Anda di halaman 1dari 26

Grand Case

DEEP VEIN TROMBOSIS (DVT)

Oleh:

Zikra Fadhilah 1840312008

Pembimbing:

dr. Vendry Rivaldy, Sp.B (K)BV

BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler


termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi.1 Menurut Robert Virchow,
terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah
dan komponen pembekuan darah (Virchow triat).Trombus dapat terjadi pada arteri atau
pada vena, trombus arteri di sebut trombus putih karena komposisinya lebih banyak
trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi
pada aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam
jaringan fibrin sehingga berwarna merah. 1

Dikarenakan trombus atau bekuan darah ini terbentuk pada vena, arteri, jantung
atau mikrosirkulasi sehingga dapat menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau
emboli. Di Amerika Serikat, trombosis merupakan penyebab utama kematian dengan
angka kematian sekitar 2 juta penduduk setiap tahun akibat trombosis vena, arteri, atau
komplikasinya. Angka kejadian deep vein thrombosis (trombosis vena dalam/ DVT)
berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia diatas 70 tahun berkisar 200
per 100.000 penduduk.2

Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah bentuk dari gumpalan darah di vena dalam.
Biasanya terjadi pada vena dalam kaki ( seperti vena femoralis dan vena poplitea) atau
panggul 3, yang mana dapat memblok sebagian atau seluruh aliran darah pada pembuluh
darah. Hal ini dapat mengakibatkan risiko pembekuan darah yang lebih lanjut dan juga
menyebabkan komplikasi yang sangat serius. DVT adalah penyebab kematian utama
dan umum yang masih dapat dicegah. DVT bukan suatu penyakit yang jarang terjadi.
Sekitar 900.000 orang didiagnosis dengan sebuah VTE (Venous Thromboembolic) per
tahun, dengan satu dari 20 orang Amerika mengalami DVT selama masa hidupnya. Dan
satu per tiga pasien DVT akan berkembang menjadi emboli paru.4

Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli dan
dapat menyumbatan pada arteri di dalam paru-paru (emboli paru).Pada kasus-kasus

2
yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap
trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan
terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deep Vein Thrombosis (DVT)

2.1.1 Definisi DVT

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada


pembuluh darah vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan perivena. 5

2.1.2 Etiologi DVT

DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas


dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow.6 Meskipun
DVT umumnya timbul karena adanya etiologi tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa
etiologi yang jelas yang disebut juga dengan idiopathic DVT.7

2.1.4 Epidemiologi DVT

DVT menyerang jutaan orang di seluruh dunia dan menyebabkan beberapa


ratus ribu kematian setiap tahun di Amerika Serikat. Insiden DVT di Amerika Serikat
adalah 159 per 100 ribu atau sekitar 398 ribu per tahun. Tingkat fatalitas kasus deep
vein thrombosis, terutama karena kasus pulmonary embolism yang fatal, berkisar dari
1% pada pasien-pasien muda sampai 10% pada pasien yang lebih tua, dan tertinggi pada
merekadengan penyakit keganasan.8

2.1.3 Faktor Risiko DVT

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :9

1. Defisiensi Anti trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di
netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2. Tindakan operatif

4
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi
dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.

Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena,


sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif,
adalah sebagai berikut :10

 Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada


waktu di operasi.
 Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preoperatif, operatif dan
post operatif.
 Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
 Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di
daerah tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan


Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis
vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.Pada
permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya
plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan
koagulasi darah. 11

4. Infark miokard dan payah jantung


Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan
jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah
dan adanya statis aliran darah karena istirahat total.Trombosis vena yang mudah
terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi
karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.


Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan kontrasepsi oral

5
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya
faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis
vena.

7. Obesitas dan varices


Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan
aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo plastin-
like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas koagulasi
meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik
dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis.
Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis
2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa.12

2.1.4 Patogenesis DVT

Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi
akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Pada
abad ke-18 Hunter mengajukan hipotesis bahwa trombosis vena disebabkan oleh
penyumbatan vena oleh bekuan darah, dan pada paruh kedua abad ke-19, Virchow
mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar terbentuknya thrombus, yang dikenal
sebagai Triad Virchow. Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang
berperan dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan
dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.13

Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :9


1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena
merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat menimbulkan
gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombin.

6
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,
melalui :
- Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
- Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan
jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang
utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi
seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin,
yang dapat mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosis
akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan
mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan
tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk
berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan
mengaktifkan sistem pembekuan darah.

3. Perubahan daya beku darah


Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan
darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena banyak terjadi
pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper
koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan
kelainan plasminogen.

Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus vena terutama terbentuk
di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar, sedikit
trombosit dan komponen leukosit yang terikat pada fibrin. Kelainan biasanya dimulai
dengan proses trombosis yang murni, baru kemudian dilanjutkan dengan inflamasi
sebagai reaksi sekunder.

7
DVT biasanya terbentuk pada daerah dengan aliran darah lambat atau terganggu
di sinus vena besar dan kantung ujung katub vena dalam tungkai bawah atau segmen
vena yang terpapar oleh trauma langsung. Pembentukan, perkembangan dan disolusi
trombus menggambarkan keseimbangan antara efek rangsangan trombogenik dan
berbagai mekanisme protektif.

2.1.5 Gejala Klinis DVT


Anamnesis :13
• Kaki bengkak & nyeri
• RPD & RPK: pernah terdapat DVT atau thrombosis
• Adanya faktor resiko

Pemeriksaan Fisik :13


• Edema tungkai unilateral: iliaka, femoral, popliteal. Banyak di ekstremitas
bawah
• Eritem
• Warmth/hangat
• Varises
• Peningkatan turgor jaringan
• Vena kolateral

8
• Tanda houman (+): nyeri & peningkatan resistensi ketika kaki yang edema
dorsofleksi

Gambar 2.1 Manifestasi klinik DVT

2.1.6 Diagnosis DVT


Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan DVT
adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal
penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya
riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting.13

Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan.
Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat
diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif (sakit di calf atau di
belakang lutut saat dalam posisi dorso flexi.13

9
Kemungkinan klinis DVT dapat dinilai menggunakan Wells Score seperti yang
tercantum pada gambar berikut. 14

Ada beberapa pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis


trombosis vena dalam, yaitu:4

1. D-dimer test
D-dimer digunakan untuk mendeteksi degradasi fibrin dalam darah, sering kali
digunakan sebagai tes rapid dini untuk memastikan adanya VTE. Penelitian klinis
didapati mendukung hipotesa bahwa D-Dimer (-) menyingkirkan kemungkinan
terjadinya DVT pada pasien dengan resiko rendah hingga sedang dan skoring wellsnya
kurang dari 2. Pasien yang positif D-Dimernya dan pasien dengan resiko tinggi (skoring
wells>2) dianjurkan untuk dilakukan tes diagnostik yang lebih terperinci. Perlu
ditekankan bahwa tes D-Dimer ini rendah spesifisitasnya terhadap DVT, jadi tes ini
Cuma boleh menyingkirkan kemungkinan terjadinya DVT daripada untuk
mengkonfirmasi diagnosa DVT.

10
2. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis
vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri
dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya. Prinsip
pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan
akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke V
iliaca.

3. Compressive USG Duplex


Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya
trombosis vena dapat di deteksi dengan USG. Pemeriksaan ini memberikan hasil
sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus
trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain. Tes ini
merupakan tes yang paling berguna dan obyektif dalam mendiagnosis
DVT.

2.1.7 Penatalaksanaan DVT

Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah


pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang

11
diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.Tujuan pengobatan
adalah :10

 Menghentikan bertambahnya trombus


 Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai
 Melisiskan atau membuang trombus dan mencegah disfungsi vena sindrom
pasca trombosis
 Mencegah terjadinya emboli

Terapi Antikoagulan
Antikoagulan merupakan terapi utama pada kasus-kasus tromboemboli vena.
Ada beberapa jenis antikoagulan yang dapat digunakan pada terapi trombosis vena
dalam, diantaranya, unfractionated heparin (UFH), low molecular weight heparin,
fondaparinux, vitamin K antagonis, dan antikoagulan oral baru. Unfractionated heparin
(UFH) sudah lama digunakan sebagai terapi trombosis vena dalam pada saat awal.
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan meningkatkan kerja antitrombin III sebagai
inhibitor faktor pembekuan dan melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari
dinding pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IU/kgBB intravena
dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB dengan pemantauan nilai activated partial
tromboplastin time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT
1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. 15
Pemberian UFH dapat diberikan 5-7 hari. UFH dapat dihentikan setelah 4-5 hari
pemberian kombinasi dengan warfarin dengan INR 2.0-3.0. Sebelum memulai terapi
UFH, APTT, protrombin time (PT), dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama
pada pasien dengan resiko perdarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati dan ginjal.
Berikut adalah tabel dosis UFH berdasarkan nilai APTT dan berat badan pasien:15

Tabel. 5.1. Dosis UFH berdasarkan nilai APTT dan berat badan

12
Low molecular weight heparin (LMWH) merupakan antikoagulan parenteral
bekerja lebih besar pada inhibitor faktor Xa dan sedikit efek pada antitrombin III dalam
hal sebagai antikoagulan. LMWH dapat diberikan satu atau dua kali sehari secara
subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. American Heart Association (AHA) pada
tahun 2011 merekomendasikan pemberian LMWH dengan dosis 1mg/kgBB/hari
subkutan 2 kali sehari atau 1,5 mg/kg satu kali per hari. Keuntungan dari LMWH adalah
resiko perdarahan yang lebih kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium
yang sering dibanding UFH, kecuali pada pasien tertentu seperti gagal ginjal dan
obesitas.15
Fondaparinux merupakan sintetik pentasakarida analog yang bekerja sebagai
inhibitor faktor Xa secara tidak langsung. American Heart Association pada tahun 2011
merekomendasikan pemberian dosis 5 mg sekali sehari untuk pasien dengan berat badan
< 50 kg dan 7,5 mg untuk pasien 50-100 kg secara subkutan.15
Pemberian antikoagulan parenteral merupakan pilihan utama pada
penatalaksanaan awal trombosis vena dalam. American Heart Association pada tahun
2011 memberikan rekomendasi yang sama kepada ketiga antikoagulan parenteral, yaitu
UFH, LMWH, dan fondaparinux untuk terapi inisial pada trombosis vena dalam.
Japanese Circulation Society pada tahun 2009 dan American Family Physician pada
tahun 2012 merekomendasikan pemberian UFH untuk terapi inisial pada trombosis vena
dalam, LMWH dan fondaparinux merupakan alternatif ketika ada kontraindikasi
pemberian UFH.16

13
Pemberian antikoagulan vitamin K antagonis sebagai terapi awal pada trombosis
vena dalam tidak direkomendasikan. Obat ini diberikan bersamaan sagera setelah
koagulan parenteral diberikan dengan pemantauan international normalised ratio (INR).
Target INR dari terapi warfarin adalah 2.0-3.0. Lama pemberiannya sangat bervariasi,
tergantung pada faktor resiko trombosis vena dalam pada pasien tersebut. Berikut
adalah tabel dosis warfarin sesuai dengan target INR 16
Tabel 5.2. Dosis warfarin sesuai dengan target INR

Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah banyak dilakukan


sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan oral baru terdiri dari direct trombin
inhibitor seperti darbigatran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban, apixaban dan
edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa antikoagulan
baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal sebagai terapi tromboemboli
vena dan bahkan lebih bagus mengurangi efek samping perdarahan pada pasien.17
Buller et all (2013) pada studi The Hokusai-VTE di Amerika Serikat
mengadakan penelitian secara random terhadap 4.921 pasien yang mengalami trombosis
vena dalam dan 3.319 pasien dengan emboli paru yang telah mendapat terapi inisial
dengan heparin, membandingkan pemberian edoxaban 60 mg sekali sehari,
dibandingkan dengan terapi standar warfarin. didapatkan hasil bahwa pemberian terapi
edoxaban setelah terapi inisial dengan heparin tidak inferior dibandingkan dengan terapi

14
standar warfarin dan secara signifikan menurunkan angka efek samping perdarahan
pada pemberian antikoagulan.18
Wang et all (2013) mengadakan penelitian di China terhadap 439 orang pasien
dengan tromboemboli vena membandingkan pemberian rivaroxaban dengan terapi
standar enoxaparin yang dilanjutkan dengan pemberian vitamin K antagonis. Studi ini
menyimpulkan bahwa rivaroxaban memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar
pada pasien dengan tromboemboli vena.19
Yamada et all (2014) melakukan penelitian di Jepang terhadap 81 orang dengan
tromboemboli vena membandingkan pemberian rivaroxaban dengan terapi standar
unfractioned heparin (UFH) yang dilanjutkan dengan pemberian vitamin K antagonis.
Studi ini menyimpulkan bahwa rivaroxaban memiliki efikasi yang sama dengan terapi
standar pada pasien dengan tromboemboli vena.20
Bauersachs et all (2014) mengadakan penelitian membandingkan pemberian
rivaroxaban dengan terapi standar enoxaparin / vitamin K antagonis pada pasien dengan
tromboemboli vena dengan gangguan ginjal. Studi ini menyimpulkan bahwa pasien
tromboemboli vena dengan gangguan ginjal memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
rekurensi. Gangguan ginjal juga meningkatkan resiko perdarahan pada terapi
tromboemboli vena dengan enoxapari / vitamin K antagonis, tetapi resiko ini berkurang
jika diterapi dengan rivaroxaban.20

Terapi Trombolitik

Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Trombolitik yang biasa digunakan adalah
tissue plasminogen activator, streptokinase, dan urokinase. Terapi ini jarang dilakukan
dan umumnya hanya efektif pada fase awal dan penggunaanya harus benar-benar
dipertimbangkan secara baik karena mempunyai efek resiko perdarahan tiga kali lipat
dibandingkan dengan teerapi antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya
dilakukan pada trombosis vena dalam dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.15

Terapi Kompresi
Terapi kompresi dengan menggunakan stoking elastis bertujuan untuk mencegah
stasis vena, mengurangi bengkak dan nyeri pada tungkai, sebagai preventif timbulnya
trombus baru dan mencegah timbulnya sindrom post trombosis. Pemasangan stoking

15
elastis dengan tekanan 30-40 mmHg pada ankel kaki sampai pangkal paha. Terapi ini
dapat diberikan secara bersamaan dengan terapi lain.15
American College of Physician pada tahun 2011 tidak merekomendasikan terapi
kompresi dengan elastis stoking pada trombosis vena dalam, sedangkan Japanese
Circulation Society tahun 2009 dan American Heart Association pada tahun 2011, tetap
merekomendasikan terapi kompresi pada pasien trombosis vena dalam.15

Trombektomi
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain adalah trombosis vena
iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik
maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi
dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan
antikoagulan. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan
pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan
setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya
dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset trombosis vena dalam.15

Penatalaksanaan Emboli Paru


Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaratan medis yang harus ditangani
dengan segera. Kegagalan jantung kanan akut menyebabkan menurunnya perfusi
sistemik yang meningkatkan angka kematian pada pasien emboli paru. Keadaan ini
menyebabkan kita untuk menjaga keadaan vital pasien sebagai akibat dari kegagalan
jantung kanan pada emboli paru. Penelitian yang mengindikasikan pemberian cairan
yang agresif tidak menguntungkan dan bahkan tambah memburuknya fungsi jantung
kanan. Pemberian vasopresor sangat diperlukan dan bisa diberikan bersamaan dengan
terapi lain terhadap emboli paru untuk menstabilkan hemodinamik. Pemberian oksigen
untuk mencegah terjadinya hipoksemia juga diperlukan.15

Operasi Embolektomi
Operasi embolektomi dilakukan pada pasien dengan emboli paru yang masif
dengan hemodinamik yang stabil serta kontra indikasi pemberian trombolitik atau gagal
terapi trombolitik. Emboli biasanya menutupi cabang-cabang utama dari arteri
pulmonalis, sehingga menimbulkan kegagalan sirkulasi. Pada kondisi seperti operasi
embolektomi bisa menjadi salah satu modalitas terapi ketika terapi trombolitik gagal

16
atau kontraindikasi. Pada sebuah studi baru-baru ini, terdapat 47 pasien yang dilakukan
operasi embolektomi dengan 96% survival rate dalam 4 tahun.15

Filter vena cava inferior


Filter vena cava inferior diindikasikan pada pasien kontraindikasi absolut
penggunaan antikoagulan, gagal terapi antikoagulan. Absolut kontraindikasi
antikoagulan meliputi perdarahan intraserebral, perdarahan saluran cerna, batuk darah
yang masiv, CNS trauma, trombositopeni signifikan (<50.000/uL). Komplikasi dari
filter vena cava inferior meliputi hematom pada tempat insersi, filter berpindah, filter
embolisasi dan obstruksi vena cava inferior.15

17
BAB III
LAPORAN KASUS

No. MR : 94.89.79

Nama Lengkap : Ny.K


Tanggal Lahir : 17 Juli 1934 Umur : 84 Thn Jenis Kelamin: Perempuan

Alamat :Jln. Bukittinggi No./Telepon : 082170851393

Pekerjaan : Tidak bekerja Status: Menikah


Jenis Suku : Minang Agama : Islam

ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan usia 84 tahun datang ke RSUP Dr.M. Djamil,


Padang dengan :

a. Keluhan Utama

Bengkak dan kemerahan pada kedua kaki sejak 5 hari ini

b. Riwayat Penyakit Sekarang

- Bengkak dan kemerahan pada kedua kaki sejak 5 hari ini

- Bengkak sudah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, tidak nyeri,


hilang timbul. Pasien selama 2 minggu ini lebih banyak berbaring
diatas tempat tidur karena tidak kuat lagi berjalan

- Awalnya pasien sudah dirawat di RS Yarsi Bukittinggi 10 hari


yag lalu karena luka dan kemerahan dipunggung kaki kiri. Pada
hari ke-4 perawatan, kemerahan sudah tidak ada lagi, tapi pasien
terjatuh dikamar mandi dan pergelangan kaki membentur sudut
pintu dan terdapat luka

- Setelah terjatuh, pasien hanya bisa berbaring dan tidak bisa lagi
berjalan

- Nyeri (+) , semakin meningkat 2 hari setelah terjatuh.

- Demam (-)

18
- Riwayat trauma (-)

- Riwayat DM (-)

- Riwayat hipertensi (+)

c. Riwayat Penyakit Dahulu

- Hipertensi (+) tidak terkontrol

d. Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga mengalami penyakit serupa

e. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan

- Pasien tidak bekerja

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Keadaan Gizi : obesitas

Edema (+)

Vital Sign

Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Nadi : 80 x/ menit

Frekuensi Nafas : 20 x/menit

Suhu : 38,0 oC

Status Generalis

Rambut : putih dan tidak mudah dicabut


Kulit dan kuku : Turgor kulit baik, tidak ada sianosis
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik

19
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan
Gigi dan mulut : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening
Dinding dada : Simetris, pergerakan dinding dada sama
kiri dan kanan
Paru
 Inspeksi : Pengembangan dinding dada sama kiri dan kanan
 Palpasi : Fremitus kiri = kanan
 Auskultasi : vesikular +/+ , rhonki -/- wheezing -/-
 Perkusi : Sonor
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial línea mid
clavicula sinistra RIC V
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen :
 Inspeksi : Distensi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) Normal
 Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan
lien tidak teraba, ballotemen (-)
 Perkusi : Timpani

Anus (Colok Dubur) : Tidak dilakukan pemeriksaan.


Ekstremitas : edema (+), nyeri (+)

Status Lokalis Kruris (S)


Inspeksi : Edema (+), eritema (+) , deformitas (-)
Palpasi : Pulsasi a. dorsalis pedis (+)
Pulsasi a. tibialis posterior (+)
Pulsasi a. poplitea (+)

20
Movement : ROM terbatas

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN


Darah
Hb: 11,1g%
Leukosit: 5.110/mm3
Trombosit:517.000/mm3
Ht: 36%
PT 10,7 detik
APTT 32,0 detik

Kimia Klinik
Albumin = 2,6 g/dl
KGD sewaktu = 120 mg/dl
Ureum = 13 mg/dl
Kreatinin = 0,6 mg/dl
Natrium (Na) = 134mEq/L
Kalium (K) = 3,2 mEq/L
Klorida (Cl) = 106 mEq/L

DIAGNOSA KERJA
DVT et kruris bilateral
Hipertensi
Selulitis

TATALAKSANA
Konservatif: Pemasangan tensocrepe
Heparin

RENCANA TERAPI

21
Tujuan/Target Instruksi Pelaksanaan
1. Diagnostik Klinis
laboratorium
2. Terapi nyeri Ketorolac 3 x 30 mg IV
3. Terapi Heparinisasi 1 cc heparin bolus IV,
lanjutkan 3 cc heparin
dalam 47 cc Nacl 0,9 %
habis dalam 24 jam
dalam syring pump. Cek
PT / APTT perhari
4. Antibiotik Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
5. Konsul Jantung Setuju assesment
Penyakit dalam

FOLLOW UP

Tanggal S O A P

1/4/2019 -Bengkak (+) KU/sdg DVT kruris Heparinisasi

-Nyeri (+) bilateral


Kes/CMC Elevasi
tungkai
-Demam (-) Hipertensi
TD/140/90
Balut
Selulitis tensocrepe
HR/80x/mnt
IVFD NaCl
RR/20x/mnt 0,9%
Ranitidine
Status lokalis : 2x50 mg

Edema (+), eritema Ceftriaxon


2x1 gr
(+) , deformitas (-)
Pulsasi a. dorsalis Ketorolak
3x30 mg
pedis (+)
Pulsasi a. tibialis Cek darah,
pt/aptt,INR,
D-Dimer

22
posterior (+) Pro usg
doppler
Pulsasi a. poplitea
(+)
ROM terbatas

2/4/2019 Bengkak (+) KU/sdg DVT kruris Heparin


berkurang bilateral
Kes/CMC Elevasi
Demam (-) Hipertensi tungkai

Nyeri (+) Selulitis Balut verban


berkurang elastis

IVFD NaCl
0,9%

Ranitidine
2x50 mg

Cek pt/aptt
/hari

23
BAB 4

DISKUSI

Pasien perempuan berumur 84 tahun datang dengan keluhan kedua kaki bengkak
dan kemerahan 5 hari ini. Bengkak sudah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, tidak
nyeri, hilang timbul. Pasien selama 2 minggu ini lebih banyak berbaring diatas tempat
tidur karena tidak kuat lagi berjalan. Berdasarkan pemeriksaan fisis di dapatkan TD
140/90 mmHg, nadi 80x/menit dan nafas 20x/menit. Status lokalis region kruris sinistra
dan dextra didapatkan edema (+), eritema (+) , pulsasi a. dorsalis pedis (+), pulsasi
a.tibialis posterior (+), pulsasi a.poplitea (+) dan ROM terbatas.

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami bengkak pada kedua kaki
yang semakin meningkat setelah 5 hari ini berbaring. Ini merupakan salah satu fakor
risiko terjadinya DVT yaitu terjadinya imobilisasi yang menyebabkan stasis pada aliran
vena. Dari pemeriksaan status lokalis juga didapatkan edema, eritem, dan ROM terbatas
pada pasien.

Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian antikoagulan injeksi
yaitu heparin. Heparin yang dipilih adalah Low Molecular Weight Heparin. Terapi
heparin harus disertai dengan monitor APTT , untuk mencapai APTT 1,5-2,5 normal.
Tetapi pemberian heparin juga memiliki efek samping seperti , perdarahan , heparin
induced trombositopeni dan osteoporosis. Untuk perdarahan dapat diatasi dengan
protamin.

24
DAFTAR PUSTAKA

1 Karmel Tambunan : Thrombosis. KONAS PHTDI Semarang, September 2001.


2 Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, K.S. Marcellus, S. Setiati. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. InternaPublishing. Jakarta.
2 Keseime et al,. 2001. Journal of Blood Medicine. Deep Vein Thrombosis : clinical
review.
3 Skinner, N., Moran P., 2008. CMAG. Deep Vein Thrombosis
4 Wakefield T, Myers D, Henke P (2008). Mechanisms of venous thrombosis and
resolution. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 28:387-91
5 JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of
pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75:
1258-1281
6 Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med,
351:268-77
7 Venous Thrombosis: The Role of Genes, Environment, and Behavior, ASH
Education Book .January 1, 2005 vol. 2005 no. 11-12.
8 Majalah Kedokteran Andalas. 2001. Trombosis Vena dalam. Vol 25. Hal 46-55. No
2.
10 Hirsh J and Hoak J : Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism.
Circulation 93:2212-2245, 1996.

11Runge M.S et al : Prevention of Thrombosis and Rethrombosis. Circultion 82:655-


657, 1990.
12Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J Med.
327:1128-1133, 1992.
13 Sukrisman, Lugyanti. Trombosis vena dalamdan emboli paru.Buku Ajar
IlmuPenyakitDalamFakultasKedokteran UI.Edisi IV. Jakarta: FKUI; 2006:802-
804.
14 Heit JA, Silverstein MD, Mohr DN, Petterson TM, O'Fallon WM, Melton III LJ.
Predictors of survival after deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a
population-based, cohort study. Arch Intern Med. 1999 (Mar8);159(5):445–53.
15. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Andrew D. Deep vein thrombosis:
a clinical review. Journal of Blood Medicine. 2011; 2: 59–69
16. Dinisio M, Squizito A, Rutjes S, Buller R, Zwindermas AH, Bossuy PM.
Diagnosis accuracy of D-dimer test for exlusion of venous thromboembolism. Journal
Thrombosis Haemostasis. 2007; 5: 296–304
17. Henzler T, Roeger S, Meyer M, Schoep UJ, Nance JW, Hagi D, et all.
Pulmonary embolism: CT signs and cardiac biomarkers for predicting right ventricular
dysfunction. European Respiration Journal. 2012; 39: 919-926
18. Stein PD, Fowler SE, Goodman LR, Gottschalk A, Hales CA, Hull RD, et all.
Multidetector computed tomography for acute pulmonary embolism. New England
Journal Medical. 2006; 354: 2317-2327
19. Anderson DR, Kahn SR, Rodger MA, Kovacs MJ, Morris T, Hinch A, et all.
Computed tomography pulmonary angiography vs ventilation-perfusion lung

25
scaning in patients with suspected pulmonary embolism. Journal of American
Medical Association. 2007; 208: 2743-2788
20. JCS Joint Working Group. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention
of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis. Journal of the Japanese
Circulation Society. 2011; 75: 1258-1281

26

Anda mungkin juga menyukai