BLOK GERIATRI
Kelompok A8 :
Johannes Ephan Bagus Kurnia
G0012101
Syarif Hidayatullah
G0012217
G0012011
Ilham Ramadhan
G0012095
Kenny Adhitya
G0012105
G0012235
Resti Nurfadillah
G0012177
Fatmanisa Laila
G0012077
Aniki Puspita
G0012017
Fenti Endriyani
G0012079
Sabila Fatimah
G0012199
G0012003
Tutor :
dr. Endang Ediningsih
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014
BAB I
SKENARIO
Kakek Yoso oemurung berusia 90 tahun. Satu tahun lalu terserang stroke karena
pendarahan di otak. Sudah 1 bulan ini tidak mau bangun dari tempat tidur, makan, minum
hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan: kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR
30x/menit, HR108x/menit. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar, dengan
suara dasar bronkial, stem fremitus meningkat,. Skor norton 9. Hasil leukosit 7500.
Thorak PA kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.
Di UGD diberikan oksigen, dipasang infus, diberikan antibiotik kemudian dirawat
di bangsal geriatri dengan kasur decubitus. Direncanakan konsul di bagian rehabilitasi
medik.
I. Klarifikasi
Istilah
1. Stroke: Gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh gangguan pada
vaskularisasi otak
2. Skor NORTON: Skor untuk mengukur resiko decubitus
3. Stem fremitus : Pemeriksaan fisik untuk mengetahui kepadatan paru
4. Kasur decubitus: Kasur untuk mencegah ulkus decubitus
II.
Rumusan Masalah
1. Adakah kondisi murung yang dialami pasien berhubungan dengan RPD?
2. Apa hubungan antara umur dan keluhan yang dialami pasien?
3. Adakah hubungan antara riwayat stroke dengan keluhan sekarang?
4. Apakah penyebab, faktor resiko dan komplikasi, tata laksana stroke?
5. Apa akibat dari imobilisasi? Adakah hubungan dengan keluhan?
6. Apa penyebab tidak mau makan, minum, dan batuk selama sebulan? Akibatnya
apa? Faktor resiko?
7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
8. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan paru?
9. Bagaimana fisiologis sistem respirasi lansia?
10. Apa saja diagnosis banding pada pemeriksaan paru?
11. Bagaimana interpretasi pemeriksaan dan cara penilaian skor norton?
12. Bagaimana interpretasi hasil leukosit? Infeksi kah?
13. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien?
14. Adakah kegawatdaruratan pada pasien?
15. Apa indikasi penggunaan kasur decubitus?
16. Bagaimana medikasi pada pasien decubitus?
17. Apa faktor resiko ulkus decubitus?
18. Mengapa pasien diminta untuk konsul ke bagian rehabilitasi medik?
III. Pembahasan
Adakah kondisi murung yang dialami pasien berhubungan dengan RPD?
Kondisi murung yang dialami eyang Yoso sangat mungkin berhubungan dengan
riwayat penyakit dahulu nya, apalagi eyang Yoso telah ditinggalkan istrinya yang
meninggal dunia, ini menyebabkan kondisi depresi pada eyang Yoso. Selain itu eyang
Yoso yang dahulu adalah ABRI yang semasa mudanya dapat bergerak bebas, namun
sekarang mobilitasnya terbatas, sehingga menyebabkan dia mengalami depresi dan sering
murung.
pulihnya fungsi sel otak pada area penumbra yang berada di sekitar area infark yang
sesungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya kembali sirkuit saraf yang
sebelumnya tertutup atau tidak digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan
dengan pemulihan neurologis yang terjadi. Setelah lesi otak menetap, pemulihan
fungsional masih dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6 bulan
pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama rehabilitasi medis, yaitu
untuk mengembalikan kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang
optimal.
Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan pada proses reorganisasi atau
plastisitas otak melalui:
1. Proses Substitusi
Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang diberikan melalui terapi
latihan menggunakan berbagai metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung
pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif, yang membantu terbentuknya
proses belajar dan plastisitas otak.
2. Proses Kompensasi
Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan aktivitas fungsional pasien dan
kemampuan fungsi pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan berulang-ulang
untuk suatu fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku,
atau perubahan lingkungan. Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada
pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat terapi, penyakit penyerta dan
atau komplikasi medis, serta berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,
serta dukungan dan ekonomi keluarga.
Gangguan yang terjadi pasca stroke:
* Gangguan Komunikasi
Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain melibatkan bermacammacam fungsi, yang utama adalah kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan
fungsi bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi bicara disebut disartria.
1. Afasia
Afasia
didefinisikan
sebagai
gangguan
untuk
memformulasikan
dan
menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada
mekanisme bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer dominan.
Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)
b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)
c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)
d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)
e. menamakan
f. meniru
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu beberapa atau bahkan
semua kemampuan berbahaya (afasia global). Secara umum afasia dibedakan menjadi
afasia motorik, afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia transkortikal motorik,
afasia anomik dan afasia global.
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk kemandirian
aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia sensorik yang diderita,
semakin sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa afasia bukan gangguan
pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat. Akan lebih
bermanfaat apabila stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan
dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan
diajarkan mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan
fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan
menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
2. Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan bahasa verbal,
akibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ bicara dan
artikulasi. Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain respirasi, fonasi/suara,
artikulasi, resonansi dan prosodi. Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria
flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. Terapi latihan diberikan sesuai
Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya gangguan menelan.
Mendeteksi adanya disfagia dapat dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai
berikut:
1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.
2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada keseimbangan duduk, perlu
diberikan tunjangan bantalan agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.
3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien untuk menelan dengan kepala
sedikit menunduk.
4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencoba menelan.
5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada laring, rasakan apakah terjadi
elevasi laring yang menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah ada
keterlambatan atau terjadi proses menelan yang inkomplit.
6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf aaaa..... Monitor suara yang terdengar kering
atau basah/serak.
7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi menyuarakan huruf aaa.... Monitor
kembali bagaimana suara yang terdengar.
Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah, maka makan dan
minum per oral harus dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan lebih
lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow study) atau FEES (fiberoptic
endoscopic evaluation of swallowing).
* Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi
Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah uninhibited bladder
yang menimbulkan inkontinensia urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi,
namun harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya residu sisa dalam
kandung kemih setelah miksi kurang dari 50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan
menyebabkan timbulnya infeksi kandung kemih. Pasien inkontinensia karena uninhibited
bladder dapat diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah
minum dan urine pada voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan
voiding diary tersebut dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih dengan
pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi miksi terlalu sering, obat seperti
antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio urin.
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi
akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul kemudian selain
gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh
obstipasi lama sebelumnya. Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup
cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi),
serta makan makanan berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.
* Gangguan Berjalan
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan tidak hanya
kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi,
keseimbangan dan koordinasi.
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari
kemampuan mempertahankan posisiduduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri
statik dandinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu
diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada posisi
ekstensi 00 sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat badan
tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau
bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan
kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri postur berdiri
serta jalannya dan melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di
dalam paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu
tongkat yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau sepatu khusus.
* Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari
Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di motivasi untuk mengerjakan
semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,
pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas.
Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat
dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya
aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang
perlu ditolong oleh keluarga.
* Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental
Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya untuk sedikit
bergerak dan lebih banyak istirahat. Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti
itu, menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan mengharapkan kondisi
seperti ini akan bertambah baik. Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan
untuk aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk beberapa menit di kursi
roda. Hal tersebut disebabkan oleh endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi
lama. Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang diperlukan untuk
bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi
cepat lelah.
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif semampunya. Pasien
jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan
duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan
istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi
untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan dibiarkan untuk mengambil
makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan
bagi pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang bertargetkan hasil misalnya
melempar bola masuk ke keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.
Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar, namun bila dilakukan sesering
mungkin akan memperbaiki/meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan
beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan latihan mengayuh sepeda statik
atau menggunakan theraband atau karet ban dalam bekas. Suasana hati yang murung juga
membuat pasien merasa cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan
tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan oleh
keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna bagi
orang
Pada pasien ini, gejala yang dialami sekarang, yaitu imobilisasi, minum dan
makan hanya sedikit dan tidak mau bicara didapat dari komplikasi pasca stroke yang
tidak direhabilitasi dengan baik.
Apakah penyebab, faktor resiko dan komplikasi, tata laksana stroke?
2) Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang
subarakhnoid yang timbul secara primer.
Gejala klinis :
Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan
kejang.
Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit
sampai beberapa jam.
oleh plak aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari lokasi
penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah
otak yang terkena.
Faktor Risiko Stroke
Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor
risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung
(fibrilasi atrium), diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang
aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.
Penatalaksanaan Stroke
STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan
tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak
meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid;
hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT
scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit,
protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika
hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah
memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada
keluarganya agar tetap tenang.
STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktorfaktor etiologik maupun penyulit.
Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial
untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu,
menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien
yang dapat dilakukan keluarga.
Stroke Iskemik
Terapi umum:
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah
posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil
analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL
dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan
menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg%
dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula
darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv
sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan
muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala.
Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220
mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmHg (pada
2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut,
gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah
20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90
mm Hg, diastolik 70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500
mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika
belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin
2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit, maksimal
100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin).
Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum
memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan
larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-P (recombinant tissue Plasminogen
Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika
didapatkan afasia).
Stroke Hemoragik
Terapi umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 1520% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan
volume hematoma bertambah.
Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan
labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit)
maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per
oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dinaikkan
300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke
iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi
dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi
saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar
>60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi Pada
perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan
bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun (gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).
STADIUM SUBAKUT
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang
panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan
tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif
primer dan sekunder
Penatalaksanaan komplikasi,
Prevensi sekunder
Apa penyebab tidak mau makan, minum, tidak mau bicara, dan batuk selama
sebulan? Akibatnya apa? Faktor resiko?
Tidak mau makan dan minum
Pada geriatri terjadi perubahan-perubahan pada kemampuan digestif dan absorpsi
akibat hilangnya opioid endogen dan hiperkolesistokinin yang berakibat anoreksia,
penyakit periodontia yang berakibat gangguan mengunyah, penurunan motilitas perut
hingga terjadi konstipasi. Ketidaknyamanan ini berakibat inanisi (tidak mau makan).
Selain itu pada geriatri juga terjadi perubahan fisiologis saluran cerna. Pertama,
terjadi penurunan indera pengecap dan pencium, banyak lansia tidak dapat menikmati
aroma dan rasa makanan. Bertambahnya umur berkorelasi negatif dengan jumlah taste
buds pada lidah lansia, nilai ambang terhadap aroma, rasa manis, pahit dan asin pun
meningkat. Kemudian terjadi pula penurunan produksi saliva yang akan menyebabkan
mulut relatif kering (xerostomia) yang semakin mengganggu indera pengecap atau
perasa.
Kedua, reseptor pada esofagus menjadi kurang sensitif dengan adanya makanan.
Kemampuan peristaltik esofagus mendorong makanan pun menurun, ditambah lagi
dengan pengosongan lambung yang terlambat. Akhirnya terjadilah refluks gastroesofagal
karena fungsi sfingter esofagus yang melemah.
Ketiga, pada lambung terjadi penurunan motilitas lambung yang menyebabkan
pengosongan lambung menjadi lebih lambat. Pada lansia usia 80 tahun, sering terjadi
atopic gastritis. Kehilangan epitel lambung juga menyebabkan berkurangnya pH lambung
yang berakibat penurunan absorbsi besi, kalsium, vitamin B6, vitamin B12 dan asam
folat. Karena pH lambung berkurang, kemampuan pertahanan diri pun menjadi menurun
dan menyebabkan tumbuhnya bakteri pada usus halus. Ketiga hal inilah yang membuat
pasien merasa tidak nyaman untuk makan dan akhirnya menjadi tidak mau makan
(inanisi).
Batuk-batuk
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan dimana
alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab untuk
menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan penimbunan cairan.
Pneumonia
disebabkan
oleh
berbagai
macam
sebab,meliputi
infeksi
karena
bakteri,virus,jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau
kerusakan fisik dari paruparu,atau secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker
paru atau penggunaan alkohol.
Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia meliputi batuk,nyeri dada
demam,dan sesak nafas. Alat diagnosa meliputi sinar-x dan pemeriksaan sputum.
Pengobatan tergantung penyebab dari pneumonia; pneumonia kerena bakteri diobati
dengan antibiotika.
Pneumonia merupakan penyakit yang umumnya terjadi pada semua kelompok
umur, dan menunjukan penyebab kematian pada orang tua dan orang dengan penyakit
kronik. Tersedia vaksin tertentu untuk pencegahan terhadap jenis pnuemonia. Prognosis
untuk tiap orang berbeda tergantung dari jenis pneumonia, pengobatan yang tepat,ada
tidaknya komplikasi dan kesehatan orang tersebut.
GEJALA
Orang dengan pneumonia sering kali disertai batuk berdahak, sputum kehijauan
atau kuning, demam tinggi yang disertai dengan menggigil. Disertai nafas yang
pendek,nyeri dada seperti pada pleuritis ,nyeri tajam atau seperti ditusuk. Salah satu nyeri
atau kesulitan selama bernafas dalam atau batuk. Orang dengan pneumonia, batuk dapat
disertai dengan adanya darah,sakit kepala,atau mengeluarkan banyak keringat dan kulit
lembab.
Gejala
lain
berupa
hilang
nafsu
makan,kelelahan,kulit
menjadi
hari. Pada orang tua manifestasi dari pneumonia mungkin tidak khas. Bayi dengan
pneumonia lebih banyak gejala,tetapi pada banyak kasus, mereka hanya tidur atau
kehilangan nafsu makan
Diagnosis
Untuk diagnosa suatu pneumonia,perawatan berdasarkan gejala-gejala dari pasien
dan penemuan dari pemeriksaan fisik. Informasi dari foto thorax,pemeriksaan darah dan
kultur sputum sangat membantu. Foto thorax khususnya di gunakan di rumah sakit dan
beberapa
klinik
dengan
fasilitas
sinar
x.
Bagaimanapun
pengaturan
dalam
frekwensi
pernapasan(RR),penurunan
tekanan
darah,denyut
jantung yang cepat,atau saturasi oksigen yang rendah, dimana jumlah oksigen dalam
darah yang diindikasikan oleh pulse oximetri atau analisis gas darah. Orang yang
kesulitan bernafas, bingung atau dengan sianosis(kulit berwarna biru) memerlukan
pertolongan segera. Mendengarkan paru-paru dengan stetoskop(auskultasi) akan
menunjukan beberapa hal. Hilangnya suara nafas normal, adanya suara retak(rales),atau
peningkatan suara bisikan(whispered pectoryloqui) dapat mengenali daerah pada paru
yang keras dan yang penuh cairan yang dinamakan konsolidasi.Pemeriksa dapat juga
merasakan permukaan dada(palpasi) dan mengetuk dinding dada(perkusi) untuk
mengetahui lebih jauh lokasi konsolidasi. Pemeriksa juga dapat meraba untuk
meningkatkan getaran dari dada ketika berbicara(fremitus raba).
Pemeriksaan Laboratorium
Pada sebagian besar kasus jumlah leukosit normal atau sedikit meninggi dan
kadang leukositosis. Pada hitung jenis terdapat geser ke kiri dan dapat dipakai sebagi
petunjuk diagnosis infeksi akut yang penting. Peningkatan ureum darah terjadi pada 30%
kasus, peningkatan ringan serum transaminase 20% kasus, dan peninggian kreatinin dan
gula darah dapat terjadi. Ditemukan pula hiponatremi dan hipofosfatemi.
Gambaran radiologik, bila jelas akan tampak gambaran infiltrate paru. Kadang
sulit menilai gambaran foto toraks, terutama bila terdapat dehidrasi, sehingga infiltrate
belum tampak dalam waktu 24-48 jam perawatan. Pada pneumoni yang dini, pneumoni
oleh bakteri gram negatif, foto toraks kadang tampak normal.
Apa akibat dari imobilisasi? Adakah hubungan dengan keluhan?
Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem pernafasan misalnya
penurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia. Komplikasi endokrin dan ginjal,
peningkatan diuresis, natriuresis dan pergeseran cairan ekstraseluler, intoleransi glukosa,
hiperkalsemia dan kehilangan kalsium, batu ginjal serta keseimbangan nitrogen negative.
Komplikasi Gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia, konstipasi dan luka
tekan (ulkus dekubitus). Pada Sistem saraf pusat, dapat terjadi deprivasi sensorik,
gangguan keseimbangan dan koordinasi.
Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis yang menunjukkan sikap segan
untuk berhubungan dengan sekitarnya atau sikapnya acuh tak acuh. Tekanan darah
120/70 mmHg tergolong normal. Respiratory Rate (RR) 30 kali/menit, meskipun RR
pada lansia memang normalnya lebih tinggi, namun RR yang tinggi juga mengarah pada
infeksi saluran bagian bawah seperti pada pneumonia. Suhu 36,5oC suhu normal pada
umumnya adalah 36,5oC - 37,2oC, suhu pada lansia tidak dapat menginterpretasikan suatu
keadaan secara pasti karena proses thermoregulasi yang mengalami penurunan
sensitifitasnya, misalnya pada kasus infeksi lansia tidak selalu menunjukkan gejala
demam atau pada penurunan suhu yang tidak disadari hingga lansia jatuh dalam kondisi
hipotermia. Heart Rate (HR) 108 kali/menit, normalnya pada lansia HR adalah lebih dari
90 kali/menit
Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang?
Hasil leukosit 7500, leukosit adalah salah satu komponen yang membentuk darah
dan berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian
dari sistem kekebalan tubuh. Kadar normal 4000-11.000/mm3. Namun pada beberapa
kasus infeksi tidak selalu menunjukkan peningkatan pada leukosit, sehingga memerlukan
pemeriksaan penunjang lain.
Hasil foto thorax PA menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah
kanan, adanya bayangan kesuraman yang homogen pada satu lobus/lebih dan terlihat
konsolidasi pada satu lobus/lebih, serta becak infiltrat merupakan salah satu gejala yang
didapatkan pada penyakit pneumonia.
udara
dalam
alveolus
(air
trapping)
ataupun
gangguan
Volume dan kapasitas paru menurun. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor:
(1) kelemahan otot nafas, (2) elastisitas jaringan parenkim paru menurun, (3)
resistensi saluran nafas (menurun sedikit). Secara umum dikatakan bahwa pada
usia lanjut terjadi pengurangan ventilasi paru.
Gangguan transport gas. Pada usia lanjut terjadi penurunan PaO2 secara bertahap,
yang penyebabnya terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Gangguan perubahan ventilasi paru. Pada usia lanjut terjadi pengaturan ventilasi
paru, akibat adanya penurunan kepekaan kemoreseptor perifer, kemoreseptor
sentral ataupun pusat-pusat pernafasan dimedulla oblongata dan pons terhadap
rangsangan berupa penurunan PaO2, peninggianPaCO2, perubahan pH darah
arteri dan sebagainya.
fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan imobilitas (paru),
misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru dan sebagainya . Perbaikan fungsi paru
dapat dilakukan dengan menjalankan olahraga secara intensif.
Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru. Dari pengalaman
para ahli diketahui bahwa yang pasti memberikan pengaruh faal paru adalah : (1)
pembedahan toraks (jantung dan paru); (2) pembedahan abdomen bagian atas; dan (3)
anestesi atau jenis obat anestesi tertentu. Perubahan fungsi paru yang timbul, meliputi
perubahan proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah kapiler paru.
Adanya perubahan patofisiologik paru pasca bedah mudah menimbulkan komplikasi paru
: atelektasis, infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi kematian karena timbulnya
gagal nafas.
Apa saja diagnosis banding pada pemeriksaan paru?
Pneumonia
Definisi
Pneumonia adalah suatu infeksi pada paru-paru, dimana paru-paru terisi oleh cairan
sehingga terjadi gangguan pernafasan.
Penyebab
Pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh
bakteria, virus, jamur, atau parasit. Pneumonia pada bayi baru lahir seringkali berawal
dari pecahnya ketuban sebelum waktunya yang menyebabkan terjadinya infeksi pada
cairan ketuban (amnionitis). Janin terendam dalam cairan ketuban yang terinfeksi dan
menghirupnya sehingga masuk ke dalam paru-paru. Terjadilah pneumonia, kadang
disertai sepsis. Pneumonia bisa terjadi beberapa minggu setelah bayi lahir, terutama pada
bayi yang pernafasannya dibantu oleh ventilator (alat bantu pernapasan). Pnemumonia
sering terjadi sejak lahir, sampai dengan bayi berusia 2 tahun.
Gejala dan tanda
Gejalanya bervariasi, mulai dari pernafasan yang cepat sampai kegagalan pernafasan dan
tekanan darah yang sangat rendah (syok septik). Gejala yang tampak seperti:
Demam
Batuk
Hidung tersumbat
Sianosis (pucat)
Muntah
Jika pneumonia terjadi setelah bayi lahir, gejalanya timbul secara bertahap. Jika bayi
bernafas dengan bantuan ventilator, akan tampak bahwa jumlah lendir meningkat.
Kadang bayi tiba-tiba menjadi sakit yang disertai dengan turun-naiknya suhu tubuh.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Contoh darah dan
lendir dari saluran pernafasan diambil untuk dibiakkan.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
Pemeriksaan darah untuk mengetahui jumlah sel darah putih dan trombosit
Rontgen dada.
Pengobatan
Pada kasus ringan, pasien boleh berobat jalan. Namun pada kasus bert, sebaiknya pasien
dirawat inap.
Pada pasien rawat jalan:
Monitor oksigenasi
Oksigen
Isolasi pernapasan
Ribavirin
Antibiotik
Pencegahan
Vaksin untuk mencegah beberapa jenis pneumonia sudah tersedia. Sebaiknya pada anak
usia sekolah, diistirahatkan dirumah/ di RS apabila sedang sakit. Guna mencegah
penularan pada teman-temannya
Bagaimana interpretasi pemeriksaan dan cara penilaian skor norton?
SKOR NORTON
SKOR
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
Kemungkinan
Kecil
Terjadi
Resiko
Dekubitus
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Fluorokuinolon respirasi
3. Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Tikarsilin, Piperasilin
Siprofloksasin, Levofloksasin
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
5. Hemophilus influenza
TMP-SMZ
Azitromisin
Fluorokuinolon respirasi
6. Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
7. Mycoplasma pneumonia
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
8. Chlamydia pneumonia
Doksisikin
Makrolid
9. Fluorokuinolon
Adakah kegawatdaruratan pada pasien?
Kegawatdaruratan yang dialami eyang Yoso adalah kondisinya yang sudah apatis,
tidak mau makan, minum menyebabkan kondisi eyang Yoso nertambah buruk karena
nutrisinya yang tidak terpenuhi. Serta tidak mau bangun dari tempat tidur ini dapat
menyebabkan terjadinya ulkus dekubitus jika dilakukan terus-menerus. Selain itu kondisi
batu yang dialami eyang Yoso menunjukkan adanya penyakit pneumonia yang diderita
eyang Yoso sehinggadiperlukan tatalaksana yang sesuai dan cepat.
Apa indikasi kasur dekubitus?
-
Pasien dengan kondisi yang menyebabkan turah baring cukup lama selama
pengobatan, seperti pada pasien stroke, fraktur, koma, dan lainnya.
kehilangan
berat
badan,
dan
malnutrisi
umumnya
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian
Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orangtua berhubungan
dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak
mencukupi.
7. Usia
Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena luka tekan
karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan
kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori,
penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.
Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi
berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek.
8. Tekanan arteriolar yang rendah
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan
sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan
menjadi iskemia. Studi yang dilakukan oleh Nancy Bergstrom (1992) menemukan bahwa
tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan luka
tekan.
9. Stress emosional
Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga
merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari luka tekan.
10. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki
efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi (2002)
ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka
tekan.
11. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur merupakan
faktor yang signifikan dengan risiko terjadinya luka tekan.
Bagaimana medikasi pasien ulkus dekubitus?
Karena luka tekan lebih mudah dicegah daripada diobati, setiap orang yang
berpartisipasi dalam perawatan pasien bertanggung jawab untuk mencegah kerusakan
kulit. Jika kerusakan kulit sudah terjadi, semua pemberi asuhan harus berusaha
mempercepat
penyembuhan dekubitus.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
1. Rubah posisi pasien sedikitnya 2 jam sekali. Ketika merubah hindari pergesekan
seperti menggeser pasien dengan linen atau alat-alat lain.
2. Anjurkan pasien untuk duduk di kursi roda setiap 10 menit untuk mengurangi
tekanan. Bila penderita dapat duduk, dapat didudukkan di kursi. Gunakan
bantalan untuk penyangga ke 2 kaki dan bantal bantal kecil untuk menahan
tubuh penderita. Bila memungkinkan ganti posisi tidur penderita setiap hari
dengan cara mengganjalnya dengan bantal atau bantalan busa.
3. Anjurkan masukan nutrisi yang tepat dan cairan yang adekuat.
4. Segera bersihkan feses atau urin dari kulit karena bersifat iritatif terhadap kulit.
Cuci dan keringkan daerah tersebut dengan segera.
Saran
Perlu adanya peran serta keluarga dalam menjaga kesehatan pasien, baik jasmani
maupun mental
Perlu penatalaksanaan yang sesuai bagi pasien geriatric agar tidak menimbulkan
komplikasi yang lebih parah
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, boedhi dan Hadi martono.Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut).Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009
Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit
Buku Kedokteran IPD FK UI.
Fransisca K. 2000. Pneuominia. Surabaya: Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma
Surabaya
Darmojo, Boedhi. 2011. Geriatri. Jakarta: Balai penerbit FK UI .Edisi ke-4
Baehr M, Frotscher M. Duus. 2005. Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition.
New York : Thieme.
Goetz, Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical
Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders.
Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. 2007. Pencegahan Primer Stroke. Dalam : Guideline
Stroke 2007. Jakarta.
Ropper AH, Brown RH. 2005. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victors
Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill.
Rumantir, CU. 2007. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD
Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru.
Rumantir, CU. 1986. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 19841985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu
Penyakit Saraf.
Harrison. 2002. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. EGC. Jakarta