Anda di halaman 1dari 10

FISIOLOGI GASTROINTESTINAL

TEORI DASAR
Usus halus terletak di dalam rongga abdomen terbentang dari lambung ke duodenum,
jejunum, dan ileum (usus halus) dan berlanjut ke usus besar. Dalam usus halus terjadi segmentasi
yang merupakan kontraksi yang melakukan pencernaan, pencampuran dan pendorongan kimus
secara perlahan menelusuri usus halus. Segmentasi ini terdiri dari kontraksi-kontraksi berbentuk
cincin di sepanjang usus halus dimana terjadi kontraksi yang bergantian yaitu saat segmen yang
satu melemas maka segmen yang satu di sampingnya akan berkontraksi. Kontraksi ini
menjadikan pencampuran kymus di usus halus lebih merata di dalam lumennya. pada usus halus
pencernaan selanjutnya di mulai pada duodenum yang merupakan tempat muaranya getah
pancreas dan cairan empedu. Segmentasi duodenum di mulai terutama sebagai respon terhadap
peregangan local yang di timbulkan pada saat ketika kymus mulai keluar dari sfingter pylorus ke
duodenum. Segmentasi yang lain terjadi pada ileum yang merupakan reflex gastro ileum,
dimana kymus memasuki duodenum sedangkan ileum masih dalam keadaan kosong segmentasi
ini di timbulkan oleh gastrin yang di sekreskan oleh reflex gastro ileum tadi.
Setelah mengalami berbagai aksi di dalam duodenum kymus tersebut kemudian melewati
jejunum yang merupakan bagian usus halus yang bersambungan dengan duodenum. Pada
duodenum ini terjadilah penyerapan makanan dan air yang kemudian berlanjut pada ileum yang
melakukan fungsinya dengan menyerap sisa-sisa nutrient yang belum tersserap di jejunum. Pada
saat kymus berada di ileum reflek gastro ileum mendorongnya ke arah katup ileocecal, terkadang
kymus itu tertahan di depan katup ileocecal tersebut sampai penambahan bolus yang baru
kedalam lambung atau sampai seseorang makan kembali.
Setelah masuk melewati katup ileocecal, kymus tersebut berjalan ke dalam lumen usus
besar yang berfungsi sebagai absorpsi air dan elektrolit dsri kymus untuk menjadi feses dsan juga
penimbunan bahan feses sampaim dapat di keluarkan dengan melakukan metode motilitas
kolon berupa kontraksi otot sirkular dan otot longitudianal yang terkumpul menjadi tiga pita
longitudinal (taenia coli ) yang di sebut kontraksi haustra yg dimulai oleh ritmisitas otonom sel
otot polos kolon. Gerakan haustra secara perlahan mengaduk isi kolon melalui gerakan maju
mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptive.
Setelah makan terjadi peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi masif yang disebut
gerakan massa yang mendorong isi kolon ke distal lalu disimpan sampai terjadi defekasi .
kontraksi haustra ini berlangsung lambat tetapi tetap persisten yang membutuhkan waktu 8-15
jam untuk menggerakan kymus dari katp ileosecal kolon. Kontraksi haustra ini dikontrol oleh
reflex-refleks local yang melibatkan fleksus intrinsic sepanjang usus besar yang sebelumnya
kymus tersebut harus melewaati berbaagai setruktur di dalam usus besar (colon) tersebut. yang di
awali dengan melewati caeceum yang setrukturnya mirip kantung dan merupakan bagian yang
pertama menyusun usus besar diliputi oleh peritoneum dan berdiameter 7.5 cm. Pada tepi cecum
ini terdapat lubang yang menuju usus yang tidak memiliki setruktur lanjutan atau usus buntu atau
di sebut apendik vermiformis yang berbentuk seperti cacing dan mengandung banyak jaringan
limfoid.
Setelah melewati ceceum kymus berjalan melewati colon-colon usus yang berurutan
melewati colon ascendens yang memiliki ukuran panjang sekitar 13 cm dan berlokasi di region
iliaca dektra, dan kemudian berlanjut ke dalam colon transsversum yang memiloki ukuran
panjang sekitar 38 cm, tergantung ke bawah pada mesocolon transversum dan terletak diantara

flexura coli dektra (flexura coli hepatica) dan flekura coli sisnistra (flexura ilenalis), perjalanan
kymus selanjutnya menuju colon yang ukurannya sekitar 25 cm pada region iliaca sinistra dan
berjalan dari flexura coli sinistra ke bawah sampai ke pinggir pelvis yaitu colon descenden yang
kemudian melanjutkan diri menjadi colon sigmoid yang nantinya akan di lanjutkan ke rectum
dan kanal anal (anus). (Sherwood, 2012)

1.

MEKANISME KONTRAKSI USUS


Nama lain dari kontraksi pada sistem pencernaan adalah motilitas usus. Motilitas adalah
kontraksi otot yang mencampur dan mendorong maju isi saluran cerna. Otot polos di dinding
saluran cerna mempertahnkan suatu kontraksi tingkat rendah yang disebut juga sebagai tonus.
Fungsi tonus adalah untuk mempertahnkan tekanan tetap pada isi saluran cerna serta untuk
mencegah dindingnya teregang permanen setelah mengalami distensi.
Gerakan dari motilitas ini juga terbagi menjadi dua, yaitu gerakan propulsif dan gerakan
mencampur. Gerakan propulsif adalah gerakan mendorong maju isi saluran cerna, dengan
kecepatan pergerakan bervariasi yang bergantung pada fungsi yang dilakukan oleh saluran cerna
tersebut. Gerakan mencampur adalah gerakan mencampur makanan dengan getah makanan
(untuk meningkatkan kinerja pencernaan) dan juga mempermudah penyerapan dengan
meletakkan semua bagian isi saluran cerna ke permukaan serap saluran cerna. Pergerakan ini
semua sebagian besar terjadi karena adanya kontraksi otot polos.
Motilitas pada usus halus, terbagi menjadi dua, yaitu segmentasi dan migrating motility complex
Segmentasi
Segmentasi adalah gerakan mencampur dan mendorong kimus secara perlahan. Segmentasi
ini terdiri dari kontraksi otot polos sirkular yag berulang dan berbentuk cincin di sepanjang usus
halus. Di antara segmen-segmen yang berkontraksi, terdapat kius di daerah-daerah rileks.
Cara kerja dari segementasi ini adalah sebagai berikut. Cincin kontraktil membagi usus
halus menjadi segmen-segmen kecil. Setelah itu, segmen-segmen yang berkontraksi melemas,
dan kontraksi berbentuk cincin muncul di bagian yang sebelumnya melemas tersebut. Kontraksi
baru mendorong kimus di bagian yang semula rileks untuk bergerak kekdua arah ke bagianbagian yang kini mlemas di sampingnya. Karena itu, segman ynga baru melemas menerima
kimus dari kedua segmen yang berkontraksi tepat di belakang dan di depannya. Segera
setelahnya, bagian-bagian yang berkontraksi dan melemas kembali berganti.
Fungsi dari segmentasi ini adalah untuk mencampur kimus dengan getah pencernaan yang
disekresikan ke dalam lumen usus halus. Selain itu, meletakkan semua kimus ke permukaan
absorptif mukosa usus halus. Segmentasi bekerja membagi kimus menjadi dua arah, yaitu ke
depan dan kebelakang. Namun, kimus dapat terus maju menelusuri usus halus. Hal tersebut
dikarenakan frekuensi segmentasi menururn di sepanjang usus halus. Sel-sel pemacu di
duodenum secara spontan mengalami depolarisasi lebih cepat daripada sel-sel serupa yang ada di
bagian hilir usus dengan kontraksi segmentasi terjadi di duodenum pada kecepatan 12 kali per
menit dibandingkan dengan hanya 9 kali per menit pada ileum. Karena itu, kimus lebih terdorong
untuk maju dari untuk mundur. Isi usus halus ini memerlukan setidaknya 3-5 jam untuk melintasi
usus halus dengan cara ini.
Kontraksi segmentasi terjadi dimulai oleh adanya sel-sel pemacu ususu halus yang
menghasilkan BER (irama listrik basal). BER usus halus membawa lapisan otot polos sirkular ke
ambang, lalu terjadilah suatu kontraksi segmentasi, dengan frekuensi segmentasi itu sendiri
mengikuti frekuensi BER. Intensitas kontraksi segmentasi dapat dipengaruhi oleh regangan usus,
hormon gastrin, dan oleh aktivitas ekstrinsik. Pengaruh tersebut terjadi dengan cara menggeser

potensial awal sekitar mana BER berosilasi mendekati atau menjauhi ambang. Segmentasi
berkurang atau berhenti di antara waktu makan tetapi menjadi kuat segera setelah makan. Saat
makanan masuk ke usus halus, duodenum mulai melakukan kontraksi segmentasi karena adanya
peregangan lokal yang ditimbulkan oleh keberadaan kimus. Sedangkan segmentasi ileum juga
bekerja, walaupun tidak ada makanan Hal tersebut diakrenakan adanya gastrin yang disekresikan
sebagai respons terhadap keberadaan kimus di lambung, disebut juga refleks gastroileum.
Stimulasi parasimpatis meningkatkan segmentasi, sementara stimulasi simpatis menekan
aktivitas segmentasi.
2.

Migrating Motility Complex


Sebagian makanan telah diserap, kontraksi segmentasi berhenti dan diganti (antara waktu
makan) oleh migrating motility complex. Migrating Motility Complex adalah motilitas di antara
waktu makan yang berbentuk gelombang peristaltik lemah berulang yang bergerak dalam jawak
pendek ke hilir sebelum lenyap. Gelombang ini bermigrasi dari usus halus ke ujung kolon,
dengan setiap kontraksi yang dikerjakan menyapu maju sisa-sisa makanan sebelumnya ditambah
debris mukosa dan bakteri menuju kolon. Setelah akhir usus halus tercapai, siklus dimulai
kembali dan terus berulang sampai kedatangan makanan berikutnya. Kerja ini diatur di antara
waktu makan oleh hormon motilin, yang disekresikan selama keadaan tidak makan oleh sel-sel
endokrin mukosa usus halus. Pelepasan motilin itu sendiri dihambat oleh makan. (Sherwood,
2012)
PENGATURAN NEURAL
Pengaturan GastroIntestinal oleh sistem saraf terdiri dari persarafan intrinsik (enterik)
dan inervasi ekstrinsik. Fungsi dari persarafan ini adalah untuk memonitor dan mengatur proses
yang terjadi di GastroIntestinal. Persarafan intrinsik terdiri dari dua pleksus yaitu pleksus
mienterikus dan pleksus submukosa. Pleksus mienterikus atau pleksus Aurbach sesuai namanya
terletak di lapisan muskular antara otot polos sirkular dan otot polos longitudinal. Sedangkan
pleksus submukosa atau pleksus Meissner terletak di lapisan submukosa. Sistem saraf intrinsik
ini terdiri dari motor neuron, sensorik, dan interneuron. Karena motor neuron pleksus
mienterikus sebagian besar menginervasi otot polos longitudinal dan sirkular, pleksus ini sebagai
pengontrol motilitas GastroIntestinal. Sedangkan pada pleksus submukosa motor neuronnya
kebanyakan mempersarafi sel sekret di epitel mukosa, sehingga pleksus ini sebagai pengontrol
sekresi organ traktus GastroIntestinal. Interneuron persarafan intrinsik berfungsi sebagai
penghubung pleksus submukosa dan mienterikus. Sedangkan saraf sensorik yang bertugas di
epitel mukosa berguna sebagai kemoreseptor, stretch receptor yang teraktivasi apabila dinding
organ gastrointestinal terisi makanan.
Persarafan ekstrinsik dari gastrointestinal dipersarafi oleh sistem saraf otonom. Bagian
parasimpatis dipersarafi oleh nervus vagus yang hampir mempersarafi traktus GI secara
keseluruhan kecuali setengah bagian akhir dari usus besar yang dipersarafi oleh serat saraf dari
medula spinalis yaitu nervus pelvis. Kontrol persarafan ekstrinsik ini baik simpatik maupun
parasimpatik membentuk hubungan dengan sistem saraf enterik dengan persambungan ke
pleksus mienterikus dan pleksus submukosa tempat sistem saraf intrinsik (enterik) terususun
rapi. Saraf otonom dapat mempengaruhi motilitas dan sekresi saluran pencernaan melalui
modifikasi aktivitas yang sedang berjalan di pleksus-pleksus sistem saraf intrinsik. Sistem saraf
simpatis dan parasimpatis yang mempersarafi jaringan tertentu menimbulkan efek yang
bertentangan di pencernaan. Sistem saraf simpatis bekerja menghambat/memperlambat kontraksi
dan sekresi saluran pencernaan. Sistem saraf parasimpatis bekerja sebaliknya yaitu

meningkatkan kerja dengan cara menaikkan motilitas dan sekresi enzim serta hormon
pencernaan meningkat.
Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh
pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan
kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit
hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi
keabsenan pleksus aurbach dan meissner (Taylor, 2005).
REFLEKS
Perangsang agar terjadi refleks : distensi lumen saluran GI, osmoloritas kimus, keasaman
kimus dan hasil digestif (karbohidrat, lemak, protein). Reseptor yang terletak di GI merupakan
mekanoreseptor (untuk mengetahui distensi saluran GI), osmoreseptor (untuk mengetahui proses
osmosis), kemoreseptor (untuk melihat pH dan kandungan-kandungannya).
Jenis refleksnya dibagi menjadi dua, yaitu refleks panjang dan refleks pendek. Pemberian
nama sesuai panjang jalur yang dilewatinya. Refleks panjang jalurnya lewat pusat dulu contoh
peristiwa: saat mencium bau makanan memicu keluarnya kelenjar saliva. Contoh lain seperti saat
kilta baru melihat, atau memikirkan makanan, saliva sudah menetes dan tubuh menjadi merasa
lapar. Neuron pathway-nya untuk stimuli dari makanan yang kita lihat: sensoriknya berada di
mata akan terkirim ke saraf ekstrinsik ke otak lalu ke saraf simpatik/parasimpatik ke
interneuron/efferen neuron (ada yang tanpa interneuron langsung ke GI) lalu ke GI.
Kalau refleks pendek maka refleks itu berjalan dengan sensorik di GI dan motoriknya di
GI juga misal pada refleks gastrokolik. Resptor di lambung mengirim sinyal ke saraf di kolon.
Efektornya otot polos kolon, sehingga akan terjadi kontraksi di kolon. Refleks ini biasa terjadi
setelah makan. Hasilnya orang yang bersangkutan setelah makan akan langsung ke belakang.
Yang dikeluarkan di feses adalah sisa makanan yang kemari bukan yg baru masuk. Refleks in
bertugas untuk mendorong sisa2 makanan yang ada di GI sehingga makanan baru bisa
masuk.Ada juga refleks Refleks duodenocolika. Refleknya mirip gastrokolik cuman bedanya
makanan yang menstimulus ada di duodenum, efektornya sama yaitu kolon. Menurut kuliah
refleks ini paling penting. Karena refleks ini tidak melibatkan otak dalam pengorganisasian
rangsang yang diterima, maka prof Greshon menyebut bahwa di GI itu ada otak kita yang kedua
atau disebut juga otak kecil atau otak enterik. (Taylor, 2005)
PENGARUH ACH
Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter yang digunakan oleh saraf. Asetilkolin
atau yang disebut juga sebagai ACh, adalah neurotransmitter yang digunakan oleh serat
praganglion simpatis dan parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai neurotransmitter serat
pascaganglion parasimpatis. Serat ini mengeluarkan asetilkolin. Serat ini, bersama dengan semua
serat praganglion otonom, disebut juga sebagai serat kolinergik.
Serat otonom pascaganglion ini tidak berakhir di satu benjolan terminal saja (synaptic
knob). Namun, cabang-cabang terminal serat otonom memiliki banyak pembengkakan atau
benjolan, yang disebut sebagai varicosities, yang secara bersamaan megeluarkan
neurotransmitter ke suatu daerah luas di organ yang disarafi dan bukan hanya untuk ke satu sel
saja. Pelepasan neurotransmitter yang difus ini, disertai kenyataan bahwa setiap perubahan
aktivitas listrik yang terjadi menyebar ke seluruh massa otot polos atau otot jantung (pada usus
halus, yang berlaku adalah otot polos)melalui taut celah, meyebabkan aktivitas otonom biasanya
mempengaruhi organ keseluruhan bukan sel-sel tertentu. (Sherwood, 2012)

Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter


pascaganglion. Sistem parasimpatis sangat berperan dalam sistem pencernaan. Sistem ini
mendominasi pada keadaan tenang dan santai. Pada keadaan tanpa ancaman, tubuh
berkonsentrasi melaksanakan aktivitas normalnya, misalnya pencernaan. Sistem parasimpatis
merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat dan cerna sekaligus memperlambat aktivitasaktivitas yang ditingkatkan oleh sistem simpatis. Sebagai contoh, efek stimulasi parasimpatis
pada sistem pencernaan adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan motilitias organ pencernaan
2. Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna)
3. Stimulasi sekresi pencernaan
4. Stimulasi sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan)
5. Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim
PENGARUH ION CA
Ion Ca sangat diperlukan dalam mekanisme kontraksi otot polos. Jika ion Ca tidak ditemukan
dalam suatu otot polos, maka otomatis, kontraksi otot tidak terjadi. Hal tersebut dikarenakan Ca
merupakan pengaktivasi miosin kinase yang diperlukan untuk proses kontraktil. Berikut adalah
proses yang terjadi pada mekanisme kontraksi otot polos :
1. Pada saat sebuah hormon berikatan pada reseptor di membran maka akan mengaktifkan
sebuah molekul G protein akibat terjadinya mekanisme depolarisasi membran plasma.
2. Akibat depolarisasi membran plasma akan membuka kanal Ca di permukaan membran
plasma dan memicu proses difusi Ca melalui kanal Ca yang kemudian akan berkombinasi
dengan calmodulin.
3. Calmodulin dengan Ca yang telah membentuk ikatan kemudian melekat pada miosin kinase
dan mengaktivasi protein kinase ini (miosin adalah salah satu protein yang juga berperan penting
dalam mekanisme kontraksi otot polos).
4. Aktivasi miosin kinase menempelkan fosfat dari ATP pada kepala miosin untuk mengaktifkan
proses kontraktil.
5. Kemudian terjadilah sebuah siklus cross-bridge formation, pergerakan, dan pelepasan ikatan
protein kontraktil yang terlibat. Siklus ini yang menyebabkan otot dapat berkontraksi secara
terus-menerus (disesuaikan dengan siklus relaksasi juga).
PENGARUH PILOKARPIN
Pilokarpin memiliki efek yang sama dengan asetilkolin. Pilokarpin termasuk dalam obat
parasimpatometik yang langsung bekerja pada reseptor kolinergik tipe muskarinik. Perbedaanya
adalah pilokarpin dapat menimbulkan efek yang luas parasimpatis yang khas, dan tidak mudah
tidak begitu cepat dirusak oleh kolinesterase yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh.
Sedangkan, asetilkolin tidak mempunyai efek yang sama persis di selurruh tubuh karena sebelum
mencapai organ efektor, telah dirusak terlebih dahulu oleh kolinesterase. (Guyton, 2011)
PENGARUH SUHU
Gerakan usus dapat dipengaruhi oleh suhu. Suhu normal tubuh membuat usus dapat
melakukan gerak peristaltiknya secara normal. Saat usus diberikan perlakuan dingin, maka yang
terjadi adalah gerakan usus semakin melambat. Hal tersebut dapat dilihat dari amplitudonya yang
semakin mengecil. Kemudian, usus diberikan perlakuan panas yang menyebabkan gerakan usus
semakin cepat. Akan tetapi, bukan berarti dengan suhu yang semakin panas (di atas normal) usus

dapat bergerak lebih cepat lagi. Hal ini dikarenakan oleh faktor enzim. Enzim hanya dapat
bekerja dalam keadaan suhu tubuh normal.(Hernawati, 2010)
PENGARUH ION BARIUM
Ion barium mempunyai efek yang sangat kuat terhadap gerakan usus. Kerja obat ini
analog dengan pilokarpin dan asetilkolin, karena meningkatkan gerakan usus. (Guyton, 2011)
PERCOBAAN
Alat sediaan dan bahan kimia yang diperlulkan :
1.
2.
3.
4.
5.

Kaki tiga + kawat kassa + pembakar Bunsen dengan pipa karet + statip
Gelas berker 600 cc + tabung perfusi usus dengan klemnya
Pipa kaca bengkok untuk perfusi usus + balon rangkap + thermometer kimia
Pencatat gerakan usus + sinyal maknit + kawat listrik + kimograf rangkap
Sepotong usus halus dengan panjang 5 cm (ini akan dibagikan oleh asisten yang
bertugas)
6. Larutan :
-Locke biasa dan locke bersuhu 35 C
-Epinefrin 1: 10.000
-Locke tanpa kalsium
-CaCl2 100 %
-Asetilkolin 1 : 1.000.000
-Pilokarpin 0.5 %
-BaCl 1%

Es +Waskom

Tata kerja
1. Susunlah alat menurut gambar.
2. Hangatkan air dalam gelas beker pireks sehingga larutan locke didalam tabung perfsi
mencapai suhu 35 C.
3. Mintalah sepotong usus halus kelinci kepada asisten yang bertugas.
4. Pasang sediaan usus halus sebagai berikut:
a. Ikatkan dengan salah satu ujung sediaan usus pada ujung pupa gelas bengkok
b. Ikatkan ujung yang lain pada pencatuta usus (usahakan dalam hal ini supaya
sediaan usus tidak terlampau terenggang)
5. Alirkan udara kedalam larutan locke dalam tabung perfusi dengan memompa balon dan
mengatur klem, sehingga gelembung udara tidak terlalu menggoyangkan sediaan usus
yang telah dipasang.

6. Selama percobaan, perhatikan suhu larutan locke dalam tabung perfusi yang harus
dipertahankan pada suhu 35 C, kecuali bila ada petunjuk petunjuk lain.

P.V.1.1 apa tujuan pengaliran udara ke dalam cairan perfusi ?

Tujuan pengaliran udara ke dalam cairan perfusi ialah untuk mengalirkan


oksigen ke dalam tabung. Gelembung-gelembung udara yang ada di dalam tabung
tersebut merupakan salah satu proses dari pengaliran udara, dimana udara tersebut
berisi oksigen yang dialirkan ke dalam cairan perfusi.

I.Pengaruh Epinefrin
1. Catat 10 kerutan usus sebagai control pada tromol yang berputar lambat, tetapi setiap
kerutan masih tercatat terpisah.
2. Catat waktunya dengan interval 5 detik.
3. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 5 tetes larutan epinefrin 1 : 10.000 kedalam cairan
perfusi.
4. Teruskan pencatatan, sampai pengaruh epinefrin terlihat jelas
p.V.1.2 Apa pengaruh epinefrin dalam percobaan ini ?
5. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh epinefrin
sebagai berikut :
a. Pindahkan pembakar Busen, kaki tiga + kawat kasa dan gelas beker pireks dari
tabung perfusi
b. LEtakkan sebuah Waskom dibawah tabung perfusi.
c. Bukalah sumbat tabung perfusi sehingga cairan perfusi keluar sampai habis.
d. Tutup kembali tabung perfusi, dan isilah dengan larutan locke yang baru (tidak
perlu yang bersuhu 35C ) dan besarkan aliran udara sehingga usus bergoyang
goyang.
e. Buka lagi sumbat untuk mengeluarkan larutan lockenya.
f. Ulangi hal diatas 2 kali lagi , sehingga dapat dianggap sediaan usus yang telah
bebas dari pengaruh epinefrin.
g. Sesudah selesai hal-hal diatas, tutup kembali tabung perfusi, dan isilah denga
larutan locke yang baru yang bersuhu 35C (disediakan ) serta atur kembali aliran
udaranya.
h. Pasang kembali gelas beker pireks, kaki tiga + kawat kasa & pembakar Bunsen
P.V.1.2 Apa pengaruh epinefrin dalam percobaan ini ?

Epinefrin menyebabkan penurunan kerutan usus.

II. Pengaruh Asetilkolin


1. Catat 10 kerutan usus sebagai control.
2. Tanpa menghentikan tromol, teteskam 2 tets larutan asetil kolin 1 : 1.000.000 kedalam
cairan perfusi. Beri tanda pada saat penetesan.
3. Teruskan dengan pencatatan sampai pengaruh asetilkolin terlihat jelas.
4. Hentikan Tromol dan cuciah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh asetilkolin
seperti pada ad I.
P-V.1.3. Apa pengaruh asetilkolin pada sediaan usus?

Asetilkolin menyebabkan peningkatan kerutan usus.

III. Pengaruh Ion Kalsium


1. Catat 10 kerutan usus sebagai control.
2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan locke tanpa Ca yang bersuhu 35C
(disediakan).
3. Jalankan kembali tromol dan catatlah terus sampai pengaruh kekurangan ion Ca terlihat
jelas.
4. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes CaCl2 1% kedalam cairan perfusi. Beri
tanda saat penetesan.
5. Teruskan dengan pencatatan sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak sempurna,
gantikanlah cairan dalam tabung perfsi dengan cairan locke yang baru bersuhu 35C.
P-V.1.4Apa pengaruh kekurangan ion Ca terhadap kerutan usus

Pengaruh kalsium ialah meningkatkan peristaltik usus kelinci. Jika kekurangan


ion kalsium, maka peristaltik usus akan menurun sehingga tidak tampak gambaran
gelombang yang menurun pada kimogram.

IV. Pengaruh Pilokarpin


1. Catat 10 kerutan usus sebagai control.
2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan pilokarpin 0,5 % kedalam cairan
perfusi.Beri tanda saat penetesan.
3. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pegaruh pilokarpin terliaht jelas.
p-V.1.5 Apa pengaruh pilokarpin terhadap kerutan usus ?
4. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh pilokarpin
seperti pada ad.1.4 .
P-V.1.5 Apa pengaruh pilokarpin terhadap kerutan usus ?

Pilokarpin akan menggiatkan atau meningkatkan kontraksi otot polos pada


dinding usus halus kelinci

1.
2.

3.
4.

5.

6.

V. Pengaruh Suhu
Catat 10 kerutan usus sebagai control pada suhu 35C.
Hentikan tromol dan turunkan suhu cairan perfusi sebanyak 5C dengan jalan
memindahkan pembakar Bunsen dan mengganti air hangat didalam gelas beker pireks
dengan air biasa.
Segera setelah sampai suhu 30, jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan usus.
Hentikan tromol lagi dan ulangi percobaan ini dengan setiap kali menurunkan suhu cairan
perfusi sebanyak 5C, sampai tercapai 20C dengan jalan memasukan potongan-potongan
es pada suhu 35C, 30, 25, dan 20C.
Hentikan tromol perfusi dan naikan suhu cairan perfusi sampai 35C dengan jalan
mengganti air es didalam gelas beker pireks dengan air biasa kemudian memanaskan air
itu.
Segera setelah suhu mencapai 35C. jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan
usus.
P-.V.1.6. Apa pengaruh suhu pada keaktifan usus?

Kenaikan suhu lebih mempercepat keaktifan usus daripada penurunan suhu,


sehingga pengaruh gerak partikel-partikel usus untuk mencerna lebih aktif.

KESIMPULAN
Kontraksi usus membutuhkan Ca dari eksraselular yang mencukupi. Kontraksi
usus dapat meningkat apabila diberikan Ach neurotransmitter rasangan parasimpatis, dan
dapat menurun apabila diberikan neurotransmitter rangsangan simpatis berupa Epinefrin.
Tetapi kenaikan dan penurunan kontraksi usus juga dapat dipengaruhi oleh reaksi suhu
yang berpengaruh pada aktivitas enzim, kemudian obat-obatan yang dapat meningkatkan
kontraksi usus seperti obat-obatan yang mengandung ion barium, maupun pilokarpin.

DAFTAR PUSTAKA
Chandrasoma, P. & Taylor, C.R. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Ahli bahasa: Roem
Soedoko, Dewi Asih Mahnani. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Edisi II
Hernawati. Peranan Syaraf dan Hormon (Neuroendokrin) dalam Pergerakan Lambung pada
Sistem Pencernaan Hewan Ruminansia. Skripsi. Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA
Universitas Pendidikan Indonesia.; 2010

Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed.11th. Jakarta : EGC; 2011
Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Jaringan ke Sel. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2012.

Anda mungkin juga menyukai