Anda di halaman 1dari 2

Sistematic review ini menemukan bahwa rTMS frekuensi rendah pada DLPFC kiri dan rTMS frekuensi

tinggi pada DLPFC kanan memperbaiki gejala seperti inatensi pada anak dan remaja dengan ADHD.
Penelitian oleh Gomez dkk tidak menggunakan subyek kontrol, dan penelitian yg dilakukan Weaver dkk
tidak menemukan perbedaan signifikan antara pasien dan kontrol; dengan demikian sulit untuk
menyimpulkan apakah rTMS memiliki manfaat pada ADHD berdasarkan hanya pada hasil kedua
penelitian tersebut. Selain itu kedua penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, termasuk jumlah
sampel yang sedikit dan durasi penelitian yang singkat. Oleh karena itu diperlukan penelian yang lebih
teliti. Namun Gomez dkk menunjukkan bahwa score pada SCL menurun setengah pada pasien dengan
ADHD yang mendapat terapi rTMS. Adanya penemuan pada penelitian-penelitian sebelumnya yg
menggunakan kontrol placebo (Goodman dkk, 2017; Philipsen dkk, 2015), mungkin terdapat efek terapi
melebihi efek placebo. Ditambah lagi, hanya subyek dengan rTMS aktif menunjukan perbaikan gejala
selama fase kedua penelitian setelah "crossover'.

Temuan dalam studi menggunakan pencitraan tampaknya memerlukan penelitian lebih lanjut tentang
penggunaan rTMS pada ADHD. Menggunakan fMRI, Rubia dkk (2007) menemukan adanya penurunan
aktivasi DLPFC kanan selama "oddball task". Selain itu, menggunakan fMRI, Chrstakou dkk (2013)
menemukan adanya penurunan aktivasi DLPFC kiri selama "vigilance task" pada anak dengan ADHD
dibanding kontrol yang sehat. Anak dengan ADHD menunjukkan perbaikan inatensi dan
hiperktifitas/impulsifitas pada salah satu studi dalam review ini (Gomez dkk, 2014). Meskipun
hiperaktivitas dan impulsivitas berkurang seiring usia, inatensi dikatakan menetap seumur hidup
(Biederman, Mick, dan Faraone, 2000; Larsson, Lichtenstein, &Larsson, 2006). Dengan demikian,
efektivitas terapi untuk inatensi sepanjang siklus kehidupan diperlukan. Dibandingkan dengan kontrol
yang sehat, anak dengan ADHD menunjukan adanya disfungsi pada DLPFC kiri selama "attention task"
diteruskan (Christakou dkk, 2013). Karena DLPFC dianggan terlibat dalam mengatur konteol atensi (Silton
dkk, 2010), disfungsi persisten pada DLPFC mungkin menjadi penyebab patofisiologi ADHD (Hart dkk,
2013). Berdasarkan terapi TBS, He dkk (2013) menemukan bahwa iTBS terhadap DLPFC kiri memicu
peningkatan signifikan dalam kontrol kewaspadaan dan eksekutif, efisiensi pada "attention network test'
pada orang dewasa muda yang sehat, menyatakan adanya efek yang bermanfaat terhadap kemampuan
atensi. Dilakukan bersamaan, penemuan ini mendukung spekulasi bahwa stinulasi pada DLPFC mungkin
memperbaiki inatensi pada anak dan remaja dengan ADHD. Terutama, kedua bentuk rTMS i rTMS
frekuensi rendah dan iTBS, memunculkan efek berlawanan pada tempat stimulasi yang sama. Namun,
karena terdapat inhibisi transcallosal antara DLPFC kanan dan kiri melalu corpus callosum (Fleming &
Newham, 2017), rTMS frekuensi rendah pada DLPFC kiri dapat memicu efek inhibitorik di kontralateral
tempat stimulasi (misal, DLPFC kanan), sedangkan iTBS pada DLPFC kanan memicu efek inhibitorik
terhadap kontralateral dari tempat stimulasi (mosal, DLPFC kiri). Dengan demikian, dari sudut pandang
neurofiosiologis, rTMS frekuensi rendah pada DLPFC kiri dan iTBS pada DLPFC kanan mungkin
memberikan efek yang serupa.

Selain itu, penelitian DTI sebelumnya secara konsisten menunjukan bahwa anomali white matter
ditemukan dalam corpus callosum anak dengan ADHD (Aoki, Cortese, & Castellanos, 2018; Gilliam dkk,
2011). Baru-baru ini Kaller dkk menemukan bahwa hubungab yang lebih kuat antara DLPFC kanan dan
kiri melalu carpus callosum berkaitan dengan kemampuan perencanaan yang lebih buruk pada dewasa
muda (Kaller dkk, 2015). Jadi, rTMS pada DLPFC mungkin menurunkan impulsivitas pada anak dengan
ADHD melalui peningkatan kemampuan perencanaan, yang mana DLPFC terlibat.

Anda mungkin juga menyukai