heterolog, maka virus tidak dinetralkan sehingga bebas melakukan replikasi di dalam
monosit. Monosit akan menghasilkan sitokin yang akan menyebabkan sel endotel teraktivasi
sehingga mengekspresikan molekul adhesi seperti vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).2,3
Peningkatan TNF dan IL-6 pada DBD telah dilaporkan oleh Hadinegoro. Sedangkan
Suharti menemukan peningkatan TNF , IL-1 dan IL-1Ra pada DBD. Sitokin juga dapat
menimbulkan berbagai perubahan pada fungsi sel endotel yaitu peningkatan sekresi faktor
von Willebrand (vWF), tissue factor (TF), platelet activating factor (PAF), plasminogen
activator inhibitor (PAI) prostasiklin (PGI2), dan nitric oxide (NO) serta penurunan tissue
plasminogen activator (tPA) dan trombomodulin. Oleh karena itu pada disfungsi endotel
terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan aktivasi sistem koagulasi. 2 Hal ini
mengakibatkan manifestasi perdarahan berupa epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
gastrointestinal, hematuria, dan menoragia. Perdarahan yang dapat terjadi bisa dari ringan
sampai berat.
A. Virus Dengue
Demam dengue disebabkan oleh infeksi virus dengue yang termasuk genus group B
arthropod borne virus (arboviruses) atau Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4
yang semuanya menyebabkan demam dengue aatau demam berdarah dengue. Virus dengue
disebarkan melalui vektor utamanya nyamuk Aedes aegypti.4,5
Genom virus Dengue menyandi 10 produk gen: C (capsid), prM (matrix), E
(envelope), dan protein-protein nonstruktural termasuk NS-1, NS-2A, NS-2B, NS-3, NS-4A,
NS-4B, dan NS-5. Protein E berinteraksi dengan reseptor seluler sehingga memprakarsai
proses masuknya virus, rangkaian asam aminonya menentukan aktivitas penetralisiran
antibodi yang menggolongkan virus Dengue (DEN) menjadi 4 serotipe.2 Protein-protein
nonstruktural berfungsi dalam replikasi RNA dan pemrosesan protein virus. NS-1 satusatunya dengan bentuk terlarut yang dapat dideteksi dalam sirkulasi. Beberapa protein
nonstruktural juga memainkan peran dalam memodifikasi sistem imun, seperti NS-2A, NS2B dan NS-4B yang berpengaruh pada jalur sinyal interferon 1 dengan menginduksi produksi
sitokin, NS-5 menginduksi produksi interleukin 8. NS-3 berfungsi ganda dalam aktivitas
helicase (melepas rantai DNA) dan protease, di mana aktivitas proteasenya memerlukan NS2B sebagai kofaktor.5,6
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999. Jumlah
penderita DBD yang mengalami renjatan berkisar antara 25-65 %, yaitu Sumarmo dkk (1985)
mendapatkan 63 %, Rampengan (1986) melaporkan 59,4%, sedangkan WHO (1973)
melaporkan 65,45% dari seluruh oenderita DBD yang dirawat.4,5
Secara khusus tidak terdapat perbedaan antara jenius kelamin penderita DBD tetapi
kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Penyakit ini
selalu terjadi tiap tahun di berbagai tempat di Indonesia terutama pada musim hujan. Pola
siklus peningkatan penularan berbarengan dengan musim hujan telah teramati di berbagai
negara. Interaksi antara suhu dan turunnya hujan adalah determinan penting dari penularan
dengue, karena makin dingin suhu mempengaruhi ketahanan hidup nyamuk dewasa, jadi
mempengaruhi laju penularan.3,4
C. Klinis Dengue
Di daerah endemik, infeksi kebanyakan terjadi di antara anak-anak yang telah
terinfeksi setidaknya sekali di awal dekade hidup. Sebagian besar gejala infeksi primer tidak
jelas walaupun beberapa berkembang menjadi demam tidak khas disertai gejala lain seperti
nyeri kepala, nyeri retroorbital, nyeri otot, dan kadang perdarahan. Pada sebagian kecil pasien
berkembang menjadi Demam Berdarah Dengue (DBD).6 Meski klasifikasi klinisnya berbeda,
demam Dengue dan DBD kemungkinan besar merupakan satu rangkaian proses penyakit
yang sama dengan hasil perubahan integritas vaskuler yang berbeda. 1,2 Tanda DBD adalah
adanya kebocoran plasma yang dapat memicu hilangnya volume intravaskuler dan sirkulasi
tak memadai. Kebocoran plasma yang lanjut berkorelasi dengan penurunan jumlah trombosit.
Beberapa peneliti menggunakan foto toraks atau USG berseri untuk mendeteksi kebocoran
plasma melalui adanya akumulasi cairan yang progresif dan signifikan. Perdarahan yang
signifikan merupakan wujud klinis lain yang terkait dengan beratnya penyakit dan dijumpai
lebih sering pada DBD dibanding demam Dengue. Juga, kenaikan enzim hati dan
trombositopenia.6,7 Definisi Demam Dengue menurut WHO yaitu:
Didapatkan demam akut dengan 2 atau lebih gejala/tanda berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nyeri kepala
Nyeri retro orbital
Nyeri sendi / atralgia
Nyeri otot / mialgia
Ruam
Manifestasi perdarahan
Leukopenia, dan
8. Ada kejadian di lokasi dan waktu yang sama, dan telah dikonfirmasi oleh kriteria
laboratorium (serologi, isolasi, deteksi genom virus) mendukung sebagai kasus
Dengue.
Sedangkan definisi Demam Berdarah Dengue :
Semua dari 4 komponen berikut harus terpenuhi :
1. Demam, atau riwayat demam akut selama 2-7 hari, adakala bifasik.
2. Kecenderungan perdarahan dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut:
a) Tes tourniket positif
b) Petekie, ekimosis, purpura
c) Perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi
lain.
d) Hematemesis atau melena.
3. Trombositopenia ( 100.000 sel per mm3)
4. Adanya kebocoran plasma dengan manifestasi:
a)
kenaikan hematokrit 20% di atas rerata usia, seks dan populasi
b)
penurunan hematokrit setelah intervensi penggantian volume yang setara
c)
efusi
pleura,
asites,
dan
gastrointestinal seperti hematemesis dan melena jarang diamati selama fase demam.
Pembesaran hati diamati pada hari 3-4 sakit dalam lebih dari 90% kasus pada anak dan
sekitar 60% dari orang dewasa.3,7
Tahap kritis DBD tercapai pada akhir dari periode demam, setelah 2-7 hari demam,
ketika kebocoran plasma dimulai. Periode kebocoran plasma sekitar 24 - 48 jam. Pasien
mungkin mengeluh sakit perut dan mungkin ada perubahan ringan dan sementara dalam
denyut nadi dan tekanan darah saat suhu turun ke normal. Pada kasus yang kritis, biasanya
diikuti dengan hilangnya volume plasma, saat ini suhu tubu8h akan menurun dan akan
berkembang menjadi syok dalam waktu yang cepat. Saat ini dapat terjadi kematian jika
pengobatan yang tepat tidak diberikan.7,8
Periode syok merupakan periode yang pendek namun dapat mengancam nyawa, tetapi
pasien yang menerima perawatan yang tepat dan cepat dapat membaik dengan sempurna.
Dalam kasus syok berkepanjangan, sering terjadi asidosis metabolik, pendarahan yang parah
5
biasanya perdarahan gastrointestinal dalam bentuk hematemesis melena dan hal ini dapat
memberikan prognosis yang buruk dengan angka kematian tinggi.7
D. Perjalanan Klinis Demam Dengue dan DBD
Pada fase febris penderita biasanya mengalami demam tinggi yang mendadak dan
menetap (gambar 2), dengan manifestasi klinis lain seperti nyeri otot, nyeri perut, mual, dan
muntah. Selama periode ini dapat terjadi berbagai derajat perdarahan, dengan dehidrasi berat.
Periode febris bisa bertahan antara 2 hingga 7 hari. Di sekitar periode afebris trombosit
menurun dan mencapai titik terendah. Pada DBD dapat terjadi kenaikan permeabilitas
vaskuler dan kebocoran plasma yang berlangsung hingga 48 jam diikuti resolusi cepat dan
spontan, kemudian masuk periode konvalesen. Gagal fungsi hati dan ensefalopati dapat
menyebabkan syok sekunder yang berkepanjangan. Mortalitas biasanya berkenanan dengan
lambatnya pengenalan dan terapi kebocoran plasma.8
E. Patofisiologi
1. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi
disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal
tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh
perdarahan.
Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis
relatif dengan limfosit aipik sering ditemukan sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemia akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis
dan gangguan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor
VIII, faktor XII, dan antitrombin III. APTT dan PT memanjang pada sepertiga
sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik
dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis
bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat ringannya efusi pleura
berhubungan dengan berat ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok,
efusi pleura dapat ditemukan bilateral. Fenomena perdarahan sering terjadi pada
DBD. Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji torniquet
positif, petekie, purpura, ekimosis, dan perdarahan konjungtiva. Perdarahan
lainnya seperti epistaksis, perdarah gusi, hematemesis, dan melena dan perdarahan
otak juga dapat terjadi meskipun lebih jarang terjadi. Petekie merupakan tanda
perdarahan yang paling sering ditemukan, terutama pada dahi dan ekstremitas
distal. Tanda ini muncul pada hari-hari pertama demam, namun dapat pula
dijumpai pada hari ke 3, 4, dan 5 demam.
Terjadinya perdarahan adalah akibat interaksi 3 komponen yaitu faktor
pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan dan trombosit. Trombositopenia adalah
salah satu penyebab terjadinya perdarahan. Akan tetapi pada pasien DBD yang
mengalami trombositopenia tidak selalu disertai dengan perdarahan. Sum-sum
tulang pada pasien DBD menunjukkan adanya depresi sumsum tulang yaitu
hiposeluler pada hari ke 3 dan ke 4 demam dan perubahan patologis sistem
megakariosit. Hal ini disebabkan jumlah trombosit pada hari ke 3 demam mulai
menurun sekitar 5-15 % dan mengalami trombositopenia pada hari ke 4 demam.
Dari penelitian radioisotop dibuktikan adanya destruksi trombosit dalam sistem
Restikuloendotelial yaitu dalam limpa dan hepar. Pada pasien DBD juga terjadi
pemendekkan masa paruh trombosit.
3. Sistem Koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan pada perdarahan DBD. masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial
8
10
2. Dengan
terdapatnya
kompleks
virus-antibodi
dalam
sirkulasi
darah
pembekuan
11
terhubung pada ikatan simpang sel. -catenin dan plakoglobin terikat pada -catenin yang
berinteraksi dengan protein pengikat actin, contohnya F-actin.6,11
signifikan. Intervensi cairan yang berlebih dapat memicu komplikasi serius seperti edema
paru dan gagal napas.3
I. Vaksin Dengue
Mulai ditemukannya vaksin dengue merupakan sesuatu hal yang maju saat ini. Protein
E Dengue sangat penting bagi pengembangan vaksin karena memediasi masuknya virus
dengan berinteraksi pada reseptor permukaan sel pejamu dan juga merupakan target primer
penetralan antibodi. Para peneliti berhasil membuat komplemen DNA-RNA virus yang
infeksius dengan kloning E. coli, sebagai bentuk dasar pengembangan vaksin.
Penelitianvaksin kini berfokus pada penggunaan vaksin tetravalen hidup yang dilemahkan
(tetravalent live attenuated vaccines), vaksin chimaera intertipe, dan vaksin rekombinan
DNA dengan dasar vektor virus flavi dan non virus flavi. Vaksin tetravalen hidup telah
berhasil memenuhi uji klinis tahap 2 karena menunjukkan imunogenik dan keamanannya. 14,15
PENUTUP
14
DBD merupakan kasus yang sangat sering di Indonesia. Angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi membuat DBD merupakan salah satu penyakit yangh jharus diketahui.
Sehingga penyakit ini dapat dicegah dan ditanggulangi dengan tepat. Manifestasi perdarahan
merupakan salah satu penyulit pada DBD. Banyak faktor yang mendasarinya seperti
trombositopenia dan gangguan koagulasi. Dengan terjadinya perdarahan dapat memperberat
DBD apalagi jika dalam keadaan syok. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kematian.
Pengetahuan akan perdarahan ini diharapkan dapat mencegah terjadinya perdarahan dalam
DBD sehingga memperpendek harapan hidup dalam kasus DBD.
DAFTAR PUSTAKA
15
1.WHO.
Dengue
and
Dengue
haemorrhagic
fever.
Available
from
http://www.whoint/mediacentre/ factsheets/fs117/en/
2. WHO. Variable endemicity for DF/DHF in countries of SEA Region. Available from:
http://www.searo.who.int/en/Section10/Section332_1100.htm
3. WHO. Demam Berdarah Dengue: Diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pengendalian.
EGC. Edisi 2. Jakarta: 1999.
4. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak. EGC. Edisi 2. Jakarta :2006; 122-47
5. Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta:
EGC;2006 hal 1709-13
6. Srikiatkhachorn A. Plasma leakage in dengue haemorrhagic fever. Thromb Haemost 2009;
102: 1042-49
7. Avirutnan P, Punyadee N, Noisakran S, et al. Vascular leakage in severe Dengue virus
infections: a potential role for the nonstructural viral protein NS-1 and complement. J.
Infect.Dis. 2006; 193: 1078-88.
8. Monath TP. Dengue and Yellow Fever Challenges for the Development and Use of
Vaccines. N Engl J Med 2007.357:2222-5
9. Krishnamurti C, Kalayanarooj S, Cutting MA, et al. Mechanisms of hemorrhage in Dengue
without circulatory collapse. Am J Trop Med Hyg 2001; 65: 840-7.
10. Srikiatkhachorn A, Krautrachue A, Ratanaprakarn W, et al. Natural history of plasma
leakage in Dengue hemorrhagic fever: a serial ultrasonographic study. Pediatr Infect. Dis. J
2007; 26: 283-92.
11. Pancharoen C, Rungsarannont A, Thisyakorn U. Hepatic dysfunction in Dengue patients
with various severity. J Med Assoc Thai 2002 ; 85 (Suppl 1): S298-301.
12. Nimmannitya S. Clinical manifestations of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever.
Monograph on Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever. WHO, New Delhi; 1993; 48-57.
13. Nguyen TH, Nguyen TL, Lei HY, et al. Volume replacement in infants with Dengue
hemorrhagic fever/Dengue shock syndrome. Am J Trop Med Hyg 2006; 74: 684-91.
14. Darmowandowo W. Infeksi Virus Dengue. http://www.pediatrik.com/pkb/0610220153036l9i130.pdf
15. Mustafa MMS, Agrawal VK. Dengue Vaccine: The Current Status. MJAFI 2008;
64: 161-164
16