Anda di halaman 1dari 28

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Pendahuluan

...

Defenisi

Insiden

Epidemiologi

...

Etiologi

Klasifikasi

..

Patofisiologi

..

Diagnosis

..

Diagnosa Pembedahan

16

Diagnosa Banding .

16

Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik


1. Penatalaksaan Ekspektasi
2. Penatalaksaan Medis
3. Penatalaksaan Operatif

.
.
.

16
16
22

Komplikasi

26

Prognosis

26

Daftar Pustaka

28

Laporan Kasus

30

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik sebagai salah satu bentuk komplikasi kehamilan dalam trimester
pertama dan yang merupakan problema besar kesehatan pada golongan wanita usia
reproduksi tidak jarang dijumpai di Indonesia. Di negara-negara maju kejadian kehamilan
ektopik terlihat meningkat karena meningkatnya faktor-faktor risiko tinggi bagi kehamilan
ektopik, disamping teknologi diagnosis yang lebih canggih yang dapat mendeteksi kehamilan
ektopik lebih dini yang pada tahun-tahun yang silam tidak terdeteksi berkat tes kehamilan
yang jauh lebih peka dan penggunaan ultrasound transvaginal.3
Kehamilan ektopik sering keliru disebut sebagai kehamilan luar rahim atau
kehamilan di luar kandungan. Sebenarnya kehamilan ektopik berbeda dengan kehamilan di
luar rahim atau di luar kandungan. Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi dari
implantasi blastokista dan berkembangnya embrio diluar lokasi yang biasa. Biasanya
peristiwa implantasi terjadi di endometrium dalam rongga rahim tetapi bukan pada serviks
dan kornu. Dengan kata lain kehamilan yang berkembang di dalam serviks dan atau di dalam
kornu atau bagian interstisial dari uterus adalah kehamilan ektopik walaupun itu adalah
kehamilan intrauterin.3
Satu-satunya kehamilan yang bisa disebut kehamilan di luar kandungan adalah
kehamilan abdominal. Berdasarkan lokasi dimana implantasi dan perkembangan embrio
berlangsung maka kehamilan ektopik yang paling sering terjadi yaitu dalam tuba Fallopii.
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan
karena besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat dimana hal ini terjadi bila
kehamilan ektopik terganggu. Hal yang perlu diingat bahwa pada setiap wanita dalam masa
reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan

haid yang disertai nyeri perut bagian

bawah, perlu dipikirkan adanya kemungkinan kehamilan ektopik terganggu.2

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

DEFENISI

Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh
diluar endometrium kavum uteri.2 Kehamilan ekstra uterin tidak sinonim dengan
kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis masih
termasuk dalam uterus tetapi jelas bersifat ektopik.2
Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba terdapat kehamilan interstisialis
kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampullaris dan kehamilan infundibulum.
Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligementer, kehamilan
servikal dan kehamilan abdominal yang bisa primer atau sekunder.2,4 Sebagian besar
kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga
perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang sedimenter dan divertikel pada uterus.
Karena sebagian besar kehamilan ektopik merupakan kehamilan tuba, maka pembahasan
selanjutnya dipusatkan pada kehamilan tuba.
INSIDEN
Insiden kehamilan ektopik yang sebenarnya sulit ditentukan. Gejala kehamilan
ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas sehingga tidak dibuat diagnosisnya. Tidak
semua kehamilan ektopik berakhir dengan abortus dalam tuba atau ruptur tuba. Sebagian
hasil konsepsi mati dan diresorbsi.
Dalam kepustakaan insiden kehamilan ektopik dilaporkan antara 1 : 28 sampai 1 : 329 tiap
kehamilan.2 Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur 20 40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan
berkisar 0% - 14,6%.2

EPIDEMIOLOGI
KE yang mengalami ruptur dini (hanya beberapa hari terlambat haid) umumnya tidak
menyebabkan perdarahan yang serius dan nyeri yang minimal sehingga penderita tidak
waspada. Jadi dapat diperkirakan insiden penyakit ini sesungguhnya lebih tinggi dari yang
dilaporkan. Oleh karena penyakit infeksi alat kandungan dalam menjadi penyebab utama KE
bersamaan dengan keadaan gizi buruk dan tingkat kesehatan yang rendah, maka insidennya

lebih tinggi di negara berkembang dan berstatus sosio-ekonomi rendah dibanding di negara
maju.1,2,4
ETIOLOGI
Sebagian besar penyebabnya tidak diketahui.2,4 Telur yang dibuahi diampula, dalam
perjalanan ke uterus telur mengalami hambatan, saat nidasi masih di tuba atau nidasi di tuba
dipermudah.
Faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam hal ini sebagai berikut :
A. Faktor Tuba
1. Faktor dalam tuba
a) Endosalphingitis, 5 10 kali lebih sering.4,5
b) Hipoplasi uteri.4
c) Bekas operasi tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna.4,5
2. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis
b) Divertikel tuba kongenital.
3. Faktor di luar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan disortasi atau lekukan tuba.
b) Tumor yang menekan dinding tuba.
4. Faktor lain :
a) Migrasi luar ovum.
b) Fertilisasi in vitro.

B. Kelainan pada zygot


Berbagai macam kelainan pada zygot sudah pernah dilaporkan pada kasus kehamilan
ektopik antara lain kelainan kromosom, malformasi dan kelainan neural tube. Secara teori
kelainan preembrio ini mengakibatkan implantasi secara tidak normal ataupun ektopik.4
C. Faktor Ovarium

Faktor-faktor di ovarium yang menyebabkan timbulnya kehamilan ektopik adalah


fertilisasi ovum yang belum dilepaskan, transmigrasi ovum ke tuba kontralateral dengan
akibatnya yaitu implantasi yang salah.4
D. Kelainan hormonal
Stimulasi dan pengeluaran hormon yang abnormal berperan pada terjadinya
kehamilan ektopik. Sebagai contoh 4 6% wanita yang memakai kontrasepsi oral mengalami
kehamilan ektopik.4 Kemungkinan hal ini disebabkan relaksasi otot polos karena pengaruh
hormon progesterone sehingga ovum terperangkap/tertahan.
E. Faktor Lain4 :
-

Penggunaan IUD

Merokok

Usia yang bertambah

Kuretase abortus yang berulang

KLASIFIKASI
Klasifikasi pembagian tempat terjadinya KE adalah :
(1) Kehamilan tuba
Interstisial (2%)
Isthmus

(25%)

Ampulla

(55%)

Fimbrial

(17%)

(2) Kehamilan ovarial

(0,5%)

(3) Kehamilan abdominal

(0,1%)

Primer
Sekunder
(4) Kehamilan tubo-ovarial
(5) Kehamilan intraligamenter
(6) Kehamilan servikal

Gambar 1. Lokasi Kehamilan Ektopikdikutip dari 13


PATOFISIOLOGI
Pada umumnya KE berlokasi di tuba falopii, lokasi paling sering pada (A) pars
ampullaris tuba 80%, (B) para isthmika tuba 12%, (C) fimbriae 5%, (D) cornu / pars
interstisialis tuba 2%. KE pada daerah selain tuba lebih jarang, yaitu (E) kehamilan
abdominal sekitar 1,4%, (F) ovarium dan servik masing-masing sekitar 0,2%. 1,2,4,5,6

Gambar 2. Kehamilan Ektopik (Tuba Falopii) dikutip dari 14


Kehamilan Tuba 2,4,8

Dinding tuba merupakan lapisan luar dan kapsularis yang merupakan lapisan dalam dari hasil
konsepsi. Karena tuba tidak dan bukan merupakan tempat normal bagi kehamilan, maka
sebagian besar kehamilan tuba akan terganggu pada umur 610 minggu kehamilan.
Isi konsepsi yang berimplantasi melakukan penetrasi terhadap lamina propria dan pars
muskularis dinding tuba. Kerusakan tuba lebih lanjut disebabkan oleh pertumbuhan invasif
jaringan trofoblas. Karena trofoblas menginvasi pembuluh darah dinding tuba, terjadi
hubungan sirkulasi yang memungkinkan jaringan konsepsi tumbuh. Pada suatu saat,
kebutuhan embrio di dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari
vaskularisasi tuba itu.
Ada beberapa kemungkinan akibat hal ini :
a. Mati dan kemudian diresorbsi
b. Terjadi abortus tuba (65%)
Ibu mengalami keguguran dan hasil konsepsi terlepas dari dinding tuba kemudian terjadi
pendarahan yang bisa sedikit atau banyak. Hasil konsepsi dan perdarahan bisa keluar ke
arah kavum uteri dan dikeluarkan pervaginam, atau keluar ke arah kavum abdominal
sehingga bertumpuk di belakang rahim disebut hematoma retrouterina atau disebut juga
massa pelvis (pelvic mass).
c. Terjadi ruptur tuba (35%)
Bila robekan kecil maka hasil konsepsi tetap tinggal dalam tuba sedang dari robekan
terjadi perdarahan yang banyak. Bila robekan besar, maka hasil konsepsi keluar dan
masuk dalam rongga perut. Nasib hasil konsepsi ini bisa :
-

Mati dan bersama darah berkumpul di retrouterina

Bila janin agak besar dan mati akan menjadi litopedion dalam rongga perut, atau

Janin keluar dari tuba diselubungi kantong amnion dan plasenta yang utuh,
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut dan terjadi kehamilan abdominal
sekunder. Plasenta akan melebar mencari kebutuhan makanan janin pada usus,
ligamentum latum, dan organ-organ di sekitarnya. Selanjutnya janin dapat tumbuh
terus, bahkan sampai aterm.

d. Kemungkinan terbentuknya jaringan mola berisi darah di dalam tuba, karena aliran darah
di sekitar khorion menumpuk, menyebabkan distensi tuba dan mengakibatkan ruptur intra
lumen kantung gestasi di dalam lumen tuba. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam

rongga peritoneum, sebagai akibat erosi villi khorialis atau distensi berlebihan tuba
keadaan ini yang umum disebut KET atau KE dengan ruptur tuba.

Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba
bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh utuh seperti
dalam uterus. Kehamilan tuba pars ampularis terganggu pada umur kehamilan antara 8 12
minggu, dan kehamilan pars intertitialis ruptur pada usia 12 16 minggu.4
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi
kurang dan dengan mudah diresorbsi total.
2. Abortus dalam lumen tuba
Perdarahan karena terbukanya pembuluh-pembuluh darah oleh villi koriales pada dinding
bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Abortus ke lumen tuba lebih sering
terjadi pada kehamilan pars ampullaris. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan
tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping), dan selanjutnya mengalir ke rongga
perut dan terkumpul di kavum Douglas dan menyebabkan hematokel retro uterine.
3. Ruptur dinding tuba
Sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda.2
Faktor utama penyebabnya ialah penembusan villi korialis ke dalam lapisan muskularis
tuba terus ke peritoneum. Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur
sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini dinding tuba sudah menipis pecah karena tekanan
darah dalam tuba.2,4
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan
dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut sehingga
akan terjadi kehamilan abdominal sekunder.2,4
Implantasi pada pars ampullaris tuba
Paling banyak ditemui, konsepsi yang sangat kecil dan baru saja berimplantasi bisa mati
sendiri lalu diresorbsi tanpa gejala. Hasil konsepsi yang terlepas dari tempat implantasinya
(abortus tuba komplit) keluar ke dalam rongga abdomen dan diresorbsi. Pada abortus
inkomplit di dalam tuba akibat erosi pembuluh kapiler atau pembuluh darah besar karena

invasi trofoblast. Sebagian dari darah yang keluar mengalir ke dalam kavum douglas dan
berkumpul, sebagian lagi membeku mengelilingi hasil konsepsi di dalam tuba. Jumlah darah
terkumpul di dalam kavum douglas pada abortus komplit sedikit dan lebih banyak pada
abortus inkomplit sehingga terbentuk hematosil.2,4
Implantasi pada pars isthmika tuba
Mempunyai lumen yang sempit, tipis dan tidak mampu melebar seperti pars ampullaris. Pada
kehamilan 2-3 bulan sudah terjadi ruptur. Apabila implantasi terjadi pada segmen ini maka
resiko robekan terjadi lebih dini dan lebih berat disebabkan invasi trofoblast ke dalam
dinding tuba atau peregangan oleh hasil konsepsi atau karena banyak darah yang terkumpul
dengan cepat.2,4

Implantasi pada pars interstisial


KE dapat berlangsung lebih lama sekitar 12-14 minggu atau lebih, kadang sampai aterm,
karena hasil konsepsi yang membesar masih dapat ditampung oleh miometrium yang dapat
hipertropi. Robekan dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan keluarnya janin ke
dalam rongga abdomen.2,4
Perubahan pada uterus
Hormon-hormon kehamilan akan memberikan reaksi pada uterus seperti pada kehamilan
biasa. Maka tetap ditemui uterus yang bertambah besar dari biasa serta melunak, suplai darah
yang bertambah dan terbentuknya desidua. Bila hasil konsepsi dalam tuba mati, maka desidua
mengalami degenerasi, terkelupas, dan berdarah kemudian keluar pervaginam yang disebut
decidual cast. Bila gejala lain tidak ada, sering wanita disangka keguguran, bahkan dilakukan
kuretase.2,4
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa KET yang akut tidaklah terlalu sulit, tetapi untuk jenis yang kronik
bisa sulit sekali.
1. Gejala dan tanda klinik
a. Nyeri abdomen (pelvik)

Nyeri pelvik atau abdomen bagian bawah terjadi pada >95% kasus. Sekitar
44% wanita mengalami nyeri abdomen menyeluruh dan 33% nyeri unilateral.
Nyeri subdiafragma atau nyeri bahu tajam disebabkan oleh iritasi saraf
frenikus akibat darah intraperitoneum yang luas pada 22% kasus. Nyeri abdomen
(pelvik) sampai pingsan terjadi 37% pasien. Pada kehamilan yang lebih lanjut, dapat
ditemukan sakit kepala (58%), gejala gastrointestinal (80%).1,4 Pada kejadian ruptur,
nyeri dirasakan pada seluruh abdomen.1,2,3,4
b. Perdarahan pervaginam
Keluhan dapat berupa haid yang tidak normal. Hampir seluruh wanita
penderita kehamilan ektopik terganggu mengeluhkan amenorea tetapi 25% tidak,
mereka salah menafsirkan bahwa terjadi haid padahal yang terjadi adalah perdarahan
dari kehamilan tuba. Perdarahan pervaginam yang banyak ditemukan pada 60- 80%.1,4
Perdarahan pervaginam dapat berupa bercak darah (spotting) sampai
perdarahan seperti haid, ini terjadi akibat produksi Human Chorionik Gonadotropin
(hCG) yang rendah oleh trofoblas pada KE dan ditemukan pada 50-80% pasien.
c. Amenorea
Amenorea sekunder sedikitnya terjadi dalam 2 minggu pada 60-80% kasus
d. Perubahan uterus
Uterus mungkin terdorong oleh massa ektopik, atau ligamen terisi oleh darah dan
letak uterus bisa sangat berubah.1,4 Pada 25% wanita uterus membesar karena
perubahan hormonal selama kehamilan. Bila desidua ditemukan ada di uterus tanpa
thropoblast mungkin suatu kehamilan ektopik tetapi bukan absolut, dan jika desidua
tidak ada bukan berarti kehamilan ektopik disingkirkan. Desidua di uterus ditemukan
hanya 5%-10% kasus.1
e. Tekanan darah dan nadi
Birkhahn (2003) mencatat 25 wanita dengan ruptur kehamilan ektopik gejala
utamanya berupa nadi < 100 x/i dan tekanan darah sistolik > 100 mmHg. 1 Perdarahan
banyak menimbulkan gejala syok.1,2,4
2. Pemeriksaan fisik dan ginekologi
Pada pemeriksaan fisik dan ginekologi dapat ditemukan :

(1) Tanda-tanda akut abdomen : nyeri tekan yang hebat (defance muscular), muntah,
gelisah, pucat, anemis, nadi kecil dan halus, tensi rendah atau tidak terukur (syok).
(2) Nyeri bahu : karena perangsangan diafragma
(3) Tanda Cullen : sekitar pusat atau linie alba kelihatan biru hitam dan lebam
(4) Massa pelvik
Pada pemeriksaan bimanual, massa pelvik dengan ukuran 5-15 cm dapat
ditemukan pada 20% wanita. Massa hampir selalu ditemukan disamping atau
belakang uterus dan konsistensi lunak. Nyeri palpasi sering mengidentifikasi dimana
massa berada. Pemeriksaan bimanual yang berlebihan tidak perlu dilakukan untuk
mencegah ruptur.1
(5) Pada pemeriksaan ginekologik (periksa dalam) terdapat :
-

Adanya nyeri goyang serviks : dengan menggerakkan porsio dan serviks ibu akan
merasa sakit yang sangat. Ditemukan pada 75% wanita dengan ruptur tuba.1,2,4

Douglas crise : rasa nyeri hebat pada penekanan kavum douglas

Kavum Douglas teraba menonjol karena terkumpulnya darah, begitu pula teraba
masa retrouterin (massa pelvis)

(6) Pervaginam keluar decidual cast


(7) Pada palpasi perut dan pada perkusi : ada tanda-tanda perdarahan intra abdominal
(shifting dullness).

3. Temuan Laboratorium

Kehamilan intrauterin yang sehat, kadar hCG kira-kira meningkat 2 kali setiap 2
hari. Pada KE ditemukan kadar hCG serum rata-rata lebih rendah dibanding
kehamilan normal, tidak ada angka pasti untuk kadar hCG serum sebagai diagnostik
pada KE. Sehingga pemeriksaan kadar hCG serial sangat penting untuk
membedakan antara kehamilan normal dan abnormal. Serum hCG (+) 8-9 hari
setelah ovulasi, hCG meningkat >66% dalam 48 hari terjadi sekitar 17% pada KE.
90% kadar hCG pada KE < 6500 mIU/ml. Uji kehamilan melalui hCG urin (+)
pada 82% KE, 18% pada uji ini akan negatif bila kadar hCG <25 mIU/ml

Kadar progesteron tunggal tidak dapat digunakan untuk memprediksi KE, tetapi
belakangan ini sering digunakan sebagai alat bantu diagnosa bersama pemeriksaan

lainnya dimana pada KET, kadar progesteron <15 ng/ml terdapat pada 81% adanya
KET dan 93% pada kehamilan dalam rahim yang terganggu.

Kadar serum progesteron >25 ng/ml merupakan indikasi kuat untuk kehamilan dalam
rahim yang normal dan bila kadar <10 ng/ml dapat menduga suatu kehamilan yang
abnormal.

Hemoglobin dan hematokrit. Pada KET perlu dilakukan Hb serial, sehubungan


adanya perdarahan yang disebabkan oleh ruptur tuba. Biasanya Hb akan menurun
cepat dalam beberapa jam pada awal perdarahan akut, setelah itu penurunan Hb
hanya sedikit bahkan sering tidak berubah.

Hematokrit pada KET pada umumnya menurun, dengan adanya perdarahan yang
menyebabkan berkurangnya volume darah (hemodilusi) dan berkurangnya hematokrit
tergantung beratnya perdarahan.

Kadar leukosit (sel darah putih) pada KET (ruptur) 50% menunjukkan dalam batas
normal (<10.000/mm3) pada 36% kasus berada di antara 15.000-30.000/mm3.

Retikulosit bisa meningkat sampai dengan 20%.

4. Pemeriksaan khusus
a. Kuldosintesis
Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya penumpukan darah dalam kavum
abdomen (kavum Douglas) dengan cara menusuk jarum di daerah forniks posterior
dan diaspirasi. Darah yang diaspirasi disemprotkan ke kain has. Bila tidak membeku
berarti darah ini berasal dari tumpukan darah. Menurut Beacham, kuldosintesis sangat
berguna untuk diagnosa KET.
Dan dapat mendiagnosa perdarahan intraperitoneal, meskipun pemeriksaan
kuldosintesis ini sederhana, tidak mahal dan cepat tetapi teknik ini nyaman bagi
pasien dan tidak perlu lagi dilakukan bila diagnosa sudah jelas.
Cara sederhana untuk menemukan ada tidaknya hemoperitoneum ini untuk
melihat cairan terdiri dari klot darah ataupun darah yang sudah tidak membeku lagi.
Bila darah yang didapat masih membeku, darah tersebut mungkin berasal dari
pembuluh darah yang tertusuk daripada suatu kehamilan ektopik yang ruptur.1,3

Namun bila tidak ditemukan cairan darah belum tertutup kemungkinan suatu
kehamilan ektopik terganggu (KET).
Wanita dengan nyeri hebat ataupun status hemodinamik tidak stabil
memerlukan tindakan pembedahan tanpa menghiraukan ada tidaknya cairan di cul-desac, oleh karena itu ada yang mengatakan

kuldosentesis memberikan informasi

tambahan yang tidak dibutuhkan.5


b. Kolpotomi posterior (kuldotomi)
Sebagai pengganti kuldosintesis dapat dilakukan sayatan diforniks posterior.
5.

Pemeriksaan penunjang diagnostik suatu kehamilan ektopik


Beberapa algoritme untuk mendiagnosa kehamilan ektopik telah dibuat (Barnhart

1994, 1999 ; Kaplan, 1996 ; McCord, 1996 ; Stovall, 1989, 1990, 1992). Mereka
menggunakan 5 kunci untuk menegakkan diagnosa.
1. Sonografi

Pada pemeriksaan USG, diagnosa KE ditegakkan bila kavum uteri kosong dan
hasil konsepsi terlihat di luar uterus (di adneksa atau di kavum dauglas).

Dengan USG transabdominal baru jelas terlihat suatu kehamilan intrauterin


setelah 5-6 minggu kehamilan.

Gambar 4. Ultrasonografi Kehamilan Ektopik. (a) cornu (b) serviks

Untuk menduga suatu KE adalah bila tampak adanya suatu massa di adneksa atau
kavum dauglas dengan uterus yang kosong. Bila dihubungkan dengan hCG dalam
serum adalah sebagai berikut :

Jika kadar hCG >6.000 mIU/ml dan tampak kantong kehamilan dalam uterus maka
KE dapat disingkirkan, kecuali untuk kasus yang jarang yaitu kehamilan heterotopik.

Jika kadar hCG >6.000 mIU/ml dan tidak tampak kantong kehamilan uterus pada
USG transabdominal dapat didiagnosis suatu KE (86% dari kasus).

Jika kadar hCG <6.000 mIU/ml dan tampak adanya kantong kehamilan dalam rahim
pada USG transabdominal, ini dapat diduga adanya abortus spontan.

Dengan USG transvaginal menentukan suatu kehamilan lebih sensitif dan tepat untuk
mendiagnosa KE juga lebih tepat (>90%) dibandingkan dengan USG transabdominal.
Dengan pemeriksaan USG tersebut kantong kehamilan intrauterin pada kehamilan
sudah tampak terlihat pada kadar hCG >1.500-2.500 mIU/ml tetapi tidak tampak
kantong kehamilan intrauterin pada USG transvaginal.

2. Serum HCG
Pada wanita dengan dugaan adanya kehamilan ektopik karena ada nyeri,
perdarahan dan plano test yang positif lakukan sonografi vagina sebagai langkah
awal.1 Bila uterus kosong dan kehamilan ektopik didiagnosa berdasarkan massa
adnexa yang terpisah dari ovarium. Kehamilan dalam uterus sudah dapat dilihat
secara sonografi bila kadar HCG minimal 1000 mIU/mL dan secara abdominal
dengan HCG 18003600 mIU/ml. Studi oleh Barnhart dkk (1994) suatu keadaan
uterus kosong dengan kadar HCG serum 1500 mIU/mL, 100% menyingkirkan
adanya kehamilan yang baik dalam uterus. Bila ditemukan kadar HCG 1500
mIU/mL dan tidak ada tanda kehidupan dalam uterus yang diidentifikasi dengan
sonografi vagina maka diagnosa banding adalah suatu kehamilan uterus dengan janin
sudah mati dan kehamilan ektopik. Bila kadar HCG < 1500 mIU/mL kehamilan
uterus yang dini bisa saja terjadi, dan pemeriksaan HCG dengan sonografi vagina
serial sangat berguna. Dengan sonografi doppler dapat dilihat perubahan pembuluh
darah lokal dalam dinding uterus oleh karena adanya kantong gestasi sehingga dapat
membedakan ektopik atau tidak.
Wanita dengan kehamilan normal maka HCG kadarnya meningkat setelah 48
jam. Bila pemeriksaan HCG serial ditemukan peningkatan kadar yang tidak

sama(konstan) atau lebih dari 1500 mIU/mL tanpa adanya kehamilan uterus dengan
pemeriksaan sonografi vagina maka suatu kehamilan dalam uterus sudah dapat
disingkirkan. Untuk membedakan kehamilan ektopik dan kehamilan dengan janin
mati dilakukan kuratase atau biopsi endometrium.1 Namun Barnhart (2003) mencatat
biopsi endometrium tidak lebih sensitif dibanding kuretase.

3. Serum progesterone
Pemeriksaan tunggal progesterone serum dapat menjelaskan suatu diagnosa bila
diduga kehamilan ektopik. Nilai akurasinya kasar dan nilai ambang biasanya kurang dari
5 mg/mL dan lebih besar dari 25 mg/mL tidak menyangkal atau meniadakan suatu
kehamilan dalam rahim. Kemampuan ditiap institusi untuk mengukur progesterone serum
secara tepat adalah berbeda-beda. Kesukaran lain adalah bila kehamilan terjadi
menggunakan teknik reproduksi yang berkaitan dengan progesteron serum yang lebih
tinggi. Kadar progesterone serum sekurang-kurangnya 25 mg/mL suatu kehamilan
ektopik adalah tidak mungkin. Dengan adanya penemuan ini maka pemeriksaan sonografi
vagina tidak lagi diperlukan. Buckley (2000) menyatakan bahwa hanya 1 dari 4 wanita
yang mengalami kehamilan ektopik dimana pemeriksaan serum progesterone menjadi
penentuan.
4. Kuretase
Merupakan cara yang sederhana dan metoda yang efektif untuk mendiagnosa KE.
Ketika kehamilan abnormal diketahui melalui kadar hCG atau progesteron, kuretase
dapat membantu membedakan antara intrauterin atau KE. Jika di jaringan terdapat villi
yang dibuktikan dengan mengapung di cairan saline atau melalui diagnosis histologi
dengan membekukan jaringan dan irisan permanen pada jaringan maka telah terjadi
kehamilan intrauterin non viable. Sedangkan bila terbukti tidak ditemukan villi maka
diagnosis KE dapat ditegakkan.
5. Laparoskopi dan laparotomi
Alat laparoskopi sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosa KE yang belum
terganggu. Dapat juga dipakai untuk diagnosa KET, asal saja penumpukan darah dalam
kavum abdomen masih sedikit, dan hemodinamik stabil. Dengan alat ini laparotomi
percobaan dapat dikesampingkan.

Pemilihan algoritme ini dibuat hanya pada wanita yang memiliki status hemodinamik
yang stabil. Pada kasus yang diduga telah terjadi ruptur dengan hemodinamik yang tidak
stabil maka penanganan dengan pembedahan harus segera dilakukan.

DIAGNOSA PEMBEDAHAN
Laparoskopi
Visualisasi langsung ke tuba fallopi dan pelvis merupakan suatu cara diagnostik yang
banyak digunakan pada kasus dengan kehamilan ektopik dan siap sedia untuk tindakan
operatif.1 Dibanding laparotomi, ini lebih hemat biaya dan penyembuhan paska operasi lebih
cepat.1,3
Laparotomi
Dilakukan bila penderita sudah dalam keadaan hemodinamik yang tidak stabil.1,2,3,4
DIAGNOSA BANDING
1. Apendisitis akut.
2. Abortus.
3. Kista ovarium terpelintir.
4. PID.
5. Ruptur kista korpus luteum ataupun folikel
6. Endometriosis
7. Salpingitis
8. Batu ginjal

PENATALAKSANAAN 2,4,5,6,7

Ketika diagnosa KE ditegakkan, terdapat beberapa penanganan berbeda yang dapat


dilakukan. Diantaranya :
1. Penanganan Ekspektatif
Penanganan ini dapat berhasil pada pasien yang asimptomatik, dan KE secara pasti
terletak di tuba, tidak ada perdarahan yang berarti, tidak terbukti terdapat ruptur atau
gangguan hemodinamik dan
dibuktikan

secara

objektif

massa ektopik berdiameter <4cm. Kemudian dapat


terjadi

resolusi

seperti

penurunan

kadar

hCG.

Penatalaksanaan ekspektatif termasuk memonitor gejala klinis, hCG dan USG.

2. Penanganan Medikamentosa
Methotrexate, kalium klorida, glukosa hiperosmolar, aktinomisin-D, dan prostaglandin
telah berhasil digunakan sebagai obat-obatan untuk KE.
Methotrexate telah cukup dalam diteliti, dan saat ini telah ditetapkan sebagai pengobatan
pilihan pertama dan alternatif terhadap pembedahan untuk KE. Methotrexate adalah zat
antagonis asam folat yang menginaktivasi enzim dihidrofolat-reduktase, sehingga
menghabiskan simpanan tetrahidrofolat, sebagai kofaktor esensial bagi sintesa DNA dan
RNA selama proses pembelahan sel-sel. Dengan

mempertimbangkan bahwa

methotrexate telah berhasil digunakan untuk jangka waktu

lama dalam pengobatan

penyakit trofoblast gestasional, maka secara logika obat ini juga berguna pada KE.
Bahkan pada wanita-wanita yang tidak menginginkan kehamilan dalam

rahim,

pengobatan dengan methotrexate akan menurunkan kecepatan peningkatan konsentrasi


hCG; oleh karena itu kadar progesteron dan 17-hidroksiprogesteron juga akan menurun.
2.1. Indikator Prognostik
Karakteristik ultrasonografik. Sebuah kantung kehamilan atau massa lebih dari 3-4
cm telah dianggap secara luas sebagai kontraindikasi pengobatan medikamentosa
dengan menggunakan methotrexate. Adanya aktivitas jantung embrio dan cairan di
dalam

cul-de-sac

dipertimbangkan

sebagai

kontraindikasi

relatif

terhadap

pengobatan medikamentosa. Pengobatan lebih sering menunjukkan kegagalan yang


signifikan apabila aktivitas jantung ada tetapi sering juga berhasil. Penelitian yang
lebih baru yang menggunakan ultrasonografi menunjukkan bahwa cairan bebas
peritoneum dapat ditemukan pada hampir 40% wanita dengan KE yang baru ruptur

dan keberadaannya tidak dapat secara akurat memprediksi keberhasilan atau


kegagalan pengobatan medikamentosa.
Karakteristik biokimiawi. Dengan terbatasnya nilai prognostik yang didapat pada
observasi yang menggunakan ultrasonografi, konsentrasi serum hCG ternyata
cukup berguna. Kecenderungan kegagalan dengan pengobatan medikamentosa
memiliki korelasi langsung dengan konsentrasi awal hCG; dengan meningkatnya
kadar hCG, maka kemungkinan keberhasilan pengobatan semakin menurun.
Konsentrasi hCG

Angka keberhasilan

< 1000 IU/L

98% (CI=96-100)

1000 1999 IU/L

93% (CI=86-100)

2000 4999 IU/L

92% (CI=86-97)

5000 9999 IU/L

87% (CI=79-98)

10000 14999 IU/L

82% (CI=65-98)

>15000 IU/L

68% (CI=49-88)

2.2. Pengobatan Methotrexate Sistemik


Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan,
termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak
sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate
diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan
tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada
umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis
dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal. Harus diketahui pula bahwa terapi
methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan
angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi
berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi
medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan
menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan.
Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan

beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis,
gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan
methotrexate yang disebutkan dalam literatur antara lain kadar aktivitas jantung janin, ukuran
massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam

rongga peritoneum. Namun

disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar -hCG-lah yang bermakna secara statistik.
-hCG serial dibutuhkan. Untuk memantau keberhasilan

terapi, pemeriksaan hari-hari

pertama setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri
abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation
pain), dan

hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan

analgetik ,-hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari setelah pemberian
methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada
pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai
kegagalan terapi. Setelah terapi berhasil kadar -hCG masih perlu diawasi setiap minggunya
hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis
tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang
diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7.
Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan
dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi
methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba
dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan
melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate
dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang
belum terganggu.

Hasil Pengobatan dengan Methotrexate


Regimen methotrexate dosis tunggal maupun multipel belum pernah dibandingkan
secara langsung pada suatu percobaan yang diacak, tetapi keduanya telah mencapai angka
keberhasilan yang sempurna (75-95%) pada banyak kasus yang independen.
Secara umum, 50-80% wanita yang diobati dengan methotrexate akan mendapat
kehamilan berikutnya, dan 10-20% akan mengalami rekurensi KE. Intinya, fertilitas

setelah mengalami KE lebih bergantung pada karakteristik pasien dibandingkan dengan


metode pengobatan yang diberikan.
Indikasi dan Kontraindikasi Methotrexate
Karakteristik absolut
Hemodinamik stabil
Tidak ada bukti perdarahan intra abdominal akut
Memiliki komitmen untuk mematuhi regimen pengobatan
Tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemakaian methotrexate
Karakteristik yang diharapkan

Tanpa gejala atau gejala ringan (nyeri)

Konsentrasi serum hCG kurang dari 10.000 mIU/ml

Tidak ada aktivitas jantung janin

Massa KE memiliki diameter kurang dari 4 cm

Pengobatan medikamentosa tidak menjadi kontraindikasi pada KE dengan konsentrasi


hCG lebih dari 10.000 mIU/ml atau dengan adanya aktivitas jantung embrio, tetapi pada
keadaan tersebut terjadi peningkatan kecenderungan kegagalan pengobatan dan resiko
terjadinya ruptur tuba. Wanita yang tidak memenuhi kriteria absolut yang dipaparkan di
atas tidak boleh mendapat pengobatan medikamentosa.
Kontraindikasi pengobatan methotrexate :

Sedang menyusui

Keadaan immunodefisiensi

Alkoholisme atau terdapat bukti penyakit hepar kronik (peningkatan transaminase)

Penyakit ginjal (peningkatan kreatinin serum)

Kelainan hematologis (anemia berat, leukopenia, atau trombosito penia)

Sensitif terhadap methotrexate

Penyakit paru aktif

Ulkus peptik

Komplikasi Pengobatan Methotrexate Sistemik

Meskipun pengobatan medikamentosa merupakan pilihan pertama bagi hampir semua


wanita dengan KE yang tidak ruptur, tetapi bukan berarti sebagai pilihan yang paling baik
untuk semua wanita.
Ketika pengobatan medikamentosa telah berhasil, waktu penyembuhan (ketika
konsentrasi hCG tidak lagi terdeteksi) secara umum berkorelasi dengan konsentrasi awal
serum hCG; waktu penyembuhan rata-rata lebih kurang 5 minggu. Dan beberapa wanita
memerlukan pemeriksaan setiap minggu hingga 3 bulan atau lebih sampai hCG tidak
lagi terukur. Gejala nyeri pada umumnya timbul atau meningkat setelah beberapa hari
setelah pengobatan dengan methotrexate.
Keluhan tersebut selalu mengharuskan reevaluasi tetapi bukan merupakan indikasi
operasi segera. Efek samping dari methotrexate adalah relatif sering dirasakan, tetapi juga
bersifat minor dan sementara ; prevalensi terjadinya efek samping adalah lebih tinggi
pada pengobatan dosis multipel dibandingkan dosis tunggal.
Ruptur tuba mengharuskan tindakan operasi emergensi apabila terjadi pada saat
pemberian pengobatan medikamentosa, dan dapat terjadi meskipun konsentrasi hCG
sedang mengalami penurunan yang sesuai; ruptur tuba pernah didapatkan setelah 6
minggu pengobatan medikamentosa mulai diberikan. Untungnya, ruptur tuba tidak
memiliki efek samping yang independen yang mempengaruhi fertilitas selanjutnya atau
hasil dari kehamilan.

Pengobatan Medikamentosa dengan Injeksi Langsung


Methotrexate juga dapat diberikan dengan injeksi lokal secara langsung (1mg/kg) ke
dalam kantung kehamilan dengan tuntunan laparoskopi atau ultrasonografi. Melalui
metode ini, methotrexate dengan konsentrasi tinggi dimasukkan pada tempat implantasi
dan akan mencapai konsentrasi sistemik yang sama dengan terapi sistemik. Pemberian
methotrexate lokal telah banyak dilakukan di negara Eropa. Hasil dari keseluruhannya
tidak konsisten tetapi umumnya tidak berbeda dengan hasil terapi sistemik. Injeksi lokal
langsung bersifat invasif, lebih mahal dan memerlukan skill yang lebih besar. Dengan
kekurangan tersebut dan tidak ada bukti keuntungan yang jelas, pengobatan methotrexate
sistemik adalah pilihan yang lebih logis. Pengalaman dengan injeksi lokal langsung
dengan menggunakan obat lain (kalium-klorida, glukosa hiperosmolar) masih terbatas.

Oleh karena itu, secara umum, efikasi, keamanan dan dampak jangka panjang terhadap
fertilitas belum pernah didapatkan.
Profilaksis Immunoglobulin Rh
Meskipun terapi immunoglobulin Rh (D) pada umumnya direkomendasikan pada
semua wanita Rh-negatif yang terdapat KE atau abortus spontan dini, bukti mendukung
rekomendasi ini masih lemah. Sangat mungkin membutuhkan terapi tersebut pada pada
saat KE mencapai umur 8 minggu. Meskipun demikian, rekomendasi saat ini adalah
memberikan paling sedikit 50 mg immunoglobulin Rh pada semua wanita Rh-negatif
dengan KE atau abortus spontan dini (untuk melindungi perdarahan feto-maternal
mencapai 2,5 mL)
3. Penatalaksanaan Operatif
3.1. Pembedahan dengan laparoskopi
Pembedahan melalui lubang kecil, dibawah penglihatan laparoskopik, melakukan
insisi sepanjang batas superior dan menyedot KE ke luar. Hal ini juga
memungkinkan pembukaan tuba dan pengangkatan kehamilan (salpingostomi) atau
pengangkatan keseluruhan tuba (salpingektomi). Keputusan tindakan yang diambil
berdasarkan keinginan pasien, diikuti dengan follow-up hasil test kadar serum
hCG diperlukan pada jaringan ektopik persistent yang terjadi 5-10%. Laparoskopi
merupakan penanganan yang dianjurkan pada seluruh kasus KE. Hal ini berkaitan
dengan perdarahan dan kebutuhan analgetik yang minimal. Sehingga laparoskopi
mengurangi biaya, rawat inap dan periode penyembuhan.
3.2. Pembedahan dengan laparotomi
Umumnya dilakukan pada penderita dengan hemodinamik yang tidak stabil atau
penderita dengan KE di kornu. Metoda ini juga dilakukan untuk klinisi yang kurang
berpengalaman dan penderita yang sulit untuk dilakukan pembedahan secara
laparoskopi (obesitas dan hemoperitoneum yang masif).
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada
prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil

konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos


dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit
dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka
(tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold
standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel
membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per
laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi
pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa
rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup
ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba
dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak
berbeda secara bermakna.

Salpingotomi Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali


bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan

bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan
tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
Salpingektomi Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang
belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi
maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:
1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan
fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi
atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6)
perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan
heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil
konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika
yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab
salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika
yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali
dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi.
Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem,
digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria
tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang
direseksi dipisahkan dari mesosalping.
Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa
hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan
menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa
hasil konsepsi dapat terdorong dan

lepas dari implantasinya. Fimbraektomi

dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat
diekspulsi dengan cairan bertekanan.
Keberhasilan penanganan pembedahan pada KE bergantung pada beberapa faktor
termasuk di bawah ini :
a) Keadaan Preoperatif :
Usia penderita, riwayat dan keinginan untuk kemampuan fertilitas.
Riwayat KE berulang atau PID
Kondisi tuba ipsilateral (ruptur atau tidak ruptur)

Kondisi tuba kontralateral (perlengketan, oklusi pada tuba)


Lokasi kehamilan (interstitium, ampulla, isthmus)
Ukuran kehamilan
Komplikasi

b) Keadaan intra operatif : Lakukan prosedur dengan hati-hati untuk meminimalisasi


kehilangan darah dan mengurangi kemungkinan terjadinya jaringan trofoblastik yang
tertahan yang dapat menyebabkan implantasi berulang dan persisten. Angkat gestasi
yang luas pada kantung endoskopi, dan lakukan irigasi dan suction untuk mengangkat
fragmen-fragmen yang tertinggal. Awasi rongga peritoneum dan angkat setiap
jaringan trofoblastik yang tertinggal.
c) Keadaan post operatif : kontrol nyeri dan stabilitas hemodinamik.
d) Perawatan : setelah pembedahan monitor kadar hCG kuantitatif setiap minggu, bila
perlu hingga nol untuk memastikan pengobatan sempurna. Terutama pengobatan
dengan pembedahan konservatif seperti salpingostomi yang menyebabkan 5-15%
jaringan trofoblastik persistent. Waktu

rata-rata agar hCG hilang dari sistem

sirkulasi sekitar 2-3 minggu, tapi pada keadaan persistent lebih dari 6 minggu.

KOMPLIKASI
Diagnosis yang salah atau terlambat akan menimbulkan komplikasi sekunder pada
KE. Kegagalan mendiagnosis KE dapat menyebabkan ruptur uterin, tergantung pada lokasi
kehamilan, yang dapat menyebabkan perdarahan yang massif, syok, disseminated
intravascular coagulopathy (DIC) dan kematian. KE menyebabkan kematian ibu pada
trimester pertama. Komplikasi karena pembedahan : infeksi, dan kerusakan organ, seperti
usus, vesika urinaria, ureter, dan pembuluh darah besar yang dekat.
PROGNOSIS
Kematian karena KET cenderung menurun dengan diagnosis dini dan fasilitas dan
penyediaan darah yang cukup. Hanya 60% dari wanita yang pernah dapat KET menjadi
hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka KE yang berulang
dilaporkan berkisar antara 0-14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah

sekitar 50%. 3/4 wanita tersebut secara sadar menghindari kehamilan dan 1/4 mengalami
infertil.
1.

Ekspektatif dilakukan bila HCG dibawah 2000 IU/L dan hasil pemeriksaan sonografi
tidak meyakinkan, tindakan berupa monitor gejala-gejala klinis, pemeriksaan konsentrasi
HCG dan pemeriksaan usg transvaginal ulangan.

2.

Laparoskopi lebih baik dibanding laparotomi kecuali bila status hemodinamik penderita
tidak stabil. Hal yang dilakukan antara lain salphingostomy, salphingotomy dan
salphingectomy.

3.

Methotraxate sistemik
Obat anti neoplastik bekerja sebagai antagonis asam folat dan sangat efektif menghambat
proliferasi trophoblast.1 Perdarahan aktif dalam abdomen kontraindikasi diberikan terapi
ini, juga bila ukuran kehamilan lebih dari 4 cm. Kontra indikasi lain adalah wanita yang
sedang memberikan ASI, penurunan imun, penyakit hati dan ginjal, penyakit paru dan
ulkus peptikum.Dosis tunggal methotraxate adalah 50 mg/m2 IM sedangkan variabel
berupa 1mg/kgBB methotrexate + 0,1mg/kgBB leukovorin selang seling,dan kadar
HCG sebagai parameter keberhasilan pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hariadi R, Ilmu Kedokteran Fetomaternal, Himpunan Kedokteran Fetomaternal


Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Surabaya. 2004.p 336-359
2. Potter Beth et all. Diagnosis and Management of Ectopic Pregnancy. University of
Wisconsin Medical School-Madison. November 2005.
3. Marie anne et all. Diagnosis and Management of Ectopic Pregnancy. Journal of The
American

Academy.

November

2005;

vol.72/no.9.

www.aafp.org/afp/20051101/1707.html
4. Kusuma N, Affandi B. Effektivitas metrotreksat pada kehamilan tuba kajian
retrospektif selama 5 tahun di DKI Jakarta, MOGI 2001.
5. Vicken Sepilin, MD. Ectopic Pregnancy. University of Texas Medical Branch.
Oktober 2005. www.emedicine.com/med/ectopicpregnancy.com
6. Speroff Leon and Fritz Marc. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.
Ectopic Pregnancy. Lippincott Williams and Wilkins. 7th ed. 2005:1276-96.
7. Serdar

H.

Ural,

MD.

Ectopic

pregnancies,

Mei

2004.

www.yahooectopicpregnancies.com
8. Advanced Fertility Center of Chicago, Laparoscopic Images of Ectopic Tubal
Pregnancies, 1996-2006, www.ectopicpregnacies.yahoo.com
9. Jhon David Gordon, M, Obstetric Gynecology & Infertility, scrub hill press, inc.
2001.
10. Prawiroharjo S., Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi, Ilmu Kandungan,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999:199-206.

11. Cunningham GF, McDonald PC, Gant Williams Obstetric 20th ed, Prentice Hall, New
York, 1997 : 607-635.
12. Saifuddin, AB, Kehamilan Ektopik, Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo,
Jakarta, 2001, 152-156.
13. UK Ectopik Pregnancy trust, Ectopic Pregnancy www.women-health.co.uk
14. The Free Dictionary. Ectopic Pregnancy Dorlands Medical Dictionary for Health
Consumers.2007.www.medical-dictionarythefreedictionary.com
15. Fertility News. Ectopic Pregnancy. Articles 2005. www.fertilityjourney.com
16. The Most Trusted Name in Medical Illustration. Ectopic Pregnancy II Rupture,
Abortion.www.netterimages.com/image/3015.htm
17. Raine Nick and Fleischer A. Clarifying The Role of Three Dimensional
Transvaginal Sonography In Reproductive Medicine. Ectopic Pregnancy. Journal of
Experimental & Clinical Assisted Reproduction.2005.2(1):10
18. Nabil M and Amin Aly. Diagnostic Laparascopy in Gynaecological Problems : A
Retrospective Study. University Cairo. 2007.www.obgyn.net

Anda mungkin juga menyukai