Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN
PENYAKIT PARU AKIBAT KERJA
Berbagai

penyakit

dapat

timbul

dalam

lingkungan

pekerjaan

yang

mengandung debu industri, terutama pada kadar yang cukup tinggi, antara lain
pneumoconiosis, silikosis, asbestosis, hemosiderosis, bisinosis, bronchitis, asma kerja,
kanker paru, dll. Penyakit paru kerja terbagi 3 bagian yaitu :
1. Akibat debu organik, misalnya debu kapas (Bissinosis), debu padi-padian
(Grain workers disease), debu kayu.
2. Akibat debu anorganik (pneumoconiosis), misalnya debu silica (Silikosis),
debu asbes (asbestosis), debu timah (Stannosis).
3. Penyakit paru kerja akibat gas iritan, 3 polutan yang paling banyak
mempengaruhi kesehatan paru adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida
(NO2), dan ozon (O3).
Bila
pengobatan

penyakit

paru

akibat

kerja

telah

terjadi,

umumnya

tidak

ada

yang spesifik dan efektif untuk menyembuhkannya. Gejala biasanya

timbul apabila penyakit sudah lanjut (WHO, 1995)

FAKTOR FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA GANGGUAN PARU


1

Gangguan saluran pernafasan akibat inhalasi debu dipengaruhi oleh berbagai


faktor antara lain
1. Faktor debu itu sendiri
Yaitu ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama perjalanan
dan faktor individu berupa mekanisme pertahanan selain itu faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya gangguan paru dapat berupa jenis debu, ukuran partikel,
konsentrasi partikel, lama pajanan, dan kerentanan individu.Tingkat kelarutan
debu pada air, kalau debu larut dalam air, bahan dalam debu larut dan masuk
pembuluh darah kapiler alveoli. Bila debu tidak mudah larut tetapi ukurannya
kecil maka partikel-partikel tersebut dapat masuk ke dinding alveoli.
Konsentrasi debu, makin tinggi konsentrasinya makin besar kemungkinan
menimbulkan keracunan. Jenis debu ada dua (2) macam yaitu debu organik (
debu padi/ kulit padi), dan debu anorganik (debu yang berasal dari mesin
penggilingan padi). (Faridawati, 1997).
2. Masa kerja
Masa kerja menunjukkan suatu masa berlangsungnya kegiatan seseorang dalam
waktu tertentu. Seseorang yang bekerja di lingku ngan industri yang
menghasilkan debu akan memiliki resiko gangguan kesehatan. Makin lama
seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan makin tinggi resiko
terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernafasan. Debu yang
terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan
membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung akan kita rasakan
adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran
2

pernafasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah
tetapi di atas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas (Irga,
2009)
3. Umur
Umur merupakan salah satu karateristik yang mempunyai resiko tinggi terhadap
gangguan paru terutama yang berumur 40 tahun keatas, dimana kualitas paru
dapat memburuk dengan cepat. Menurut penelitian Juli Soemirat dan kawankawan dalam Rosbinawati (2002), mengungkapkan bahwa umur berpengaruh
terhadap

perkembangan

paru-paru.

Semakin bertambahnya umur maka

terjadi penurunan fungsi paru di dalam tubuh. Menurut hasil penelitian


Rosbinawati (2002) ada hubungan yang bermakna secara statistik antara umur
dengan gejala pernapasan. Faktor umur berperan penting dengan kejadian
penyakit dan gangguan kesehatan. Hal ini merupakan konsekuensi adanya
hubungan faktor umur dengan : potensi kemungkinan untuk terpapar terhadap
suatu sumber infeksi, tingkat imunitas kekebalan tubuh, aktivitas fisiologis
berbagai

jaringan

Bermacam-macam

yang

mempengaruhi

perubahan

biologis

perjalanan

penyakit

berlangsung

seiring

seseorang.
dengan

bertambahnya usia dan ini akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam


bekerja.
4. Alat pelindung diri
Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja
terhadap bahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan
kerja. Alat yang dipakai disini untuk melindungi sistem pernapasan dari
partikel-partikel berbahaya yang ada di udara yang dapat membahayakan
3

kesehatan. Perlindungan terhadap sistem pernapasan sangat diperlukan terutama


bila tercemar partikel-partikel berbahaya, baik yang berbentuk gas, aerosol,
cairan, ataupun kimiawi. Alat yang dipakai adalah masker, baik yang terbuat
dari kain atau kertas wol (Irga, 2009)
5. Riwayat merokok
Riwayat merokok merupakan faktor pencetus timbulnya gangguan pernapasan,
karena asap rokok yang terhisap dalam saluran nafas akan mengganggu
lapisan mukosa saluran napas. Dengan demikian akan menyebabkan munculnya
gangguan dalam saluran napas. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur
jalan nafas. Perubahan struktur jalan nafas besar berupa hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus. Sedangkan perubahan struktur jalan nafas kecil bervariasi dari
inflamasi ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena proses
inflamasi, hiperplasia sel goblet dan penumpukan secret intraluminar. Perubahan
struktur karena merokok biasanya di hubungkan dengan perubahan/kerusakan
fungsi. Perokok berat dikatakan apabila menghabiskan rata-rata dua bungkus
rokok sehari, memiliki resiko memperpendek usia harapan hidupnya 0,9 tahun
lebih cepat ketimbang perokok yang menghabiskan 20 batang sigaret sehari
(Antaruddin, 2003).
6. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit merupakan faktor yang dianggap juga sebagai pencetus
timbulnya gangguan pernapasan, karena penyakit yang di derita seseorang akan
mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang
pernah atau sementara menderita penyakit sistem pernafasan, maka akan
meningkatkan resiko timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar debu.
UJI FUNGSI PARU
4

Uji fungsi paru adalah alat untuk mengevaluasi sistem pernapasan, kelainan yang
terkait riwayat penyakit pasien, penelitian berbagai pencitraan paru dan uji invasif
seperti bronkos- kopi dan biopsi terbuka paru. Perbandingan antara nilai yang diukur
pada pasien dengan nilai normal yang berasal dari penelitian populasi dapat digunakan
untuk mengetahui patofisiologi penyakit yang

mendasari. Persentase nilai prediksi

normal dapat digunakan untuk menilai keparahan penyakit. Dokter harus terbiasa
dengan uji fungsi paru karena sering digunakan dalam pengobatan dan evaluasi gejala
pernapasan seperti sesak na- pas dan batuk, untuk menilai praoperasi dan diagnosis
penyakit seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Uji fungsi paru adalah istilah umum manuver yang menggunakan peralatan
sederhana untuk mengukur fungsi paru. Uji fungsi paru meliputi spirometri sederhana,
pengukuran volume paru formal, kapasitas difusi karbon monoksida (CO) dan gas darah
arteri. Uji fungsi paru digunakan untuk mengukur dan merekam 4 komponen paru yaitu
saluran na- pas (besar dan kecil), parenkim paru (alveoli, interstitial), pembuluh darah
paru dan meka-nisme pemompaan. Berbagai penyakit dapat berdampak pada komponen
tersebut.
Tes fungsi paru dilakukan untuk :
a. Mendiagnosis penyakit paru tertentu
b. Membantu menentukan penyebab masalah pernapasan
c. Mengukur jumlah fungsi paru pada orang yang memiliki penyakit paru dan
untuk memantau efektivitas pengobatan
d. Mengidentifikasi orang yang berisiko tinggi penyakit paru
e. Mengevaluasi kemampuan seseorang untuk bernapas sebelum operasi
f. Memantau fungsi paru dari orang yang secara teratur terkena zat yang
merusak paru-paru.
DASAR TES FUNGSI PARU
Dasar test fungsi paru terdiri dari :
1. Penyakit paru obstuktif
5

Tidak dapat menghembuskan udara (Unable to get air out). FEV1/FVC <75%
Semakin parah obstruksinya :
FEV1 : 60-75% = mild
FEV1 : 40-59% = moderate
FEV1 : <40 = severe
Jalan napas yang menyempit akan mengurangi volume udara yang dapat
dihembuskan pada satu detik pertama ekspirasi.
2. Penyakit paru restriktif
Tidak dapat menarik napas (unable to get air in)
FVC rendah; FEV1/FVC normal atau meningkat
TLC berkurang sebagai Gold Standart
FEV1 dan FVC menurun, karena jalan napas tetap terbuka, ekspirasi bisa
cepat dan selesai dalam waktu 2-3 detik. Rasio FEV1/FVC tetap normal atau
malah meningkat, tetapi volume udara yang terhirup dan terhembus lebih
kecil dibandingkan normal.
3. Mixed
Ekspirasi diperlama dengan peningkatan kurva perlahan mencapai plateau.
Kapasitas vital berkurang signifikan dibandingkan gangguan obstruktif. Pola
campuran ini, jika tidak terlalu parah, sulit dibedakan dengan pola obstruktif .
JENIS UJI FUNGSI PARU
1. Spirometri
2. Uji provokasi bronkus
3. Pemeriksaan kapasitas residu fungsional
a. Tekhnik dilusi gas
b. Body pletysmograph
4. Uji kapasitas difusi
a. DLCO (diffusing capacity of the lung for carbon monoxide).
1. Spirometri
Spirometri adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur aliran udara
kedalam dan keluar dari paru. Spirometri paling sering digunakan untuk menilai
fungsi paru. Sebagian besar pasien dapat dengan mudah melakukan spirometri setelah
dilatih oleh

pelatih

atau

tenaga

kesehatan lain yang tepat. Uji ini dapat

dilaksanakan di berbagai tempat baik ruang praktek dokter, ruang gawat darurat atau
6

ruang perawatan. Spirometri dapat digunakan untuk diagnosis dan memantau gejala
pernapasan dan penyakit, persiapan operasi, penelitian epidemiologi serta penelitian
lain.
Seseorang yang bernapas melalui mouth piece spirometri perlu ditutup
hidungnya. Responden yang meniup diinstruksi mengenai cara bernapas sewaktu
prosedur. Tiga maneuver pernapasan dicoba dahulu sebelum menentukan data
prosedur dan data yang tertinggi dari tiga kali percobaan diambil untuk mengevaluasi
pernapasan. Prosedur ini mengukur aliran udara melalui prinsip-prinsip perpindahan
elekronik atau mekanik dan menggunakan mikropresessor dan perekam untuk
menghitung serta memplot aliran udara.
Tes ini menghasilkan rekaman ventilasi responden dalam kondisi yang
melibatkan usaha normal dan maksimal. Rekaman yang diperoleh disebut
spirogram yang akan menunjukkan volume udara serta tingkat aliran udara
yang memasuki dan keluar dari paru. Spirometri dapat menghitung beberapa
kapasitas paru. Akurasi pengukuran tergantung pada betapa benar responden
melakukan maneuver ini. Pengukuran yang paling umum diukur

melalui

spirometri adalah :
a. Vital Capacity (VC) adalah jumlah udara (dalam liter) yang keluar dari
paru sewaktu pernapasan yang normal. Responden diinstruksi untuk menginhalasi
dan mengekspirasi secara normal untuk mendapat ekspirasi yang maksimal.

Nilai

normal biasanya 80% dari jumlah total paru. Akibat dari elastisitas paru

dan

keadaan toraks, jumlah udara yang kecil akan tersisa didalam paru selepas ekspirasi
maksimal. Volume ini disebut residual volume (RV) (Guyton, 2006).
b. Forced vital capacity (FVC).

Setelah mengekspirasi secara maksimal,

responden disuruh menginspirasi


7

dengan usaha maksimal dan mengekspirasi secara kuat dan cepat. FVC adalah
volume udara yang diekspirasi kedalam spirometri dengan usaha inhalasi yang
maksimum (Ganong, 2005).
c. Forced expiratory volume (FEV).
Pada awalnya maneuver FVC diukur dengan volume udara keluar ke dalam
spirometri dengan interval 0.5, 1.0, 2.0, dan 3.0 detik. Jumlah dari semua nilai itu
memberikan ukuran sebanyak 97% dari FVC. Secara umum, FEV-1 digunakkan
lebih banyak yaitu volume udara yang diekspirasi kedalam spirometri pada 1 saat.
Nilai normalnya adalah 70% dari FVC ( Ganong, 2005).
d. Maximal voluntary ventilation (MVV)
Responden akan bernafas sedalam dan secepat mungkin selama 15 detik. Rerata
volume udara (dalam liter) menunjukkan kekuatan kontraksi otot respiratori

(Guyton, 2006). Semua nilai normal pengukuran yang dilakukan melalui


spirometri sangat tergantung pada umur, kelamin, berat badan, tinggi dan ras.

(Braunwald, 2001)

Tujuan Spirometri

Spirometri dapat membantuk untuk mendeteksi berbagai penyakit yang menggangu


fungsi paru. Antaranya adalah asma, chronic obstructive pulmonary disease (COPD),
emphysema, dan kelainan kronik paru yang lain. Jika nilai spirometri menunjukkan nilai
dibawah batas normal, maka dapat dipastikan adanya kelainan fungsional paru. Prosedur
spirometri dapat dilakukan dengan cepat tanpa menyebabkan nyeri (Blonshine, 2000).
Diagnostik
Indikasi
Evaluasi keluhan dan gejala (deformitas rongga dada, sianosis,
penurunan
napas, perlambatan
udara
ekspirasi,
overinflasi,
Evaluasi hasilsuara
laboratorium
abnormal (foto
toraks
abnormal,
Menilai pengaruh penyakit pada fungsi paru
Deteksi dini seseorang yang memiliki risiko menderita penyakit paru
Pemeriksaan rutin (risiko pra-pembedahan, menilai prognosis, menilai
Monitoring
Menilai efek terapi (terapi bronkodilator, terapi steroid)
Menggambarkan perjalanan penyakit (penyakit paru, interstitial
lung
disease (ILD),
gagalparu
jantung kronik, penyakit neuromuskuler, 8
Efek samping
obat pada
Evaluasi kecacatan
Kesehatan masyarakat

Kontraindikasi
Spirometri dikontraindikasi pada responden yang :

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Hemoptisis
Pneumotorak
Sakit jantung
Angina Pektoris
Aneurisme pada toraks, abdominal, cranial
Kondisi trombotik
Pembedahan toraks atau abdominal
h. Nausea dan muntah (blonshine,2000)

Gambar 1. Spirometri
2. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus digunakan untuk menen- tukan hipereaktivitas saluran
napas nonspesifik oleh penyebab yang tidak diketahui. Metakolin dan histamin adalah
bahan yang sering digu- nakan untuk provokasi walaupun bahan lain juga dapat
digunakan. Metakolin relatif aman dan dapat digunakan pada klinik rawat jalan dan
tidak memiliki efek samping sistemik.
9

Bila hasil spirometri normal, uji provokasi bronkus

dapat

dilaksanakan

mengguna- kan inhalasi metakolin dengan dosimeter. Uji ini dilaksanakan dalam 5
tahap dengan 5 kali peningkatan konsentrasi. Setiap selesai satu tahap kemudian
Dilakukan spirometri. Bila terdapat penurunan VEP1 sebesar 20%,tindakan
dihentikan dan dipertimbangkan hasilnya positif hipereaktivitas saluran napas.
Konsentrasi bahan untuk uji provokasi yang dapat menurunkan VEP1 hingga 20%
diberi label PC20VEP1. Jika penurunan VEP1 kurang dari 20% hasilnya negatif.
Hasil PC20VEP1 kurang dari 8 mg/mL secara klinis penting pada hipereaktivitas
saluran napas. Hasil positif uji ini secara kuat menunjukkan diagnosis asma; hasil ini
bisa false positive pada berbagai kondisi, seperti PPOK, gangguan parenkim paru,
gagal jantung kronik, infeksi saluran napas atas dan rinitis alergi, sedangkan hasil
negatif bisa menyingkirkan diagnosis asma.
3. Pemeriksaan Kapasitas Residu Fungsional (KRF)
Pengukuran KRF dapat dilakukan dengan teknik dilusi gas atau body
plethysmograph. Teknik dilusi gas digunakan untuk mengukur udara dalam paru yang
berhubungan dengan saluran napas. Keterbatasan teknik ini adalah tidak dapat
mengukur udara yang tidak berhubungan dengan saluran napas misalnya bula
sehingga hasil kapasitas paru total lebih rendah terutama pasien dengan emfisema
berat. Teknik dilusi gas menggunakan closed-circuit dilusi helium dan open-circuit
nitrogen washout. Berdasarkan inhalasi sejumlah gas helium pada volume dan
konsentrasi tertentu kemudian terjadi proses ekuilibrium dalam waktu 7-10 menit
dalam sistem tertutup, konsentrasi akhir helium pada udara ekspirasi merupakan
volume residu. Teknik washout nitrogen dilakukan dengan cara pasien bernapas
dengan oksigen 100% dan nitrogen dalam paru dikeluarkan. Volume udara yang
10

diekspirasi dan konsentrasi nitrogen dalam volume tersebut diukur. Perbedaan volume
nitrogen pada konsentrasi awal dan konsentrasi akhir dapat digunakan untuk
menghitung KRF.
Body plethysmograph. Merupakan metode lain untuk mengukur volume paru
menggunakan prinsip hukum Boyle; yaitu bila massa gas ditekan pada suhu konstan
maka tekanan (P) dan volume (V) adalah tetap. Prinsip ini diaplikasikan pada paru
subjek yang duduk dalam plethysmograph. Udara dalam jumlah besar di dalam kotak
tertutup rapat seperti kotak telepon umum dengan subjek duduk di dalamnya. Subjek
membuat usaha napas melawan saluran udara yang tertutup sehing ga volume paru
meningkat, kemudian tekanan saluran napas menurun dan tekanan dalam kotak
meningkat bersamaan dengan penurunan volume gas.
Plethysmograph. Mengukur volume total gas dalam paru, termasuk apapun
yang terperangkap di saluran napas yang tertutup dan yang tidak berhubungan dengan
mulut, sedangkan metode dilusi helium hanya mengukur hubungan gas atau ventilasi
volume paru. Pada subjek muda normal volume ini sebenarnya sama tetapi pada
pasien penyakit paru volume ventilasi kurang dari volume total karena terdapat gas
yang terperangkap di saluran napas yang obstruksi.

Gambar 2. Body pletysmograph


4. Kapasitas Difusi

11

Penilaian kapasitas difusi dapat menggunakan pemeriksaan DLCO (diff using


capacity of the lung for carbon monoxide). DLCO diukur untuk menilai interaksi
permukaan alveolar, perfusi kapiler alveolar, bagian dari celah antara alveolar-kapiler,
volume kapiler, konsentrasi Hb, reaksi Hb dengan CO. DLCO merupakan rasio antara
ambilan CO dalammililiter per menit dibagi rata-rata tekanan alveolar CO dalam
mmHg. Cara yang paling banyak digunakan adalah singlebreath breathholding
technique yaitu subjek diminta menghirup sejumlah volume udarayang terdiri dari
10% helium, 0,3% CO, 21% oksigen dan sisanya adalah nitrogen. Setelah menghirup
pasien kemudian menahan napas selama 10 detik. Perhitungan DLCO merupakan
hasil single-breath pasien yang dapat digunakan untuk memperkirakan kapasitas paru
total dikalikan laju ambilan CO selama 10 detik menahan napas. Anemia dapat
menurunkan DLCO. Penyakit interstitial pulmonary fi brosis (IPF) dan penyakit
interstitial lung disease (ILD) lain dapat menghasilkan DLCO abnormal. Penurunan
DLCO tidak hanya menunjukkan penyakit restriksi tetapi dapat ditemukan pada
emfisema.

DAFTAR PUSTAKA

12

Fachrial Harahap, Endah Aryastuti.

Yunus F. 1997. Pemeriksaan spirometri. In: Workshop on Respiratory Physiology and Clinical
Application. Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai