Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat
kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf
otonom pada mencit. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf tak
sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara otomatis tanpa
diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem
saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-organ
dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem pencernaan
dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai
obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal
suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor
parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara pemberian
obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf otonom.
Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan

bahan

yang

akandigunakandalampercobaan.Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu menc


it. Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini dilakukan dengan
meletakkan seekor mencit yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka
yang menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui
perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang memiliki
berat badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat berat
badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian jumlah dosis.
Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang berbeda. Hal ini bertujuan
agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat pemberian perlakuan maupun saat
dilakukan pengamatan terhadap percobaan.
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, yang nantinya akan diberikan perlakuan yang
berbeda. Masing-masing kelompok diberikan uretan dengan dosis yang sesuai, secara
intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan yang diberikan dalam bentuk larutan.
Pemberian dilakukan dengan cara memegang atau menjepit tengkuk diantara jari telunjuk dan
jari tengah, dengan membuat posisi abdomen yang lebih tinggi dari kepala. Jarum disuntik
dengan membentuk sudut 10. Penyuntikan harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk
menghindari terkenanya kandung kemih. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai
hati.Tujuan pemberian uretan adalah untuk membuat mencit tertidur atau menurunkan
aktivitasnya. Selain itu, pembiusan mencit dilakukan karena dalam keadaan tertidur biasanya

akan terjadi salivasi dimana salivasi ini akan digunakan sebagai parameter dalam pengujian
obat-obat sistem saraf otonom.
Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik dan
sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar dalam sistem
pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau
oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang
aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat simpatomimetik, maka
aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Setelah masing-masing kelompok diberi uretan, mencit pada kelompok 1 diberikan
atropin secara peroral. Atropin yang diberikan dalam bentuk larutan. Perlakuan pada mencit
dilakukan dengan menggunakan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau yang biasa disebut
dengan sonde. Alat ini dimasukan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukan
melalui tepi langit-langit ke belakang sampai esotagus.
Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit pada kelompok 2 juga dilakukan
pemberian atropin namun diberikan secara subkutan dengan menggunakan jarum
suntik.Penyuntikan secara subkutan ini dilakukan di bawah kulit tengkuk. Sedangkan mencit
pada kelompok 3 tidak diberikan atropin karena digunakan sebagai kelompok kontrol.
Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji
dengan diberikan pada mencit untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada
sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau
simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade
asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin.
Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini
dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering
(serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat
menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik
postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung,
mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah
atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka
terhadap atropin.
Selain atropin juga digunakan uretan.Uretan adalah senyawa etil ester dari asam
karbaminik, menimbulkan efek anaestesi dengan durasi yang panjang seperti choralose.
Biasanya senyawa ini digunakan untuk percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering
dikombinasikan dengan choralose untuk menurunkan aktivitas muskular. Uretan memiliki

efek yang kecil pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai
anaestesi dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan
eksperimen (percobaan). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada tikus dalam tahap
vegetatif (vegetative stage).
Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit diberikan pilokarpin
menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin
yang diberikan kepada mencit bertujuan agar mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva.
Alkaloid

pilokarpin

adalah

suatu

amin

tersier

dan

stabil

dari

hidrolisis

oleh

asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata


sangat lemah. Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik
yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan
kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik adalah
sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau
menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya
hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak
karena pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar
saliva.
Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada mencit, masing-masing mencit
diletakan pada sebuah papan berukuran 40 x 30 cm yang telah dilapisi oleh kertas saring yang
telah ditaburi metilen blue pada bagian bawah, sehingga air liur yang dikeluarkan mencit
akan merubah warna kertas saring menjadi berwarna biru. Penambahan metilen biru ini
bertujuan agar mempermudah pengukuran diameter saliva yang dikeluarkan oleh mencit
karena adanya perubahan warna yang terjadi. Masing-masing mencit ditempatkan pada satu
kotak dan setiap 5 menit mencit tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya dan hal tersebut
terus diulangi selama 25 menit hingga mencapai kotak yang berada paling atas. Kemudian
diameter salivasi yang terjadi diukur dengan menggunakan penggaris dan dicatat untuk
dilakukan pengolahan data selanjutnya.
Pada mencit ke 1, diberikan uretan secara intraperitoneal dan atropine pada menit ke 0
secara peroral dan pilokarpin pada menit ke 45 secara subkutan. Setelah diamati selama 25
menit, kertas saring tidak berubah warna menjadi biru yang menunjukan bahwa hewan
percobaan tidak mengeluarkan saliva. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, seharusnya mencit

kelompok ini lebih banyak mengeluarkan saliva dibandingkan mencit kelompok 2. Hal itu
disebabkan oleh pengaruh pemberian atropin secara peroral membutuhkan waktu yang cukup
lama karena obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme. Sementara itu dengan
pemberian pilokarpin secara subkutan akan cepat menimbulkan efek karena subkutan
langsung masuk ke pembuluh darah sehingga cepat mempengaruhi sistem syaraf otonom
(sebagai zat kolinergik) yaitu terjadi peningkatan sekresi air liur pada mencit.
Pada mencit ke 2, diberikan uretan ip pada menit ke 0 dan atropin secara subkutan
pada menit ke 15 setelah itu diberikan pilokarpin secara subkutan pada menit ke 45.
Efek yang ditimbulkan pada 10 menit pertama setelah pemberian pilocarpin mencit yang ke
II ini tidak mengeluarkan saliva sama. Namun , pada menit ke 15, mencit mengeluarkan
saliva dengan diameter sebesar 0,9 cm. Pada menit ke 20, diameter saliva sebesar 1 cm dan
pada menit ke 25, diameter saliva sebesar 1,7 cm. Hal ini juga tidak sesuai dengan literature.
Kelompok mencit ini adalah kelompok yang paling banyak mengeluarkan saliva. Seharusnya
dengan pemberian atropin secara subkutan membuat efek atropin sebagai obat antikolinergik
lebih cepat karena langsung masuk ke pembuluh darah, tidak seperti proses pemberian
atropin secara peroral pada mencit I. Karena efek dari atropin yang lebih kuat, seharusnya
membuat sekresi air liur lebih sedikit meskipun telah ditambahkan pilokarpin yang
merangsang sekresi saliva.
Pada mencit ke 3, diberikan uretan ip. dan pilokarpin pada menit ke 45 secara
subkutan. Pada menit ke 20, kertas saring tetap berwarna putih yang menunjukan bahwa
mencit tidak mengeluarkan saliva sama sekali. Hal ini tidak sesuai dengan literature.
Pemberian pilokarpin secara subkutan membuat absorpsinya lebih cepat karena banyak
terdapat pembuluh darah di otot dan pada kelompok ini tidak diberikan obat penginhibisi
sekresi saliva. Oleh karena itu, seharusnya kelompok mencit ini yang paling banyak
mengeluarkan saliva.
Dari hasil percobaan dibuat suatu data seperti yang tertera di atas dan terjadi
ketidakseragaman data pada tiap kelompok percobaan disebabkan oleh perbedan
keterampilan praktikan dalam hal teknis pelaksanaan. Hal ini menyebabkan data tersebut
memiliki presisi /ketelitian yang kurang baik sehingga menunjukkan terjadinya kesalahan
acak yang disebabkan oleh praktikan.
Secara teknis penyerapan zat aktif melalui cara subkutan seharusnya lebih cepat dan
baik karena tidak harus melalui sistem metabolisme tubuh seperti halnya pada cara pemberian
peroral. Konsentrasi obat menjadi tidak tepat jika mengalami metabolisme terlebih dahulu
karena sebagian ada yang disimpan didepo jaringan, sebagian lagi diekskresikan. Dengan

demikian pemberian obat secara subkutan seharusnya memiliki efek yang lebih baik daripada
peroral. Pada pemberian rute peroral obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme
yang membutuhkan waktu. Sedangkan pemberian subkutan tidak membutuhkan waktu yang
sama dengan peroral, dan apabila waktu pemberian obat dibedakan seperti dalam percobaan
diatas, maka hasilnya pun tak akan jauh berbeda. Selain itu, banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya hal tersebut diantaranya kesalahan praktikan dalam penyutikan atau
kondisi hewan percobaan yang kurang baik.
Kesalahan dalam penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan distribusi zat aktif
sehingga tidak memberikan efek farmakologis yang diinginkan. Kesalahan memasukan obat
secara oral pun dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil percobaan dengan literatur.
Demikian pula dalam pemilihan hewan percobaan. Mencit yang digunakan sebagai hewan
percobaan dalam penelitian ini haruslah dipilih dengan seksama. Pemilihan ini didasarkan
pada penampilan fisik , keaktifan pergerakan dan berat badan. Faktor ini mungkin perlu
diperhatikan selain daripada menitikberatkan pada praktikan.
Persen

inhibisi

peroral

(P.O)

yang

didapat

dari

percobaan

adalah 83,

49% lebih besardari persen inhibisi subkutan (S.C) yaitu 41,51 %. Perbedaan persen inhibisi
peroral dengan subkutan berbeda mungkin dikarenakan oleh salahnya penyuntikan,
penyondean oral ataupun yang telah disebutkan diatas, yaitu perbedaan waktu pemberiaan.
Setelah dilakukan perhitungan % inhibisi maka perhitungan diplotkan dalam grafik
batang dan garis. Dari grafik pertama (grafik batang) dapat disimpulkan bahwa penggunaan
atropin secara per oral lebih efektif dibandingkan dengan pemberian atropin secara sub
kutan. Dari grafik kedua (grafik garis) dapat disimpulkan bahwa penggunaan atropin secara
per oral dapat membuat efek yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan atropin secara
sub kutan. Kelompok kontrol tentu memiliki efek yang paling rendah, karena pada pengujian
kelompok kontrol hewan percobaan tidak diberikan obat.

Anda mungkin juga menyukai