Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar belakang

Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan anak-anak


merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan anak-anak yang
diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara memberikan jaminan
kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai dengan dunia anak-anak
itu sendiri, sedangkan kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan,
traumatik, sehingga tidak dapat mengembangkan psiko-sosia anak, merupakan
cermin suatu negara yang tidak peduli pada anak-anak sebaga generasi bangsa
yang akan datang.
Meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan telah
mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
secara obyektif yang terjadi di kehidupan anak-anak adalah masih belum
teratasinya masalah anak yang terjadi di Indonesia, khususnya lagi kasuschild
abuse, child trafficking da prostitusi anak yang semakin tidak bisa ditolerir dengan
akal sehat (the most intolerable forms).. Namun hingga saat ini isu child
trafficking masih belum memperoleh intervensi yang signifikan, begitu juga
dengan child abuse maupun prostitusi anak. Seks yang dulu ditabukan bagi anak
anak, kini justru menjadi demikian terbuka sampai sebagai ajang komersialisasi
dan praktik prostitusi.
Di sisi lain masa anak-anak merupakan masa yang sangat menentukan untuk
terbentuknya kepribadian seseorang. Apabila anak berkembang dengan baik maka
itu merupakan harapan yang baik bagi suatu bangsa untuk lebih maju.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Child Abuse
Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai
segala perlakuan buruk terhadap anak oleh orang tua, wali, atau orang lain

yang seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka.


Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and Wolfare
memberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental,
kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun
yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak
terancam.

Sekjen KPAI, Erlinda mengatakan kasus kekerasan terhadap anak dapat


dikatakan sudah memasuki 'fase darurat' sebab sampai awal Mei 2014 saja sudah
terjadi lebih dari 400 kasus. Kasus kekerasan anak ini, tambahnya, membutuhkan
perhatian yang lebih dari pemerintah pusat agar tidak semakin meningkat
2.1.1 Klasifikasi
Physical abuse (Kekerasan fisik)
Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh
orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang,
mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau
rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.
Psychological/emotional abuse (Psikologis / Kekerasan emosional)
Kekerasan emosional didefinisikan sebagai produksi cacat psikologis dan
sosial dalam pertumbuhan seorang anak sebagai akibat dari perilaku
seperti berteriak keras, kasar dan sikap kasar, kurangnya perhatian, kritik
keras, dan fitnah dari kepribadian anak.

Neglect (Penelantaran)
Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab
gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan,
termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup,

pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan


pengasuhan atau kasih saying, keselamatan, dan kesejahteraan terancam
bahaya), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau
medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
Sexual Abuse (Kekerasan Seksual)
Kekerasan seksual anak (CSA) adalah bentuk kekerasan anak di mana
orang dewasa atau remaja yang lebih tua pelanggaran anak untuk
rangsangan seksual. Kekerasan seksual mengacu pada partisipasi anak
dalam tindakan seksual yang ditujukan terhadap kepuasan fisik atau
keuntungan dari orang yang melakukan tindakan tersebut. Bentuk CSA
termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas
seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin untuk
anak, menampilkan pornografi untuk anak, aktual kontak seksual dengan
seorang anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin
anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi
pornografi anak .
2.1.2 Manifestasi Klinis
Akibat pada fisik anak
a. Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, dan
adanya kerusakan organ dalam lainnya
b. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut,
kerusakan saraf, dan cacat lainnya.
c. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah,
pada umumnyalebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak
sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.
b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
Kecerdasan

Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan


dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan
motorik.

Emosi

Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri


yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif,
perkembangan hubungan sosialdengan orang lain, termasuk
kemampuan untuk percaya diri.

Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak
mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba
bunuh diri.
Agresif
Anak mendapatkan perlakuan yang salah secara badani, lebih
agresif terhadap temansebayanya. Sering tindakan agresif
tersebut meniru tindakan orangtua mereka ataumengalihkan
perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil
miskinnyakonsep harga diri
Hubungan social
Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman
sebayanya atau dengan orang dewasaAkibat dari penganiayaan
seksual
2.1.3

Penatalaksanaan
Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak
adalah melalui:

1. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program
yang ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat.
2. Pendidikan
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang
sangat pribadi, yaitu penis, vagina, anus, dan bagian lain dalam pelajaran

biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut sifatnya sangat pribadi


dan harus dijaga agar tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu
meningkatkan keamanan anak di sekolah.
3. Penegak hukum dan keamanan
Hendaknya UU no. 4 thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat
ditegakkan secara konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua
bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II pasal 2 menyebutkan bahwa
anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar.
4. Media massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti
oleha artikel-artikel pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada
anak baik jangka pendek maupun jangka panjang diberitakan agar
program pencegahan lebih ditekankan.

2.2 Pengertian Child Trafficking


Pada dasarnya child trafficking adalah penggunaan anak yang dilibatkan
dalam eksploitasi ekonomi maupun seksual dan lain-lain oleh orang dewasa atau
pihak ketiga untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang maupun bentuk
yang lain.
Dalam kaitannya dengan anak, elemen consent (kerelaan atau
persetujuan) tidak diperhitungkan, karena anak tidak memiliki kapasitas legal
untuk bisa memberikan (atau menerima) informed consent. Setiap anak, karena
umumnya harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar
terhadap berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisik, mental,
sosial, dan moral bagi seseorang untuk bias menentukan pilihannya, oleh
karenanya anak adalah korban (victim) dan bukan pelaku kejahatan

2.2.1 Faktor Penyebab Child Trafficking


Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafiking
manusia di Indonesia. Trafiking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari

bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk


kedalamnya adalah :
1.

Kurangnya Kesadaran
Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia
ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafiking dan tidak
mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam
pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.

2.

Kemiskinan
Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi
penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja
karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar
hutang atau pinjaman.

3.

Faktor Budaya

a)

Peran Anak dalam Keluarga


Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga
membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak
bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai
strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang
kehidupan keuangan keluarga.

b)

Perkawinan Dini
Anak-anak perempuan yang menikah dini dansudah bercerai secara sah dianggap
sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan
ekonomi mereka.

4.

Kurangnya Pendidikkan
Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill
dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi
mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

5.

Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum


Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku
trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal.

Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak
benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat
buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya
budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking
menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan
dan menuntut pelaku trafiking.
Ada beberapa kriteria anak yang beresiko child trafficking, antara lain :
1.

Anak yang secara sosial ekonomi dari keluarga miskin kelompok marginal,
baik yang tinggal di pedesaan dan didaerah kumuh perkotaan;

2.

Anak putus sekolah;

3.

Anak korban kekerasan dan perkosaan;

4.

Anak jalanan;

5.

Anak yatim;

6.

Anak korban penculikkan;

7.

Anak korban bencana alam;

8.

Anak yang berasal dari daerah konfilk


2.2.2 Kasus Child Trafficking yang Terjadi di Indonesia
Menurut data yang diambil dari Komnas Anak, sejumlah 150 juta orang
diperdagangkan dengan mengalirkan sekitar 7 miliar dolar per-tahun. Di
Indonesia, perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan sekitar 700.000 s/d
1.000.000 orang. Pada tahun 1999, tercatat anak dan perempuan yang
diperdagangkan mencapai sekitar 1.718 kasus. Angka ini, pada tahun 2000,
tercatat sejumlah 1.683 kasus, dengan berbagai lokasi yang terdeteksi, seperti
Jakarta, Medan, bandung, Padang, Surabaya, Bali dan Makasar.
Berdasarkan laporan investigasi kalangan NGO di Medan, diungkapkan
kasus perdagangan anak yang akan dilacurkan (Child Prostituted) di Dumai,
propinsi Riau.Pada laporan Poltabes Balerang, kasus perdagangan perempuan dan
anak yang masuk ke Poltabes balerang pada tahun 2003, terdapat 84 kasus dan
dapat diselesaikan sebanyak 65 kasus atau 77,38%.
Sedangkan pada tahun 2004 sampai bulan mei, terdapat 57 kasus. Sedangkan
kondisi Ekploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Lingkungan Pariwisata
Indonesia sangatlah memprihatinkan, ini dapat dilihat dengan indicator besaran

yang dikeluarkan dalam kertas kerja The Government of The Republic of


Indonesia yang disampaikan pada Konferensi ESKA II tahun 2001 di Yokohama
Jepang, bahwa sekitar 30% atau 40.000 s/d 70.000 Pekerja Seksual Komersial
adalah anak dibawah umur.
Ini mengindikasikan bahwa kehidupan anak di Indonesia sangat rentan
dengan ESKA, apalagi anak-anak yang hidup di lingkungan keluarga miskin, anak
terlantar, buruh anak, anak jalanan, maupun anak korban kekerasan, dan lain-lain.
Hal ini dikarenakan anak dalam situasi demikian merupakan seorang korban dari
mekanisme berbangsa yang menciptakan kemiskinan, ketidakadilan,
pelanggaran hukum yang didisain dan dilakukan oleh orang dewasa terhadap
anak.
2.3

Prostitusi anak

Penyebab utama prostitusi anak remaja adalah faktor kurangnya kontrol orang tua.
Praktek komersialisasi birahi yang dilakukan oleh perempuan usia belasan (PUB)
sebenarnya memiliki motif serta melalui proses yang sama dengan perempuan
dewasa. Yang berbeda hanya tingkat kemungkinan intervensi pihak lain terhadap
pilihan mereka dalam bersikap, perempuan dewasa lebih berani dan bebas
sedangkan PUB dapat dikendalikan orang tua. Umumnya perempuan yang
akhirnya terjun ke dunia komersialisasi birahi tersebut melalui tahapan sbb :
1. Tahap Dorongan, yang timbul karena perkembangan biologi,
sehingga memicu :
a. Pornografi (dampak teknologi), dapat terjadi bila orang tua
tidak mengontrol surfing internet, tontonan dan bacaan
anak.
b. Salah bergaul, dapat terjadi bila orang tua tidak mengontrol
frekuensi anak keluar rumah termasuk dalam memilih
teman bergaulnya.
2. Tahap Coba coba

a. Pacaran. Anak-anak putri biasanya lebih cepat mengalami


masa pacaran dari pada putra. Ini terjadi karena secara
psikologis anak-anak yang sedang mengalami puber ingin
segera mendapatkan pengakuan sebagai orang dewasa,
maka dia akan bangga bila dipacari oleh orang yang lebih
dewasa daripada dia.
b. Brokenheart.

Problematika pacaran dan problematika

rumah tangga akan mendukung proses coba-coba ini.


3. Tahapan Terbiasa
a. Keterlanjuran. Apabila hal tersebut terjadi lebih sering dan
tanpa kontrol orang tua maka akan berkembang menjadi
kebiasaan, selanjutnya tinggal menunggu 'kecelakaan'.
b. Gonta-ganti pacar.
4. Tahap Komersialisasi
a. Memanfaatkan kebiasaan. Karena sudah terbiasa dan bisa
menghasilkan uang,"Why not?"
b. Dukungan gengsi. Desakan kebutuhan untuk bergaya hidup mewah. Pada tahap
ini baru motif finansial akan dominan.
Rokan (2007) dalam

rubrik Seks Bebas Remaja dikoran replubika,

memuat data data sejumlah peneliti antara lain :


1. Kantor Berita Antara menulis, 85 Persen Remaja 15 Tahun Berhubungan
Seks
2. Warta Kota (11/2/2007) memberi judul, Separo Siswa Cianjur Ngesek.
3. Harian Republika terbitan 1 Maret 2007 menulis Hampir 50 persen remaja
perempuan Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah.

10

4. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melakukan survei


menyatakan pula bahwa sebanyak 85 persen remaja berusia 13-15 tahun
mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka. Penelitian pada
2005 itu dilakukan terhadap 2.488 responden di Tasikmalaya, Cirebon,
Singkawang, Palembang, dan Kupang.
Pada usia remaja, kehidupan kelihatannya penuh dengan problem, kadang
kadang sangat mendominasi dan membuat remaja merasa kesepian sendiri.
Remaja pada usia ini merasa bahwa tiada orang lain merasakan ini selain dia dan
mereka merasa tak seorangpun mengerti akan dia. Akhirnya beberapa remaja
mencari pelarian menjadi pelacur yang imbalannya uang. Menjadi pelacur
merupakan cara untuk tetap bertahan hidup atau juga merupakan cara membuat
orang lain senang, atau merasakan cinta. 90% pelacur usia remaja pada umumnya
berusia dibawah 18 tahun, 50% nya disebabkan karena lari meninggalkan rumah.
Dikatakan juga bahwa para remaja berisiko mengalami :
1. Sexual abuse (kekerasan seksual)
2. Drug abuse (ketagihan drugs)
3. Physical abuse (kekerasan fisik)
4. Financial abuse (kekerasan keuangan).
5. Kehamilan.
6. Bunuh diri.
7. Tertular penyakit kelamin (termasuk HIV dan AIDS)
2.4

Perlindungan Atas Hak Anak Dalam Undang-Undang

Ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

11

Bab III Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai hak dan
kewajiban anak. Hak anak diatur dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 18
sedangkan kewajiban anak dicantumkan pada Pasal 19. Hak anak yang tercantum
dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut antara lain meliputi
hak :
1. untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2. atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan;
3. untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berkreasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua;
4. untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri;
5. memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;
6. memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya;
7. memperoleh pendidikan luar biasa, rehabilitasi, bantuan sosial dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat;
8. memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan;
9. menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;
10. untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat
dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;
11. mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik
ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan,
penganiayaan, ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya;

12

12. untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri kecuali jika ada alasan dan/atau
aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;
13. memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
14. memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;
15. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatan yang
dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan
lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku,
serta membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum, bagi
setiap anak yang dirampas kebebasannya;
16. untuk dirahasiakan, bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum; dan
17. mendapatkan bantuan hokum dan bantuan lainnya, bagi setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku tindak pidana.

13

BAB III
CONTOH KASUS

3.1 Contoh Kasus


1. Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Di Tk Jis (Jakarta Internasional
School)
2. Kasus child trafficking di Batam

14

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kasus TK JIS ( Jakarta Internasional School)
AK merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh petugas
kebersihan sekolah di TK Jakarta Internasional School (JIS) di Pondok Indah,
Jakarta Selatan
Tenyata berkaitan dengan hal itu kondisi korban mengkhawatirkan. Secara fisik,
anak 5 tahun itu masih menjalani pengobatan untuk beberapa luka dalam dan
memar. dampak secara psikologis, Anak masih suka muram. Jika melihat
lapangan, dia takut karena toilet itu (lokasi pelecehan seksual) terletak di depan
lapangan.Korban pun masih takut untuk pergi ke toilet sendirian dan tidak mau
ditinggal seorang diri, korban juga ketakutan dengan orang asing.
4.2 Kasus child trafficking di batam
Kepolisian Sektor Lubuk Baja, Kota Batam, Kepulauan Riau, mengungkap kasus
perdagangan manusia (human ktrafficking) dengan menangkap tiga pelaku dan
dua korban dari Sukabumi, Jawa Barat, berusia 14 dan 15 tahun berstatus pelajar.
Ia mengatakan, kedua korban dibawa dari Sukabumi pada 18 Februari 2014 ke
Batam oleh seorang pria berisisial Sa, yang anak buah seorang mucikari "S"

15

sekaligus pemilik karaoke di mana kedua korban dijadikan pekerja seks komersial
(PSK).Jika dikembalikan ke awal kejadian ini terjadi karena antara lain :
1.

Kurangnya Kesadaran

Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di
luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafiking pekerjaan yang mirip
perbudakan.
2.

Kemiskinan

Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi


penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja
3. Faktor Budaya
Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat
anak-anak rentan terhadap trafiking.
BAB V
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Child abuse adalah kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual
dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang
yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga
keselamatan dan kesejahteraan anak terancam. Dampak terhadap psikologis anak
pun sangat besar.
Pada dasarnya child trafficking adalah penggunaan anak yang dilibatkan dalam
eksploitasi ekonomi maupun seksual dan lain-lain oleh orang dewasa atau pihak
ketiga untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang maupun bentuk yang
lain. Faktor penyebab trafficking antara lain adalah kurang kesadaran,
kemiskinan, dan factor budaya.
Penyebab utama prostitusi anak remaja adalah faktor kurangnya kontrol orang tua.
Praktek komersialisasi birahi yang dilakukan oleh perempuan usia belasan (PUB)
sebenarnya memiliki motif serta melalui proses yang sama dengan perempuan
dewasa. Yang berbeda hanya tingkat kemungkinan intervensi pihak lain terhadap

16

pilihan mereka dalam bersikap, perempuan dewasa lebih berani dan bebas
sedangkan PUB dapat dikendalikan orang tua.
Ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Bab III Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai hak dan
kewajiban anak. Hak anak diatur dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 18
sedangkan kewajiban anak dicantumkan pada Pasal 19.

DAFTAR PUSTAKA

Asro Kamal Rokan (2007), Pergaulan Bebas, Harian Republika


http://id.scribd.com/doc/39800308/Child-Abuse-pada-anak. diakses: 24 september
2014
http://en.wikipedia.org/wiki/Child_abuse. diakses pada 4 september 2014
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140506_kekerasan_ana
k.shtml diakses: 24 september 2014
http://www.gerfas-s.blogspot.com/permasalahan child trafficking di indonesia.
Diakses: 25 september 2014
http://www.tanyadok.com/berita/kekerasan-seksual-anak-waspada-dan-hukumanberat. diakses: 25 september 2014
http://www.antaranews.com/berita/420435/pelajar-jadi-korban-perdaganganmanusia-di-batam. diakses: 25 september 2014

17

Kuntjojo (2008),Mencegah Perilaku Seks tidak Sehat Pada Remaja Melalui


Pendidikan Seks. http://kunt34.blogspot.com/2008/12/
Komisi

Nasional

Perlindungan

Anak.2009. Indonesia

dan

Masalah

Trafficking. Jakarta

SARAN SARAN CHILD ABUSE


Kekerasan memang tidak dapat ditolerir, apalagi terhadap anak.
Menyarankan agar orangtua bahkan semua orang 'bergerak' bila
mengetahui anak mengalami kekerasan. Tidak perlu ragu meski pelaku
kekerasan datang dari kerabat atau pasangan Anda sendiri. Sebab bila ada

18

seseorang yang mengetaui ada anak mendapat kekerasan, namun tidak ada
tindakan akan terancam tahanan 5 tahun penjara sesuai pasal 78 Tahun
2002. Berpikir untuk bertindak menyudahi kekerasan ini merupakan
langkah apik yang pertama. Selanjutnya orangtua dapat melakukan :
Menegur pelaku tindak kekerasan. Bentuk teguran tidak harus keras,
point terpenting adalah pelaku menyadari bahwa perilakunya itu
menyimpang dan merugikan anak.
Berikan masukan bagaimana cara menangani anak untuk kasus pengasuh
atau seseorang yang melakukan kekerasan karena tidak sabar
menghadapi anak. Ingatkan bahwa anak-anak belum bisa bersikap
seperti orang dewasa.
Hentikan dengan paksa bila pelaku masih melakukan kekerasan. Bila
kekerasan dilakukan oleh pengasuh seperti pembantu atau baby sitter,
segeralah memutuskan kontrak kerja.
Laporkan pada pihak yang berwajib bila luka yang diakibatkan oleh
kekerasan masuk dalam kategori fatal, misalnya luka robek yang parah,
luka tusuk, atau pemerkosaan.
Memantau tumbuh kembang anak sesuai dengan usia perkembangannya.
Jika tidak sesuai dengan tahap perkembangannya, segeralah datang ke
ahli medis tumbuh kembang, misalnya psikolog.
Lakukan fisum untuk kasus kekerasan secara fisik. Sehingga saat Anda
ingin melaporkan pelaku pada pihak berwajib, Anda memiliki bukti
otentik.

HAL YANG HARUS DILAKUKAN MENCEGAH CHILD TRAFICKING


Banyak hal yang harus dilakukan didalam mencegah child trafficking, antara lain :
1.

Terus menerus melakukan kampanye guna membangun kesadaran permanen


dikalangan masyarakat maupun sektor industri, juga komitmen pemerintah dan
penegak hukum guna mendukung perlindungan anak dari child trafficking.

19

2.

Mewujudkan mekanisme kerjasama dan aksi dalam segenap institusi masyarakat


dan lembaga-lembaga usaha yang bisa bersinergi untuk memberikan perlindungan
anak dari child trafficking.

3.

Tersedianya mekanisme nasional dan daerah antara lain dengan cara bersinergi
dalam bentuk task force (kelompok kerja) yang bisa langsung bekerja di lapangan
secara komprehensif dan terus menerus didalam memberikan perhatian dan
penanganan perlindungan anak dari child trafficking.

4.

Perlunya dikeluarkan produk hukum anti trafficking yang pro perlindungan anak
dari dari tindak pidana perdagangan anak dan bertujuan untuk perlindungan
hukum bagi anak korban child trafficking

MENCEGAH PROSTITUSI ANAK


Dapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi
pelacurandapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:1.
Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.2.
Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anakanakusia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.3.
Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita .4.
Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam
kehidupanrumah tangga.5.
Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait
dalamusaha penanggulangan pelacuran.6.
Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pemahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran.

20

Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau


mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain
(kartini kartono,1998):

Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan
para pealacur dan para penikmatnya.2.
Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa dikembalikansebagai warga masyarakat yang susila.3.
Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena
raziadisertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.4.
Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan
profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru.5.
Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal
merekaagar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna
mengawalihidup baru.6.
Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk
perbuatanmesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutup

Factor penyebab prosatitusi anak


.Factor internal yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang
berkenaandengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Tidak
sedikit dari
para pelacur ini merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa m

21

ereka sudah kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan satu-satunya yang
pantas bagi mereka
Factor keluarga kondisi rumah tangga dan pola relasi antara orangtua dan
anak.ketidakharmonisan keluarga, lingkungan keluarga yang kurang kondusif,
kurang adanya keterikatan emosi antara anak dan orangtua serta pola asuh yang
otoriter dan membiarkan (mengabaikan) yang menyebabkan anak menjadi pribadi
yang tidak matang, sensitif, dan mudah terpengaruh.
Factor ekonomi Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja
seseorang me-lakukan suatu perbuatan yang nekat, oleh sebab itu
seseorang menjadi pelacur itu dikarenakan oleh adanyatekanan ekonomi
Factor lingkungan
terengaruh oleh anggota keluarga lain atau teman-teman yang terlebih dahulu
terlibat dalam prostitusi maupun lingkungan yang permisif. Usia remaja awal
sebenarnya belum memiliki cukup pengetahuan akan seksualitas. Tetapi,
banyaknya kasus serupa di lingkungan sangat mudah membuat anak atau remaja
yang labil terbawa arus tersebut. Ditambah lagi lingkungan social yang saat ini
terkesan permisif tidak lagi memiliki tata nilai yang kuat.

Anda mungkin juga menyukai