
a.

Nama

: Nn. A

b.

Umur

: 20 tahun

c.

Jenis Kelamin

: Perempuan

d.

TTL

:-

e.

(*penting diketahui untuk memastikan usia pasien).

32

f.

Golongan Darah

:-

g.

Pekerjaan

: Penjual keliling jamu gendong

h.

Alamat

:-

i.

(*penting diketahui untuk mengkaji kondisi lingkungan tempat tinggal pasien).

j.

Penanggung jawab biaya : Nn. A

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : Kelelahan
b. Keluhan Tambahan : Nyeri persendian, kulit pada tangan dan kaki terasa panas
dan gatal bila terkena sinar matahari, dan tidak nafsu makan.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien tampak lemah, terdapat eritema dan lesi pada kulit di dada, ekstremitas
atas dan bawah, eritema pada sekitar hidung (butterfly rash), pada mukosa mulut
terdapat ulserasi, Tekanan darah = 100/60 mmHg, nadi = 96x/menit ; suhu =
37,8C, pernafasan = 24x/menit. Rambut rontok, mudah dicabut; konjunctiva
anemis ; hasil pemeriksaan lab, darah rutin ditemukan nilai Hb = 8 gr/dl, LED 62
mm/jam, Leukosit = 2400/ul. Anti ds DNA 210 iu.
d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu : e. Riwayat Kesehatan Keluarga : 3. Pemeriksan Fisik
a. Inspeksi : pasien tampak lemah, eritema dan lesi pada kulit di dada, ekstremitas atas
dan bawah, eritema pada sekitar hidung (butterfly rash), ulserasi pada mukosa mulut.
b. Palpasi : rambut rontok, mudah dicabut, konjunctiva anemis.

33

c. Auskultasi : *(penting dilakukan untuk mengetahui suara napas, apakah ada pleuritis/efusi pleura,
dan untuk mengetahui apakah ada bunyi jantung tambahan yang menunjukkan adanya
perikarditis/miokarditis)
d. Perkusi : *(penting untuk mengetahui apakah ada pembesaran hepar atau spleen)
4. Pemeriksaan Laboratorium
Nilai Normal
Hb

= 8 gr/dl

LED

= 62 mm/jam (tinggi)

Leukosit

= 2400/ul

Anti ds DNA = 210 iu

(rendah)

12-16 gr/dl
< 20 mm/jam

(rendah)
(tinggi)

4000-10000 /ul
70-200 iu

B. Data Psikososial : -

C. Analisis Data

34

Data Fokus

Etiologi

Masalah Keperawatan

Autoantibodi menyerang Sel Darah Merah

DS :

Intoleransi Aktivitas

Intoleran
aktivitassuplai
Menurunnya
O2 keseluruh tubuh
Anemia

Klien sering merasa


kelelahan

dan

Malaise

Eritrosit

tampak lemah

DO :
konjunctiva anemis

Hb 8 gr/dl
TD 100/60 mmHg
RR 24 x/menit

DS :
DO :

Autoantibodi menyerang otak


Merangasang
Hipertermia
Suhu
tubuhendogen-pirogen
Hipotalamus
Mengeluarkan
Pengaturan set poin

Suhu 37,8C

35

Hipertermi

RR 24 x/menit

Anemia

Gangguan pola napas

Kompensasi tubuh meningkatkan sistem pernapasan


RR

DS:

Autoantibodi menyerang sel darah merah

DO :
RR 24 x / menit

Eritrosit
Suplai O2 ke seluruh tubuh
Takipnea

36

Gangguan pola napas

DS :

Gangguan integritas kulit

Kulit tangan dan


kaki terasa panas
dan gatal
DO :
-

Ruam

membentang di pipi

37

Sinar Ultra violet

(butterfly rash)

Hipersensitivitas kulit

- Eritema dan lesi


pada kulit di dada,

Pelepasan zat vasoaktif Sitokinin,

ekstremitas atas dan

Prostaglandin

bawah
Dilatasi arteriol

- Ulserasi mukosa
mulut

Kongesti/Hiperemi

Rubor
(Kemerahan)

Butterfly Rush di daerah wajah dan


ruam di seluruh tubuh

Gangguan integritas kulit

38

Butterfly rash di pipi, ruam/lesi di seluruh tubuh

Ggn body image


Perubahan fisikDS

Gangguan body image

DO:
-

Ulserasi di mulut
Pelepasan zat vasoaktif / mediator kimia (ex:Sitokinin, Prostaglan

terdapat

ruam
Rubor
(Kemerahan),
+ cahaya matahari
Asupan
protein
makan
+ sinar UVKongesti
Susah
/ Hiperemi
Protein
rambut
rusak,
keratin

Rambut rontok, mudah dicabut

membentang di pipi

Dilatasi arteriol

(butterfly rash) dan


-

ruam

merah

menyerupai cakram
diseluruh tubuh
-

rambut

rontok,

mudah dicabut

39

Autoantibodi menyerang tulang

DS :

Gangguan rasa nyaman :


Nyeri

Nyeri

pada
Nyeri
sendi,
nyeri
tulang
Artritis
Inflamasi
fx. pekerjaan
pada
tulang
Merangsang
nyeri
Ggn. rasa
nyaman
:+reseptor
Nyeri

persendia
DO :
LED 62 mm/jam

40

Luka pada mukosa mulut

DS :

Tidak
Intakenafsu
nutrisi
makan
< kebutuhan tubuh
Ulserasi
Ketidakseimbangan
nutrisi
Tidak
ada nafsupemenuhan

makan
DO :
Ulserasi

pada

mukosa mulut

41

Ketidakseimbangan
pemenuhan

nutrisi

kurang dari kebutuhan

DS :

Gangguan perfusi jaringan

DO :

Eritrosit

Konjunctiva anemis

Suplaijaringan
O2
ke mata
seluruh
Ggn.
Perfusi
O2
ke
tubuh
Konjunctiva
anemis

Hb 8 gr/dl
RR 24 x / menit

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 menurun
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan takipnea, nyeri, dan kelelahan
c. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada tulang
dan sendi
d. Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan lesi / malar pada kulit
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ulserasi pada mukosa
mulut
g. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada organ dan peningkatan
metabolisme

42

h. Gangguan body image berhubungan dengan rambut rontok dan mudah dicabut
i. Defisit pengetahuan berhubungan dengan ketidaktahuan akan nyeri yang
dirasakan

3. INTERVENSI
a.

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 menurun


Tujuan : Pemenuhan oksigen jaringan adekuat
Intervensi :
1.

Kaji adanya hipoksia.

2.

Observasi tanda-tanda vital.

3.

Lakukan posisi semi fowler.

4.

Ajarkan pasien teknik nafas dalam.

5.

Kolaborasi pemberian oksigen.

6.

Kolaborasi pemberian obat untuk menambah jumlah eritrosit dan Hb agar


pengikatan oksigen baik.

7.
b.

Kaji suplai oksigen : konjunctiva, kuku, sekitar mulut dan bibir.

Gangguan pola nafas berhubungan dengan takipnea, nyeri, dan kelelahan


Tujuan : pola napas kembali normal, frekuensi pernapasan dalam rentang normal.
Intervensi :
1.

Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas tambahan

43

c.

2.

Kaji/ pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi

3.

Catat adanya takipnea, dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, dll.

4.

Pertahankan polusi lingkungan minimum seperti debu, asap, dll.

5.

Bantu pasien latihan napas abdomen atau bibir.

Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada tulang
dan sendi
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan, nyeri hilang / berkurang
Intervensi :
1.

Kaji kualitas nyeri pasien (PQRST).

2.

Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres


panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga,
bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)

3.

Kolaborasi pemberian preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.

4.

Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap


penatalaksanaan nyeri.

5.

Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.

6.

Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa
nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya.

7.

Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk
memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

8.
d.

Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan lesi / malar pada kulit


Tujuan : pemeliharaan integritas kulit, lesi / malar berkurang atau hilang

44

Intervensi :
1.

Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan. R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status
dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

2.

Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya SPF >15.

3.

Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian


mengeringkannya

dengan

berhati-hati

dan

melakukan

masase

dengan

menggunakan lotion atau krim. R/: mempertahankan kebersihan karena kulit


yang kering dapat menjadi barier infeksi.
4.

Gunting kuku secara teratur. R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan
risiko kerusakan dermal.

5.

Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk. R/: dapat mengurangi kontaminasi
bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

6.

Kolaborasi gunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi R/: digunakan


pada perawatan lesi kulit.

7.
e.

Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid, serta vitamin E.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan


kebutuhan
Tujuan : pasien mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur,
dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi :
1.

Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas.

45

2.

Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia,


dispnea, takipnea, berkeringat, pucat.

f.

3.

Kaji penyebab kelemahan contoh pengobatan, nyeri, obat.

4.

Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.

5.

Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi.

6.

Selingi periode aktivitas dengan periode istirahat.

7.

Kolaborasi pemberian suplemen tablet besi dan vitamin B kompleks.

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ulserasi pada mukosa
mulut
Tujuan : status nutrisi adekuat, integritas mukosa mulut baik.
Intervensi :
1.

Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan. R/: lesi mulut,
tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan
pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.

2.

Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan


sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol. R/: Mengurangi
ketidaknyamanan

yang

berhubungan

dengan

mual/muntah,

lesi

oral,

pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu


makan.
3.

Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi


pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi. R/:
lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu makan dan pemasukan
makanan.

46

4.

Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin. R/: dapat meningkatkan napsu makan
dan perasaan sehat.

5.

Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat
mendekati waktu makan. R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan
energi untuk aktivitas makan.

6.

Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan. R/: mempermudah proses
menelan dan mengurangi resiko aspirasi.

7.

Catat pemasukan kalori R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau


alternative metode pemberian makanan.

8.

Kolaborasi

Konsultasikan

dengan

tim

pendukung

ahli

diet/gizi.

R/:

Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.


g.

Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada organ dan peningkatan


metabolisme
Tujuan : suhu tubuh dalam batas normal (36,5 - 37,5C), nadi dan RR dalam rentang
normal, tidak ada perubahan warna kulit.
Intervensi :
1.

Monitor suhu tubuh sesering mungkin.

2.

Monitor warna dan suhu kulit.

3.

Monitor tekanan darah, nadi dan RR.

4.

Monitor penurunan tingkat kesadaran.

5.

Monitor intake dan output

6.

Kolaborasi pemberian antipiretik dan analgesik atau antibiotik.

47

h.

7.

Kolaborasi pemberian cairan / nutrisi intravena.

8.

Lakukan kompres hangat pada lipatan paha atau aksila.

9.

Gunakan pakaian yang tipis, longgar, dan mudah menyerap keringat.

Gangguan body image berhubungan dengan rambut rontok dan mudah dicabut
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan penyakit
Intervensi :
1.

Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan


penanganannya.

i.

2.

Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut.

3.

Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.

4.

Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.

5.

Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

Defisit pengetahuan berhubungan dengan ketidaktahuan akan nyeri yang dirasakan


Tujuan : pasien menatakan tanda dan gejala yang memerlukan intervensi cepat,
mengidentifikasi stres pribadi, teknik menangani nyeri, melakukan perubahan pola
hidup.
Intervensi :
1.

Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/:
Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.

2.

Tinjau ulang cara penularan penyakit. R/: mengoreksi mitos dan kesalahan
konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.

48

3.

Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/:


merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

4.

Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/: memberi


kesempatan

untuk

mengubah

aturan

untuk

memenuhi

kebutuhan

perubahan/individu.
5.

Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan tempat


tinggal. R/: memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut;
mendukung pemulihan dan kemandirian.

49

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus
adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus.
Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus
Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri. Penyakit Lupus adalah
istilah dari bahasa Latin yang berarti Serigala. Hal ini disebabkan penderita penyakit ini
pada umumnya memiliki butterfly rash atau ruam merah berbentuk kupu-kupu di pipi
yang serupa di pipi Serigala, tetapi berwarna putih. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran
disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang
seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh,
penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi
overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak
antibodi yang akhirnya menyerang tubuh. Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit
yang mematikan. Penyakit ini setara dengan penyakit Kanker, banyak yang meningal
dunia karena mengidap penyakit ini. Penyebab lupus masih belum diketahui secara pasti,
tetapi lupus ini bisa terjadi karena genetik, sering terpapar sinar matahari, dan akibat dari
obat-obatan, misalnya obat anti kejang, obat tekanan darah dan antibiotik. Orang yang
gejala lupusnya timbul ketika minum obat biasanya gejala penyakit lupus tersebut akan
hilang ketika mereka berhenti minum obat.
Pengobatan penyakit lupus tergantung pada tanda dan gejala yang muncul saja,
karena biasanya tidak semua gejala muncul pada seseorang. Obat penyakit lupuss yang
paling sering digunakan adalah obat anti-inflammatory non steroid (NSAID=non steroid
anti-inflammatory drugs) untuk mengobati nyeri, pembengkakan dan demam yang

50

berhubungan dengan lupus; obat antimalaria untuk membantu mengendalikan lupus; obat
kortikosteroid digunakan untuk melawan peradangan; dan obat penekanan kekebalan
tubuh.
Dalam kasus ini peran perawat dalam menangani pasien yang terkena penyakit
lupus yaitu sebagai educator, advocator, pemberian asuhan keperawatan, kolabolator,
konsultan. Contohnya memberi tahu kepada pasien mengenai penyakitnya, bagaimana
penangannya, memberi tahu untuk menghindari faktor pencetus penyakit lupus,
memberikan motivasi kepada pasien supaya tidak berputus asa atau menjadi minder,
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, menjadi konsultan pasien, dan
melakukan kolabolator dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian obat.

51

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E. Merylin. (2000). Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC.


Guyton & Hall. (1997). Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC.

52

Kozier, Barbara., Erb Glenora, dkk., 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, & Praktik, Edisi 7, Volume 1. Jakarta : EGC
Noer, Syaifullah. (2003). Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. Edisi II. Jakarta : EGC.
Sylvia, A. (1995). Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta :EGC.
Waspadji, Sarwono. (1998). Ilmu penyakit dalam. Edisi III. Jakarta : Balai penerbit FKUI.
Waterbury, Larry. 2001. Buku Saku Hematologi Edisi 3 (House Officer Seres Hematology).
Jakarta : GC
Womack, M. 1993. The yellow fever mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats, Vol. 5(4):4.
World Health Organization (WHO). Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. Jakarta : EGC.
Zvezdanovic L, Dordevic V, dkk. 2006. The significance of cytokines in diagnosis of
autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem

http://www.Flib.ui.ac.id/file?file=digital/125167-R19-OM.Literatur.pdf
http://www.jevuska.com
http://www.kemhan.com/2012/04/asuhan-keperawatan-dengue-haemoragic.html
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/5532
https://www.scribd.com/doc/65137585/Pemeriksaan-Lab-Lupus
http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti
http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes

53

54

Anda mungkin juga menyukai