PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang banyak membutuhkan
pengawasan baik dari pola makan, terapi, maupun komplikasinya. Salah satu
komplikasi yang harus diwaspadai adalah kegawat daruratan hipoglikemia dan
hiperglikemia yang harus segera mendapatkan penanganan yang tepat dan
cepat.
Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah
di bawah normal, sebaliknya hiperglikemia adalah keadaan yang menunjukkan
kadar glukosa darah di atas normal. Hipoglikemia dan hiperglikemia pada
pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT 1) dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT 2)
merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa
darah normal atau mendekati normal.
Pengendalian glukosa darah yang baik dan lengkap didasarkan pada
kondisi bebas dari hipoglikemia maupun hiperglikemia. Resiko hipoglikemia
timbul akibat mekanisme dalam tubuh yang tidak sempurna dimana kadar
insulin pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan
fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman.
Sedangkan resiko hiperglikemia timbul akibat adanya kadar gula dalam darah
yang tidak terkontrol baik disebabkan karena pengawasan pengobatan dan
pola makan yang tidak baik.
Keadaan hipoglikemia dan hiperglikemia yang tidak terpantau dengan
baik, dapat menyebabkan timbulnya kegawatan pada pasien diabetes mellitus.
Kegawatan tersebut perlu mendapatkan penatalaksanaan yang tepat sehingga
efek yang ditimbulakan tidak fatal hingga menyebabkan syok bahkan
kematian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Hipoglikemia
A. Epidemiologi
Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus.
Sekitar 90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode
hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia sangat bervariasi, namun pada
umumnya penderita diabetes mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode
hipoglikemia simtomatik per minggu dan per tahun. Diperkirakan 2-4%
dari mortalitas akibat diabetes melitus dikaitkan dengan hipoglikemia.
Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes
mellitus tipe 2 dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa
pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 risiko hipoglikemia beratrendah dalam beberapa tahun pertama (7%) dan meningkat menjadi 25%
dalam perjalanan diabetes. Namun prevalensi diabetes mellitus tipe 2
adalah sekitar dua puluh kali lipat lebih tinggi dari diabetes mellitus tipe 1
dan banyak pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 akhirnya memerlukan
pengobatan insulin, sehingga sebagian besar episode hipoglikemia terjadi
pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.
B. Patofisiologi
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh
berlebihan. Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang
terjadi setelah melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia
juga
dapat
disebabkan
antibodi
pengikat
insulin,
yang
dapat
epinefrin,
sehingga
prekursor
glukoneogenik
dapat
dimobilisasi dari sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan.
Tubuh melakukan pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan
menaikkan
asupan
karbohidrat
secara
besar-besaran.
Mekanisme
C. Penegakkan Diagnosis
Menurut Departement on Health and Human Service, secara
harfiah hipoglikemia berarti kadar glukosa dalam darah menurun dari
kadar normal. Walaupun kadar glukosa plasma pada puasa jarang
melampaui 99mg/dl (5,5 mmol/L) tetapi kadar <108mg/dl (6 mmol/L)
masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan karena eritrosit
mengandung kadar glukosa yang relatif rendah. Kadar glukosa arteri lebih
tinggi dibandingkan dengan vena sedangkan kadar glukosa kapiler berada
diantara kadar glukosa arteri dan vena (Soemandji, 2009).
Macam-macam hipoglikemi:
1. True Hipoglikemi : GDS <60mg/dl
2. Koma Hipoglikemi : GDS <30mg/dl
D. Terapi
1. Stadium permulaan (sadar)
- Berikan gula murni 30gr (2sdm) atau siruppermen gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau dietgula diabetes) dan makan
-
sewaktu.
2. Stadium lanjut (koma hipoglikemia)
- Penanganan harus cepat
- Berikan larutan dextrosa 40% sebanyak 1-2 flakon melalui vena
-
intramuskular
Pemantauan kadar glukosa tiap 4-6 jam
E. Prognosis
Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah,
dan waktu onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki
prognosis baik (dubia et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa
segera diberikan oral glucose (dubia et malam).
II. HIPERGLIKEMIA
A. Ketoasidosis Diabetik
1. Definisi
Ketoasidosis
diabetik
adalah
keadaan
dekompensasi-
perbaikan
kontrol
metabolik,
ketakutan
terjadinya
4. Patofisiologi KAD
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik,
dan peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi.
Ketoasidosis merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas
insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon
kontraregulator
(glukagon,
katekolamin,
kortisol,
dan
growth
dan
peningkatan
konsentrasi
hormon
kontraregulator
palmitoyl-
transferase
(CPT
I),
enzim
untuk
transesteri kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang
mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I
diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria
tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty
acyl Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan
ketongenesis.
5. Gejala klinis
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
KAD
bersifat
multifaktorial
sehingga
harus
dengan
pemeriksaan
klinis
atau
dengan
adalah
penggantian
cairan
sebesar
50%
dari
diberikan jika kadar natrium serum tinggi (> 150 mEq/l), dan
diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum
(corrected serum sodium) dengan kecepatan 4 14 ml/kgBB/jam
serta agar perpindahan cairan antara intra dan ekstraselular terjadi
secara gradual.
Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk
mengurangi
kemungkinan
terjadinya
hiperkloremia
yang
cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal dinilai, infus cairan harus
mengandung 20 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
sampai pasien stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi cairan
ditentukan dengan monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan
darah), pengukuran cairan masuk dan keluar, dan pemeriksaan
klinis.
Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan
kekurangan cairan dalam jangka waktu 24 jam pertama.
Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH
2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati
terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas
serum dan penilaian fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang
berkesinambungan selama resusitasi cairan untuk menghindari
overload cairan iatrogenik. Untuk itu pemasangan Central Venous
Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong.
Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan
diganti atau ditambahkan dengan cairan yang mengandung
dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau
b. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
KAD dan rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan
pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD ditegakkan dan
pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian insulin akan
menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan produksi
benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan
lemak,
pelepasan
asam
amino
dari
jaringan
otot
dan
dan
setengahnya
lagi
secara
subkutan
atau
subkutan
0,1
iu/kgBB/
jam,
selanjutnya
protokol
gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat
ditingkatkan 20 iu untuk gula darah 300 mg/dl.
Ketika pasien mendapat makan, jadwal dosis multipel
harus dimulai dengan memakai kombinasi dosis short atau rapid
acting insulin dan intermediate atau long acting insulin sesuai
kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah untuk
melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi
sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin
intravena selama 1 2 jam setelah pergantian regimen dimulai
untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat.
Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian
insulin subkutan yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol
yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian
insulin intravena dan subkutan. Pasien yang diketahuidiabetes
sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang diberikan
sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya.
Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 1,0 u/
kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam
regimen yang termasuk short dan long acting insulin sampai dosis
optimal tercapai, duapertiga dosis harian ini diberikan pagi hari
dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.
8. Pemantauan Terapi
Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium
yang komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan
profil kimia termasuk pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah.
Pemberian cairan dan pengeluaran urine harus dimonitor secara hatihati dan dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan kepada
setiap pasien, khususnya mereka dengan risiko kardiovaskular.
pasien
KAD
yang
telah
membaik
mengalami
efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau
oliguria ekstrem.
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada
dewasa. Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh
karena edema serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa
penurunan kesadaran, letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala.
Kelainan neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang, inkontinensia,
perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan respirasi.
haloperidol,simetidin, dll
Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular,
pankreatitis,operasi.Pemeriksaan
dapat
membantu
2.Angka
kematian
pada
HHS
lebih
banyak
Terapi
bersifat
suportif
dengan
menghentikan
penggunaan metformin.
11. Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis
insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa
kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada system
pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan
komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM
mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).
Upaya
pencegahan
merupakan
hal
yang
penting
pada
dan
infeksi,
memulai
pemberian
makanan
cair
tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II. Koma
Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang
ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat
tanpa ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran.
Menurut Hudak dan Gallo (edisi VI) koma hiperosmolar
adalah komplikasi dari diabetes yang ditandai dengan :
a. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat.
b. Asidosis ringan.
c. Sering terjadi koma dan kejang lokal.
d. Kejadian terutama pada lansia.
e. Angka kematian yang tinggi.
2. Etiologi
a. Insufisiensi insulin
1) DM, pankreatitis, pankreatektomi
2) Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)
b. Increase exogenous glukose
1) Hiperalimentation (tpn)
2) High kalori enteral feeding
c. Increase endogenous glukosa
1) Acute stress (ami, infeksi)
2) Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)
d. Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.
e. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan
gangguan kardiovaskular.
f. Pembedahan/operasi.
g. Pemberian cairan hipertonik.
h. Luka bakar.
Faktor risiko:
a. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
serum
tinggi
dengan
gejala
SSP
minimal
p. Asidosis ringan.
4. Patofisiologi
Sindrome
Hiperglikemia
Hiperosmolar
Non
Ketotik
hiperglikemia,
hiperosmolar,
diuresis
osmotik
7. Pathway
makanan
sel <
tromboemboli
poliphagia
merangsang
pusat haus
hemokonsentrasi
viskositas darah
glikosuria
gang. transport O2
hipertrofi ventrikel
poliuria
iskemia jaringan
Gagal Jantung
Koma
glikogenesis
phospat
nekrosis
G3 perfusi
jaringan
otak
potasium,sodium,
imbalance elektrolit
metabolisme anaerob
dehidrasi
asam laktat
hiperosmolar
fatigue
kesadaran
Jalan napas
efektif
polidipsi
hipovolume
Intoleransi aktivitas
32
BAB III
KESIMPULAN
33
34
Daftar Pustaka
Packard
Childrens
Hospital.
available
at
{http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/
diabetes/hypo.html} diakses 7 Oktober 2013 pukul
19:00
Carrol, Robert G. 2007. Elseviers Integrated Physiology. Philadelphia: Mosby
Elsevier.
Cryer, Philip E. 2011. Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Tersedia di
<http://diabetesmanager.pbworks.com/w/page/17680209/Hypoglyce
mia%20During%20Therapy%20of%20Diabetes%20> diakses pada
Kamis 3 Oktober 2013 21.22.
Hamdy, O. 2013. Hypoglycemia. US: Harvard Medical Schoolavailable at
{http://emedicine.medscape.com/article/122122overview#aw2aab6b2b6} diakses 7 Oktober 2013 pukul 18:52
Longo, Dan L, et al. 2011. Harrisons Principles of Internal Medicine 18th
Edition. New York; McGraw-Hill Medical Publishing Divison.
Manucci et al,. 2006. Incidence and prognostic significance of hypoglycemia in
hospitalized non-diabetic elderly patients. USA: NCBI available at
{http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17167310} diakses 7 Oktober
2013 pukul 18:40
Nelms, Marcia, Kathryn P. Sucher., dan Sara Long. 2007. Nutrition Therapy and
Pathophysiology. Belmont: Thomson Learning Inc.
Silbernagl, Stefan, dan Florian Lang. 2010. Color Atlas of Pathophysiology 2nd
Ed.
New
York:
Thieme.Soemadji,
DjokoWahono.
2009.
35
Hyperosmolar
Syndrome.
Diabetes
Spectrum
2002;15(1):28-35.
7. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes.
Diabetes Care 2004;27(1):94- 102.
8. Alberti KG. Diabetic Acidosis, Hyperosmolar Coma, and Lactic Acidosis.
In: Becker KL, editor. Principles and practice of endocrinology and
metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
p.1438-49.
9. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
36
37