Anda di halaman 1dari 16

Bab 1

PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit
tidak menular yang akan mningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah
merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.
Menurut WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu
25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah akan membengkak menjadi 300 juta
orang.
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di negara-negara berkembang,
akibat peningkatan kemakmuran di negara tersebut. Peningkatan pendapatan
perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota- kota besar, menyebabkan
peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner
(PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. Data epidemiologis di
negara berkembang masih belum banyak, oleh karena itu angka prevalensi yang
dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.
Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang
prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk
yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan
jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit
progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan pengelolaan yang
baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Walaupun demikian
pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi fokus utama.
1.2.Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang definisi, etologi, klasifikasi, patofisiologi,
pengobatan dan komplikasi dari DM tipe 2.
2. Untuk
mengetahui pengobatan dengan menggunakan obat-obatan
(farmakologis) dan tanpa obat-obatan (non farmakologis).
BAB 2
1

TUJUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) (Corwin, 2001).
2.2. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan sel
dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glikosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini
terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
2.3. Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu):
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel pancreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin
dansebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat
bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar.
Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi
insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis
glukosa

darah

,sehingga

terjadi

hiperinsulinemia

kompensatoir

untuk

mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit

DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan


hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam
darah.
Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif
(walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel
pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa
berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM
tipe 2.
Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel
pancreas yang menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa
di hepar pada keadaan puasa. Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2
masih terus berkembang, masih banyak hal yang belum terungkap. Hal ini
membawa dampak pada pengobatan DM tipe 2 yang mengalami perkembangan
yang sangat pesat, sehingga para ahli masih bersikap hati-hati dalam membuat
panduan pengobatan.
2.4. Faktor resiko Diabetes Mellitus Tipe II
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II(Smeltzer &
Bare, 2002) antara lain:
a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes,
karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan
baik.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara
drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka
yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.

c. Gaya hidup stress

Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis


untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek
penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya
bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat
mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena
makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi
yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh
sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong
gemuk.
2.6. Diagnosis
Diagnosis mellitus yang bergejala tidak sulit. Ketika pasien datang dengan tanda
dan gejala yang berhubungan dengan diuresis osmotik dan ditemukan
hiperglikemia, pada dasarnya semua dokter setuju bahwa ia menderita diabetes
mellitus. Namun ada sedikit pertentangan tentang pasien yang tidak bergejala
dengan peningkatan kadar glukosa plasma puasa yang menetap. Untuk mengatasi
masalah ini, The National Diabetes Data Group of The National Institutes of
Health pada tahun 1979 memberikan kriteria diagnosis diabetes yang direvisi
setelah diuji dengan beban dengan glukosa peroral:
1. Puasa (semalam): kadar glukosa plasma vena 7,8mmol/liter
(140mg/dL) paling sedikit selang dua kali pemeriksaan.
2. Setelah mencapai beban 75 g glukosa: kadar glukosa plasma vena
11,1 mmol/L (200mg/dL) setelah 2 jam dan sedikitnya pada sekali
pemeriksaan lain selama uji 2 jam; harus didapat dua nilai 11,1
mmol/L (200mgmg/dL) untuk menegakkan diagnosis (Harrison,
2000).

2.6. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus Tipe II

Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan


frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat
lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan
tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di
atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak
dan remaja. Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai
keletihan akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin
tersebut tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya
gula (Smeltzer & Bare, 2002).
2.7. Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe II
DM tipe II bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun DM
merajalela ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging
atau tuli, sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak
pada usia dini, dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa
berakhir dengan kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata
terjadi setelah 10-15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal
neuphropathy, saraf-saraf lumpuh, atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki,
serta serangan stroke. Pasien DM tipe II mempunyai risiko terjadinya penyakit
jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, kematian
akibat penyakit jantung 16,5% dan kejadian komplikasi ini terus meningkat.
Kualitas pembuluh darah yang tidak baik ini pada penderita diabetes mellitus
diakibatkan 20 faktor diantaranya stress, stress dapat merangsang hipotalamus dan
hipofisis untuk peningkatan sekresi hormonhormon kontra insulin seperti
ketokelamin, ACTH, GH, kortisol,dan lainlain. Akibatnya hal ini akan
mempercepat terjadinya komplikasi yang buruk bagi penderita diabetes mellitus
(Nadesul, 2002).

2.8. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe II

Tujuan utama pada penatalaksanaan DM adalah menormalkan aktivitas


insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya
komplikasi vaskuler serta neuropatik, pengobatan primer dari diabetes tipe I
adalah insulin, sedangkan untuk pengobatan utama diabetes mellitus tipe II adalah
penurunan berat badan (Brunner & Suddart, 2002). Pada pasien DM tipe II cukup
dengan menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal, tapi bila
harus dengan obat ada dua jenis obat yaitu untuk pasien gemuk dan untuk pasien
kurus. Beberapa prinsip pengelolahan kencing manis adalah :
(1) Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat agar menjalankan perilaku
hidup sehat
(2) Diet (nutrisi) yang sesuai dengan kebutuhan pasien, dan pola makan yang
sehat
(3) Olah raga seperti aerobik (berenang, bersepeda, jogging, jalan cepat) paling
tidak tiga kali seminggu, setiap 15-60 menit sampai berkeringat dan terengahangah tanpa membuat nafas menjadi sesak atau sesuai dengan petunjuk
dokter
(4) Obat-obat yang berkhasiat menurunkan kadar gula darah, sesuai dengan
petunjuk dokter
2.8.1. DASAR-DASAR PENGOBATAN DIABETES TIPE 2
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel
mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya
ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo
menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi
intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan
diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel
Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan
pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa
terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak
ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan (Sudoyo, dkk. 2009).

2.8.1.1. Target glikemik


Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan
Studi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM
tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian
klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa
maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan menurun. Target
kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C
sebagai index glikemia khronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil
penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes
tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik.
Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat
pengobatan intensif ,kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang
nondiabetik . Studi tersebut mencapai kadar rata-rata A1C ~7% yang merupakan
4SD diatas rata-rata non diabetik. Target glikemik yang paling baru adalah dari
ADA (American Diabetes Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan
projeksi penurunan kejadian komplikasi , yaitu A1C <7%. Konsensus ini
menyatakan bahwa kadar A1C 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai
atau mengubah terapi dengan gol A1C < 7%. Para ahli juga menyadari bahwa gol
ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untuk pasien tertentu, dan penilaian
klinik dengan mempertimbangkan potensi keuntungan dan kerugian dari regimen
yang lebih intensif perlu diaplikasikan pada setiap pasien. Faktor-faktor seperti
harapan hidup, risiko hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan
pada setiap pasien sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif
(Sudoyo, dkk. 2009).
2.8.1.2. Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose output dan
menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat
menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh
pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan
gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan

metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada


prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak
menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan
sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin
karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik ; komplikasi ini jarang terjadi
tetapi fatal (Sudoyo, dkk. 2009).
2.8.1.3. Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin,
yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia
yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang
berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan
chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi
kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2
kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah
maksimal pada setengah dosis maksimal , dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya
dihindari (Sudoyo, dkk. 2009).
2.8.1.4. Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan
tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari
pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering.
Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat
badan pada glinide menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya
lebih kecil (Sudoyo, dkk. 2009).
2.8.1.5. Penghambat -glukosidase
Penghambat -glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida
di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan
demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan

penghambat -glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak


seefektif metformin dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa darah;
A1C dapat turun sebesar 0,5 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon
mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada
penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek
samping tersebut (Sudoyo, dkk. 2009).
2.8.1.6. Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap
insulin baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan
A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah
penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan
peningkatan kejadian gagal jantung kongestif (Sudoyo, dkk. 2009).
2.8.1.7. Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin
dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak
seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi
insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Sudoyo, dkk.
2009).
2.8.1.8. Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor)
DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai
jaringan termasuk sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang
meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan glucose- mediated
insulin

secretion

dan

mensupres

sekresi

glukagon.

Penelitian

klinik

menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %.


Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai
monoterapi (Sudoyo, dkk. 2009).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hiperglikemik oral


a. Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi dengan obat lain
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hiperglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih ke insulin
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien
2.8.2. Edukasi pada pasien DM
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari;
pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan
melakukan pengaturan pola makan yang terkenal dengan terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan
dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi
farmakologis yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin
(Sudoyo, dkk. 2009).
2.8.3. Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini pada
prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat terapi gizi medis antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menurunkan berat badan


Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolis
Menurunkan kadar glukosa darah
Memperbaiki profil lipid
Meningkatkan sensitivitas rseptor insulin
Memperbaiki sistem koagulasi darah

2.8.3.1. Tujuan terapi Gizi medis


10

Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah mencapai normal ,
a. Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
b. Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl
c. Kadar A1c <7%
2. Tekanan darah <130/80 mmHg
3. Profil lipid :
a. Kolesterol LDL <100 mg/dl
b. Kolesterol HDL >40 mg/dl
c. Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin
2.8.3.2. Jenis bahan makanan
Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetesi tidak
boleh melebihi dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh
lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal. Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4
kilokalori (Almatsier, 2010).
Protein
Jumlah kebutuhan yang di rekomendasikan sekitar 10-15% dari total
kalori perhari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan batasan
asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan pemberian
suplementasi asam amino esensial (Almatsier, 2010).
Lemak
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori pergramnya.
Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam
lemak seperti vitamin A,D,E dan K (Almatsier, 2010).
Perhitungan Jumlah kalori
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur ada tidaknya
stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks masa
tubuh (IMT) atau rumus Brocca.

11

Penentuan status gizi berdasarkan rumus IMT


IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi
dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat.
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT:

Berat badan kurang < 18,5


BB Normal 18,5-22,9
BB lebih 23,0
Dengan resiko 23-24,9
o Obes I 25-29,9
o Obes II 30

Penentuan status gizi berdasarkan rumus brocca


Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus:
berat badan idaman (BBI kg)=(TB-cm 100)-10%.
Untuk laki-laki <160cm, wanita <150cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi
10%. Penentuan status gizi dihitung dari: (BB aktual : BB Idaman) x 100%

Berat badan kurang


Berat badan normal
Berat badan lebih
Gemuk

BB<90% BBI
BB 90-110% BBI
BB 110-120% BBI
BB>120% BBI

Penentuan kebutuhan kalori perhari :


1. Kebutuhan basal:
a. Laki-laki
: BB idaman (kg) x 30 kalori
b. Wanita
: BB Idaman (kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
a. Umur diatas 40 tahun
: -5%
b. Aktivitas ringan
: +10%
(duduk-duduk, nonton televisi dll)
c. Aktifitas sedang
: +20%
(kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter)
d. Aktiifitas berat
: +30%
(olahragawan, tukang becak dll)
e. Berat badan gemuk
: -20%
f. Berat badan lebih
: -10%
g. Berat badan kurus
: +20%
3. Stress metabolik
: +10-30%
12

(infeksi, operasi, stroke,dll)


4. Kehamilan trimester I
5. Kehamilan trimester II

: +300% kalori
: +500% kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),
makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara
makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali
dalam pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola
makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi dan keadaan penderita.
Distribusi makanan:
1. Karbohidrat 60%
2. Protein 20%
3. Lemak 20%

= 60% x 1100 kalori = 660 kalori


= 20% x 1100 kalori = 220 kalori
= 20% x 1100 kalori = 220 kalori

2.8.4. Latihan jasmani


Pengelolaan diabetes mellitus (DM) yang meliputi 4 pilar aktifitas fisik
merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktifitas otot skeletal lebih dari
sekedar yang diperlukan ventilasi paru, di butuhkan semua organ termasuk
diabetesi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak,
mencuci, makan bahkan tersenyum. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh
diabetesi , telah sekaligus menjalankan pengolaan terhadap DM sehari-hari.
2.8.4.1. Prinsip latihan jasmani bagi diabetesi
Frekuensi
: jumlah olah raga perminggu sebaiknya dilakukan teratur

3-5 kali perminggu.


Intensitas
: ringan dan sedang (60%-70% maximum heart rate)
Durasi
: 20-30 menit
Jenis
: latihan jasmani endurens (aerobik) untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seprti jalan, joging, berenang dan bersepeda.

13

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent
Diabetes Mellitus. DM tipe II disebabkan kegagalan sel dan resisten insulin.
Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan frekuensi
buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah,
kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak
ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas
30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan
remaja. Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan
akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut
tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula.
DM tipe II bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun DM merajalela
ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging atau tuli,
sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak pada usia
dini, dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir
dengan kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi
setelah 10-15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal neuphropathy,
saraf-saraf lumpuh, atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki, serta serangan
stroke.

14

3.2 Saran
DM tipe II dapat dicegah dengan mengenali faktor resiko penyebab DM
diantaranya faktor resiko tersebut adalah kelainan genetik, usia, gaya hidup dan
pola makan yang salah. Bila seseorang yang telah mengalami atau memiliki faktor
resiko DM dapat melakukan merubah gaya hidup berupa pengaturan pola makan
yang terkenal dengan terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan
edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang
dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis yang meliputi
pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S., 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan 9. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
American Diabetes Assosiation,2007,Nutritionhttp://www.diabetes.org/foodnutritionlifestyle/nutrition.jsp (Acessed 20 Maret 2011).

15

Arifin L., Augusta. 2005. Panduan Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkini. sub
bagian endokrinologi & metabolisme Bagian / UPF Ilmu Penyakit Dalam
FakultasKedokteran UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005. Diabetes Melitus Masalah
KesehatanSerius,Jakarta.http://www.depkes.go.id//index.php?.option=ne
ws&task=viearticle&id=2310&Itmid=2 ( Acessed 26 Febuari 2014).
Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor bahasa Indonesia,
Ahmad H. Asdie. Ed.13. Jakarta: EGC.
Sudoyo W.A., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K.M., Setiadi S. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed. V. Jakarta: Interna Publishing.

16

Anda mungkin juga menyukai