PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteomielitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan destruksi pada
tulang yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Infeksi dapat terbatas pada satu
bagian tulang maupun menyebar ke berbagai area, seperti susmsum tulang korteks,
periosteum, dan jaringan lunak sekitar tulang (Lew DP, 2004).
Insidensi osteomielitis di Amerika Serikat yaitu 1: 5000 orang, dan 1 : 1000 usia
bayi. Insidensi pertahun pada pasien sickle cell berkisar 0,36%. Prevalensi osteomielitis
setelah adanya trauma pada kaki bisa meningkat yaitu 16% dan 30-40% pasien diabetes,
dan jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1. Sementara insidensi
osteomielitis pada populasi orang dewasa berkisar antara 0,11,8%. Angka kematian
akibat osteomielitis rendah, biasanya disebabkan sepsis atau kondisi medis serius yang
menyertai (King R.W., 2009). Prevalensi osteomielitis kronik berkisar antara 5-25% dari
kasus osteomielitis akut (Ciampolini, 2000).
Berdasarkan data epidemiologis global mengenai osteomielitis sangat bervariasi,
dengan insidensi tertinggi pada negara-negara berkembang. Distribusi usia penderita
osteomielitis yaitu pada dewasa usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 50 tahun
(Jaramillo D, 2011). Di Indonesia, osteomielitis masih merupakan masalah. Terapi
osteomielitis yang memerlukan waktu lama dan biaya tinggi disertai dengan pengertian
mengenai pengobatan yang belum baik dan tingkat higienis yang masih rendah, diduga
berhubungan erat dengan kejadian osteomielitis di Indonesia.
Osteomielitis merupakan infeksi pada tulang yang dapat dibagi menjadi dua jenis
berdasarkan tahapan perjalanan penyakitnya, yakni tahap akut dan kronik. Osteomielitis
akut paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus sebagai agen infeksinya (Roy
et al., 2012). Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa osteomielitis sering disebabkan
oleh orgaanisme piogenik walaupun berbagai nfeksi lain juga dapat menyebabkannya.
Pada anak-anak, infeksi tulang seringkali timbul sebagai komplikasi dari infeksi pada
1
tempat-tempat lain seperti infeksi faring (faringitis), telinga (otitis media) dan kulit
(impetigo). Penyebab osteomielitis lainnya yaitu kejadian fraktur terbuka yang datang
terlambat dan sudah terjadi osteomielitis. Akibat keterlambatan diagnosis umumnya
berakhir dengan osteomielitis kronis dimana membutuhkan penanganan yang lebih
lanjut.
Sangat penting untuk mendiagnosis dini infeksi pada tulang karena mortalitas
osteomielitis terjadi sekitar 5-25% . Sedangkan morbiditas mencapai angka 5% menjadi
komplikasi. Komplikasinya antara lain adalah arthritis septik, kerusakan jaringan lunak
sekitar, keganasan, amiloidosis sekunder, dan fraktur patologis (Baltensperger, 2009).
Osteomielitis pada fase akut hingga kronis memiliki karakteristik pencitraan
radiologi tersendiri (Reinus WR, 2010). Pemeriksaan radiografi konvensional dapat
menegakkan diagnosis osteomielitis untuk selanjutnya dilakukan penanganan yang tepat
sehingga mengurangi risiko destruksi tulang yang lebih lanjut (Khan SHM, Bloem JL,
2005).
Berdasarkan fakta tersebut, pencitraan radiologi berperan penting sebagai alat
bantu diagnostik kasus osteomielitis sekaligus alat uji pemantauan hasil terapi. Berbagai
modalitas
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang
Tulang, atau jaringan osseosa, adalah jaringan ikat yang membentuk kerangka
vertebra.
anorganik, dan air. Tulang memiliki mekanisme untuk tumbuh dan berubah bentuk serta
ukuran menyesuaikan dengan stressor yang berbeda-beda sepanjang hidup manusia.
2.1.1. Arsitektur Tulang
Seperti jaringan penyambung atau penyokong yang lain, tulang terdiri atas
sel dan matriks ekstrasel. Sel tulang terdiri atas sel osteoprogenitor, osteoblast,
osteosit dan osteoklas. Sementara matriks ekstrasel tersusun atas komponen
organik (sekitar 40%) dan garam anorganik (sekitar 60%). Komponen matriks
organik yang utama adalah serat kolagen tipe I. Selain kolagen, unsur organik
lainnya yaitu proteoglikan, glikoprotein, fosfolipid dan bermacam-macam faktor
pertumbuhan seperti osteocalcin, osteonectin, and sialoprotein. Komponen matriks
anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar terdiri dari kalsium dan
fosfat dalam bentuk kristal-kristal hidroksiapatit. Kristal kristal tersebut tersusun
sepanjang serabut kolagen. Bahan mineral lain yaitu ion sitrat, karbonat,
magnesium, natrium, dan potassium (Pineda C et al., 2009).
Berdasarkan susunan serat-serat kolagennya, jaringan tulang dibagi lagi ke
dalam dua tipe: tulang woven/anyaman/immatur dan tulang lamellar/matur, yang
diilustrasikan pada gambar 2.1.
Tulang imatur/ woven terdiri dari serat-serat kolagen yang tersusun secara
tidak beraturan, dengan sel-sel oasteoblast dan osteoprogenitor. Tulang ini disebut
juga tulang primitif, merupakan struktur tulang utama pada masa embrio. Namun
dapat pula ditemukan pada daerah dimana terjadi proses remodeling seperti pada
fraktur tulang, osteosarkoma, beberapa tumor tulang. Dengan demikian tulang
jenis ini jika ditemukan pada dewasa berhubungan dengan proses patogis.
Pada tulang matur di orang dewasa, berkas kolagen tersusun teratur
membentuk lamella tulang yang sejajar dan kosentris terhadap saluran vaskuler.
3
Sementara itu struktur internal dari tulang, baik tulang panjang maupun
pendek, terbagi atas struktur tulang yang padat dibagian luar dari tulang yang
disebut tulang kompak atau korteks tulang. Struktur ini diperkuat dengan bagian
dalam yang membentuk jalinan tulang-tulang trabekular yang berjalan sejajar
maupun tegak lurus terhadap bentuk tulang. Keseluruhan struktur ini disebut
sebagai komposit dan merupakan komponen utama dalam mempertahankan
kekuatan tulang. Struktur internal ini terlihat jelas pada potongan sagital tulang
panjang pada Gambar 2.2.
Tulang kompak atau korteks yang berstruktur keras namun relatif tipis,
berperan sebagai cangkang bagi struktur tulang didalamnya. Tulang kompak
memiliki sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan
Calsium Carbonat) sehingga padat. Pada tulang matur, korteks tersusun atas
tulang-tulang lamellar, yang didalamnya terdapat system Havers dan kanalis
Volkmanns. Untuk lebih jelas mengenai struktur korteks dapat dilihat pada Gambar
2.3.
Di sebelah dalam dari korteks terdapat tulang trabekular atau dengan nama
lain tulang spongiosa atau tulang cancellous, yang tersusun dari spikula-spikula
dan trabekula tulang yang diantaranya terdapat rongga sumsum yang mengandung
unsur hematopoietic dan lemak. Trabekula tulang membentuk suatu jaringan yang
memungkinkan untuk dilewati oleh pembuluh-pembuluh darah yang menutrisi
tulang serta efek ringan pada tulang.
Setiap tulang, kecuali bagian sendi, diselubungi oleh jaringan ikat khusus
yaitu periosteum, Periosteum terbagi dalam dua lapisan yang tidak berbatas jelas.
Lapisan luar merupakan jaringan ikat padat fibrosa, mengandung pembuluh saraf
dan pembuluh darah yang memberi nutrisi pada tulang. Lapisan dalam tersusun
atas jaringan ikat longgar, sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai
serat Sharpey yang berkontribusi dalam perlekatan periosteum pada tulang.
Gambaran serat sharpeys pada periosteum terlihat pada Gambar 2.4. Pada dewasa
lapisan dalam periosteum ini mengandung sel osteoprogenitor yang berperan dalam
pembentukan dan perbaikan tulang. Serupa dengan periosteum, endosteum
merupakan lapisan yang berada diantara tulang kompak/korteks dan tulang
spongiosa.
Gambar 2.4. Diagram serat sharpeys sebagai lanjutan langsung serat periosteum
(Bullough P G. Normal Skeletal Structure and Development.In: Orthopaedic Pathology 5 th
Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:1-39)
2.1.2.
Vaskularisasi Tulang
Tulang merupakan jaringan yang kaya akan vaskularisasi yaitu sekitar 10-20%
cardiac output. Sirkulasi darah pada tulang berperan penting dalam menutrisi jaringanjaringan tulang, sekaligus mensirkulasikan sel-sel darah dari sumsum tulang ke seluruh
tubuh. Karena berada dalam rongga yang tertutup didalam tulang, maka pembuluhpembuluh darah harus selalu dalam kondisi tekanan intraoseous yang konstan. Tekanan
intraoseous ini dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah dalam tulang. Pada saat terjadi
kenaikan aliran darah akibat hipervaskularisasi, sebagai contohnya pada proses
inflamasi dimana dapat terjadi peningkatan tekanan intraoseous. Regulasi kecepatan
aliran darah merupakan peranan distensibilitas pembuluh darah melalui proses
vasodilatasi-vasokonstriksi pembuluh yang dipengaruhi oleh jaras simpatis dan
parasimpatis (Safadi FF et al., 2009).
8
Pada tulang panjang, pembuluh-pembuluh darah arteri yang kaya oksigen yang
memasuki tulang terbagi dalam enam grup arteri yang saling berhubungan satu sama
lain dan dinamai sesuai lokasi penetrasi ke tulang (Gambar 2.6). yaitu terbagi atas dua
arteri diafisis atau arteri nutrient, arteri metafisis superior dan inferior, arteri epifisi
superior dan inferior, dan pembuluh-pembuluh darah periosteum.yang saling
beranastomosis. Selanjutnya, pembuluh darah vena intraoseous terdiri dari sinus sentral
yang besar disepanjang diafisis. Aliran dari sinus kemudian menuju vena-vena yang
parallel terhadap arterinya yaitu vena metafisis, vena epifisis, vena sentromedular, dan
vena nutrient, seperti yang terlihat pada Gambar 2.7. Pembuluh-pembuluh vena ini
kemudian keluar dari tulang melewati korteks dan menuju cabang pembuluh vena besar
sekitar tulang tersebut (Safadi FF et al., 2009).
Sementara tulang pendek dan tulang pipih memiliki pembuluh darah superficial
pada periosteum dan ada pula yang berasal dari percabangan arteri nutrient besar yang
menembus langsung ke rongga medulla. Kedua arteri ini beranastomosis secara bebas di
dalam tulang.
Selain pembuluh darah dan limfa, pada tulang juga terdapat persarafan. Saraf
periosteal merupakan saraf sensoris yang menghantarkan rangsang nyeri. Oleh karena
itu periosteum sensitif terhadap trauma maupun tekanan. Pada saluran Havers terdapat
saraf vasomotor yang mengatur konstriksi dan dilatasi pembuluh darah. Tulang juga
dipersarafi oleh saraf-saraf simpatis (Pineda C et al., 2009).
Osteoklas merupakan sel berukuran besar dan berinti banyak, sekitar 3-25
nukleus. Sel ini banyak ditemukan pada matrik tulang yang mengalami resorpsi di
dalam rongga yang disebut lacuna Howship. Pada mikrograf elektron, permukaan
osteoklas yang menghadap matriks tulang memiliki banyak tonjolan sitoplasma disebut
sebagai ruffled border. Pada kondisi patologi tertentu dimana terjadi disfungsi osteoklas
atau setelah proses resorpsi, gambaran ruffled border menghilang. Osteoklas
menghasilkan koalgenase dan enzim proteolitik yang menyebabkan matriks tulang
melepaskan substansi dasar yang mengapur.
Osteosit adalah sel tulang matur yang ditemukan dalam jumlah besar (sebesar
90-95% sel tulang) di dalam lapisan matriks tulang yang telah mengalami mineralisasi.
Di dalam matriks tulang, osteosit terletak di dalam lakuna dan memiliki juluran-juluran
sitoplasma di dalam kanalikuli yang menghubungkan osteosit yang satu dengan yang
lainnya serta dengan kapiler darah. Sel ini terlibat dalam proses signaling.
2.2 Osteomielitis
2.2.1 Definisi
Osteomielitis merupakan infeksi pada tulang, dengan sebagian besar kasus
disebabkan oleh Staphylococcus aureus; penyebab lainnya antara lain infeksi
tuberculosis dan Salmonella pada penyakit sel sabit (Patel, 2007). Beberapa literatur
menyebutkan bahwa osteomielitis merupakan proses inflamasi pada sumsum tulang
(cavitas medullaris) yang kemudian dapat menyebar sampai ke cortex dan periosteum.
Proses peradangan dapat bersifat akut atau kronis, yang kronis akan
menyebabkan nekrosis tulang dan pembentukan pus, dimana kadang-kadang terdapat
cairan yang melewati kulit untuk membentuk hubungan sinus dengan tulang. Pus dan
edema yang terbentuk di cavita medullaris inilah yang kemudian akan menekan
periosteum sehingga menimbulkan obstruksi pembuluh darah, iskemi maupun
nekrosis sebagai dasar patomekanisme osteomielitis (Baltensperger, 2009).
Osteomielitis kronis merupakan infeksi tulang dimana organisme yang
menyebabkan infeksi menetap di dalam tulang yang telah mati, dan secara periodik
dapat terjadi eksaserbasi (Patel, 2007).
2.2.2 Epidemiologi
Insidensi osteomielitis berkisar antara 0,11,8%
dewasa. Prevalensinya pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun adalah 1 kasus per
1000 populasi sedangkan pada anak-anak yang lebih tua adalah 1 kasus dari 5000
populasi. Prevalensi osteomielitis kronik berkisar antara 5-25% dari kasus
osteomielitis akut (Ciampolini, 2000).
Pada keseluruhan insiden terbanyak pada negara berkembang. Osteomyelitis
pada anak-anak sering bersifat akut dan menyebar secara hematogen, sedangkan
osteomielitis pada orang dewasa merupakan infeksi subakut atau kronik yang
berkembang secara sekunder dari fraktur terbuka dan meliputi jaringan lunak.
Kejadian pada anak laki-laki lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan
dengan perbandingan 4:1. Lokasi yang tersering ialah tulang-tulang panjang, misalnya
femur, tibia, humerus, radius, ulna dan fibula. Namun tibia menjadi lokasi tersering
untuk osteomielitis post trauma karena pada tibia hanya terdapat sedikit pembuluh
darah. Faktor-faktor pasien seperti perubahan pertahanan netrofil, imunitas humoral,
dan imunitas selular dapat meningkatkan resiko osteomielitis. (King R, 2008).
2.2.3 Etiologi
Bakteri piogenik penyebab osteomielitis bergantung pada usia pasien.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi
penyebab osteomielitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen pada
dewasa. Streptococcus hemolyticus grup A dan Streptococcus pneumonia
merupakan bakteri patogen tersering yang menyebabkan osteomielitis pada anak,
Streptococcus hemolitycus grup A merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi
baru lahir. Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, dan Escherichia
coli juga bisa menyebabkan osteomielitis namun dengan angka kejadiannya jarang.
Jamur dan mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomielitis pada individu
dengan defisiensi sistem imun.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab
osteomielitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel
endotel secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh
maupun antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureusmerupakan bakteri dengan laju
metabolism yang rendah sehingga mudah resisten terhadapt antibiotik.
2.2.5 Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan ostemielitis.
Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari timbulnya gejala : akut,
subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit
dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya berhubungan dengan proses hematogen pada
anak. Namun, pada dewasa juga dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya
setelah pemasangan prosthesa dan sebagainya.
Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan.
Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya
terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang
pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus involukrum.
Sistem
klasifikasi
lainnya
dikembangkan
oleh
Waldvogel
yang
scan
dapat
ketidaknormalan
menggambarkan
intrakortikal.
kalsifikasi
CT scan mungkin
abnormal,
dapat
osifikasi
membantu
dan
dalam
mengevaluasi lesi pada tulang vetebra. CT scan juga lebih unggul dalam area dengan
anatomi yang kompleks, contohnya pelvis, sternum, dan calcaneus (Lew, DP.,
Waldgovel, 1997). CT scan dengan potongan koronal dan sagital berguna untuk
menidentifikasi sequestra pada osteomielitis kronik. Sequestra akan tampak lebih
radiodense dibanding involukrum disekelilingnya.
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat membantu dalam mendeteksi
osteomielitis. MRI lebih unggul jika dibandingkan dengan radiografi, CT scan dan
scintigrafi
tulang
MRI
memiliki
sensitifitas
90-100%
dalam
mendeteksi
osteomielitis. MRI juga memberikan gambaran resolusi ruang anatomi dari perluasan
infeksi. MRI efektif dalam deteksi dini dan lokalisasi operasi osteomyelitis.
Penelitian telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan radiografi polos,
CT, dan scanning radionuklida dan dianggap sebagai pencitraan pilihan. Sensitivitas
berkisar antara 90-100%. Tomografi emisi positron (PET) scanning memiliki akurasi
yang mirip dengan MRI.
Radionuklida scanning tulang. Tiga fase scan tulang, scan gallium dan scan sel
darah putih menjadi pertimbangan pada pasien yang tidak mampu melakukan
pencitraan MRI. Sebuah fase tiga scan tulang memiliki sensitivitas yang tinggi dan
spesifisitas pada orang dewasa dengan temuan normal pada radiograf. Spesifisitas
secara dramatis menurun dalam pengaturan operasi sebelumnya atau trauma tulang.
Dalam keadaan khusus, informasi tambahan dapat diperoleh dari pemindaian lebih
lanjut dengan leukosit berlabel dengan 67 gallium dan / atau indium 111.
Gambaran osteomielitis akut pada foto polos radiologi berupa perubahan berupa
edema jaringan lunak
destruksi struktur tulang baru dapat terlihat pada foto polos sekitar 7-21 hari setelah
onset infeksi. Pada umumnya, lesi berukuran minimal 1 cm dan melibatkan 30-50%
dari struktur tulang baru akan menunjukkan perubahan pada foto polos. Gambaran
destruksi tulang dapat terlihat setelah berupa refraksi tulang yang bersifat difus pada
daerah metafisis dan pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang terangkat.
Gambar 2.9. Tampak destruksi tulang pada tibia dengan pembentukan tulang
subperiosteal
berakumulasinya bakteri patogen. Selain itu, kemampuan fagosit dan fungsi RES
menurun pada area loop pembuluh darah tersebut sehingga menjadikannya rentan
terjadi infeksi.
jaringan tulang, dimana selanjunya bakteri tersebut dapat berikatan dengan unsurunsur matriks tulang. Bakteri, seperti S. aureus memiliki kemampuan untuk
menempel dan menembus sel osteoblas namun tetap hidup dan berkembang di
dalamnya. Osteoblas yang terinfeksi bakteri selanjutnya menginduksi sekresi tumor
necrosis factor apoptosis inducing ligand (TRAIL) yang selanjutnya menyebabkan
apoptosis osteoblas dan menghambat diferensiasi osteoblas. Proses ini diikuti dengan
peningkatan ekspresi RANKL yang berperan dalam differensiasi osteoklas dan
berparan dalam induksi resorpsi tulang yang berakibat pada destruksi tulang.
Fenomena ini akan memberikan gambaran osteolitik pada foto polos radiologi.
Tulang
yang
mengalami
destruksi
kemudian
menghasilkan
perubahan
biomekanik serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian
merangsang aktivasi osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru.
Fenomena ini dapat terlihat jelas pada foto polos radiologi sebagai area sklerosis.
Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui
kanalis Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara
renggang terhadap tulang jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa.
Keadaan ini memungkinkan penyebaran infeksi ke
Gambar 2.13 Proyeksi AP dan Lateral dari lutut pasien osteomielitis anak
(Pineda C, et al. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography,
Computed Tomography, Ultrasonography, Magnetic Resonance Imaging, and Scintigraphy.
Seminar in Plastic Surgery. Vol 23:2. 2009)
Tulang
yang
mengalami
destruksi
kemudian
menghasilkan
perubahan
biomekanik serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian
merangsang aktivasi osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru.
Fenomena ini dapat terlihat jelas pada foto polos radiologi sebagai area sklerosis.
Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui
kanalis Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara
renggang terhadap tulang jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa.
Keadaan ini memungkinkan penyebaran infeksi ke
Gambar 2.14 Digiti III proyeksi PA dan oblik pada pasien osteomielitis akut.
(W R Reinus. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of
Musculoskeletal Diseases.. Springer. New York. 2010. p363-405.
Gambar 2.15 Proyeksi AP pada kaki pasien anak usia 13 bulan dengan osteomielitis akut
(Khan S H M, Bloem J L. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In: RadiologicPathologic Correlation from Head to Toe. 2005. Springer. New York. p647-659)
Pada proses infeksi kronis, akan terbentuk selubung tulang baru periosteal yang
mengelilingi tulang yang mengalami infeksi dan memberikan gambaran involukrum.
Selanjutnya, jalur yang dilewati oleh agen infeksi menuju daerah subperiosteal akan
membesar dan membentuk hubungan langsung antara rongga medulla dengan jaringan
lunak sekitar tulang. Gambaran ini pada foto polos radiologi dikenal sebagai kloaka.
Gambaran involukrum dan kloaka pada radiologi konvensional terlihat jelas pada Gambar
2.18.
Proses infeksi dan respons inflamasi yang terus berlanjut akan meningkatkan tekanan
didalam jaringan tulang yang menyebabkan penurunan aliran darah balik vena dan infark
tulang. Hal ini menyebabkan terbentuknya fragmen jaringan tulang yang mati didalam
jaringan tulang yang terinfeksi atau disebut juga sequestrum. Gambaran sekuestrum terlihat
pada Gambar 2.17. Keberadaan sequestra menjadi penting untuk diketahui karena akan
menentukan penanganan selanjutnya.
25
menyerupai gambaran
pada anak. Namun pada dewasa perlekatan periosteum dan tulang yang
sangat erat, maka penyebaran infeksi subperiosteal jarang ditemukan.
Serupa dengan proses pada anak, osteomielitis kronis pada dewasa juga
dapat ditemukan proses sklerotik yang besar disertai area destruksi tulang.
Gambaran sequestrum (Gambar 2.17), Codmans triangle, kloaka dan
involukrum juga dapat ditemukan melalui proses yang sama.
26
Gambar 2.17
kronis juga dapat terjadi setelah fraktur terbuka atau setelah tindakan operasi
pada tulang. Organisme yang menyebabkan infeksi menetap di dalam tulang
yang telah mati, dan secara periodik dapat terjadi eksaserbasi. Tulang
tampak menebal dan sklerotik dengan daerah destruktif radiolusen di bagian
tengah, yang disertai sinus drainase yang kronis. Dapat terbentuk abses
dengan tepi sklerotik, kadang-kadang mengandung sequestrum (abses
Brodie). (Patel, P.R., 2007). Bakteri penyebab osteomielitis kronis terutama
oleh stafilokokus aureus ( 75 %), atau E.colli, Proteus atau Pseudomonas.
Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang
menghambat terjadinya resolusi dan penyembuhan spontan yang normal
pada tulang. Sekuestrum ini merupakan benda asing bagi tulang dan
mencegah terjadinya penutupan kloaka ( pada tulang ) dan sinus ( pada
kulit ). Sekuestrum diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat
keluar/dibersihkan dari medula tulang kecuali dengan tindakan operasi.
Proses selanjutnya terjadi destruksi dan sklerosis tulang yang dapat terlihat
pada foto rontgen.
Penderita sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari
luka/sinus setelah operasi yang bersifat menahun. Kelainan kadang kadang
disertai demam dan nyeri lokal yang hilang timbul didaerah anggota gerak
tertentu. Pada pemeriksan fisik ditemukan adanya sinus, fistel atau sikatriks
bekas operasi dengan nyeri tekan. Mungkn dapat ditemukan sekuestrum
yang menonjol keluar melalui kulit. Biasanya terdapat riwayat fraktur
terbuka atau osteomielitis pada penderita.
Pada foto rontgen dapat ditemukan adanya tanda tanda porosis dan
sklerosis tulang, penebalan periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya
sekuestrum.
28
Gambar 2.20 Osteomielitis lanjut pada seluruh tibia dan fibula kanan.
Ditandai dengan adanya gambaran sekuestrum (panah).
29
30
Gambar 2.24 Gambaran radiologik dari abses Brodie yang dapat ditemukan
pada osteomielitis sub akut/kronik. Pada gambar terlihat kavitas yang
dikelilingi oleh daerah sclerosis (Elsevier, 2006).
31
osteomyelitis
subakut
tergantung
dari
diagnosis.
Kebanyakan 1/3 kasus tidak dapat dibedakan dari keganasan primer dari
tumor tulang. Biopsi dan kuretase diperlukan untuk penegakan diagnosis
pada kasus-kasus ini. Pada saat diagnosis ditegakkan, pemberian antibiotik
yang sesuai dengan kelompok gram, kultur, dan sensitivitas harus sudah
dimulai secara intravena selama 2-7 hari, diikuti dengan antibiotik oral
selama 6 minggu (Khoshhal K, 2008)
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan adjuvan terhadap
debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum
secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang
harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam
menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago
yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang
permanen.Pada beberapa kasus, infeksi sudah terlalu berat dan luas sehingga
satu-satunya tindakan terbaik adalah amputasi dan pemasangan prothesa.
2.2.7 Prognosis
Angka mortalitas pada osteomielitis akut yang diobati adalah kira-kira 1
%, tetapi morbiditas tetap tinggi. Bila terapi efektif dimulai dalam waktu 48
jam setelah timbulnya gejala, kesembuhan yang cepat dapat diharapkan pada
kira-kira 2/3 kasus. Kronisitas dan kambuhnya infeksi mungkin terjadi bila
terapinya terlambat (King R, Johnson D., 2008).
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada osteomyelitis adalah:
- Septikemia.
- Kematian tulang (osteonekrosis). Infeksi pada tulang dapat menghambat
33
terutama
terjadi
bersifat
pada
osteomielitis
intra-kapsuler
kronik
- Fraktur Patologis.
34
BAB III
KESIMPULAN
Osteomielitis adalah infeksi tulang atau sumsum tulang. Osteomielitis
dapat menyerang orang pada semua usia. Pemeriksaan penunjang atau pencitraan
yang dapat dilakukan adalah foto polos, CT scan, MRI, dan Radioisotop bone
scan, yang memiliki keunggulan masing-masing. Pada pemeriksaan foto polos
radiologi akan kita dapatkan hilangnya gambaran fasia, gambaran litik pada tulang
(radiolusen), sequester dan involucrum. Pada CT scan pun akan didapatkan
gambaran serupa, namun gambaran tampak lebih jelas, gambaran didapat dari
segala arah . Jaringan yang keras secara umum lebih baik ditunjukan oleh CT
scan. Gambaran MRI lebih jelas menunjukkan perluasan patologis tulang dan
jaringan lunak sekitarnya. Sedangkan pemeriksaan scan radioisotop sensitif untuk
osteomielitis disebabkan sifat radioisotop pada bone scan akan memperlihatkan
daerah kerusakan sel tulang atau gambaran kehitaman yang memusat pada daerah
sel-sel yang rusak, namun tidak spesifik, karena kerusakan sel tidak hanya
ditunjukan oleh osteomielitis saja.
35
pilihan
modalitas
osteomielitis.
DAFTAR PUSTAKA
Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomielitis of the Jaws. ISBN: 978-3540-28764Ciampolini, J., K. G. Harding. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial
osteomyelits. Postgrad Med J, 76: 479-483
Cierny G, Mader JT, Pennick JJ. A clinical staging system for adult osteomyelitis.
Contemp Orthop. Vol:10. p:17-37. 1985
David S. 2003. Textbook of Radiology and Imaging. In: Infection: Osteomyelitis.
London. p1155-1162
Jaramillo D. Infection: Musculoskeletal. Pediatric radiol. Vol 41. pp:8127-8134.
2011
Khan SHM, Bloem JL. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In:
Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. New York.
Springer. 2005. p647-659
Khoshhal K., Letts
R. M.
Subacute
Osteomyelitis
(Brodie Abscess).
37
38