Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

AGUSTUS 2014

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

TRAUMA NASAL

DISUSUN OLEH
Muthmainna S

C11110011

Ulmi Fadillah Juniar C11110156


PEMBIMBING
dr. Ahmad Ardhani P

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

A. PENDAHULUAN
Trauma merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di
Amerika pada usia < 40 tahun, lebih dari 150.000 kecelakaan menyebabkan
kematian setiap tahunnya, dan lebih dari 500.000 trauma menyebabkan
kecacatan permanen. Dengan meningginya kecelakaan lalu lintas atau traffic
accident, ditambah dengan sifat khusus dari hidung yang merupakan bagian
tubuh yang paling menonjol serta tak ada bagian tubuh yang lain
melindunginya, maka dalam setiap kecelakaan lalu lintas dengan trauma
capitis, kemungkinan besar disertai dengan trauma nasi. Atau dapat dikatakan
trauma nasi sering bersamaan dengan trauma muka (maxillofacial
trauma).1,2,4
Tulang hidung merupakan salah satu bagian tubuh yang memiliki
insiden fraktur tersering ketiga setelah klavikula dan pergelangan tangan..
Cedera di dalam hidung biasanya terjadi ketika benda asing masuk ke dalam
hidung atau ketika seseorang memakai obat-obatan melalui hidung. Cedera di
luar hidung biasanya berhubungan dengan aktifitas olahraga, kekerasan,
penyiksaan atau kecelakaan. 1,2
Tulang hidung adalah tulang wajah yang paling sering patah karena
tulang tersebut adalah tulang dengan posisi paling depan pada wajah.
Meskipun tidak mengancam jiwa, patah tulang hidung dapat menyebabkan
kelainan bentuk baik secara estetik dan fungsional. Patah tulang hidung juga
dapat merusak selaput yang melapisi jalan nafas melalui hidung,
menyebabkan terbentuknya jaringan parut sehingga menyumbat jalan nafas
dan merusak indera penciuman seseorang. 1
Penanganan dan pengobatan Trauma Hidung dapat berbeda
tergantung pada kondisi pasien dan penyakit yang dideritanya. Pilihan
pengobatan adalah pembedahan hidung. Pencegahan trauma hidung berupa
menghindari faktor risiko yang memungkinkan terjadinya trauma hidung. 1,5

B. ANATOMI HIDUNG
Sefalik indeks adalah ukuran rasio (dalam persen), dari panjang
maksimum tulang tengkorak dengan lebar maksimum tulang tengkorak.
lndeks ini dapat menggambarkan bentuk kepala apakah lonjong, bulat atau di
antaranya. Indeks ini dibagi dalam 3 kelompok yaitu dolicocephalic atau
lonjong (di bawah 75), mesocephalic atau sedang (75-80) dan bracycephalic
atau bulat (di atasDalam melakukan pengukuran titik titik anatomis pada
kepala dan wajah diberikan nama serta simbol yang terdiri dari satu sampai
tiga huruf, jarak titik antropometris ini menjadi ukuran antropometris, yang
digunakan dengan simbol pada kedua titik / ujung

Gambar 1: Titik-titik cephalometric


Titik titik kefalometris yang paling umum digunakan simbol vertex (v) titik
tertinggi pada neurocranium, stylion (sty) yang merupakan titik paling distal
pada ujung processus styloideus, Alare (al) adalah titik paling lateral pada
sayap hidung, Mastoidale (ms) adalah titik paling lateral processus
mastoideus pada ketinggian lubang telinga, Fronto temporale (ft) adalah titik
paling proksimal (mendalam) pada linea temporalis tulang dahi. Prostion (pr)
pada manusia hidup terletak pada titik yang terbentuk oleh garis sentral pada
pinggir bawah gusi (letaknya 1 mm lebih rendah dari pada prostion pada
tengkorak). Stomion (sto) adalah titik di mana garis sentral memotong sudut

antara bibir integumental dan sekat hidung, Trogion (t) adalah titik pada
bagian depan pinggir atas tragus, Glabela (g) adalah titik paling depan pada
dahi terletak diantara tonjolan supra orbital pada bidang Median- Sagital.
Opistocranion (op) adalah titik di bidang sentral pada tulang kepala belakang
(occipital) paling jauh dari glabela. Nasospinal (ns) adalah titik pemotongan
antara bidang Median- Sagital dengan tajuk dari hidung (spina nasalis
anterior) atau pada garis, yang menghubungkan pinggir bawah rongga
hidung (apertura piriformis). Eurion (eu) adalah titik paling distal pada sisi
neurocranium. Zygion (zy) adalah titik paling lateral pada lengkung pipi
(arcus zygomaticus), Gnation (gn) adalah titik paling bawah pada rahang
bawah (mandibula) yang di potong oleh bidang Median- Sagital. Nasion (n)
adalah titik tempat bidang Median- Sagital memotong jahitan antara sutura
fronto- nasalis. Opistion (o) adalah titik di tempat bidang Median- Sagital
memotong foramen occipitale magnum sebelah belakang. Gonion (go) adalah
titik paling bawah, posterior dan lateral pada sudut yang terbentuk oleh
cabang (ramus) dan bidang rahang bawah (corpus mandibula).
Indeks wajah dapat dihitung dengan rumus= panjang wajah (n-gn) x
100 dibagi dengan lebar wajah (zy- zy). Untuk panjang wajah di ukur dari
titik nasion sampai titik gnathion (n-gn), temukan titik nasion (dengan jari
telunjuk atau jari tengah) dan dengan jarum kaliper geser dipegang pada titik
nasion, dengan tangan kanan jarum mobil digeser dari bawah keatas sampai
ujungnya kena pada gnathion Lebar wajah diukur dari jarak antara kedua
zygion (zy- zy), kaliper ditarik dari arah kuping ke depan pada lengkung pipi,
sementara di perhatikan skala, di baca ukuran maksimal.
Hidung merupakan bagian penting pembentuk wajah, fungsinya
sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air condition), penyaring &
pembersih udara2, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses
berbicara, dan refleksi nasal. Hidung juga merupakan tempat bermuaranya
sinus paranasalis dan saluran air mata. 3

Gambar 2: Facial Skeleton2


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Struktur
hidung luar dibedakan atas tiga bagian yaitu :
1. Kubah tulang. Letaknya paling atas dan bagian hidung yang tidak dapat
digerakkan.
2. Kubah kartilago (tulang rawan). Letaknya dibawah kubah tulang dan
bagian hidung yang sedikit dapat digerakkan.
3. Lobulus hidung. Letaknya paling bawah dan bagian hidung yang paling
mudah digerakkan.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit,jaringan kulit,dan beberapa otot keci yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Tulang keras terdiri dari
tulang hidung (os nasal), processus frontalis os maxilla, processus nasalis os
frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak

di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis

latelaris superior, sepasang kartilago nasalis latelaris inferior (kartilago ala


mayor), tepi anterior kartilago septum. 2,4

Gambar 3: External nasal skeleton tampak A: Frontal . B: Oblique 1

Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari


atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum
nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang
hidung (nares anterior).

Gambar 4: Struktur Nasal ekstenal2

Struktur Hidung bagian dalam terdiri atas:


1. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior
oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila,
Krista palatine serta krista sfenoid.
2. Kavum nasi, terdiri dari:

Dasar hidung, dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan


prosesus horizontal os palatum.

Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os


nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

Dinding Lateral, dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os


maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan

bagian

dari

os

etmoid,

konka

inferior,

lamina

perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

Konka, Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut


meatus inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus
media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari
massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

Gambar 5: Struktur Nasal Internal

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri
septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina
horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh
prosesus

vaginalis

os

sfenoid

dan

bagian luar oleh lamina

pterigoideus.2
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri
ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika
dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan
dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera
oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan
hidung) terutama pada anak.2

Gambar 6: Vaskularisasi cavum nasi

Vena

hidung

memiliki

nama

yang

sama

dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar


hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V). Rongga hidung
lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain
memberikan

persarafan

sensoris

juga

memberikan

persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima


serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis

dari

n.

petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan


sedikit di atas ujung posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini

turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2

Gambar 7: Innervasi hidung bagian lateral

Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan
vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang
dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus
(silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lender meliputinya untuk
melembabkan rongga hidung.

C. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,
fungsi fisiologi hidung dan sinus paranasalis adalah:3,4
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal. Pada inspirasi, udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun
ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi
oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,

10

sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir,


sebaliknya pada musim dingin. Suhu udara yang melalui hidung diatur 37
derajat selsius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya
pembuluh darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum
yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama
udara akan disaring di hidung oleh ; rambut pada vestibulum nasi, silia,
palut lendir.Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikelpartikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini
akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim
yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
2. Fungsi penghidu karena adanya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra
penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
3. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan
rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan
rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan
rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
4. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)
5. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
6. Refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh
iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti, dan

11

rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung


dan pankreas.

D. DEFINISI
Trauma Hidung didefinisikan sebagai cedera pada hidung atau
struktur terkait yang dapat mengakibatkan pendarahan, sebuah cacat fisik,
penurunan kemampuan untuk bernapas normal karena obstruksi, atau terjadi
gangguan penciuman. cedera mungkin baik internal maupun eksternal. 1,5

E. EPIDEMIOLOGI
Pada penelitian yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa
berdasarkan umur, kelompok usia 11-40 tahun sering mengalami trauma
nasal. Berdasarkan jenis kelamin, baik pria maupun wanita tidak ada
perbedaan statistik pada trauma hidung, namun insiden pada usia remaja lakilaki dua kali lebih sering mengalami trauma hidung dibandingkan pada
perempuan.6

F. KLASIFIKASI
Trauma hidung dapat mengenai hidung, jaringan subcutis, mukosa
yang meliputi cavum nasi, kerangka tulang dan tulang rawan yang
membentuk hidung itu sendiri. Trauma pada hidung terdiri atas: 1
1. Trauma soft tissue: trauma kulit, jaringan subcutis dan mukosa yang
meliputi cavum nasi, dapat berupa contusio jaringan atau tanpa
hematoma, laserasi, echymosis, abrasi, vulnus, corpus allienum yang
tertinggal di tempat trauma atau hilangnya bagian-bagian hidung tersebut.
2. Trauma tulang: trauma pada tulang dapat berupa 1) Fraktur (kominutif
yang banyak mengenai pada orang tua, fraktur terbuka/tertutup), 2)
Dislokasi (banyak terjadi pada anak), dapat mengenai semua sendi rangka
hidung / septum, 3) Kombinasi fraktur-dislokasi. 1

12

Trauma kerangka tulang dan tulang rawan dapat dibagi atas:


1. Fraktura os nasalis
2. Trauma naso-orbital
Trauma berdasarkan hubungan dengan dunia luar , dibagi atas:
1. trauma terbuka
2. trauma tertutup
Menurut arah traumanya dapat dibagi pula atas: 5
1. Trauma lateral
2.

Trauma frontal

Gambar 8: Klasifikasi trauma berdasarkan arahnya

Menurut Colton and Beekhuis terdapat 4 tipe fraktur hidung berdasarkan arah
trauma:
1. Tipe I

: Depresi tulang hidung unilateral. Disebabkan trauma dari arah

lateral dengan kekuatan yang ringan dan sedang


2. Tipe II : Fraktur multipel dari piramid hidung akibat trauma tumpul arah
Frontolateral. Terjadi fraktur pada os nasal dan lamina perpendikularis
dengan fragmen eksternal dislokasi ke lateral

13

3. Tipe III : Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal karena
trauma langsung dari arah frontal. Fraktur lamina perpendikularis dan
kartilago dapat terjadi karena depresi yang hebat.
4. Tipe IV : Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah kaudal
kranial 15

Gambar 9. Fraktur Nasal (A)Unilateral, (B) Bilateral, (C) Open Book, (D) Comminuted, (E)
Posterior inferior impaction, (F) Medial canthal ligament

14

G. PATOMEKANISME
Hidung merupakan bagian penting pembentuk wajah dan merupakan
struktur yang prominen dari wajah. Oleh karena struktur tersebut, hidung
mudah terkena trauma. Trauma hidung dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, kecerobohan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan
perkelahian serta kecelakaan olah raga, trauma pada hidung juga bisa berupa
trauma akibat inhalasi. Trauma hidung dapat merupakan trauma sendiri atau
pun bagian trauma wajah lainnya dan dapat mengenai kulit, jaringan subkutis,
kerangka tulang, septum atau os maksila. 1,2,5,8
Trauma hidung bisa terjadi secara internal maupun eksternal. Trauma
internal pada hidung biasanya terjadi ketika sebuah benda asing (termasuk
jari) dimasukkan didalam hidung atau ketika seseorang mengonsumsi obatobatan penyalahgunaan (inhalants atau kokain) melalui hidung. Trauma
eksternal hidung biasanya disebabkan kekerasan atau trauma tumpul yang
dapat berhubungan dengan olahraga, tindakan pidana (pemukulan), kekerasan
yang dilakukan orangtua terhadap anak, kecelakaan mobil atau sepeda. Jenis
trauma ini dapat mengakibatkan fraktur hidung. 4,5
Kerusakan yang dapat terjadi pada trauma hidung bervariasi
tergantung dari beberapa faktor yaitu: 1,5
1. Usia
usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam
meredam energi dari pukulan.
2. Besar kekuatan trauma/ besarnya gaya yang mengenai
Tenaga sebesar 25 75 pons per meter persegi cukup untuk membuat
fraktur nasal.
3. Arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal yang rusak.
Trauma dari arah lateral berbeda dengan trauma dari arah frontal

15

Gambar 10 Menunjukkan adanya peningkatan derajat kerusakan karena peningkatan


kekuatan trauma berdasar pola trauma dari: A. arah frontal, B. arah lateral

a. Trauma lateral
Trauma dari arah lateral paling sering terjadi dan bervariasi beratnya
mulai dari fraktur sederhana ipsilateral (simple-fracture) sampai
kerusakan lengkap (complete-fracture) dari tulang nasal disertai trauma
jaringan lunak intranasal dan ekstranasal.

b. Trauma frontal
Trauma dari arah depan energi rendah biasanya memecahkan septum
lebih dahulu sebelum menyebabkan trauma piramid nasal. Pada trauma
dengan energi yang lebih besar menyebabkan pemisahan nyata dari
tulang nasal yang merupakan bagian dari fraktur nasoorbital ethmoid
kompleks5

4. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal

Pola trauma tulang berupa fragmen-fragmen tulang yang tidak


kominutif, penyebab tersering karena pukulan tangan saat perkelahian,

16

trauma olahraga, jatuh tersandung, atau kecelakaan kendaraan


kecepatan rendah.

Pada trauma ini sejumlah energi yang besar diabsorbsi oleh kerangka
nasal dan wajah, menyebabkan putusnya fragmen tulang, rusaknya
jaringan lunak regio nasal dan rusaknya kerangka orbital

wajah.

Penyebabnya biasanya pukulan keras tongkat atau pipa, jatuh dari


ketinggian, kecelakaan olahraga dengan proyektil (bola) yang bergerak
cepat, atau kecelakaan kendaraan kecepatan tinggi.

H. DIAGNOSIS
A. Anamnesis1,5,7
Jumlah terjadinya cedera secara detail akan memudahkan untuk
mengetahui tipe dan tingkat keparahan yang terjadi. Pada kasus
kecelakaan kendaraan , informasi yang bisa kita dapatkan yaitu kecepatan
mengendara, benturan secara langsung. Pada anak-anak yang duduk di
bangku depan akan berisiko pada trauma di kepala dan di servikal. Selain
itu yang harus dievaluasi adalah adanya perubahan fungsi pada
pernapasan, dan apakah ada perdarahan dengan rasa manis atau asin (
untuk megetahui kebocoran cairan serebrospinal). Anosmia persisten atau
hiposmia akan terjadi setidaknya 5% pada individu yang menderita
trauma kepala dengan atau tanpa trauma hidung.
Anamnesis mengenai riwayat pasien termasuk riwayat trauma
pada hidung, deformitas sebelumnya pada hidung, riwayat operasi,
dispneu, alergi, dan adanya riwayat sinusitis. Orang yang melakukan
rinoplasty sebelumnya akan lebih mudah mengalami fraktur hidung.
Diagnosis fraktur tulang hidung biasanya berdasarkan adanya riwayat
trauma hidung dan gejala klinis. Epistaksis mungkin dapat terjadi ataupun
tidak sama sekali, bisa disertai rhinorrhea, obstruksi jalan napas, atau
deformitas.

17

B. Pemeriksaan fisis1,5,7
Pemeriksaan intranasal dilakukan dalam rangka mencari sebuah
defek berupa hematoma yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang
serius seperti matinya jaraingan kartilago yang mengalami defek.
Pemeriksaan fisik pada hidung dilakukan untuk menentukan ada tidaknya
nyeri, mobilitas, kestabilan, dan krepitasi.
C. Pemeriksaan penunjang (Radiography) 1,5,7
Biasanya pemakaian sinar X belum diperlukan, namun pada
keadaan fraktur yang lebih hebat misal yang melibatkan beberapa tulang
sebuah computed tomography (CT scan) mungkin diperlukan. Seorang
dokter harus mencari klinis cedera terkait seperti ekimosis periorbital,
mata berair, atau diplopia (penglihatan ganda) yang menunjukkan adanya
cedera orbital. Selain itu, fraktur gigi-geligi dan kebocoran cairan
serebrospinal
mengindikasikan

harus

dicari.

adanya

sebuah

Kebocoran
cedera

cairan
yang

lebih

serebrospinal
parah

dan

memungkinkan terjadinya fraktur tulang etmoid.

I. PENATALAKSANAAN
Pilihan penatalaksanaan bisa dengan reduksi tertutup atau reduksi
terbuka pada fraktur piramida eksternal atau septum. Kesempatan terbaik
untuk keberhasilan terapi adalah pada saat 3 jam pertama setelah cedera.1
Indikasi untuk reduksi tertutup adalah fraktur unilateral atau bilateral
dari tulang hidung dan fraktur nasal septal kompleks dengan septum.
Sedangkan pada reduksi terbuka umumnya baik untuk fraktur luas dengan
diskolasi tulang hidung dan septum, deviasi piramida hidung, fraktur disertai
dislokasi pada septum bagian caudal, fraktur septum terbuka, dan deformitas
persisten setelah reduksi tertutup. Indikasi lain untuk reduksi terbuka
termasuk hematoma septum, pengurangan tulang yang tidak memadai karena
deformitas septum, cacat gabungan septum dan kartilago alar, fraktur

18

pengungsi dari tulang belakang hidung anterior, dan riwayat operasi


intranasal baru-baru ini.1
Deviasi septum adalah penyebab paling banyak yang terjadi pada
obstruksi nasal Di antara pasien dengan deviasi septum, riwayat trauma
hidung atau trauma midfasial sering menunjukkan perubahan asli fitur
anatomi hidung yang normal. Indikasi septoplasti secara klinis ialah pada
deviasi septum yang mengakibatkan sumbatan hidung bilateral maupun
unilateral, epistaksis yang persisten maupun rekuren, sakit kepala akibat
contact point dengan deviasi septum, memperluas akses ke daerah kompleks
osteomeatal pada operasi sinus, akses pada operasi dengan pendekatan
transeptal transfenoid ke foss hipofise.17
Jika hanya fraktur tulang hidung saja dapat dilakukan reposisi fraktur
tersebut dengan analgesia lokal. Tetapi jika pasien tidak koperatif
memerlukan anestesi umum. Analgesia lokal dapat dilakukan dengan
memasang tampon lidokain 1-2% yang dicampur dengan epinefrin 1:1000.
Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini dipasang masing-msing 3
buah pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada meatus
nasi superior, tepat di bawah tulang hidung. Tampon kedua diletakkan pada
konka media dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat
foramen spenopalatina. Tampon ketiga diletakkan antara konka inferior dan
septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit. Kadang
diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray beberapa kali
melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan vasokontriksi
yang baik.3
Penggunaan analgesia yang baik dapat memberikan hasil yang
sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi
tidak sempurna maka frajtur tulang hidung tetap saja posisi yang tidak
normal. Tindakan reduksi dikerjakan 1-2 jam setelah trauma. Di mana waktu
tersebut edema yang terjadi masih sedikit. Namun tindakan reduksi secara
lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari setelah trauma. Sesudah waktu

19

tersebut tindakan reduksi sangat sulit dikerjakan karena sudah terjadi


kalsifikasi. Sehingga harus dilakukan rinoplasti osteotomi. 3

Alat-alat yang digunakan pada reduksi


1. Elevator tumpul yang lurus (Boies Nasal Fracture Elevator)
2. Cunam Asch
3. Cunam Walsham
4. Spekulum hidung pendek dan panjang (Killuan)
5. Pinset bayonet

Gambar 11 : Cunam ash, Walsham, dan Boles

Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi


dengan tindakan yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan bantuan cunam
Walsham. Pada penggunaan cunam ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam
kavum nasi sedangkan sisi lain di luar hidung di atas kulit yang dilindungi
dengan karer. Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang
hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukkan masng-msing bilah
ke dua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep.
Sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan

20

pemasangan tampon di dalam lubang hidung yang bisa ditambahkan dengan


antibiotik.3
Perdarahan yang timbil selama tindakan akan berhenti, sesudah
pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan
dengan melakukan beberapa lapis gips yang dibentuk dengan huruf T yang
dipertahankan 10-14 hari. Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan
perubahan tempat pada tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada
kulit. Kerusakan atau kelainan kulit pada hidung diusahakan untuk diperbaiki
atau direkonstruksi pada saat tindakan.3
Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti antara lain septoplasti
tradisional atau yang sering disebut septoplasti konvensional, septoplasti
endoskopi dan teknik open book septoplasty yang diperkenalkan oleh
Prepageran dkk. Olphen menjelaskan bahwa Cottle pada tahun 1963
memberikan konsep septoplasti konvensional, yang dikerjakan dalam 6 tahap :
(a) melepaskan mukosa periostium dan perikondrium dari kedua sisi septum;
(b) mengoreksi daerah patologis (c) membuang daerah yang patologis (d)
membentuk tulang dan tulang rawan yang dibuang (e) rekonstruksi septum (f)
fiksasi septum. Teknik untuk septoplasti dengan endoskopi adalah dengan
melakukan infiltrasi epinefrin 1:200.000 pada sisi cembung septum yang
paling mengalami deviasi menggunakan endoskopi kaku 00. Dilakukan insisi
hemitransfiksi, insisi tidak diperluas dari dorsum septum nasi ke dasar kelantai
kavum nasi, tidak seperti insisi konvensional yang diperluas sampai bagian
superior dan inferior. Pada septoplasti endoskopi hanya dibutuhkan
pemaparan pada bagian yang paling deviasi saja. lap submukoperikondrial
dipaparkan dengan menggunakan endoskopi, tulang yang patologis dan bagian
septum yang deviasi dibuang. Bekas insisi ditutup dan tidak dijahit kemudian
dipasang tampon. Sedangkan Prepageran dkk melaporkan teknik septoplasti
dengan metode open book, dimana insisi dibuat secara vertikal tepat di daerah
anterior deviasi kemudian insisi horizontal sesuai aksis deviasi paling
menonjol.17-19

21

22

J. PROGNOSIS
Fraktur tulang hidung tanpa malposisi memiliki prognosis yang sangat
baik, biasanya penyembuhan tanpa cacat kosmetik atau fungsional. Pada
fraktur dengan malposisi, bahkan setelah dilakukan reduksi tertutup, sering
meninggalkan kelainan kosmetik dan deviasi septum, dan mengharuskan
dilakukannya rinoplasti dan/atau septoplasti. Prognosis untuk trauma
jaringan lunak hidung tergantung pada penyebab dan sejauh mana luka yang
terjadi. Seperti cedera robek yang disebabkan oleh gigitan memakan waktu
lebih lama untuk sembuh daripada luka yang sederhana, dan mungkin
memerlukan bedah plastik di kemudian hari untuk mengembalikan
penampilan hidung. Kerusakan jaringan lapisan hidung yang disebabkan
oleh paparan iritasi asap atau tembakau dalam lingkungan biasanya
reversibel setelah pasien dijauhkan atau menghindar dari kontak dengan zat
yang merusak.1,5,8

K. KOMPLIKASI

Komplikasi cepat1
Komplikasi cepat sementara termasuk edema, ekimosis, dan hematom. Hal
tersebut bisa kembali baik secara spontan tetapi hematom pada septum
merupakan hal yang cukup serius untuk segera melakukan drainase. Hal
tersrbut bisa menyebabkan infeksi dan menyebabkan hilangnya kartilago
septum dan juga deformitas pada septum. Hematoma septum bisa di
diagnosis ketika terdapat pembengkakan yang persisten da nada rasa nyeri.
Epistaksis biasanya akan berhenti secara spontan, tetapi jika kembali hal
ini bisa dikontrol dengan tampon hidung, pengikatan pembuluh darah
untuk mencapai hemostasis. Sedalam-dalamnya perdarahan pada anterior
disebabkan karena laserasi pada arteri ethmoidal anterior, yang merupakan
cabang dari arteri carotis interna. Perdarahan pada bagian posterior
biasanya berasal dari arteri ethmoidalis posterior yang merupakan cabang
lateral dari arteri spenopalatina.

23

CSS hal yang jarang terjadi dan berhubungan dengan fraktur pada
cibriform plate atay pada dinding posterior dari sinus frontal. Mendeteksi
-transferrin pada drainase hidung adalah metode yang cukup dipercaya
untuk mendiagnosis kebocoran cairan serebrospinal.

Komplikasi lambat1
Komplikasi lambat ataupun komplikasi tertunda termasuk diantaranya
obstruksi jalan napas, fibrosis atau scar yang kontraktur, deformitas hidung
sekunder,

sinekia,

saddle-nose

deformity,

dan

perforasi

septum.

Penanganan terbaik pada komplikasi ini adalah dengan mencegah,

Secara umum komplikasi yang bisa terjadi di antaranya:


a. Kosmetik
Kelainan fisik secara eksternal merupakan hasil dari trauma hidung yang
termasuk diantaranya pembengkokan bagian belakang, deviasi sisi lateral
pada bagian dorsum dan ujung, serta ujung hidung yang miring. Kelainan
septum kompleks (dan obstruksi) juga bisa mengakibatkan pembengkokan
tulang, perubahan kompleks pada hidung, defleksi angular pada septum.
Secara internal, bisa ditemukan laserasi disertai obstruksi jaringan
b. Disfungsi penciuman
Trauma kepala dapat menyebabkan fraktur hidung, fraktur yang lebih dari
2 mingu menyebakan deformitas, dan anosmia post traumatic.16
c. Epistaksis dan kebocoran cairan serebrospinal
Permulaan edema dan epistaksis pada trauma hidung biasanya tanpa
intervensi bisa ditangani. Meskupun, epistaksis persisten pada trauma
nasal memerlukan tamponade. Dengan kebocoran cairan serebrospinal,
kerusakan akan terjadi secara signigikan lebih berat. Terapi yang
dilakukan biasanya melakukan observasi tertutup, bone grafting. 9,14

24

d. Septal hematom dan Saddle nose deformity


Septal hematom merupakan hasil dari perdarahan, jarang terjadi secara
bilateral, di dalam subperikondrial pada septum. Jika tanpa kendali,
fibrosis pada septal kartikalago akan terjadi, diikuti dengan nekrosis dan
perforasi selama 3-4 hari. Penanganannya sangat penting dan dilakukan
pembuatan insisi secara horizontal pada dasar septal. Deformitas pada
hidung bisa terjadi akibat trauma lahir. 11
e. Perforasi septal
Perforasi septal dapat disebabkan oleh trauma iatrogenic, trauma selama
septoplasty, trauma akibat kateterisasi, pengobatan yang tidak adekuat
akibat abses septal. 10

L. KESIMPULAN
Trauma Hidung merupakan cedera pada hidung atau struktur terkait
yang dapat mengakibatkan pendarahan, sebuah cacat fisik, penurunan
kemampuan untuk bernapas normal karena obstruksi, atau terjadi gangguan
penciuman. cedera mungkin baik internal maupun eksternal. Penanganan dan
pengobatan Trauma hidung dapat berbeda tipenya tergantung pada kondisi
pasien dan penyakit yang dideritanya. Pilihan pengobatan adalah pembedahan
hidung. Pencegahan trauma hidung berupa menghindari faktor risiko yang
memungkinkan terjadinya trauma hidung.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey BJ, et al. Nasal Trauma : Head & Neck Surgery-Otolaryngology Vol 1.
2006.
2. Probst R, Grevers G, et al. Nose,Paranasal Sinus, and Face : Basic
Otolaryngology. A Step By Step Learning Guide. Thieme. 2006. P1-27
3. Munir M, Widiarni D, Trimatani. Trauma Muka. Dalam : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher (edisi 7). Jakarta : FKUI; 2012. p100
4. Chegar BE, Tatum SA, NASAL FRACTURES. Cummings: Otolaryngology:
Head & Neck Surgery, 4th ed.Elsiever. 2007
5. Lalwani, AK. Nasal Trauma : Current Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology-Head & Neck Surgery. Access Medicine;2007. p1-12
6. Gaia,RB, Machado MR,et al. Epidemiological Study of Nasal trauma in a
Otorhinology Clinic, in The South Zone of The City of Sao Paulo.
Brazil:Faculdade de Medicina de santo Amaro;2008. p1-6
7. Higuera S, Lee E, Cole P, et al. Nasal Trauma and the Deviated Nose.
Availaible in www.PRSJournal.com. 2006. p1-12
8.

Miller K, Chang A. Acute inhalation injury. Emergy Medical Clinic Of North


America. University of CaliforniaIrvine Medical Center, Department of
Emergency Medicine. 2003

9.

Daniel M, Raghavan U. Relation between epistaxis, external nasal deformity,


and

septal

deviation

following

nasal

trauma.

p1-5.

Available

in

www.bmj.com. 2005
10. Vuyk,H.D, Ziljker,T. Nasal Septal Perforations. Otolaringology Vol 4. p1-12
11. Cashman, Farrell, M. Shandilya. Nasal Birth Trauma: A Review of
Appropriate Treatment. International Journal of Otolaryngology Volume
2010. 2010. p1-5
12. Musleh A, Abdelazeem HM, Ethmoid mucocele and post traumatic nasal
deformity. American Journal of Reseacrh Communication. Saudi Arabia.
2013. p1-10.

26

13. Executive Committee of the American Society of Plastic Surgeons. Nasal


Surgery. ASPS Recommended Insurance Coverage Criteria for Third-Party
Payers. American Society of Plastic Surgery. 2006.p1-2
14. Schlosser Rodney, Epistaxis. Department of Otolaryngology Head and Neck
Surgery, Medical University The New England Journal of Medicine. 2009.
p1-6
15. Michael PO, Lipinsky Lindsay, The Treatment of Nasal Fractures A
Changing Paradigm. American Medical Association.. 2009. P1-7
16. Akdoan zgr Et Al. Analysis Of Simple Nasal Bone Fracture And The
Effect Of It On Olfactory Dysfunction. 2008. p1-3
17. Nawaiseh S, Al-Khtoum N. Endoscopic septoplasty: Retrospective analysis
of 60 cases. J Pak Med Assoc.2010; 60:796-8.
18. Jain L, Jain M, Chouhan AN, Harswardhan R. Convensional septoplasty
verses endoscopic septoplasty: A Comperative Study. Peoples Journal of
Scientific Research. 2011; 4(2): p.24-8
19. Budiman B, Asyari A, Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum
Nasi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2011. p1-6

27

Anda mungkin juga menyukai