Anda di halaman 1dari 22

BAHAN AJAR

KULIAH PSIKOLOGI UMUM DAN PERKEMBANGAN


SABTU, 04 APRIL 2015

KONSEP EMOSI (DALAM ISLAM)


MUHAMAD PRIYATNA
NIK. 207 006 015
NIDN. 21 160278 01
DOSEN TETAP JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PAI
STAI AL-HIDAYAH BOGOR

Pendahuluan
Suatu hal niscaya dalam kehidupan manusia adalah fakta tentang sikap
dan perilaku sehari-hari yang mencerminkan perasaan seperti rasa
senang, sedih, marah, jengkel, muak, dan sebagainya. Tidak jarang
dijumpai seseorang yang wajahnya berubah menjadi merah padam
(dalam ungkapan al-Qurn, muswaddan), pucat pasih, atau berseri-seri
(musfirah), karena ada peristiwa emosional yang dialaminya saat itu.
Hanya saja, ungkapan yang sering digunakan oleh masyarakat sehari-hari
untuk memaknai emosi sering kali terbatas pada sikap dan perilaku
marah saja. Padahal, cakupan emosi itu amatlah luas, tidak hanya
terbatas pada sikap dan perilaku marah. Orang yang takjub saja,
sebagaimana yang dialami istri Nabi Ibrahim ketika di usia senjanya
dikabari akan memperoleh anak (Q.S. Hd [11]: 72), sekelompok wanita
terhormat berdecak kagum menyaksikan ketampanan Nabi Yusuf (Q.S.
Ysuf [12]: 30-32). Atau, orang-orang yang diidentifikasi sebagai albakkn, yakni mereka yang mencucurkan air mata sedih karena tidak
bisa ikut dalam suatu perang membela Islam (Q.S. al-Tawbah [9]: 92).
Sementara yang bersifat eksplosif seperti yang ditunjukkan oleh Nabi
Musa ketika marah kepada kaumnya lalu melampiaskannya dengan
membanting prasasti (al-alwh) yang ada di tangannya (Q.S. al-Arf [7]:
150). Pendek kata, emosi yang dialami manusia cakupannya sangat luas,
sehingga Daniel Goleman (1997:411) menggambarkan bahwa kosakata
yang kita miliki tak mampu menyebutkan secara persis keseluruhan
emosi yang kita rasakan. Namun, para ahli mencoba mengklasifikasi
emosi menjadi dua kelompok besar: emosi dasar (primer emotion) dan
emosi campuran (mixed emotion).

Jenis emosi yang telah disepakati oleh para ahli sebagai emosi dasar
adalah: emosi senang/bahagia (joy, ), marah (anger, ), sedih
(sadness, ), takut (fear, ), benci/jijik (disgust, ), dan
heran/kaget (surprise, ). Para ahli menyimpulkan bahwa keenam
emosi ini yang diidentifikasi dirasakan oleh semua manusia di dunia.
Emosi-emosi dasar tersebut adakalanya bercampur antara satu dan yang
lain, misalnya antara marah dan benci, heran dan takut, benci dan rindu,
dan sebagainya. Percampuran itu bisa terjadi sangat variatif sehingga
sulit dipilah dan diberi nama, persis percampuran tiga warna dasar
(magenta, biru, kuning) yang memungkinkan terciptanya nuansa warna
tak berhingga.
Keterbangkitan emosi ditandai oleh adanya perubahan faali (fisiologis)
dan terekspresikan dalam bentuk sikap atau tingkah laku. Perubahan faali
di saat emosi oleh al-Qurn diindikasikan antara lain dalam bentuk
degup jantung (wajilat qulbuhum Q.S. al-Anfl [8]: 2, Q.S. al-Hajj
[22]: 35), GSR (galvanic skin response) atau reaksi kulit (taqsyairru
minhu juld Q.S. al-Zumar [39]: 23), reaksi pupil mata
(tasykhashu fh al-abshr Q.S. Ibrhm [14]: 42; Q.S. al-Anbiy [21]:
97), reaksi pernapasan (shadrah dhayyiqan Q.S. al-Anm [6]: 125,
Q.S. al-Hijr [15]: 97, Q.S. al-Syuar [26]: 13 atau ungkapan seperti
balaghat al-qulb al-hanjir Q.S. al-Ahzb [33]: 10). Sedangkan
ekspresi yang dapat disaksikan antara lain wajah berseri-seri bahagia
(wujhun yawmaidzin musfirah, dhhikah mustabsyirah Abasa
[80]: 38-39), wajah hitam pekat atau merah padam (wajhuh
muswadd Q.S. al-Nahl [16]: 58; Q.S. al-Zumar [39]: 60; Q.S. alZukhruf [43]: 17), pandangan tidak konsentrasi (zghat al-abshr
Q.S. al-Ahzb [33]: 10; Shd [38]: 63; Q.S. al-Najm [53]: 17), menutup
telinga karena ketakutan (yajalna ashbia-hum f dzni-him min alshawiq hadzara al-mawt Q.S. al-Baqarah [2]: 19), menggigit ujung
jemari (adhdh alaykum al-anmila min al-ghayzh Q.S. lu Imrn
[3]: 119), reaksi kinestetis dengan membolak-balik telapak tangan karena
kesal (yuqallibu kaffayh Q.S. al-Kahf [18]: 42).
Ekspresi wajah merupakan ekspresi paling umum terjadi ketika
seseorang mengalami peristiwa emosi. Gambaran al-Qurn tentang
ekspresi wajah yang berseri-seri atau muram berdebu (Q.S. Abasa [80]:
38-40) atau ekspresi bagian-bagian dari wajah boleh jadi karena wajah
adalah cerminan jiwa manusia yang bersifat universal dan lintas kultural,
dikenali oleh berbagai etnis di dunia dengan pola-pola yang sama. Ia
bersifat bawaan (heredity) karena ternyata bayi yang terlahir buta tuli
sekalipun mampu melakukannya, meskipun kemudian diperkaya oleh
berbagai pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut
Davidoff (1987:327): We saw that people everywhere communicate
basic emotions with the same facial expressions and find it easy to
2

identify basic emotions from facial expressions. We described how


young babies, including those born blind and deaf, use these same
expressions to communicate their feelings. The universality of basic
facial expressions suggests that they are programmed into human beings
by heredity. (Kita menyaksikan bahwa manusia di bagian dunia
manapun mengomunikasikan emosi dasar dengan ekspresi wajah yang
sama, dan kita pun mendapatkan bahwa suatu hal yang mudah untuk
mengenali emosi dasar melalui ekspresi wajah. Kita menggambarkan
bagaimana seorang bayi, termasuk mereka yang dilahirkan dalam
keadaan buta dan tuli, menggunakan ekspresi yang sama ini untuk
mengomunikasikan perasaan mereka. Universalitas ekspresi wajah dasar
ini mengisyaratkan bahwa hal itu diprogramkan ke dalam diri manusia
secara turun-temurun).
Emosi Dasar dalam al-Qurn
Kosakata yang berdenotasi emosi tidak dijumpai secara spesifik di dalam
al-Qurn, tetapi bertebaran ayat yang berbicara atau berkaitan dengan
perilaku emosi yang ditampilkan manusia dalam berbagai peristiwa
kehidupan. Ungkapan al-Qurn tentang emosi digambarkan langsung
bersama peristiwa yang sedang terjadi. Berbagai peristiwa emosional
dijelaskan oleh al-Qurn meskipun topik utamanya (main topic) bukan
masalah emosi. Emosi yang muncul pada umumnya merupakan
gambaran selintas terkait dengan main topic yang sedang dijelaskan atau
diceritakan, sehingga mufasir pun kadang-kadang tidak tertarik untuk
menjelaskan secara rinci hal itu.
Berikut ini akan dijelaskan emosi-emosi dasar yang diisyaratkan oleh alQurn dalam kaitannya dengan sejarah peradaban umat manusia di masa
lampau, sikap dan perilaku mereka yang terus berlangsung, serta
gambaran emosi manusia dalam kehidupan di akhirat, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (tak dikehendaki).
A.

Emosi Senang

Emosi senang umumnya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang


membuat kepuasan dalam hidup. We define happiness as overall
satisfaction with life. Perasaan senang (cinta, gembira, puas, bahagia)
adalah kondisi-kondisi yang senantiasa didambakan oleh setiap individu
apa pun latar belakangnya. Hal yang mungkin berbeda adalah persepsi
terhadap sesuatu yang dapat membuat orang senang. Sebagian
menjadikan ukuran kesenangan itu pada harta yang melimpah, kesehatan
yang prima, jabatan yang bergengsi, atau keluarga yang rukun dan
sejahtera, sementara yang lain pada hal-hal di luar itu. Oleh karena itu,
objek yang dapat membuat orang senang atau bahagia tidak bisa diukur
sama untuk semua individu. Namun, secara umum al-Qurn menyatakan
3

bahwa manusia memi-liki predisposisi senang kepada wanita (lawan


jenis), anak cucu, harta yang melimpah, kendaraan mewah, dan kekayaan
lainnya (Q.S. lu Imrn [3]: 14).
Ekspresi emosi senang dijumpai dalam beberapa ayat al-Qurn yang
dengan jelas mengung-kapkan terjadinya perubahan-perubahan pada
wajah menjadi berseri-seri yang dapat diamati oleh orang lain yang
menyaksikannya. Ayat-ayat al-Qurn tersebut misalnya Q.S. al-Insn
[76]: 11; Abasa [80]: 38-39; al-Muthaffifn [83]: 22-24; al-Insyiqq
[84]: 7-9. Q.S. Abasa [80]: 38-39:

Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria. (Q.S.
Abasa [80]: 38-39)

Menurut al-Thabar (1405 H), kata musfirah dalam ayat tersebut berasal
dari asfar, yaitu ungkapan dalam bahasa Arab untuk menyebut wajah
yang cantik (bersinar). Cahaya subuh juga disebut asfar ketika mulai
bersinar, bahkan setiap yang bersinar dikatakan musfir. Wajah yang
musfirah adalah wajah berseri-seri yang memancarkan sinar
kegembiraan karena mendapatkan suatu kenikmatan.
Ungkapan emosi senang di dalam al-Qurn sangat beragam. Senang
meraih kenikmatan dan terhindar dari kesulitan misalnya dijumpai dalam
Q.S. Hd [11]: 10; al-Rm [30]: 36; al-Syr [42]: 48; lu Imrn [3]:
170; Ynus [10]: 58; Ysuf [12]: 33-34. Senang terhadap lawan jenis
(Q.S. lu Imrn [3]: 14; al-Rm [30]: 21; Ysuf [12]: 30-32), senang
terhadap harta (al-Fajr [89]: 20; al-diyt [100]: 8; al-Kahf [18]: 34; alRad [13]: 26), senang memberi atau menerima (al-Hasyr [59]: 9; alNaml [27]: 36; al-Tawbah [9]: 58-59; al-Insn [76]: 8-9; al-Nis [4]: 4).
Sementara senang terhadap hasil usaha (prestasi) dapat dilihat misalnya
dalam Q.S. al-Rm [30]: 2-4; al-Anm [6]: 135; lu Imrn [3]: 188;
Ghfir [40]: 83. Ada pula bentuk kesenangan yang menyimpang dari
fitrah kemanusiaan, yaitu jika seseorang senang terhadap kesulitan orang
lain (lu Imrn [3]: 120; al-Tawbah [9]: 50). Jenis yang terakhir ini
tentu harus dihindari karena bertentangan dengan ajaran agama.
Kata fariha (gembira, senang) yang disebutkan dalam beberapa ayat di
atas merupakan gambaran suasana hati ketika dapat merasakan kepuasan
begitu men-dapat-kan apa yang diinginkan. Demikian pendapat alBaghaw (1407 H) yang menyatakan:

: . Objek
yang menimbulkan emosi senang bersifat sangat personal. Nabi Yusuf
sangat senang ketika doanya terkabul untuk masuk penjara sebagai usaha
menghindari godaan para wanita yang tertarik padanya (Q.S. Ysuf [12]:
33-34).
4

Sedangkan Q.S. al-Hasyr [59]: 9 turun dalam kasus Abu Thalhah (yang
lain menyebut Tsbit ibn Qays, atau Ab Nashr Abd al-Rahm) yang
begitu berempati kepada tamunya pengungsi dari kaum Muhajirin. Ia
sendiri kesulitan dalam hidupnya tetapi masih tetap mengutamakan
tamunya meski harus memberikan makanan yang tadinya untuk anak
balitanya. Walaupun ayat ini turun untuk apresiasi terhadap emosi
senang yang ditunjukkan seorang Ansar kepada Muhajirin, namun
kondisi itu merata pada hampir semua kaum Anshar. Faktor senang
membantu tamu-tamu itu merupakan gejala umum di masyarakat
Madinah. Mereka memberi apa yang dibutuhkan oleh tamu-tamunya
meskipun sebenarnya mereka juga butuh, termasuk mereka yang
memiliki istri lebih dari satu dengan rela diberikan kepada tamu-tamu
Muhajirin.
Hal yang kontras terjadi adalah apa yang dijelaskan dalam Q.S. alTaubah [9]: 58-59. Ayat ini turun pada kasus Ibn Dzu al-Khuway-sharah
al-Tamimi (atau pada Abu al-Jawaz, atau Abu al-Jawthada yang
menyebutnya, munafik), ia memprotes keadilan Rasulullah ketika
mem-bagi sedekah dan harta rampasan perang (ghanmah, al-fay)
karena ia tidak mendapat bagian. Orang-orang munafik ketika mendapat
bagian mereka meluapkan kesenangan, tetapi ketika tidak, serta-merta
mereka menggerutu dan marah. Atau, ketika mendapat banyak amat
senang, tapi ketika sedikit mereka jengkel
.
Q.S. al-Rm [30]: 2-4 menggambarkan kekalahan dan kemenangan dua
kekuatan imperium di abad VII, Romawi Timur dan Persia (yang
mendapat simpati dari kaum musyrik Mekah). Kemenangan terhadap
lawan (tanding) merupakan prestasi. Sebuah prestasi, apakah diukir
sendiri atau oleh orang yang mendapat simpati dan dukungan kita,
membawa kepuasan tersendiri. Semakin susah prestasi itu diperoleh,
semakin tinggi pula nilai kepuasannya. Menurut McClelland pada diri
manusia terdapat kebutuhan untuk berprestasi yang dikenal dengan
istilah n-Ach (need for achievement).
Senyampang dengan itu, al-Qurn melarang manusia melampiaskan
emosi senangnya dengan berlebih-lebihan, cara-cara yang tak lazim, atau
akibat kesombongan dan maksiat (Q.S. al-Qashash [28]: 76; Ghfir [40]:
75-76; al-Hadd [57]: 23). Larangan mengungkapkan emosi senang yang
terdapat pada 28:76 hendaklah dipahami sebagai emosi senang yang
berlebihan dan yang membawa pada kebanggaan terhadap diri sendiri
sebagai-mana yang dilakukan oleh Qarun ibn Yushar ibn Qahits ibn
Lawi. Karena ternyata harta kekayaan dan pernik-pernik duniawi dapat
membangkitkan emosi senang berlebihan dan dapat men-jauhkan
manusia dari Allah. Menurut al-Baydhw bahwa ketidaksukaan Allah
5

kepada orang yang mengungkapkan kegembiraannya (seperti dapat


dibaca pada Q.S. al-Qashash [28]: 76) adalah jika dilakukan secara
berlebih-lebihan dan semata-mata dalam hal keduniawian yang
menyebabkan manusia lupa pada eksistensi Tuhan sebagai sumber
kesenangan itu. Apalagi jika ungkapan emosi senang itu terjadi karena
kemaksiatan yang dilakukan, sebagaimana dijelaskan Q.S. Ghfir
[40]:75.
B.

Emosi Marah

Emosi marah adalah emosi yang paling dikenal dalam percakapan seharihari, bahkan sering dianggap perilaku marah identik dengan emosi.
Tingkah laku yang menyertai emosi marah sangat beragam mulai dari
tindakan diam atau menarik diri (withdrawal) hingga tindakan agresif
yang dapat mence-derai atau mengancam nyawa orang lain. Pemicunya
juga sangat beragam, dari hal-hal yang sangat sepele sampai pada
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Pada umumnya emosi
marah pada manusia dikenali dengan terjadinya perubahan pada raut
muka (tegang, merah padam), nada suara yang berat, anggota badan
bergetar, atau sikap siap menyerang. Atau, agresivitas itu tidak
menggejala karena disembunyikan dengan alasan-alasan tertentu.
Faktor penyebab keterbangkitan emosi marah ada yang bersifat eksternal
dan ada pula yang bersifat internal. Faktor eksternal adalah stimuli yang
datang dari luar diri kita, baik lingkungan sosial maupun lingkungan
alam seperti cuaca, gangguan alam, atau yang lain. Sedangkan faktor
internal datang dari dalam diri manusia sendiri atau sering juga disebut
sebagai faktor personal. Orang yang tempramental sangat mudah
tersinggung dan terpancing untuk melampias-kan emosi marahnya
ketimbang dengan orang penyabar. Sikap dan tingkah laku marah
dimiliki oleh semua makhluk, bahkan Allah sebagai al-Khliq dapat
marah (murka). Allah marah kepada orang yang membunuh manusia
tanpa haq, musyrik, munafik, bersumpah palsu, dan sebagainya.
Gejala-gejala emosi marah yang muncul dalam sikap dan perilaku
manusia yang direkam oleh al-Qurn dalam berbagai peristiwa,
ekspresi, dan tindakan. Salah satu di antaranya, Q.S. al-Arf [7]: 150:

Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan
sedih hati berkatalah dia: Alangkah buruknya perbuatan yang kamu
6

kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji


Tuhanmu? Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan
memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke
arahnya. Harun berkata: Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah
menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab
itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan
janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang
zalim.
Ekspresi emosi marah dalam penuturan al-Qurn dijumpai dalam semua
bentuk ekspresi. Pertama, ekspresi marah dengan perubahan pada raut
muka dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nahl [16]: 58-59; al-Zukhruf
[43]: 7 (ketika orang-orang jahiliah mendapatkan bayi perempuan).
Kedua, ekspresi marah dengan kata-kata diungkapkan Q.S. Thaha [20]:
86; al-Qalam [68]: 48; al-Anbiy [21]: 87-88 (peristiwa Nabi Musa yang
kesal kepada saudara-nya, Harun; dan peristiwa Nabi Yunus yang kesal
kepada kaumnya lalu pergi menjauh dan kemudian ditelan ikan
kekesalan berganda). Ketiga, ekspresi emosi dengan tindakan dapat
dibaca pada Q.S. lu Imrn [3]: 119; al-Arf [7]: 150 (orang-orang
kafir musyrik menggigit jari-jemarinya karena marah yang bercampur
benci kepada kaum Muslimin; dan peristiwa Nabi Musa melempar
prasasti/alwh ketika menjumpai kaumnya menyembah al-ijl). Keempat,
ekspresi marah dengan diam digambarkan misalnya oleh Q.S. Ysuf
[12]: 84-85; 12:77 (Nabi Yaqub berpaling dari anak-anaknya yang
bersekongkol membunuh Yusuf; dan Yusuf menahan marah atas fitnah
saudara-saudaranya kepada dirinya).
Betapa banyak peristiwa emosi marah yang selalu kita saksikan dalam
kehidupan sehari-hari akibat dari tidak tercapainya sesuatu yang
diinginkan. Orang bisa berteriak, memaki, membentak, menendang,
menempeleng, menggebrak meja, membanting gelas, menggerutu,
melotot, atau tindakan lainnya hanya karena harapannya tak kesampaian.
Rekaman peristiwa di dalam al-Qurn telah mencatat aneka macam
tingkah laku manusia ketika berbagai keinginannya gagal tercapai. Ada
yang memutarbalik-kan fakta untuk mencelakakan orang yang menjadi
penghalang harapan-harapannya itu (Q.S. Ysuf [12]: 25-28). Ada yang
meng-ajak perang tanding untuk menampil-kan kehebat-an yang
dimilikinya agar dapat disaksikan oleh khalayak (Q.S. Thaha [20]: 6370). Ada pula yang berusaha mengusir orang yang menjadi perintang
keinginan-keinginan mereka dengan deportasi ke luar negeri mereka
(Q.S. al-Naml [27]: 54-56). Dan, aneka respons emosional yang muncul
di saat harapan tak kesampaian: menggerutu kalau hanya mendapat
sedikit bagian zakat (Q.S. al-Tawbah [9]: 58); kesal kalau dzikrullh
mendominasi percakapan (Q.S. al-Zumar [39]: 45); jengkel yang
melanda orang kafir ketika tak mampu memperdayakan dan
7

mengalahkan orang mukmin padahal jumlah personel dan teknologi


perang mereka lebih unggul (Q.S. al-Ahzb [33]: 25).
Keterbangkitan (arousal) emosi marah kadang-kadang bermula dari
percakapan biasa, tawa canda yang kemudian menyerempet ke harga
diri, hingga provokasi yang disengaja untuk membang-kitkan emosi
marah. Harga diri (self esteem), pembelaan pada simbol identitas, dan
perebutan teritori adalah hal yang paling sering memunculkan emosi
marah. Firaun merasa kekuasaannya dilecehkan lalu memprovokasi
masyarakat untuk mengirimkan pemberaninya melawan Musa dan
pengikutnya (Q.S. al-Syuar [26]: 53-55).
Personifikasi juga terjadi dalam menggambarkan emosi marah.
(Personifikasi sering muncul karena gaya bahasa al-Qurn yang puitis,
meskipun ia bukan buku sastra. Bertanya pada negeri

[Q.S. Ysuf [12]: 82], benda-benda angkasa terma-suk planet-planet
patuh kepada Tuhannya

[ Q.S. al-Insyiqq [84]: 2,5],
langit dan bumi tidak menangisi mereka



[Q.S. al-Dukhn [44]: 29], adalah contoh-contoh personifikasi al-Qurn
yang harus dipahami sesuai dengan konteksnya). Q.S. al-Mulk [67]: 6-8
dan al-Furqn [25]: 12 menggambarkan tentang kegeraman neraka ketika
dimasuki para pendosa. Menurut Ibn Katsir, kemarahan neraka
digambarkan hampir-hampir memisahkan bagian demi bagian akibat
amarah yang dahsyat kepada penghuninya.
C.

Emosi Sedih

Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak selamanya manusia


bergem-bira, adakalanya juga bersedih. Sedih karena gagal meraih
sukses, mendapat kesulitan, ditinggal orang yang dicintai, atau sebab
yang lain. Begitulah kehidupan terjadi silih berganti (Q.S. lu Imrn
[3]: 140). Tertawa atau menangis sudah merupakan bawaan (naluri,
gharzah) karunia dari Allah. Dari sejak lahir manusia sudah pandai
menangis dan tersenyum. Setelah mulai menapaki kehidupan orang
belajar dari lingkungannya kapan tempatnya tertawa dan kapan pula
menangis. Q.S. al-Najm [53]: 43 menjelaskan:

Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan


menangis.

Kesedihan memang sesuatu yang tidak diharapkan, tetapi senang atau


tidak senang, pasti mampir juga dalam perjalanan hidup manusia.
Rasulullah saw. sendiri pernah mengalami kesedihan bertubi-tubi, antara
lain ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya dalam selang waktu
8

relatif singkat, sehingga tahun kejadian itu dikenal dalam sejarah sebagai
m al-huzn (tahun kesedihan, tahun 619 H). Cobaan yang dialaminya
cukup berat sampai tiba saatnya mendapat kelapangan (al-insyirh,
enlightenment, pencerahan). Kesedihan berganti dengan kebahagiaan,
beban berat terlewati, dan memang sesudah kesulitan pasti ada
kemudahan. Sungguh! (Q.S. al-Insyirh [94]: 1-8).
Pada umumnya, yang kita kenali dalam ekspresi emosi sedih adalah
tangis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap orang yang menangis pasti
bersedih, karena ternyata ada tangis bahagia, tangis haru, atau bahkan
ada tangis pura-pura seperti terjadi pada kisah saudara-saudara Yusuf.
Ekspresi lain adalah raut wajah yang menggambarkan suasana hati ketika
sedang bersedih: dingin, pucat, pandangan lesu, tanpa senyum, tidak
bergairah.
Beberapa ayat al-Qurn menjelaskan model-model ekspresi emosi sedih
yang diperankan oleh manusia. Pertama, ekspresi emosi sedih dengan
cucuran air mata yang memancarkan perasaan yang dialami (Q.S. alTawbah [9]: 92); kedua, tangis yang dibuat-buat untuk memberi kesan
kesedihan atau sandiwara (Q.S. Ysuf [12]: 15-16); ketiga, ekspresi
sedih dalam bentuk perilaku menarik diri (withdrawal, tawall) disertai
mata yang berkaca-kaca (Q.S. Ysuf [12]: 84-86).
Pada umumnya, kesedihan muncul ketika seseorang ditimpa kesulitan,
kemalangan, atau kondisi-kondisi yang sangat tak diharapkan lainnya.
Penyebab kesedihan pasti akan mampir dalam setiap kehidupan manusia,
hanya tinggal bagaimana orang itu memaknai setiap peristiwa yang
dialaminya, lihat Q.S. Fushshilat [41]: 49; al-Marij [70]: 19-22; Ghfir
[40]: 18; al-Zukhruf [43]: 17; Shd [38]: 27; lu Imrn [3]: 191. Orang
mukmin sejati yang senantiasa memelihara ketakwaannya sangat pandai
memaknai setiap peristiwa yang terjadi sehingga mereka tidak mudah
larut dalam kesedihan atau keputusasaan (Q.S. al-Anm [6]: 48; Ynus
[10]: 62-63; al-Ahqf [46]: 13; al-Zumar [39]: 61; al-Arf [7]: 35; alBaqarah [2]: 122, 277). Kalaupun ada orang mukmin bersedih, hal itu
karena ia tidak mampu memaksimalkan kebaikan yang seharusnya bisa
dilakukannya (Q.S. al-Tawbah [9]: 92) seperti pada Kelompok Tujuh
atau Kelompok al-Bakkn (orang-orang yang mencucurkan air mata
sedih karena gagal berpartisipasi dalam suatu perang jihad yang mereka
rindukan).
D.

Emosi Takut

Emosi takut merupakan salah satu emosi yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, karena berperan untuk mempertahankan diri dari
berbagai masalah yang dapat mengancam kehidupan itu sendiri. Emosi
takut manusia dalam penuturan al-Qurn mempunyai cakupan yang
9

luas. Bukan hanya gambaran ketakutan di dunia ini seperti ketakutan


pada kelaparan, kehilangan jiwa dan harta, bencana alam, melainkan juga
menyangkut ketakutan pada kesengsaraan hidup di akhirat. Hal ini
menjadi pembeda yang tegas antara orang beriman yang percaya pada
kehidupan akhirat dengan yang tidak. Ketakutan pada orang beriman
juga menjadi ajang promosi baginya untuk mencapai suatu predikat
tertentu dalam pandangan Allah. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah
[2]: 155 (juga Q.S. al-Nahl [16]: 112)



Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Manfaat emosi takut menurut perspektif al-Qurn tidak hanya untuk
menjaga manusia dari berbagai bahaya yang mengancam kehidupannya
di dunia ini, tetapi juga mendorong setiap mukmin untuk memelihara
dirinya dari azab Allah di akhirat. Kehidupan akhirat meskipun time
response-nya lama, tetapi pasti sebagaimana pastinya kematian itu
sendiri. Sebenarnya, pada diri manusia terdapat mekanisme pertahanan
diri sehing-ga segala sesuatu yang dapat mengancam dirinya akan
dihindarkan atau dia yang menghindar. Menghindar dapat berupa
kesengajaan atau tindakan refleks yang bersifat spontanitas terhadap
ancaman yang bersifat sekonyong-konyong. Manusia akan selalu
melakukan adaptation (adaptasi, penyesuaian diri dengan lingkungan)
atau adjustment (penyesuaian ling-kungan menurut yang dikehendaki)
terutama terhadap hal-hal yang berpotensi mengancam jiwa.
Perubahan tingkah laku karena emosi takut umumnya diekspresikan
dalam bentuk perubahan pada raut muka menjadi pucat pasih, berteriak
histeris (scream), loncat dan berlari, merunduk, menutup telinga,
menghindar, atau tindakan lain. Perubahan faali dapat terjadi berupa
denyut nadi meningkat, jantung berdebar-debar, pandangan mata kabur,
keluar keringat dingin, persen-dian terasa lemas. Ekspresi berupa tingkah
laku antara lain seperti menutup telinga ketika mendengar petir dan kilat
yang menyambar-nyambar (Q.S. al-Baqarah [2]: 19), mengungsi karena
takut perang (Q.S. al-Baqarah [2]: 243). Ketakutan yang muncul pada
hubungan intra-personal biasanya terjadi ketika mengingat peristiwa
masa lampau yang tersimpan di dalam memori (Q.S. al-Syuar [26]:
14; al-Qashash [28]: 18; lu Imrn [3]: 151; al-Rm [30]: 28).
Sedangkan emosi takut yang muncul pada hubungan dengan orang lain
(interpersonal) baik perorangan maupun kelompok (Q.S. Thaha [20]: 6710

68; al-Syuar [26]: 21; Shd [38]: 22; Thaha [20]: 40-46, 77; al-Nis
[4]: 77,101; al-Anfl [8]: 26; al-Midah [5]: 21-22; Ynus [10]: 83).
Dari ayat-ayat itu tampak jelas adanya kesan ketakutan terhadap
manusia, dalam hal ini penguasa yang lalim, kelompok tirani yang
perkasa (qawm jabbrn), dan serdadu-serdadu yang menjadi mesin
perang. Akan tetapi, kemudian Allah memberi peneguhan kepada orangorang beriman untuk berani melawan kebatilan siapapun pelakunya, dan
menegakkan yang haq sesudahnya. Perbedaan-perbedaan yang ada pada
manusia menyangkut ideologi, agama, etnis, dan perbedaan lainnya
dapat menjadi potensi konflik antar-manusia yang menimbulkan emosi
takut, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, alQurn mereduksi potensi konflik itu dengan mengajak semua pihak
yang memiliki perbedaan tadi untuk saling mengenal (Q.S. al-Hujurt
[49]: 13), dan kemudian saling menghormati. Kalaupun terjadi konflik
antarorang perorang segera didamaikan sebelum menjadi perang besar
antarkelompok (Q.S. al-Hujurt [49]: 9-10).
Pencegahan dini sebagaimana dimaksud oleh al-Qurn itu diperlukan
karena ketika massa terlibat pada suatu masalah terkadang sulit
dikendalikan. Jiwa individu ketika berada di tengah-tengah massa lebur
menjadi jiwa massa. Gejala seperti ini dalam psikologi dikenal dengan
istilah deindividuation.. Dan ternyata berdasarkan berbagai eksperimen,
deindividuation ini potensial menjadi pemicu agresi. Dalam bahasa
Feldman (1985:316), deindividuation is also a potential cause of
aggression, and this fact has been shown in a number of experiments.
Emosi takut dalam kaitannya dengan hubungan metapersonal
digambarkan al-Qurn dalam dua term, yaitu: al-khawf ( )dan alkhasyyah (), selain term taqw yang sering diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan takut (yang sesungguhnya tidak pas). Sebagian
ulama tafsir membedakan kedua term itu (al-khawf dan al-khasyyah),
sementara yang lainnya menganggapnya sino-nim saja. Jika dicermati
ayat-ayat yang menggunakan term al-khawf (seperti Q.S. Ibrhm [14]:
14; Q.S. al-Sajdah [32]: 16) tampaknya lebih umum dan intensitas
ketakutan itu lebih ringan jika dibandingkan dengan pada term alkhasyyah (seperti Q.S. Ysin [36]: 11; al-Mulk [67]: 12). Takut kepada
bencana alam maupun bencana hari kiamat juga selalu menggunakan
term al-khawf (seperti Q.S. al-Anm [6]: 15; al-Arf [7]: 59; Ynus
[10]: 15; Hd [11]: 3, 26, 84, 103; al-Isr [17]: 57; al-Nr [24]: 37, 50).
E.

Emosi Benci

Mekanisme pertahanan hidup manusia melahirkan berbagai tingkah laku


dan berbagai jenis emosi. Emosi benci, seperti halnya emosi takut, dapat
mengan-tar manusia untuk melestarikan hidupnya. Hanya saja, emosi
11

benci itu kadang-kadang tidak tepat sasaran jika terarah pada hal-hal
yang seharusnya tidak dibenci. Bahkan, menurut al-Qurn ada hal-hal
yang sering dibenci oleh manusia, tetapi ternyata sangat bermanfaat
baginya. Atau sebaliknya, disenangi tetapi membawa efek negatif
baginya (Q.S. al-Baqarah [2]: 216; al-Nis [4]: 19).






Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Emosi kebencian dan ketidaksenangan manusia, sebagaimana tergam-bar


dalam ayat-ayat al-Qurn, umumnya mengarah pada kebencian terhadap
kebe-naran yang datang dari Allah SWT. berupa wahyu itu sendiri,
keharusan untuk taat, berjihad, berinfak, dan sebagainya. Kalau
dibandingkan dengan jumlah ayat yang menerangkan tentang emosi
senang di dalam al-Qurn, maka emosi benci jauh lebih kecil
jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan al-Qurn
sebenarnya lebih cenderung pada pendekatan reward (ganjaran, targhb)
daripada punishment (hukuman, ancaman, tarhb).
Keberpihakan Allah terhadap kebaikan merupakan salah satu cara
memotivasi manusia untuk selalu dalam kebaikan dan membenci hal-hal
yang buruk dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Dalam banyak
ayat, Allah SWT. sering kali menutup sebuah ayat dengan menyatakan
ketidaksenangannya pada keburukan itu. Allah tidak senang pada:
kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-Baqarah [2]:
205; al-Maidah [5]: 64; al-Qashash [28]: 77), keterlaluan atau melampaui
batas (Q.S. al-Baqarah [2]: 190; al-Midah [5]: 87; al-Arf [7]: 31),
berfoya-foya, mubazir, isrf (Q.S. al-Anm [6]: 141; al-Arf [7]: 31),
suka berkhianat (Q.S. al-Nis [4]: 107; al-Anfl [8]: 58; al-Hajj [22]:
38), sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nis [4]: 36; alNahl [16]: 23; Luqmn [31]: 18; al-Hadd [57]: 23), lupa daratan karena
kelewat gembira (al-Qashash [28]: 76), mengingkari kebenaran, kafir
(Q.S. al-Baqarah [2]: 276; lu Imrn [3]: 32; al-Rm [30]: 45), berbuat
aniaya, zalim (lu Imrn [3]: 57, 140; al-Syr [42]: 40), suka berkatakata kasar (al-Nis [4]: 148).
Ekspresi emosi benci yang digambarkan oleh al-Qurn adakalanya
bersi-fat spontanitas dan adakalanya pula tidak spontanitas. Ekspresi
yang tidak spontanitas itu sejatinya hanya tertunda karena mungkin ada
12

faktor takut atau hal lain jika diekspresikan pada saat itu juga. Emosi
benci yang spontan dan yang tidak spontan masing-masing dapat dilihat
dalam Q.S. al-Isr [17]: 46 dan lu Imrn [3]: 119-120.
Kebenaran dari Allah digambarkan oleh al-Qurn dalam banyak ayat
sering kali mendapat penolakan dengan ekspresi kebencian dan
ketidaksenangan dari sebagian manusia. Selalu ada upaya sistematis dan
terus-menerus untuk meng-hancurkan kebenaran dari Allah itu. Dalam
ungkapan al-Qurn misalnya disebutkan mereka ingin memadamkan
cahaya dari Allah, dan sebagainya (Q.S. al-Tawbah [9]: 32-33; al-Shaff
[61]: 8-9; Ynus [10]: 82; al-Anfl [8]: 8; al-Muminn [23]: 70; alZukhruf [43]: 78; Muhammad [47]: 9, 26, 28; al-Zumar [39]: 45).
Demikian juga ketidaksenangan pada perilaku kebaikan misalnya pada
infak (Q.S. al-Tawbah [9]: 53-54), pada jihad (Q.S. al-Anfl [8]: 5; alBaqarah [2]: 216; al-Tawbah [9]: 81-82), ketaatan beribadah (Q.S. alRad [13]: 15), keikhlasan dalam mengabdi (Q.S. Ghfir [40]: 14).
Emosi benci terhadap perilaku seseorang kadang-kadang sulit dipisahkan
dengan pelakunya. Ketika kita benci pada perilaku menggunjing
(ghbah), maka kita pun tak senang pada orang yang suka ghbah itu.
Atau sebaliknya, sering kali orang benci pada seseorang membawa pula
ketidaksenangan pada segala yang berhubungan dengan orang itu.
Tertawanya orang yang tak kita senangi terdengar pula tak enak di
telinga. Ketidaksenangan orang kafir pada ajaran Allah berdampak
kebencian kepada pembawa risalah (rasul). Hal ini yang dialami oleh
para rasul sebagaimana banyak disinyalir oleh al-Qurn, seperti
dijelaskan Q.S. al-Arf [7]: 88 dalam kasus Nabi Syuaib.
F.

Emosi Heran dan Kaget

Emosi heran dan kaget berada pada garis kontinum yang sama. Pada
peristiwa heran terdapat sangkaan di luar yang dibayangkan terjadi,
merasa ganjil ketika mengindera sesuatu, atau di luar kebiasaan.
Sedangkan pada peristiwa kaget emosi terjadi dengan sangat tiba-tiba,
terperanjat atau terkejut karena heran yang tiba-tiba. Intensitas emosi
pada peristiwa kaget lebih dalam dibandingkan dengan emosi pada
peristiwa heran. Akibatnya, perubahan fisiologis pada emosi kaget juga
lebih tinggi, seperti denyut jantung yang lebih cepat, pernafasan yang
berat, dan sebagainya. Emosi heran dan kaget diperlukan dalam
konstelasi kehidupan manusia, karena hal itu memberi peringatan dan
pewaspadaan terhadap sesuatu yang dapat mengancam kehidupan.
Sesuatu yang tak lazim sekonyong-konyong muncul atau dijumpai di
sekitar kita perlu diwaspadai kalau-kalau hal itu berbahaya bagi
kehi-dupan.

13

Di dalam al-Qurn, ekspresi heran dan kaget muncul dalam sejumlah


ayat sebagai fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan manusia
ketika berhadapan dengan objek di lingkungannya, baik lingkungan alam
maupun lingkungan personal (sosial). Bahasa yang sering digunakan alQurn adalah takjub yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Seperti halnya kurva normal, kehidupan ini selalu disertai oleh
keganjilan, sebagian ganjil negatif dan sebagian lagi ganjil positif. Orang
yang buruk rupa dan memiliki multihandicapped dapat dikategorikan
sebagai ganjil negatif, sementara yang sangat cantik atau ganteng dan
nyaris tanpa cacat sebagai ganjil positif. Anak yang terbelakang mental
(idiot) biasanya dianggap sebagai anak luar biasa (ke bawah), sementara
yang jenius pun disebut anak luar biasa (ke atas).
Emosi kaget (heran, takjub) yang dialami oleh manusia pada umumnya
diekspresikan dengan berteriak spontan, terperanjat, mata membelalak,
merinding, merunduk, latah, meneteskan air mata, menertawai, diam
seribu bahasa, termangu, terpesona, dan sebagainya. Ekspresi heran dan
kaget ini juga telah digambarkan di dalam al-Qurn dengan sangat
spektakuler, misalnya Q.S. Ysuf [12]: 31:



Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka,
diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat
duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau
(untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf):
Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka. Maka tatkala
wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya
dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna
Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah
malaikat yang mulia.

Di alam ini terkandung banyak hal atau peristiwa misteri, tidak atau
belum diketahui secara pasti mengapa hal itu terjadi. Dengan curiosity
(keingintahuan) yang ada pada manusia sedikit demi sedikit misteri itu
tersibak melalui penga-laman-pengalaman atau penelitian-penelitian. Di
kalangan sufi dikenal istilah tersingkapnya kasysyf (tirai selubung) yang
menyelimuti hakikat sesuatu ketika pengalaman dan latihan (riydhah,
exercise) mencapai maqm (tingkat) tertentu.

14

Apabila diklasifikasi berbagai peristiwa dalam kehidupan ini, maka dapat


dikatakan ada tiga pewilayahan: Pertama, wilayah terang (putih), yaitu
hal atau peristiwa yang telah dapat diterangkan secara jelas tentangnya,
tanpa ragu. Kedua, wilayah gelap (hitam), yaitu yang masih misterius
bagi manusia, belum dapat dijelaskan. Dan ketiga, wilayah bayangbayang (abu-abu), sesuatu yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan
dengan memuaskan meskipun sebagian daripadanya telah mulai tersibak.
Contoh, bagi orang yang belum pernah melihat besi berani (magnet, besi
yang mengandung muatan listrik) sebelum-nya akan terheran-heran
ketika menyaksikan magnet itu dapat menggaet potongan besi lain di
dekatnya. Baginya, magnet itu masih berada dalam wilayah hitam.
Sementara para ahli fisika dan yang telah mendapat penerangan tentang
teori dan cara kerja magnet itu berarti telah menjadikannya wilayah
terang baginya.
Ayat-ayat yang menerangkan tentang adanya peristiwa yang
mengherankan (menakjubkan) terjadi di luar kebiasaan antara lain: emosi
heran berkenaan dengan malaikat (Q.S. Hd [11]: 70), berkenaan dengan
jin (Q.S. al-Jinn [72]: 1), berkenaan dengan manusia (Q.S. Shd [38]:
22), berkenaan dengan hewan (Q.S. al-Kahf [18]: 63), berkenaan dengan
tumbuh-tumbuhan (Q.S. al-Wqiah [56]: 63-65, lihat lebih lanjut 68:1733), dan emosi heran berkenaan dengan sejarah masa lalu (misalnya Q.S.
al-Kahf [18]: 9; al-Baqarah [2]: 258).
Kemampuan dan kehebatan luar biasa yang dimiliki seseorang dapat
mengundang keheranan (takjub, taajjub) dari orang lain. Kehebatan itu,
sebagai-mana dapat dibaca dari ayat-ayat al-Qurn, misalnya para
pembawa risalah Allah yang memiliki kemampuan lebih dibanding
dengan manusia pada umumnya (komunikasi melalui wahyu dengan
Allah, mukjizat, integritas pribadi yang prima). Kelebihan lain yang juga
dapat membuat orang heran adalah bentuk fisik, harta kekayaan, dan
anak keturunan, jika hal itu tidak lazim dari biasanya menurut ukuran
normal. Q.S. Qf [50]: 2 merujuk pada ekspresi keheranan yang
ditunjukkan orang yang tak percaya atau ragu tentang kemungkinan
seorang manusia menjadi pembawa risalah dari Allah. Menurut alBaydhw, ekspresi keheranan itu terjadi karena ketakpercayaan pada
manusia biasa dari jenis mereka dapat menerima wahyu. Yang mereka
harapkan adalah dari malaikat sebagaimana harapan orang-orang tua
mereka sebelumnya. Ekspresi heran terhadap kemampuan diri sendiri
tergambar dalam Q.S. Hd [11]: 72-73 ketika istri Nabi Ibrahim yang
sudah menopause diberitakan akan melahirkan seorang anak. Kata ajz
dalam bahasa Arab diartikan sebagai nenek yang telah renta. Dalam kitab
Tafsr al-Baydhw dijelaskan usia pasang-an itu masing-masing sudah
mencapai 90 atau 99 tahun (istri) dan 100 atau 120 tahun (iii,246).

15

Pengendalian Emosi
Kehidupan manusia selalu mengalami ritme yang berbeda-beda, ada
saatnya mendapatkan kenikmatan lalu merasa bahagia, tetapi di saat yang
lain mengalami musibah lalu bersedih. Aneka ekspresi yang muncul
dalam menang-gapi berbagai situasi yang dialami itu sesungguhnya
memperkaya kehidupan itu sendiri. Tak terbayangkan dalam pikiran
seandainya pada semua yang dialami manusia muncul hanya satu jenis
ekspresi emosi, misalnya bahagia terus-menerus atau sedih sepanjang
masa, tentu tak nikmat. Morgan et al. (1986:310), memberi komentar
menarik tentang hal ini sebagai berikut:
Life would be dreary without such feelings. They add color and spice to
living; they are the sauce which adds pleasure and excitement to our
lives. We anticipate our parties and dates with pleasure; we remember
with a warm glow the satisfaction we got from getting a good grade; and
we even recall with amusement the bitter disappointments of childhood.
On the other hand, when our emotions are too intense and too easily
aroused, they can easily get us into trouble. They can warp our
judgment, turn friends into enemies, and make us as miserable as if we
were sick with fever.
(Hidup akan menjadi kering tanpa adanya berbagai perasaan atau emosi.
Perasaan atau emosi itu menambah warna dan bumbu bagi kehidupan; ia
merupakan saus yang menambah nikmatnya kebahagiaan dan
kegembiraan dalam kehidupan. Kita menanti datangnya pesta dan kencan
dengan senang hati; kita mengenang dengan bangga pada kepuasan yang
kita rasakan saat mendapatkan nilai yang bagus; dan kita bahkan
mengingat dengan penuh geli saat-saat mengecewakan dari masa kecil
kita. Di sisi lain, ketika emosi kita terlalu berlebih dan terlalu mudah
terpancing, ia dapat dengan mudah membawa kita ke dalam masalah.
Emosi dapat membengkokkan penilaian kita, mengubah teman jadi
lawan, dan menjadikan kita sengsara ketika kita terkena sakit demam).
Benar, emosi memang menjadi bumbu kehidupan, tetapi ketika emosi
memuncak tak terkendali dan atau berlangsung dalam waktu lama, maka
kemungkinan timbul masalah yang runyam dalam kehidupan fisik
maupun psikis. Emosi yang sangat dalam dapat menyebabkan
terganggunya mekanisme faali, sistem kimiawi tubuh, dan memunculkan
ketegangan-ketegangan yang merusak tatanan equilibrium (homeostatis)
yang senantiasa menjaga keseimbangan dalam diri manusia. Al-Qurn
mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebab emosi yang dapat
merusak tatanan mekanisme fisik dan psikis itu, misalnya: ketakutan
yang amat dahsyat (fobia), kelaparan, kehilangan harta dan anggota
keluarga secara tiba-tiba (Q.S. al-Baqarah [2]: 155), terlampau gembira
16

(euforia) karena memperoleh harta melimpah (Q.S. al-Qashash [28]:76),


berputus ada dari rahmat Allah (Q.S. al-Zumar [39]: 53, 12: 87), dan
sebagainya.
Ada beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap akibat
buruk dari emosi berlebihan, antara lain:
1. Tetap konsisten (istiqmah) dalam kebenaran (al-haqq). Permohonan
yang selalu kita sampaikan kepada Allah adalah tetap berada pada shirth
al-mustaqm (Q.S. al-Ftihah [1]: 6), tidak mengikuti langkah-langkah
setan dan orang-orang yang telah disesatkannya, karena hal itu selalu
membawa kepada kemungkaran.


















Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,
maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang
keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Lihat pula Q.S. al-Baqarah
[2]: 168, 208; al-Anm [6]: 142)
Satu hal paling sering membuat manusia waswas, guncang, tidak dalam
kondisi tenang, yaitu ketika orang itu tidak konsisten dalam menjalani
kebenaran, tetapi membiarkan dirinya melanggar aturan (hukum)
mengikuti langkah-langkah setan. Semakin berat akibat hukum yang
ditimbulkan suatu perbuatan semakin berat pula tingkat
ketidaktenangannya. Pantas apabila Rasulullah saw. memberi indikasi
perbuatan dosa dengan adanya ketidaktenangan (waswas) dalam hati dan
takut diketahui orang lain:

Kebaikan itu adalah kesempurnaan akhlak, sedangkan dosa adalah apa


yang membuat hatimu waswas (bergejolak) dan kamu tak senang jika
orang lain mengetahuinya. (H.R. Muslim).
Konsistensi dalam menjalankan kebenaran dari Allah baik dalam sikap
maupun perbuatan akan mengeliminasi kekhawatiran dan kesedihan
17

dalam hidup, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam Q.S.
al-Ahqf [46]: 13 (lihat juga Fushshilat [41]: 30).

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah


Allah, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.

2. Berpikir positif dan bersikap realistis dalam menerima apa pun yang
datang dari Allah sebagai bagian dari perjalanan hidup. Allah menguji
manusia dengan berbagai ujian (bal) untuk mengetahui siapa yang
mampu bersabar dan siapa yang tidak, sebagaimana dipahami dari Q.S.
al-Baqarah [2]: 155-156; Muhammad [47]: 31, bahkan kehidupan dan
kematian pun merupakan cobaan (Q.S. al-Mulk [67]: 2). Berpikir positif
dan bersikap realistis terhadap kenyataan hidup, baik yang
menyenangkan maupun yang menyedihkan, ditandai oleh mekanisme
syukur-sabar. Banyak di antara manusia yang tidak mampu mengontrol
dirinya ketika menghadapi kenyataan hidup, baik yang menyenangkan
maupun yang menyedihkan (Q.S. al-Marij [70]: 20-21; Ynus [10]: 12;
al-Isr [17]: 83; Fushshilat/41:49-51). Dalam Q.S. al-Marij tersebut
telah pula dijelaskan siapa yang mampu mengendalikan (mengontrol)
diri, antara lain karena telah terlatih dalam menjalankan pengabdian yang
menghasilkan sikap dan perilaku syukur dan sabar. Orang yang bersikap
dan berperilaku syukur jika mendapatkan karunia tidak serta-merta lupa
daratan, tetapi ia memaknai sebagai karunia dari Allah yang juga
menjadi ujian baginya. Q.S. al-Naml [27]: 40 mengisyaratkan hal ini.

















Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: Aku akan
membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka
tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun
berkata: Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku
bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang
bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya
sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia.
Sementara apabila mendapat musibah ia bersikap dan berperilaku sabar
dan memaknainya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan

18

kembali kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 155-157). Sabar harus dalam


kesempatan pertama (al-shadmah al-l, benturan pertama).
3. Mengatasi masalah agar tidak berkembang menjadi lebih buruk. Ada
banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketegangan
emosional misalnya menarik napas panjang, berteriak, katarsis. Agama
mengajarkan untuk pergi berwudhu, dzikrullh, relaksasi, dan
sebagainya. Dua terakhir paling mudah dilakukan:
a.

Dzikrullh

Mengingat Allah (dzikrullh) dalam kondisi emosi memuncak (arousal)


termasuk dalam kategori pengalihan emosi (replacement) kepada objek
lain yang memungkinkan meredam efek negatifnya. Meskipun model
replacement ini banyak ragamnya, dzikrullh termasuk yang paling
mudah dilakukan dan dalam banyak hal sangat efektif, terutama mereka
yang sudah terlatih untuk itu. Berkenaan dengan hal ini, Allah
menjelaskan di dalam Q.S. al-Rad [13]: 28 sebagai berikut:

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram


dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.
b.

Relaksasi

Pada saat emosi memuncak sistem kimiawi tubuh ikut berubah dan dapat
menimbulkan ketegangan-ketegangan fisik dan psikis. Untuk mereduksi
pengaruh-pengaruh buruk itu perlu segera dikembalikan ke posisi
equilibrium normal dengan cara relaksasi. Rasulullah saw. memberi
solusi ketika seseorang marah (mewakili emosi negatif) agar segera
mengubah posisi ketika itu.











Jika seseorang di antara kamu marah dalam posisi berdiri, maka
hendaklah ia duduk mudah-mudahan marahnya hilang. Kalau belum reda
juga, maka sebaiknya ia berbaring).

19

Secara umum Al-Quran pun mengindentifikasikan perubahan fisiologis


yang tereskpresikan dalam bentuk sikap atau tingkah laku. Seperti dalam
table berikut ini:

Perubahan Fisologis
(faali)
Degup Jantung

Reaksi Kulit

Reaksi Pupil Mata

Reaksi Pernapasan

Ekspresi wajah berseriseri


Wajah hitam pekat atau
merah padam
Pandangan tidak
konsentrasi (terpana)
Menutup telinga karena
ketakutan
Menggigit ujung jari

No.

6
7
8
9
10

Reaksi kinestetis dengan


membolak-balik telapak
tangan karena menyesal

Ayat

20

QS
Al-Anfal: 2, Al-Hajj: 35
Az-Zumar: 23
Ibrahim: 42, Anbiya: 97
Al-Anam: 125, Al-Hijr:
97, Al-Syuara: 13
Abasa: 38-39
An-Nahl: 58, Al-zumar:
60, Al-Zuhkhruf: 17
Al-Ahzab: 10, Shad: 63,
An-Najm: 17
Al-Baqarah: 19
Ali Imran: 119
Al-Kahfi: 42

Kesimpulan
Emosi manusia di dalam al-Qurn tersebar dalam berbagai surah dan
ayat mengikuti peristiwa-peristiwa fenomenal yang dihadapi manusia
dalam berbagai persoalan kehidupan. Ungkapan al-Qurn tentang emosi
itu digambarkan dalam bentuk ekspresi, perubahan fisiologis, tindakan
dan tendensi tindak-an, sampai pada berbagai model pengendalian emosi,
baik dalam bentuk katarsis, pengalihan (replacement), relaksasi, dan
selainnya. Ekspresi emosi yang paling sering dikemukakan oleh alQurn adalah ekspresi wajah, persis dengan apa yang ditemukan dalam
penelitian-penelitian psikologi bahwa wajah merupakan cerminan jiwa
manusia. Psikologi menemukan bahwa ekspresi wajah ketika terjadi
emosi pada manusia bersifat universal dan lintas kultural, dikenali oleh
berbagai etnis di dunia dengan pola-pola yang sama ketika mereka
senang, marah, benci, heran, takut, atau sedang sedih. Dari ekspresi
itulah manusia dapat memahami emosi yang sedang dialami orang lain
sehingga ia dapat mengambil suatu sikap atau tindakan yang sesuai dan
diperlu-kan dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal.
Emosi senang dalam al-Qurn, seperti halnya dalam psikologi,
dikatego-rikan sebagai emosi positif karena didambakan oleh manusia
terjadi pada dirinya. Al-Qurn berbicara tentang emosi senang ini lebih
banyak dan lebih variatif dibandingkan dengan emosi-emosi lain. AlQurn menggunakan misalnya term al-hubb, al-surr, al-nam, alridh, al-tabsyr, al-farh, untuk merujuk pada emosi senang. Bahkan,
penggambaran emosi senang itu tidak terbatas pada kegiatan atau
peristiwa di dunia, tetapi juga gambaran emosi senang di kehidupan yang
eternal di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis emosi ini memang
menjadi dambaan manusia.
Ekspresi emosi marah dalam al-Qurn digambarkan sangat terinci, dari
perubahan raut muka, dalam bentuk verbal, tindakan-tindakan agresif,
hingga marah yang ditekan (represif) sebagaimana terjadi pada kasus
Nabi Yusuf yang difitnah pernah mencuri seperti yang dilakukan
saudaranya, Bunyamin, yang mencuri alat timbangan milik negara saat
itu. Deskripsi yang demikian terinci itu boleh jadi merupakan bentuk
pengenalan yang lengkap agar manusia dapat memahami ciri-cirinya,
mereduksi ketika muncul keterbangkitan (arousal), atau berusaha untuk
meng-hindarinya sama sekali dan berlapang dada terhadap sumbersumber pemicu emosi marah melalui mekanisme pemberian maaf.

21

Dalam hal emosi benci, al-Qurn lebih banyak mengemukakan perilaku


manusia yang sering kali membenci kebenaran, kebaikan, dan personal.
Suatu hal yang mena-rik bahwa al-Qurn memberi warning kepada
manusia bahwa adakalanya kita membenci sesuatu tetapi ternyata
mem-bawa kebaikan (manfaat) bagi kehidupan, ataupun sebaliknya.
Sedangkan emosi heran, takjub, kaget, merupakan sebuah garis kontinum
yang dialami dalam berbagai peristiwa tertentu berdasarkan pada
intensitas, meskipun frekuensi kemunculannya dalam ayat-ayat alQurn tidak sesering dibandingkan dengan emosi-emosi yang lain.
Adapun emosi takut manusia lebih banyak dijelaskan berkaitan dengan
bencana,
ketakutan
pada
hubungan-hubungan:
intrapersonal,
interpersonal, dan meta-personal. Sedangkan emosi sedih umumnya
dalam bentuk imbauan untuk tidak gampang bersedih. Ekspresi emosi
sedih dalam beberapa ayat digambarkan dengan tangis atau linangan air
mata (tafdhu min al-dam, ibyadhdhat aynh). Al-Qurn selalu
menggandengkan emosi cemas/khawatir (anxiety, al-khawf) dengan
emosi sedih (sadness, al-huzn) dan mengulangnya hingga tiga belas kali.
Dalam psikologi kedua term ini dimaknai hampir sama kecuali time
case-nya berbeda. Kecemasan terjadi menjelang suatu peristiwa yang tak
diinginkan, dan kesedihan terjadi sesudahnya.
Untuk mereduksi atau mengeliminasi efek-efek negatif dari keteganganketegangan yang mungkin muncul pada keterbangkitan emosi diperlukan
berbagai model yang dapat digunakan sebagai pengendali emosi.
Wallhu alam.
Sumber:
http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102artikel/256-emosi-menurut-perspektif-al-quran
http://km07010017.blogspot.com/2012/01/emosi-dalam-pesrfektif-alquran.html

22

Anda mungkin juga menyukai