Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN TUTORIAL

BLOK HEMATOLOGI SKENARIO 3

KELOMPOK 10
AKMALIA FATIMAH

G0014017

ALIVIO BAGASKARA

G0014019

ARRINA ESTHESIA KARIM

G0014045

DICKY SETIAWAN

G0014067

DINDA ARIESTA

G0014071

FAUZIAH NUR SABRINA

G0014097

HARIO WIDYO SEMBODO

G0014113

INDAH ARIESTA

G0014121

LESTARI ELIZA H

G0014137

NAVALDI ALDIN MUHAMMAD

G0014177

NUR FAJRI RAHMI

G0014179

PANJI ARGA BINTARA

G0014183

VINA DYAH P

G0014235

TUTOR : YULIA SARI, SSi , MSi


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 3
Kasus 1
Seorang gadis berusia 20 tahun, datang ke dokter dengan keluhan memar-memar di
paha dan betis yang sudah berlangsung selama 2 mimggu. Gejala ini baru pertama kali
terjadi. Tadi pagi keluhan bertambah yaitu perdarahan saat gosok gigi. Pasien merasa
sebelumnya baik-baik saja, tidak terbentur, tidak demam, tidak menderita sakit yang
berat dan tidak minum obat. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan purpura dan
ekimosis pada kedua paha dan betis. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
hemoglobin 10.0 g/dL, jumlah lekosit dan hitung jenis lekosit dalam batas normal,
jumlah trombosit 40.000/uL. Dokter memberikan obat hemostatik dan rujukan ke RS
untuk pemeriksaan dan penanganan lanjutan.

Kasus 2
Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dibawa orang tuanya ke tempat praktek
dokter dengan keluhan perdarahan belum berhenti setelah dikhitan sehari sebelumnya.
Pada riwayat penyakit diperoleh keterangan bahwa sejak kecil pasien mudah memar
bahkan jika hanya mengalami trauma ringan. Salah seorang sepupu laki-laki pasien
juga mengalami penyakit yang sama. Pada pemeriksaan didapatkan darah masih
merembes di perban yang membalut penis pasien. Dokter memberi rujukan ke RS
untuk pemeriksaan skrining hemostastis dan penanganan lanjutan.

BAB II
DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA
A. Seven Jumps
1. Jump 1: Klarifikasi istilah dan konsep.
Dalam skenario ini, kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
1) Purpura: Setiap kelompok penyakit yang dicirikan oleh ekimosis atau
perdarahan kecil lain di kulit, membran mukosa atau permukaan serosa;
penyebabnya terdiri dari kelainan darah, abnormalitas vaskuler dan trauma.
Setiap dari beberapa kondisi yang menyerupai gugus purpura tradisional, yang
dapat disebabkan karena penurunan jumlah trombosit, abnormalitas trombosit,
defek vascular atau reaksi terhadap obat. (Dorland, 2012)
2) Ekimosis: bercak perdarahan yang kecil pada kulit atau membran mukosa,
lebih besar dari petechiae, yang membentuk bercak biru atau ungu yang
bundar atau tidak teraturserta tanpa elevasi. (Dorland, 2012)
3) Trombosit: adalah jenis sel darah yang bertanggung jawab untuk
penggumpalan darah normal. Trombosit umumny berdiameter 2-3 mikron,
tetapi terdapat bentuk yang besar ketika produksi trombosit meningkat.
Produksi trombosit dikendalikan oleh thrombopoietin. Trombosit bertahan
selama 8-10 hari.(kamuskesehatan.com)
Trombosit atau platelet yang terbentuk dalam megakariosit dan lepas dari
sitoplasmanya secara berkelompok. Tidak mempunyai inti dan DNA namum
mempunyai enzim aktif dan mitokondria. Berperan dalam pembekuan darah
dan ditemukan dalam darah semua mamalia. (Dorland, 2012)
Jumlah trombosit yang beredar dalam darah normalnya 150 450 x 103/uL
dan berumur 7 10 hari. Produksi trombosit dikendalikan oleh mekanisme
humoral yaitu hormon Trombopoietin. Trombopoietin disintesis oleh hati
(90%) dan ginjal. (Ariningrum, 2014)
4) Obat hemostatik: obat yang digunakan untuk menghentikan perdarahan yang
meliputi daerah yang luas. (Anonim, 2012)
Menyebabkan hemostatis, bahan yang menghentikan aliran darah, disebabkan
atau ditandai oleh stasis darah, disebut juga hematostatic. (Dorland, 2012)
5) Skrinning: Pemeriksaan pertama dari individu atau sekelompok individu yang
bertujuan untuk memisahkan individu yang sehat dari individu yang
mengalami kondisi patologik yang belum terdiagnosis atau beresiko tinggi.
(Dorland, 2012)

6) Hemostasis: Penghentian perdarahan oleh sifat fisiologis vasokonstriksi dan


koagulasi atau secara bedah. Hambatan aliran darah melalui pembuluh darah
atau menuju suatu bagian. Dorland, 2012)
Komponennya :
1. Faal Koagulasi, terdiri dari:
a. Komponen vaskuler
b. Komponen trombosit
c. Komponen koagulasi
2. Faal Fibrinolisis (Bakta, 2013)
Hemostasis terjadi melalui beberapa cara:
a. Konstriksi pembuluh darah
b. Pembentukan sumbat platelet
c. Pembentukan bekuan darah sebagai hasil pembekuan darah
d. Akhirnya terjadi pertumbuhan jaringan fibrosa kedalam bekuan darah
untuk menutup lubang pada pembuluh secara permanen. (Guyton,
2007)
7) Trauma: adalah semua jenis kekerasan yang menimpa tubuh sehingga terjadi
ganggaun pada struktur dan fungsi jaringan atau organ tubuh yang terkena,
bahkan secara sistemik dapat berdampak pada aspek fisiologis, kejiwaan, dan
kondisi social insan yang bersangkutan. (Gardjito, 2013)
2. Jump II: Menetapkan/mendefinisikan masalah.
Permasalahan dalam skenario ini yaitu sebagai berikut:
Kasus 1
1. a. Apa hubungan memar dengan perdarahan di gusi? Apakah memar merupakan jenis
perdarahan?
b. Apa saja tipe perdarahan? Apa jenis perdarahan yang terjadi pada kasus?
c. Mengapa memar terjadi secara spontan?
d. Bagaimana manifestasi perdarahan?
e. Bagaimana mekanisme perdarahan, purpura, dan ekimosis?
2. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan fisik?
3. Mengapa penurunan jumlah trombosit disertai dengan penurunan hemoglobin?
Bagaimana mekanisme pembentukan trombosit?
4. Apakah penurunan trombosit berpengaruh terhadap perdarahan?
5. Apa saja penyakit yang disebabkan karena kelainan trombosit?
6. Apa ada pengaruh usia dan jenis kelamin pada kedua kasus?
7. Apa pemeriksaan lanjutan dari kasus tersebut?
8. Apa saja jenis obat hemostatik?
9. Bagaimana perkiraan hasil skrining hemostasis?
10. Bagaimana hubungan perdarahan dan trombositopenia terhadap konsumsi obat?
Kasus 2

1. Apakah ada pengaruh keturunan pada penyakit yang diderita pasien?


2. Mengapa trauma ringan dapat menyebabkan memar? Apa kaitan mudah memar
dengan perdarahan yang dialami?
3. Apa perbedaan perdarahan traumatik dan perdarahan spontan?
4. Apa saja pengananan lanjutan dan skrining hemostasis yang dapat dilakukan?
5. Bagaimana mekanisme pembekuan darah yang normal dan abnormal?
3. Jump III: Analisis masalah.
Kasus 1
1. Pendarahan
Pendarahan atau hemoragi merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan ekstravasasi
atau keluarnya darah dari pembuluh darah. Pendarahan dapat terjadi secara tertutup, misalnya
saat terjadi peradangan dan darah keluar dari dalam pembuluh darah atau organ tubuh dan
membentuk hematoma, purpura, petechiae, dan ekimosis.
Pendarahan juga dapat terjadi secara terbuka hingga keluar tubuh seperti saat terjadi epitaksis,
menorrhagia, hematuria, hemarthrosis, hematemesis, hemoptysis, melena, dan hematochezia.
Selain itu, berdasarkan akibat, pendarahan dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Kelainan vaskuler yang terjadi setelah trauma dan menyebabkan vasokonstriksi pada
pembuluh darah arteri dan vena, serta dengan mudah memar dan pendarahan spontan.
2. Trombositopenia yang ditandai dengan pendarahan yang berkepanjangan setelah trauma
dan juga ditandai dengan munculnya purpura.
3. Gangguan koagulasi yang dapat disebabkan oleh defisiensi dari factor VIII, IX, dan XI
(Hemofilia A, B, C)
4. Defisiensi vit. C yang dapat menyebabkan pendarahan perifolikuler seperti pada rambut
karena gangguan pada pembentukan kolagen.
Pendarahan juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pendarahan yang terjadi secara
spontan dan pendarahan yang disebabkan oleh trauma.
Jenis pendarahan yang meliputi pendarahan spontan adalah:
1. Pendarahan pada kulit
i. Bintik : Purpura, petechiae
ii. Bercak : Ekimosis, hematom
2. Pendarahan pada gusi
3. Epitaksis (pendarahan pada hidung)
4. Hemoptysis (Batuk darah karena gangguan pada saluran pernapasan)
5. Hematemesis (Muntah darah karena gangguan pada saluran pencernaan)
6. Hematochezhia (Tinja yang berdarah berwarna kemerahan karena gangguan pada saluran
cerna bagian bawah)

7. Melena (Tinja yang berdarah berwarna merah kehitaman karena gangguan pada saluran
8.
9.
10.
11.
12.
13.

cerna bagian atas)


Hematuria (urine yang bercampur dengan darah)
Menorraghia (Darah menstruasi yang sangat banyak)
Metrorraghia (Pendarahan di luar periode menstruasi)
Hemarthrosis (Pendarahan pada sendi)
Pendarahan gastrointestinal
Pendarahan intracranial
Sementara itu, pendarahan yang termasuk dalam pendarahan karena trauma adalah

memar. Memar merupakan pendarahan tertutup yang terjadi sebagai akumulasi zat intrasel
disebut hemosiderin. Awalnya, pembuluh darah pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke
jaringan dermis, terutama sel darah merah. Sel darah merah kemudian akan mengalami
hemolisis sehingga terbentuk Hb dan besi. Kedua zat ini akan terakumulasi dan mengalami
perubahan. Hb akan diubah menjadi biliverdin ( biru hijau) kemudian biliverdin akan diubah
menjadi bilirubin ( cokelat.emas) sedangkan besi akan tersimpan sebagai ferritin, dimana
ferritin sendiri akan mengalami degradasi sementara membentuk hemosiderin berwarna
kuning keemasan.
Memar juga dapat terjadi secara spontan jika disebabkan karena kerusakan pada faktor
pembekuan darah contohnya turunnya jumlah trombosit hingga berada di bawah normal
sehingga menyebabkan kebocoran pada pembuluh darah dan berujung pada tidak dapat
tertutupnya kebocoran tersebut.

2.
11. Informasi yang didapat dari kasus 1:
a. Memar-memar di paha dan betis
b. Perdarahan saat gosok gigi
c. Tidak minum obat
d. Purpura dan ekimosis pada kedua paha dan betis
e. Hemoglobin 10.0 g/dL
f. Jumlah lekosit dan hitung jenis lekosit normal
g. Jumlah trombosit 40.000/L
Diagnosis: Idiopatic Trombocytopenik Purpura (ITP)
Menurut Kumar V, Cotran RS, Robbins SL (2013) ITP adalah suatu penyakit
autoimun. Sebagian besar pasien adalah perempuan dewasa berusia antara 20 dan
40 tahun. Immunoglobulin antitrombosit yang ditujukan pada kompleks IIb/ IIIa
atau Ib/IX, membrane trombosit dapat ditemukan pada pasien ITP. Autoantibodi
dapat melekat ke megakariosit sehingga mengganggu produksi trombosit. Secara
histologis,

sumsum

tulang

mungkin

tampak

memperlihatkan peningkatan jumlah megakariosit.

normal,

tetapi

biasanya

Penatalaksanaan
1. Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan
trombosit
a. Terapi kortikosteroid
i. Untuk menekan aktivitas mononuclear phagocyte (makrofag) sehingga mengurangi destruksi
trombosit
ii. Mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit
iii. Menekan sintesis antibodi
Preparat yang diberikan prednisone 60-80 mg/hari kemudian diturunkan
perlahan-lahan untuk mencapai dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan
sebaiknya kurang dari 15 mg/hari.
b. Jika dalam 3 bulan tidak memberi respons pada kortikosteroid (trombosit
<30 x 109 /l) atau perlu dosis pemeliharaan yang tinggi maka diperlukan:
i.

Splenektomi

ii.

Obat imunosupresif lain:

vincristine, cyclophosphamide, atau

azathioprim
2. Terapi suportif, terapi untuk mengurangi pengaruh trombositopenia
a. Pemberian androgen (danazol)
b. Pemberian immunoglobulin dosis tinggi untuk menekan fungsi makrofag
c. Transfusi konsentrat trombosit hanya dipertimbangkan pada penderita
dengan risiko perdarahan major (Bakta, 2012)
Penatalaksanaan yang lain dapat dilakukan :
a. Terapi awal PTI (standar)
i.

Prednison atau Metil Prednisolon


Terapi awal PTI dengan prednison atau metil prednisolon dosis 1,0
1,5 mg/kgBB/hari selama dua minggu. Respons terapi terjadi dalam
2 minggu dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila
respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian
tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatann AT 30.000/L,
AT 50.000/L setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan.
Tidak berespon bila peningkatam AT <30.000/L, AT 50.000/L
setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap >50.000/L

setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan


trombositopenia berat (AT <10.000/L), setelah mendapat terapi
prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi .
ii.

Immnunoglobulin Intravena
Immnunoglobulin intravena (Ig IV) dosis 1g/kg/hari selama 2-3 hari
berturut turut digunakan apabila terjadi perdarahan internal, saat AT
<5.000/L, meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam
beberapa hari atau adanya purpura yang progresif. Hampir 80%
penderita berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun
perlu pertimbangan biaya. Mekanisme kerja Ig IV pada PTI meliputi
blockade fc reseptor, antoidiotipe antibodi pada Ig IV yang
menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi
dengan imunosupresi.

iii.

Splenektomi
Splenektomi untuk terapi PTI dewasa telah dipertimbangkan
sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon dengan terapi
kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menerus. Efek
splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkam
tempat-tempat antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat
merusak dan meghilangkan produksi antibodi atau trombin.

b. Penanganan relaps pertama


Terapi dimulai saat AT <30.000/L. Tidak ada konsensus yang
menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin antiD sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk
penderita Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau immunoglobulin antiD sebagai terappi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan
luasnya perdarahan mucocutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi
penderita yang mempunyai AT 30.000/L sampai 50.000/L bergantung
pada ada tidaknya factor resiko perdarahan yang menyertai dan ada
tidaknya resiko tinggi perdarahan. Pada AT >50.000/L perlu diberi IgIV
sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Pada
penderita PTI kronik dan AT <30.000/L IgIV atau metil prednisolon

dapat membantu meningkatkan AT segera sebelum splenektomi. Untuk


terapi PTI kronik pasien AT <30.000/L, danazol atau dapson sering
dikombinasi dengan prednisone dosis rendah. IgIV dan anti-D
immunoglobulin umumnya sebagai cadangan untuk PTI berat yang tidak
respon dengan terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan
splenektomi kemudian terapi diteruskan atau dosis diturunkan dan
akhirnya dihentikan pada penderita PTI kronik dengan AT 30.000/mL atau
lebih, bergantung pada intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek
samping, risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan
penderita. Splenektomi perlu bagi orang yang tidak respon dengan
kortikosteroid maupun Ig IV dan immnuglobulin anti-D.
c. Terapi PTI kronik refrakter
Pasien refrakter (25% - 30% pada PTI) didefinisikan sebagai
kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta
membutuhkan terapi lebh lanjut karena AT rendah atau terjadi perdarahan
klinis. Kelompok ini memiliki respon terapi rendah, morbiditas terhadap
penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%.
Dikatakan PTI kronik refrakter apabila:
i.

PTI menetap lebih dari 3 bulan

ii.

Penderita gagal respon dengan splenektomi

iii.

AT <30.000/L

d. Pendekatan terapi konvensional lini kedua


Untuk penderita dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik, ada
beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan:
i.

Steroid dosis tinggi

ii.

Ig IV dosis tinggi

iii.

Anti-D IV

iv.

Alkaloid vinka

v.

Danasol

vi.

Obat imunosupresif dan kemoterapi kombinasi

vii.

Dapson

e. Pendekatan penderita yang gagal terapi standar dan terapi lini kedua

Sekitar 25% PTI refrakter gagal berespon dengan terapi lini


pertama atau kedua, dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya
mengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk
perdarahan serta masalah penanganannya. Bagi mereka yang gagal
dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas,
meliputi : interferon-a, anti-CD20, Campath-1H, Mycophenolate mofetil,
protein A columns, dan terapi lainnya. (Purwanto, 2009)
12. Obat hemostatik ialah zat atau obat yang digunakan untuk menghentikan perdarahan.
Obat-obat ini diperlukan untuk mengatasi perdarahan yang meliputi daerah yang luas.
Hemostatik dibedakan menjadi dua, yaitu hemostatik lokal dan hemostatik sistemik.
1. Hemostatik Lokal
Yang termasuk dalam golongan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa
kelompok berdasarkan mekanisme hemostasisnya
a. Absorbable hemostatik
Menghentikan perdarahan dengan pembentukan suatu bekuan buatan
atau memberikan jaringan serat-serat yang mempermudah pembekuan
bila diletakkan langsung pada permukaan yang berdarah. Contoh dari
absorbabke gemostatik, yaitu oksisel (oxidized celulose), surgi gel
(oxidized regenerated cellulose), human fibrin foam, dan spons gelatin.
b. Astringen
Zat ini bekerja lokal dengan mengendapkan protein darah sehingga
perdarahan dapat dihentikan. Contoh bentuk astringen adalah asam tanat
(tannic acid).
c. Koagulan
Pada penggunaan lokal menimbulkan hemostasis dengan dua cara, yaitu
dengan mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin dan secara
langsung menggumpalkan fibrinogen.
d. Vasokonstriktor
Epinefrin dan norepinefrin berefek vasokonstriksi, dapat digunakan
untuk menghentikan perdarahan kapiler suatu permukaan.
e. Ethamsylate
Senyawa yang dapat menstabilkan membran yang menghambat enzim
spesifik postglandin dalam proses sintesanya. Obat hemostatik ini juga
digunakan pada waktu operasi melahirkan sebaik operasi lain dengan
kondisi hemoragik lainnya.

2. Hemostatik Sistemik
Dengan memberikan transfusi darah, seringkali perdarahan dapat dihentikan
dengan segera. Hal ini terjadi karena penderita mendapatkan semua faktor
pembekuan darah yang terdapat dalam darah transfusi. Keuntungan lain dari
transfusi adalah perbaikan volume sirkulasi. Perdarahan yang disebabkan
oleh defisiensi faktor pembekuan darah tertentu dapat diatasi dengan
mengganti/memberikan faktor pembekuan yang kurang. Obat yang termasuk
a.

kedalam golongan hemostatik sistemik antara lain:


Aprotinin, sebagai antihemostatik diindikasikan untuk :
1. Pengobatan pasien dengan resiko tinggi kehilangan banyak darah
selama bedah buka jantung dengan sirkulasi ekstrakorporal.
2. Pengobatan pasien yang konservasi darah optimal selama bedah
buka jantung merupakan prioritas absolut.
b. Carbazochrome adalah merupakan obat hemostatik yang diindikasikan

1.

untuk:
Perdarahan karena penurunan resistensi kapiler dan meningkatnya

permeabilitas kapiler.
2.
Perdarahan dari kulit, membran mukosa dan internal.
3.
Perdarahan sekitar mata, perdarahan nefrotik dan metroragia.
4.
Perdarahan abnormal selama dan setelah pembedahan karena
menurunnya resistensi kapiler.
c. Asam traneksamat merupakan obat hemostatik yang merupakan
penghambat bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat
plasmin. Oleh karena itu dapat membantu mengatasi perdarahan berat
akibat fibrinolisis yang berlebihan.
d. Kompleks faktor IX, sediaan ini mengandung faktor II, VII, IX dan X,
serta sejumlah kecil protein plasma lain dan digunakan untuk
pengobatan hemofilia B, atau bila diperlukan faktor-faktor yang terdapat
dalam sediaan tersebut untuk mencegah perdarahan.
e. Vitamin K dan turunannya sebagai obat hemostatik, vitamin K
memerlukan waktu untuk dapat menimbulkan efek, sebab vitamin K
harus merangsang pembentukan faktor-faktor pembekuan darah terlebih
dahulu.

f. Faktor antihemofilik (faktor VIII) dan cryprecipitated antihemophilic


factor, kedua zat ini bermanfaat untuk mencegah atau mengatasi
perdarahan pada penderita hemofilia A dan pada penderita yang
darahnya mengandung inhibitor faktor VIII.
g. Desmopresin merupakan vasopresin sintetik yang dapat meningkatkan
kadar factor VIII dan vWf untuk sementara. Peningkatan kadar faktor
pembekuan tersebut paling besar terjadi pada 1-2 jam dan menetap
sampai dengan 6 jam. Pemberian lebih sering dari tiap 2 atau 3 hari
dapat menurunkan respons terapeutik. Obat ini diindikasikan untuk
hemostatik jangka pendek pada pasien dengan defisiensi factor VII yang
ringan sampai sedang dan pada pasien penyakit von Willebrand tipe 1.
Efek samping antara lain sakit kepala, mual, flushing, sakit dan
pembengkakak pada tempat suntikan. Juga dilaporkan terjadinya
peningkatan

tekanan

darah

yang

ringan

dan

harus

hati-hati

penggunaannya pada pasien hipertensi dan penyakit arteri koronaria.


Obat ini sering digunakan IV dengan dosis 0.3 ug secara infus dalam
waktu 15-30 menit.
13. Pada kasus diatas dilakukan skrining hemostasis, skrining hemostasis yang dapat
dilakukan dan perkiraan hasilnya, antara lain:
a. PT (Masa Protrombin), untuk menilai jalur pembekuan ekstrinsik dan biasa.
Nilai normal adalah 11-16 detik. Nilai akan memanjang pada kasus defisiensi
faktor VII, X, dan fibrinogen, DIC, terapi dikumarol berlebihan, dan defisiensi
vitamin K.
b. APTT (Activated Partial Tromboplastin Time), untuk menilai jalur pembekuan
intrinsik dan biasa. Nilai normal adalah 26-42 detik. Nilai akan memanjang
pada kasus defisiensi faktor VIII-XII, dan fibrinogen, DIC, terpapi
antikoagulan, dan defisiensi vitamin K.
c. Bleeding time, untuk menilai fungsi trombosit dan vaskuler. Normalnya 1-6
menit. Nilai akan memanjang pada kasus trombositopenia, trombositopati, von
Willebrands disease, penggunaan aspirin, dan terapi antikoagulan.
d. Hitung trombosit, untuk menilai konsentrasi trombosit dalam darah. Harga
normal adalah 150.000-400.000/L darah. Nilai akan menurun pada ITP dan
keganasan

sumsum

mieloproliferatif.

tulang,

dan

naik

pada

permulaan

gangguan

14. Terdapat beberapa obat yang berpengaruh terhadap proses perdarahan, seperti
golongan antiplatelet (Anti-Trombositik), yaitu obat yang berfungi untuk mengurangi
agregasi trombosit serta mencegah pembentukan trombus. Contoh: Aspirin,
Tienopiridin, Gp IIB/IIIA Antagonist.
Kasus 2
1. Terdapat beberapa penyakit yang didapatkan secara herediter, antara lain:
a. Hemofilia A
Ditandai karena penderita tidak memiliki zat anti hemofili globulin (faktor
VIII). Kira-kira 80 % dari kasus hemophilia adalah tipe ini.Seseorang mampu
membentuk antihemophilia globulin (AHG) dalam serum darahnya karena ia
memiliki gen dominan H sedang alelnya resesif tidak dapat membentuk zat
tersebut. Oleh karena gennya terangkai X maka perempuan normal dapat
mempunyai genotif H. Perempuan hemophilia mempunyai genotif hh,
sedangkan laki-laki hemophilia h.
b.

Hemofilia B atau penyakit Christmas


Penderita tidak memiliki komponen plasma tromboplastin (KPT: faktor IX).
Kira-kira 20% dari hemophilia adalah tipe ini.

c.

Hemofilia C
Penyakit hemophilia C tidak disebabkan oleh gen resesif kromosom X
melainkan oleh gen resesif yang jarang dijumpai dan terdapatnya pada
auotosom. Tidak ada 1% dari kasus hemophilia adalah tipe ini. Penderita tidak
mampu membentuk zat plasma, tromboplastin anteseden (PTA). Merupakan
perdarahan yang disebabkan kekurangan faktor XI yang diturunkan secara
autosomal recessive padea kromosom 4q32q35. (Defila, 2011)

d.

Von Willebrand Disease


Von Willebrand Disease adalah penyakit genetik yang dapat diwariskan dari
kedua orang tua secara autosomal dominan. Ini mempengaruhi pria dan wanita
sama. Seorang pria atau wanita dengan VWD memiliki kesempatan 50% lulus
gen pada anak nya. Tidak ada asosiasi ras atau etnis dengan gangguan tersebut.
Orang dengan VWD biasanya mudah memar, sering mengalami epiktasis,
mudah berdarah setelah pencabutan gigi, tonsilektomi, atau operasi lainnya.
Perempuan bisa mengalami peningkatan perdarahan menstruasi.

Jika dilihat dari riwayat keluarga pasien, dimana pasien memiliki sepupu laki-laki
yang juga pernah mengalami penyakit yang sama, sehingga dapat dikatakan penyakit

yang dialami pasien adalah penyakit herediter. Hal ini juga didukung dengan jenis
kelamin pasien dan sepupunya, yaitu laki-laki, yang semakin menjurus ke penyakit
hemofilia A. Hemofilia A merupakan jenis hemofilia terbanyak sebesar 80% dan
diturunkan kepada anak laki-laki.
2. Hemofilia diklasifikasikan berdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan (F VIII
dan F IX) dalam plasma. Kadar faktor pembekuan normal sekitar 0,5-1,5 U/dl (50150%). Berdasarkan hal tersebut hemofilia diklasifikasikan menjadi:
a. Hemofilia berat, kadar faktor pembekuan <1%. Pada hemofilia berat dapat
terjadi perdarahan spontan atau akibat trauma ringan (trauma yang tidak
berarti).
b. Hemofilia sedang, kadar faktor pembekuan 1-5%. Pada hemofilia sedang
perdarahan terjadi akibat trauma yang cukup kuat.
c. Hemofilia ringan, kadar faktor pembekuan 5-30%. Hemofilia ringan jarang
sekali terdeteksi kecuali pada pasien yang mengalami taruma cukup berat
seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris dan jatuh terbentur (sendi lutut, siku,
dan lain-lain)
Pada skenario pasien sangat mudah memar bahkan jika hanya mengalami trauma
ringan. Jika dilihat dari jenis hemofilia, maka pasien mengalami hemofilia berat. Pada
hemofilia berat sangat sedikit faktor pembekuan yang dimiliki penderitanya, sehingga
trauma sedikit saja sudah menyebabkan perdarahan spontan pada pasien.
3. Perdarahan traumatik adalah perdarahan yang disebabkan karena adanya benturan
atau perlukaan.
Perdarahan non-traumatik (spontan) adalah perdarahan yang disebabkan oleh suatu
penyakit perdarahan, seperti hemofilia, trombositopenia, dan septikemia.
4. Pemeriksaan skrining pada hemostastis:
1) Tes Penyaring (Skrinning)
a. Tes untuk menilai pembentukan hemostatic plug :
i. Hitung trombosit (platelet count)
ii. Apusan darah tepi
iii.
Bleeding time
iv. Tes tourniquet (Rumple-Leede)
b. Tes untuk menilai pembentukan thrombin terdiri atas :
i. APTT (activating plasma thromboplastin time) menilai intrinsic pathway
ii. PPT (plasma prothrombin time) menilai extrinsic pathway
c. Tes untuk menilai reaksi thrombin-fibrinogen terdiri atas:
i. Thrombin time
ii. Stabilitas bekuan dalam salin fisiologik dan 5 M urea
d. Tes parakoagulasi

2) Tes Khusus
Tes Khusus lanjutan, yaitu tes untuk mengetahui penyebab kelainan faal
hemostasis tersebut. Tes ini dikerjakan sesuai petunjuk tes penyaring :
a. Tes faal trombosit
b. Tes Ristocetin
c. Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)
d. Pengukuran alpha-2 antiplasmin
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus 2:
Penatalaksanaan Hemofilia
a. Terapi suportif
i. Menghindari luka atau benturan
ii. Merencanakan suatu tindakan operasi dan mempertahankan kadar aktivitas
faktor pembekuan 30-50%
iii. Mengatasi perdarahan akut dengan metode Rest, Ice, Compress, dan
Elevation (RICE)
iv. Memberikan kortikosteroid sebagai anti-inflamasi setelah serangan akut
hemartrosis, biasanya diberikan prednison dengan dosis 0,5-1 mg/kg BB.
v. Memberikan analgetik pada hemartrosis yang nyeri hebar
vi. Melakukan rehabilitasi medik bagi arthritis hemofilia, misalnya dengan
latihan aktif/pasif, terapi dingin dan panas (hati-hati), dan sebagainya.
i.

b. Terapi pengganti faktor pembekuan


Konsentrat F VIII atau F IX
Untuk pengganti Faktor VIII, diberikan konsentrat F VIII yang telah
dilemahkan virusnya. Sedangkan pada pengganti Faktor IX, ada dua jenis
obat. Pertama, Prothrombin Complex Consentration (PCC) yang berisi F
II, VII. IX, X. Kedua, Purified Fix Concentrates yang berisi F IX saja.
PCC menyebabkan trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena
tersebar. Waktu paruh dari F VIII adalah 12 jam, sementara waktu paruh F
IX adalah 24 jam. Volum distribusi dari F IX adalah dua kali dari F VIII.
Kebutuhan F VIII dan F IX dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Volume Plasma (VP) = 40 ml/kg BB x BB (kg)
F VIII/ F IX yang diinginkan (U) =
{VP x [ kadar yang diinginkan (%) kadar sekarang (%) ] }/ 100
2. F. VIII yang diinginkan (U) =
BB (kg) x kadar yang diinginkan (%) / 2
F IX yang diinginkan (U) =
BB (kg) x kadar yang diinginkan (%)
Metode penghitungan alternatif lain adalah F VIII meningkatkan
aktivitasnya 2% dalam 12 jam, sementara F IX meningkatkan
aktivitasnya 1% dalam 24 jam.

ii.

Kriopresipitat Aktif
Komponen darah non seluler, mengandung F VIII, fibrinogen, FVW.
Diberikan bila F VIII tidak ditemukan. Satu kantung berisi 80-100 U F
VIII, sementara 100 U F VIII meningkatkan F VIII 35%. Efek samping
yang biasanya timbul adalah reaksi alergi dan demam.

iii.

1-deamino 8-D Arginin Vasopresin (DDAVP) atau Desmopresin


Desmopresin merangsang peningkatan kadar aktivitas F VIII sampai empat
kali namun hanya bersifat sementara. Penggunaan obat ini dianjurkan
untuk hemofili A ringan dan sedang dan pada karier perempuan
simtomatik. Pemberian melalui intravena dengan dosis 0,2 Desmopresin
merangsang peningkatan kadar aktivitas F VIII sampai empat kali namun
hanya bersifat sementara. Penggunaan obat ini dianjurkan untuk hemofili
A ringan dan sedang dan pada karier perempuan simtomatik. Pemberian
melalui intravena dengan dosis 0,3 mg/kg BB dalam 30-50 NaCl 0,9%
selama 15-20 menit, waktu paruhnya 8 jam dengan efek puncak pada 3060 menit. Sudah ada juga pemberian melalui intranasal. Untuk pencegahan
perdarahan diberikan setiap 12-24 jam. Efek samping yang biasanya
terjadi adalah takikardia, flushing, trombosis (sangat jarang), hiponatremia,
angina pada pasien PJK.

iv.

Antifibrinolitik
Antifibrinotik biasanya diberikan pada pasien hemofilia B untuk
menstabilkan bekuan fibrin dengan cara menghambat fibrinolisis.
Biasanya diberikan untuk perdarahan mukosa mulut akibat ekstraksi gigi
karena saliva banyak mengandung enzim fibrinolitik.
1. Epsilon Aminocaproic Acid (EACA) diberikan melaui oral atau
intravena dengan dosis awal 200 mg/ kg BB, 100 mg/kg BB setiap 6
jam dengan pemberian maksimal 5 gram.
2. Asam traneksamat dengan dosis 25 mg/kg BB dengan pemberian
maksimal 1,5 gram, diberikan melalui oral atau intravena dengan
dosis 10 mg/kg BB (maksimal 1 gram) setiap 8 jam. Atau bisa juga
dilarutkan 10% bagian dengan cairan parenteral, terutama salin
normal.

c. Terapi gen
Penelitian dengan menggunakan vektor retrovirus, adenovirus, dan adenoassociated virus. Saat ini sedang dilakukan penelitian invivo dengan

memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen antihemofili ke dalam sel


hati. Gen F VIII lebih sulit karena lebih besar ukurannya bila dibandingkan
dengan gen F IX, tetapi saat ini para ahli telah berhasil memindahkan plasmidbased F VIII secara ex vivo ke fibroblas. (Sudoyo, 2009)
Penatalaksanaan von Willebrands disease
VWF berkonsentrasi tinggi diberikan pada pasien dengan kadar VWF sangat
rendah. Faktor VIII konsentrat juga dapat diberikan untuk koreksi yang lebih
cepat. (Hoffbrand, 2006)
Secara umum terapi meliputi pemberian obat, transfusi darah, dan
menghindari keadaan yang dapat menyebabkan rudapaksa atau perdarahan
a. Pengelolaan segera
Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama tampak sebagai
komplikasi penyakit akut atau pembedahan. Beberapa faktor pemberat dapat
menentukan beratnya tendensi perdarahan. Pada keadaan demikian, diagnosis
yang tepat dapat ditunda, namun tindakan disesuaikan dengan sebanyak mungkin
faktor pendorong yang potensial. Daftar ini termasuk:
i. Menghentikan obat yang menghambat fungsi trombosit
ii. Secara empiris memberikan FVW, atau
iii. Transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya perdarahan
b. Pengelolaan jangka panjang
Kelainan fungsi trombosit harus didasari diagnosis yang tepat. Pasien
dengan kelainan kongenital harus dinasihati untuk menghindari obat yang
i.

memperberat kelainan fungsi dan menyebabkan perdarahan


Aspirin dan analgesik non steroid adalah offender primer, pasien pasien PVW
menunjukkan pemanjangan bermakna BT dengan pemberian aspirin dan

ii.
iii.

merupakan risiko lebih besar terhadap perdarahan klinis


Pasien demikian juga harus benar benar diajari tentang sifat kelainan mereka
Harus membawa serta identifikasi atau memakai gelang peringatan (warning)
Protokol ini dapat bermanfaat sebagai penunjuk untuk terapi transfusi yang
memadai pada keadaan darurat. Sebagai prinsip umum, sifat kelainan fungsi akan
menuntun pada pilihan pengobatan. (Sugianto, 2009)
Diagnosis Banding
Tabel 1. Diagnosis banding Hemofilia A B Penyakit von Willebrand

Hemofilia A

Hemofilia B

Pewarisan
Lokasi perdarahan

X-linked recessive
Sendi, otot, pasca

X-linked recessive
Sendi, otot, pasca

Von Willebrand
Disease
Autosomal dominan
Mukosa, kulit post

utama

trauma atau

trauma atau

trauma operasi

Jumlah trombosit
Waktu perdarahan
PPT
aPTT
F VIII C
F VIII AG
F IX
Tes Ristosetin

operasi
Normal
Normal
Normal
Memanjang
Rendah
Normal
Normal
Normal

operasi
Normal
Normal
Normal
Memanjang
Normal
Normal
Rendah
Normal

Normal
Memanjang
Normal
Memanjang / normal
Rendah
Rendah
Normal
Terganggu

5. Proses koagulasi dapat dimulai melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik (extrinsic
pathway) dan jalur intrinsik (intrinsic pathway). Jalur ekstrinsik dimulai jika terjadi
kerusakan vaskuler sehingga faktor jaringan (tissue factor) mengalami pemaparan
terhadap komponen darah dalam sirkulasi. Faktor jaringan dengan bantuan kalsium
menyebabkan aktivasi faktor VII menjadi FVIIa. Kompleks FVIIa, tissue factor dan
kalsium (disebut sebagai extrinsic tenase complex) mengaktifkan faktor X menjadi
FXa dan faktor IX menjadi FIXa. Jalur ekstrinsik berlangsung pendek karena
dihambat oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Jadi jalur ekstrinsik hanya
memulai proses koagulasi, begitu terbentuk sedikit thrombin, maka thrombin akan
mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa lebih lanjut, sehingga proses koagulasi
dilanjutkan oleh jalur intrinsik. Jalur intrinsik dimulai dengan adanya contact
activation yang melibatkan faktor XII, prekalikrein dan high molecular weigth
kinninogen (HMWK) yang kemudian mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa. Akhir-

akhir ini peran faktor XII, HMWK dan prekalikrein dalam proses koagulasi
dipertanyakan. Proses selanjutnya adalah pembentukan intrinsic tenase complex yang
melibatkan FIXa, FVIIIa, posfolipid dari PF3 (trombosit factor 3) dan kalsium.
Intrinsic tenase complex akan mengaktifkan faktor X menjadi FXa. Langkah
berikutnya adalah pembentukan kompleks yang terdiri dari FXa, FVa, posfolipid dari
PF3 serta kalsium yang disebut sebagai prothrombinase complex yang mengubah
prothrombin menjadi thrombin yang selanjutnya memecah fibrinogen menjadi fibrin.

Gambar 1. Cascade Koagulasi

BAB III

SIMPULAN

Pada skenario ketiga blok Hematologi kami dihadapkan pada kedua kasus yang
berbeda. Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil diskusi, ditemukan bahwa pasien kasus
pertama kemungkinan menderita Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). ITP
merupakan suatu kelainan akibat trombositopenia yang sebagian besar disebabkan oleh
proses imun. Jumlah trombosit pada penderita menurun disebabkan oleh trombosit diikat oleh
antibodi, terutama IgG. Pasien diberikan obat hemostatik untuk menghentikan perdarahan
dan dokter merujuk pasien ke rumah sakit untuk penetapan diagnosis lebih lanjut.
Penanganan ITP lebih lanjut dengan mengonsumsi metil-prednisolon yang berguna
mengurangi proses imun sehingga mengurangi destruksi trombosit.
Berdasarkan hasil diskusi, kami belum dapat memutuskan diagnosis pasti untuk kasus
kedua. Namun, kami dapat mengambil dua kemungkinan diagnosis; yaitu hemofilia dan
penyakit Von Willebrand. Untuk mengetahui diagnosis pasti, harus dilakukan pemeriksaan
laboraturium berupa: Rumple leeds test, Platelet count, Bleeding Time (BT), Prothrombin
Time (PT), serta Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Pada hemofilia, hanya
APTT yang memanjang sedangkan yang lainnya normal. Pada penyakit Von Willebrand;
APTT, BT, dan Platelet count dapat menunjukkan hasil normal atau memanjang.

BAB IV

SARAN

Saran untuk kelompok tutorial kami, tutorial berjalan dengan baik, namun masih perlu
lagi untuk meningkatkan kedisiplian waktu. Masih ada step-step yang memakan waktu terlalu
lama sehingga membuat diskusi tutorial kekurangan waktu di akhir. Keaktifan setiap anggota
kelompok perlu ditingkatkan lagi, agar setiap anggota dapat mengungkapkan pendapatnya.
Peran ketua sangat dibutuhkan di sini, karena hendaknya ketua akan bisa memacu temanteman yang mungkin belum berpendapat agar mengutarakan pendapatnya. Dalam mencari
bahan kami juga harus mengingat untuk mencari bahan yang utuh tidak sepotong-sepotong
saja dengan sumber yang jelas.
Saran untuk tutor, Tutor sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Beliau mengarahkan
kami agar tutorial berjalan sebagaimana mestinya. Beliau memberikan feedback dan
pancingan-pancingan jika tutorial menemui kebuntuan serta mengarahkan tentang hal-hal apa
saja yang harus kami kuasai di dalam skenario tersebut. Beliau membagikan informasi dan
pengalaman beliau yang berguna bagi kami agar menggali lebih luas lagi dalam berdiskusi.
Saran untuk pihak KBK (pembuat skenario), skenario ketiga ini cukup menarik dengan
dua kasus untuk diagnosis banding. Banyak sekali bahan yang bisa untuk dibahas. Semoga ke
depan skenario yang dibuat lebih dapat memacu mahasiswa untuk mencari tahu hal-hal yang
menjadi Learning Objective di blok-blok selanjutnya. Demikian saran dari kami, semoga
dalam diskusi tutorial selanjutnya bisa lebih berjalan lancar dan disiplin dalam penggunaan
waktu dapat lebh kami tingkatkan lagi. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. (2007) Balai
Penerbit FK UI. Jakarta.
Kasper, Braunwald, Fauci: Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed, 2005,
McGraw Hill.
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Purwanto I, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Purpura Trombositopenia Imun. Jakarta:
Interna Publishing. pp: 1169-1172.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL (2013). Buku Ajar Patologi, Volume 2 Edisi 7.
Jakarta: EGC, p:502
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Baldy, Catherine M. Gangguan Koagulasi dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M.
2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC.
Suharti, C. Dasar-dasar Hemostasis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai