PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.
2.
3.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 LUPUS
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti Anjing hutan, atau Serigala,
merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat
kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian
bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat
menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit
untuk menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi
yang membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari
penderita lupus benar-benar memiliki ruam kupu-kupu, klasik tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit
autoimun.Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara
yaitu :Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada
sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan
penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.Kedua, antibodi bisa bergabung dengan
antigen (zat perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks
imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh
darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan
dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak
dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan
enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan
berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal
ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang
fungsi organ tubuh akan terganggu.
2)
Bentuk lupus ini, sesuai dengan namanya, dipicu oleh obat-obatan tertentu. Tandatanda dan gejala yang khas lupus ini termasuk nyeri sendi, nyeri otot, dan demam.
Bagaimanapun, lupus jenis ini memengaruhi tubuh secara sistemik, sehingga organ-organ
lain tidak terpengaruh. Lupus ini dipicu sebagian besarnya karena kondisi kronis penyakit
lainnya. Misalnya seseorang suka menderita kejang, rheumatoid arthritis, TBC, detak
jantung yang tidak teratur, dan tekanan darah tinggi. Setelah pemakaian obat dihentikan,
gejala lupus biasanya akan hilang dalam waktu enam bulan.
3)Cutaneous Lupus Erythematosus (CLE)
Jenis lupus ini terbatas pada penampakan kulit, tetapi juga dapat terjadi bersama
dengan lupus jenis SLE. Gejala lupus terbatas pada kulit berupa ruam, lesi, kehilangan
rambut, pembuluh darah melebar (sehingga mereka dapat dilihat melalui kulit), bisul, dan
kepekaan terhadap matahari.
Ada tiga jenis CLE.
a. Subacute Cutaneous Lupus Crythematosus (SCLE)
Jenis lupus ini menyebabkan 10 persen dari kesleuruhan lupus CLE. Sebanyak 50
persen dari individu yang terkena SCLE akhirnya berkembang menjadi lupus jenis
SLE. Meskipun ada lesi kulit terkait dengan SCLE, lesi tersebut biasanya tidak
meninggalkan bekas.
b. Discoid Cutaneous Lupus Erythematosus atau DLE
Bentuk kulit ditandai dengan warna merah, ruam kulit semakin jelas dan akhirnya
menjadi bersisik atau berubah menjadi warna coklat tua. Mereka yang menderita DLE
sebagian besarnya ruam ini muncul di wajah dan kulit kepal. Lesi juga bisa muncul
sebagai bentuk luka di mulut atau hidung, dan dapat meninggalkan bekas luka. Saat ini,
tidak ada korelasi apakah DLE dapat menyebabkan SLE di kemudian hari.
c. Tumid Lupus
Lupus jenis ini menyebabkan pembengkakan pada kulit. Individu yang terkena tumid
lupus biasanya badannya membengkak, misalnya saat terkena sinar matahari. Pada
tubuhnya kemudian terdapat plak.
Seseorang dikatakan menderita SLE, jika memenuhi 4 dari 11 kriteria SLE menurut
American Reumatism Association (ARA, 1992), yaitu :
1.
2.
3.
4.
Bercak diskoid
5.
Sensitif terhadap sinar matahari (timbul bercak setelah terkena sinar UV A dab B)
6.
7.
8.
Pleuritis / perikarditis
9.
2.3 ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit ini tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Ada beberapa faktor yang mendukung
kecenderungan terjadinya SLE.
Faktor Genetik
a) Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigot versus kembar
dizigotik. (1%-3%).
b) Anggota keluarga mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita SLE, hingga
20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena tapi
menunjukan adanya autoantibodi.
c) Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara, terdapat hubungan positif
antara SLE dan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ
d) Beberapa pasien lupus (sekitar6%) mengalami defisiensi komponen kmplemen
mungkin akan mengganggu pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan
memudahkan deposisi jaringan yang menimbulkan jejas jaringan.
Faktor Non Genetik
a) Lingkungan
b) Sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu contohnya
prokainamid dan hidralazin (sebagian besar orang yang diobati dengna obat
tersebut selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA, disertai gambaran
SLE yang muncul pada 15-20%)
c) Esterogen berpengaruh pada sintesis antibodi.
d) Sinar UV merusak DNA meningkatkan jejas jaringan melepaskan kandungan sel
meningkatkan
pembentukan
kompleks
imun
DNA atau
anti
DNA
2.4 PATOFISOLOGI
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu :
faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik
Fakot ini memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor
genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang
mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur
produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau
kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan
interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun
oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
10
Faktor imunologis
Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari
11
12
Manifestasi SLE dapat bervariasi, dari ruam kulit yang ringan, gangguan
muskuloskeletal, sampai berpotensi mengancam jiwa karena melibatkan sistem organ
besar, meliputi ginjal, paru, jantung, darah, gastrointestinal, dan sistem saraf pusat.
SLE dapat hanya meliputi satu sistem organ (manifestasi lain timbul belakangan) atau
dapat multisistem. Sebagian besar pasien mengalami eksaserbasi dengan diikuti
periode tenang. Remisi sejati (true remissions) adalah tanpa gejala dan tanpa
memerlukan terapi yang terjadi pada 20 % pasien tetapi biasanya tidak menetap.
Gejala sistemik biasanya sangat menyolok, berupa kelelahan, lesu (malaise), demam,
anoreksia dan penurunan berat badan. Manifestasi klinis secara lengkap beserta
presentasenya pada penderita SLE dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Manifestasi Klinis SLE
Klinis
Persentase
Sistemik
95 %
13
Muskuloskeletal
95 %
Artralgia/mialgia
95 %
Poliartritis non-erosif
60 %
Deformitas tangan
10 %
Miopati/miositis
25 / 5 %
15 %
Kulit
80 %
Fotosensitifitas
70 %
Ruam malar
50 %
Ulkus mulut
40 %
Alopesia
40 %
Ruam diskoid
20 %
Vaskulitis
20 %
15 %
Hematologi
85 %
70 %
65 %
14
50 %
15 %
Splenomegali
15 %
Limfadenopati
15%
Anemia hemolitik
10 %
Neurologi
60 %
Disfungsi kognitif
50 %
Gangguan mood
40 %
Nyeri kepala
25 %
Kejang
20 %
15 %
10 %
2-5 %
1%
Kardiopulmonar
60 %
30-50 %
Miokarditis, Endokarditis
10 %
15
Pneumonitis lupus
10 %
10 %
Fibrosis interstisial
10 %
5%
Ginjal
30 - 50 %
30-50 %
Sindroma nefrotik
25 %
5 10 %
30 %
30 %
40 %
Vaskulitis
5%
Trombosis
15 %
Vena
10 %
Arteri
5%
Mata
15 %
Sindroma sikka
15 %
16
Konjungtvitis/episkleritis
10 %
Vaskulitis retina
5%
Kelelahan
Kelelahan (fatigue) didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam mempertahankan
memberikan tenaga atau menghasilkan kekuatan. Kelelahan otot adalah berkurangnya respon
terhadap stimulus yang tetap atau memerlukan stimulus yang lebih besar untuk menghasilkan
respon
yang
sama.
Secara
fisiologis,
kelelahan
otot
dapat
hilang
dengan
17
emosional, fibromialgia, dan depresi. Kerja dari beberapa sitokin, seperti IL-2 dan interferon menginduksi kelelahan dan SLE berhubungan dengan gangguan regulasi sitokin.
Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik
terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease
seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom
sjogrens primer. Nilai normalnya 0.
Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik. Pada LES, kadar
C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal.
18
f.
g.
Biopsi
Untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal
h. X-Ray dada
X-ray dada dilakukan untuk mengetahui apakah ada efusi pleura, pleuritis atau penyakit
pada cardio (endokarditis, perikarditis dan miokarditis).
i.
Uji Imunoflouroresensi
Uji imunoflouroresensi ANA pada pasien SLE+ sehingga ujitersebut sangat sensitif.
j.
2.7 KOMPLIKASI
Berikut ini adalah komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat SLE yang sudah
menginfiltrasi ke beberapa sistem dan organ tubuh.
1) Gagal ginjal adalah penyebab tersering kemtian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat
terjadi akibat deposit kompleks antibodiantigen pada glomerolus disertai pengaktifan
komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas
tipe III.
2) Dapat terjadi perikarditis atau peradangan kantung perikardium yang mengelilingi
jantung.
19
3)
4)
5) Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian,
termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan
dengan terapi obat atau penyakitnya.
2.8 PENATALAKSANAAN
Farmakologis
a. Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1
gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele
ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Pemberian per
oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan
kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m 2 setiap 1-3
bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan
rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Pada penderita SLE dengan nefropati
lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
20
MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul
adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum
pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping
yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.. MMF diberikan dengan
dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat
disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pemberian mulai dengan dosis 1,5
mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi
2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000.
Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi
60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya
terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga
sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit
dan peningkatan serum transaminase.
4. Leflunomide (Arava)
Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian
diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
21
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan
terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa
terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan
oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia,
parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
b. Agen Biologis
1.
Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang
LJP 394
22
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi
flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA
melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu
senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada
rantai trietilen glikol.
4.
Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan
c. Antimalaria
Efektivitas Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di
makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola
lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dan metabolisme membran
fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV.
Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian
melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada
penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200400mg/hari), klorokuin (250mg-500/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Setelah 1 atau 2
tahun pengobatan, penurunan bertahap dosis dapat dicoba. Beberapa pasien mungkin
23
memerlukan tablet hanya 1 atau 2 per minggu untuk menekan manifestation pada
jaringan kutan.
d. Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron
(DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole
(sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia
autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik.
e. Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE.
Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan
untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik.
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan
amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah
prednison dan metilprednisolon. Prednison 2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis
ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis:
1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap
(tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat
mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf,
serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
24
mengatasi SLE
dengan keluhan
nyeri
25
Efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2
dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, Efek samping
lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis
aseptik. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan
gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel
g. Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah
kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc
Thrombocytopenic Purpura).
h. Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja
yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti
immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis
400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,
artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang
terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.
Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal
Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam
makalah ini tim penulis juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus
secara herbal alami dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :
1.
2.
3.
4.
XAMthone Plus
Madu Cerna
Teh Murbei
Kapsul MGL Super
26
Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang
sehingga nanti bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk
menormalkan sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut.
Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal
yang sudah rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau
lumpuh.
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit
yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam
manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada
wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka
sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat
mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama
hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group
atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus,
yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka
bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus.
Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang
kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain
perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
27
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari,
sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan
menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang
tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok,
obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
6. Melakukan hobi yang disenangi agar dapat mengurangi stres.
BAB III
ANALISA KASUS
28
KASUS
Kupu-kupu Merah ku
Seorang pasien berumur 20 tahun seorang penjaja keliling jamu gendong, datang ke
poli penyakit dalam dengan keluhan sering merasa kelelahan, nyeri pada persendian, kulit
pada tangan dan kaki terasa panas dan gatal terutama bila terkena dengan sinar matahari.
Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan data : pasien tampak lemah, terdapat eritema dan lesi
pada kulit di dada., ekstremitas atas dan bawah, eritema pada sekitar hidung (butterfly rash),
pada mukosa mulut terdapat ulserasi, Tekanan darah = 100/60 mmHg, nadi = 96x/menit ; suhu
= 37,8C, pernafasan = 24x/menit. Rambut rontok, mudah dicabut,; konjunctiva anemis ; hasil
pemeriksaan lab, darah rutin ditemukan nilai Hb = 8 gr/dl, LED 62 mm/jam, Leukosit =
2400/ul. Anti ds DNA 210 iu.
2. Kenapa terjadi Butterfly rash dan Perbedaan Butterfly rash dengan closma ?
1) Butterfly Rash
29
b.
c.
b.
c.
d.
e.
30
b.
c.
Membentuk keluarga
d.
Membesarkan anak
e.
f.
Mulai bekerja
g.
h.
memiliki hubungan intim dengan orang lain dan memiliki komitmen terhadap
pekerjaan serta hubungan.
Selain itu, wanita usia 20 tahun juga memiliki perkembangan psikologis sebagai
berikut :
a. Sudah merencanakan masa depan .
b. Sulit menyelesaikan konflik, emosi labil.
c. Emosi meningkat pada usia ini, mudah terpengaruh lingkungan sekitar.
31
SLE disebabkan oleh terpapar sinar UV dalam waktu yang lama dan kemngkinan
mengonsumsi jamu / obat jenis asetilator lambat yang mengandung HLA DR 4.
6. TTV Normal ?
Pada kasus
Normal
a.
TD 100/60 mmHg
120/80 mmHg
b.
HR 96x/menit
60-100 x/menit
c.
RR 24 x/menit
12-20 x/menit
d.
Suhu 37,8C
36,5-37,5C
Nama
: Nn. A
b.
Umur
: 20 tahun
c.
Jenis Kelamin
: Perempuan
d.
TTL
:-
e.
32
f.
Golongan Darah
:-
g.
Pekerjaan
h.
Alamat
:-
i.
j.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : Kelelahan
b. Keluhan Tambahan : Nyeri persendian, kulit pada tangan dan kaki terasa panas
dan gatal bila terkena sinar matahari, dan tidak nafsu makan.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien tampak lemah, terdapat eritema dan lesi pada kulit di dada, ekstremitas
atas dan bawah, eritema pada sekitar hidung (butterfly rash), pada mukosa mulut
terdapat ulserasi, Tekanan darah = 100/60 mmHg, nadi = 96x/menit ; suhu =
37,8C, pernafasan = 24x/menit. Rambut rontok, mudah dicabut; konjunctiva
anemis ; hasil pemeriksaan lab, darah rutin ditemukan nilai Hb = 8 gr/dl, LED 62
mm/jam, Leukosit = 2400/ul. Anti ds DNA 210 iu.
d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu : e. Riwayat Kesehatan Keluarga : 3. Pemeriksan Fisik
a. Inspeksi : pasien tampak lemah, eritema dan lesi pada kulit di dada, ekstremitas atas
dan bawah, eritema pada sekitar hidung (butterfly rash), ulserasi pada mukosa mulut.
b. Palpasi : rambut rontok, mudah dicabut, konjunctiva anemis.
33
c. Auskultasi : *(penting dilakukan untuk mengetahui suara napas, apakah ada pleuritis/efusi pleura,
dan untuk mengetahui apakah ada bunyi jantung tambahan yang menunjukkan adanya
perikarditis/miokarditis)
d. Perkusi : *(penting untuk mengetahui apakah ada pembesaran hepar atau spleen)
4. Pemeriksaan Laboratorium
Nilai Normal
Hb
= 8 gr/dl
LED
= 62 mm/jam (tinggi)
Leukosit
= 2400/ul
(rendah)
12-16 gr/dl
< 20 mm/jam
(rendah)
(tinggi)
4000-10000 /ul
70-200 iu
B. Data Psikososial : -
C. Analisis Data
34
Data Fokus
Etiologi
Masalah Keperawatan
DS :
Intoleransi Aktivitas
Intoleran
aktivitassuplai
Menurunnya
O2 keseluruh tubuh
Anemia
dan
Malaise
Eritrosit
tampak lemah
DO :
konjunctiva anemis
Hb 8 gr/dl
TD 100/60 mmHg
RR 24 x/menit
DS :
DO :
Suhu 37,8C
35
Hipertermi
RR 24 x/menit
Anemia
DS:
DO :
RR 24 x / menit
Eritrosit
Suplai O2 ke seluruh tubuh
Takipnea
36
DS :
Ruam
membentang di pipi
37
(butterfly rash)
Hipersensitivitas kulit
Prostaglandin
bawah
Dilatasi arteriol
- Ulserasi mukosa
mulut
Kongesti/Hiperemi
Rubor
(Kemerahan)
38
DO:
-
Ulserasi di mulut
Pelepasan zat vasoaktif / mediator kimia (ex:Sitokinin, Prostaglan
terdapat
ruam
Rubor
(Kemerahan),
+ cahaya matahari
Asupan
protein
makan
+ sinar UVKongesti
Susah
/ Hiperemi
Protein
rambut
rusak,
keratin
membentang di pipi
Dilatasi arteriol
ruam
merah
menyerupai cakram
diseluruh tubuh
-
rambut
rontok,
mudah dicabut
39
DS :
Nyeri
pada
Nyeri
sendi,
nyeri
tulang
Artritis
Inflamasi
fx. pekerjaan
pada
tulang
Merangsang
nyeri
Ggn. rasa
nyaman
:+reseptor
Nyeri
persendia
DO :
LED 62 mm/jam
40
DS :
Tidak
Intakenafsu
nutrisi
makan
< kebutuhan tubuh
Ulserasi
Ketidakseimbangan
nutrisi
Tidak
ada nafsupemenuhan
makan
DO :
Ulserasi
pada
mukosa mulut
41
Ketidakseimbangan
pemenuhan
nutrisi
DS :
DO :
Eritrosit
Konjunctiva anemis
Suplaijaringan
O2
ke mata
seluruh
Ggn.
Perfusi
O2
ke
tubuh
Konjunctiva
anemis
Hb 8 gr/dl
RR 24 x / menit
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 menurun
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan takipnea, nyeri, dan kelelahan
c. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada tulang
dan sendi
d. Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan lesi / malar pada kulit
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ulserasi pada mukosa
mulut
g. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada organ dan peningkatan
metabolisme
42
h. Gangguan body image berhubungan dengan rambut rontok dan mudah dicabut
i. Defisit pengetahuan berhubungan dengan ketidaktahuan akan nyeri yang
dirasakan
3. INTERVENSI
a.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
b.
43
c.
2.
3.
4.
5.
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada tulang
dan sendi
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan, nyeri hilang / berkurang
Intervensi :
1.
2.
3.
4.
5.
Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
6.
Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa
nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya.
7.
Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk
memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
8.
d.
44
Intervensi :
1.
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan. R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status
dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2.
Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya SPF >15.
3.
dengan
berhati-hati
dan
melakukan
masase
dengan
Gunting kuku secara teratur. R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan
risiko kerusakan dermal.
5.
Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk. R/: dapat mengurangi kontaminasi
bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
6.
7.
e.
45
2.
f.
3.
4.
5.
6.
7.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ulserasi pada mukosa
mulut
Tujuan : status nutrisi adekuat, integritas mukosa mulut baik.
Intervensi :
1.
Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan. R/: lesi mulut,
tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan
pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
2.
yang
berhubungan
dengan
mual/muntah,
lesi
oral,
46
4.
Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin. R/: dapat meningkatkan napsu makan
dan perasaan sehat.
5.
Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat
mendekati waktu makan. R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan
energi untuk aktivitas makan.
6.
Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan. R/: mempermudah proses
menelan dan mengurangi resiko aspirasi.
7.
8.
Kolaborasi
Konsultasikan
dengan
tim
pendukung
ahli
diet/gizi.
R/:
2.
3.
4.
5.
6.
47
h.
7.
8.
9.
Gangguan body image berhubungan dengan rambut rontok dan mudah dicabut
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan penyakit
Intervensi :
1.
i.
2.
3.
4.
5.
Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/:
Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
2.
Tinjau ulang cara penularan penyakit. R/: mengoreksi mitos dan kesalahan
konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
48
3.
4.
untuk
mengubah
aturan
untuk
memenuhi
kebutuhan
perubahan/individu.
5.
49
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus
adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus.
Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus
Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri. Penyakit Lupus adalah
istilah dari bahasa Latin yang berarti Serigala. Hal ini disebabkan penderita penyakit ini
pada umumnya memiliki butterfly rash atau ruam merah berbentuk kupu-kupu di pipi
yang serupa di pipi Serigala, tetapi berwarna putih. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran
disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang
seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh,
penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi
overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak
antibodi yang akhirnya menyerang tubuh. Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit
yang mematikan. Penyakit ini setara dengan penyakit Kanker, banyak yang meningal
dunia karena mengidap penyakit ini. Penyebab lupus masih belum diketahui secara pasti,
tetapi lupus ini bisa terjadi karena genetik, sering terpapar sinar matahari, dan akibat dari
obat-obatan, misalnya obat anti kejang, obat tekanan darah dan antibiotik. Orang yang
gejala lupusnya timbul ketika minum obat biasanya gejala penyakit lupus tersebut akan
hilang ketika mereka berhenti minum obat.
Pengobatan penyakit lupus tergantung pada tanda dan gejala yang muncul saja,
karena biasanya tidak semua gejala muncul pada seseorang. Obat penyakit lupuss yang
paling sering digunakan adalah obat anti-inflammatory non steroid (NSAID=non steroid
anti-inflammatory drugs) untuk mengobati nyeri, pembengkakan dan demam yang
50
berhubungan dengan lupus; obat antimalaria untuk membantu mengendalikan lupus; obat
kortikosteroid digunakan untuk melawan peradangan; dan obat penekanan kekebalan
tubuh.
Dalam kasus ini peran perawat dalam menangani pasien yang terkena penyakit
lupus yaitu sebagai educator, advocator, pemberian asuhan keperawatan, kolabolator,
konsultan. Contohnya memberi tahu kepada pasien mengenai penyakitnya, bagaimana
penangannya, memberi tahu untuk menghindari faktor pencetus penyakit lupus,
memberikan motivasi kepada pasien supaya tidak berputus asa atau menjadi minder,
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, menjadi konsultan pasien, dan
melakukan kolabolator dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian obat.
51
DAFTAR PUSTAKA
52
Kozier, Barbara., Erb Glenora, dkk., 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, & Praktik, Edisi 7, Volume 1. Jakarta : EGC
Noer, Syaifullah. (2003). Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. Edisi II. Jakarta : EGC.
Sylvia, A. (1995). Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta :EGC.
Waspadji, Sarwono. (1998). Ilmu penyakit dalam. Edisi III. Jakarta : Balai penerbit FKUI.
Waterbury, Larry. 2001. Buku Saku Hematologi Edisi 3 (House Officer Seres Hematology).
Jakarta : GC
Womack, M. 1993. The yellow fever mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats, Vol. 5(4):4.
World Health Organization (WHO). Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. Jakarta : EGC.
Zvezdanovic L, Dordevic V, dkk. 2006. The significance of cytokines in diagnosis of
autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem
http://www.Flib.ui.ac.id/file?file=digital/125167-R19-OM.Literatur.pdf
http://www.jevuska.com
http://www.kemhan.com/2012/04/asuhan-keperawatan-dengue-haemoragic.html
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/5532
https://www.scribd.com/doc/65137585/Pemeriksaan-Lab-Lupus
http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti
http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes
53
54