Anda di halaman 1dari 43

Diskusi Topik

PENYAKIT VASKULER

Oleh:
Jeanike Defrawati, S.Ked
Luthfa Laila, S.Ked
Yenri Yunfaista, S.Ked

Pembimbing:
dr. Irwan, Sp. JP (K) – FIHA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
PENYAKIT VASKULER

A. Penyakit Pembuluh Darah Vena

1. Trombosis Vena Dalam

1. 1 Definisi

Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) merupakan kondisi di

mana darah pada vena-vena profunda pada tungkai atau pelvis membeku.

Terdapat dua mekanisme yang mengawali terjadinya trombosis yaitu kerusakan

endotel paru dan kombinasi statis serta kegagalan sistem fibrinolitik. Trombus

pada sistem vena dalam sebenarnya tidak berbahaya, dapat menjadi berbahaya

bahkan dapat menimbulkan kematian jika sebagian trombus terlepas, kemudian

mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di dalam paru (emboli paru).

1. 2 Etiologi

Berdasarkan Virchow’s Triad terdapat 3 faktor stimuli terbentuknya

tromboemboli yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah,

dan perubahan daya beku darah Selain faktor stimuli, terdapat faktor protektif

yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antitrombin yang

berikatan dengan heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang

teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh

fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolysis.

2
1. 3 Patofisiologi

Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa

komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses

terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):

1. Stasis vena. Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama

di daerah yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan

faktor predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu

mekanisme pembersihan aktivitas faktor pembekuan darah sehingga

memudahkan terbentuknya thrombosis.

2. Kerusakan pembuluh darah Kerusakan pembuluh darah dapat berperan

dalam proses pembentukan trombosis vena, melalui: Trauma langsung yang

mengakibatkan faktor pembekuan Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang

dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.

3. Perubahan daya beku darah Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan

sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecenderungan trombosis

terjadi apabila aktivitas pembekuan darah meningkat atau aktivitas

fibrinolisis menurun. DVT sering terjadi pada kasus aktivitas

pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi anti-

trombin III, defisiensi protein-C, defisiensi protein S, dan kelainan

plasminogen.

1. 4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang.

Keluhan utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat

3
menjadi berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT

umumnya timbul karena faktor risiko tertentu, tetapi dapat juga timbul tanpa

etiologi yang jelas (idiopathic DVT).

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:

1. Nyeri. Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis.

Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan

bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat

bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan

intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika

penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan. Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena

proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh

sumbatan, maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak

nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak

timbul di daerah trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan

bertambah jika berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki

agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada

trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada

17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna

ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan dingin pada perabaan merupakan

tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme arteri, disebut flegmasia

alba dolens.

4
1. 5 Diagnosis

Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang. Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri, dan

perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea

dolens/blue leg). Skor Wells dapat digunakan untuk stratifikasi menjadi

kelompok risiko ringan, sedang, atau tinggi. Angiografi (venografi atau

flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard),

namun pemeriksaan non-invasive ultrasound (USG Doppler) dapat

menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. Jika dengan metode

pemeriksaan USG Doppler.

1. 6 Tatalaksana

Terapi farmakologi:

a. Antikoagulasi selama 3-6 minggu

 Heparin i.v digunakan untuk menjaga tingkat keasaman dari antikoagulan

dan memperkecil manifestasi perdahan, periksa efektivitas dengan APTT.

 Warfarin, periksa efektivitas dengan PT

b. Trombolisis

c. Trombektomi

Terapi Non-farmakologi:

a. Tinggikan ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena

b. Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskuler

c. Latihan lingkup gerak sendiri

d. Pemakaian alas kaki elastik

5
2. Varises Vena Tungkai

2. 1 Definisi

Varises vena tungkai bawah (VVTB) adalah vena superfisial tungkai bawah

yang mengalami dilatasi, pemanjangan, dan berkelok-kelok dengan fungsi katup

yang abnormal.

2. 2 Etiologi

Etiologi dari insufisiensi vena kronis dapat dibagi 3 kategori yaitu,

kongenital, primer dan sekunder.

a. Penyebab insufisiensi vena kronis yang kongenital adalah pada kelainan

dimana katup yang seharusnya terbentuk di suatu segmen ternyata tidak

terbentuk sama sekali (aplasia, avalvulia), atau pembentukannya tidak

sempurna (displasia), berbagai malformasi vena, dan kelainan lainnya yang

baru diketahui setelah penderitanya berumur.

b. Penyebab insufisiensi vena kronis yang primer adalah kelemahan intrinsik dari

dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun katup yang terlau panjang

(elongasi) atau daun katup menyebabkan dinding vena menjadi terlalu lentur

tanpa sebab-sebab yang diketahui. Keadaan daun katup yang panjang

melambai (floppy, rebundant) sehingga penutupan tidak sempurna (daun-daun

katup tidak dapat terkatup sempurna) yang mengakibatkan terjadinya katup

tidak dapat menahan aliran balik, sehingga aliran retrograd atau refluks.

Keadaan tersebut dapat diatasi hanya dengan melakukan perbaikan katup

(valve repair) dengan operasi untuk mengembalikan katup menjadi berfungsi

baik kembali.

6
c. Penyebab insufisiensi vena kronis sekunder (insufisiensi vena sekunder)

disebabkan oleh keadaan patologik yang didapat (acquired), yaitu akibat

adanya penyumbatan trombosis vena dalam yang menimbulkan gangguan

kronis pada katup vena dalam. Pada keadaan dimana terjadi komplikasi

sumbatan trombus beberapa bulan atau tahun paska kejadian trombosis vena

dalam, maka keadaan tersebut disebut sindroma post-trombotic. Pada

sindroma tersebut terjadi pembentukan jaringan parut akibat inflamasi

trombosis kronis dan rekanalisasi yang akan menimbulkan fibrosis, dan juga

akan menimbulkan pemendekan daun katup (pengerutan daun katup),

perforasi kecil-kecil (perforasi mikro), dan adhesi katup, sehingga akhirnya

akan menimbulkan penyempitan lumen. Kerusakan yang terjadi pada daun

katup telah sangat parah tidak memungkinkan upaya perbaikan. Kejadian

insufisiensi vena kronis yang primer, dan yang sekunder (akibat trombosis

vena dalam, dan komplikasi post-trombotic), dapat terjadi pada satu penderita

yang sama.

2. 3 Patofisiologi

Pada keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam mengalirkan darah

vena naik keatas dan masuk kedalam. Pertama darah dikumpulkan dalam kapiler

vena superfisialis kemudian dialirkan ke pembuluh vena yang lebih besar,

akhirnya melewati katup vena ke vena profunda yang kemudian ke sirkulasi

sentral menuju jantung dan paru. Vena superfisial terletak suprafasial, sedangkan

vena vena profunda terletak di dalam fasia dan otot. Vena perforata mengijinkan

adanya aliran darah dari vena superfisial ke vena profunda. Di dalam

7
kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan darah naik keatas melawan

gravitasi dibantu oleh adanya kontraksi otot yang menghasikan suatu mekanisme

pompa otot. Pompa ini akan meningkatkan tekanan dalam vena profunda sekitar 5

atm. Tekanan sebesar 5 atm tidak akan menimbulkan distensi pada vena profunda

dan selain itu karena vena profunda terletak di dalam fasia yang mencegah

distensi berlebihan. Varises vena pada kehamilan paling sering disebabkan oleh

karena adanya perubahan hormonal yang menyebabkan dinding pembuluh darah

dan katupnya menjadi lebih lunak dan lentur. Peningkatan tekanan di dalam

lumen paling sering disebabkan oleh terjadinya insufisiensi vena dengan adanya

refluks yang melewati katup vena yang inkompeten baik terjadi pada vena

profunda maupun pada vena superficial. Peningkatan tekanan vena yang bersifat

kronis juga dapat disebabkan oleh adanya obstruksi aliran darah vena. Penyebab

obstruksi ini dapat oleh karena thrombosis intravaskular atau akibat adanya

penekanan dari luar pembuluh darah.

Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan oleh karena

peningkatan tekanan di dalam pembuluh darah oleh adanya insufisiensi vena.

Penyebab lain yang mungkin dapat memicu kegagalan katup vena yaitu adanya

trauma langsung pada vena adanya kelainan katup karena thrombosis. Bila vena

superfisial ini terpapar dengan adanya tekanan tinggi dalam pembuluh darah,

pembuluh vena ini akan mengalami dilatasi yang kemudian terus membesar

sampai katup vena satu sama lain tidak dapat saling betemu. Kegagalan pada satu

katup vena akan memicu terjadinya kegagalan pada katup-katup lainnya.

Peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam sistem vena superfisial akan

menyebabkan terjadinya dilatasi vena yang bersifat lokal. Setelah beberapa katup

8
vena mengalami kegagalan, fungsi vena untuk mengalirkan darah ke atas dan ke

vena profunda akan mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup fungsional,

aliran darah vena akan mengalir karena adanya gradient tekanan dan gravitasi.

Kerusakan yang terjadi akibat insufisiensi vena berhubungan dengan tekanan vena

dan volume darah vena yang melewati katup yang inkompeten. Sayangnya

penampilan dan ukuran dari varies yang terlihat tidak mencerminkan keadaan

volume atau tekanan vena yang sesungguhnya. Vena yang terletak dibawah fasia

atau terletak subkutan dapat mengangkut darah dalam jumlah besar tanpa terlihat

ke permukaan. Sebaliknya peningkatan tekanan tidak terlalu besar akhirnya dapat

menyebabkan dilatasi yang berlebihan. Telaah tentang penyakit vena umumnya

dititikberatkan pada kelainan vena di tungkai, karena tungkailah yang paling besar

menyangga beban hidrostatik dan gangguan peredaran darah vena tungkai paling

sering terjadi. Gangguan lain yang mungkin merupakan sebab awal dari kelainan

sistem vena adalah faktor yang mempengaruhi terjadinya trombosis seperti yang

dikemukakan oleh Virchow dengan triasnya : kelainan dinding, stasis atau

hambatan aliran, dan kecenderungan pembekuan darah.

2. 4 Klasifikasi

Varises vena tungkai bawah terdiri dari varises primer dan varises sekunder.

Varises primer merupakan jenis terbanyak (85%). Penyebabnya tidak diketahui

secara pasti, hanya diduga karena kelemahan dinding vena sehingga terjadi

pelebaran. Kegagalan katup disebabkan oleh pelebaran yang terjadi, bukan

sebaliknya. Clark dkk telah membuktikan dengan penelitian prospektif bahwa

elastisitas dinding vena tungkai orang normal lebih tinggi daripada penderita

9
VVTB. Psaila dan Melhuish menemukan kadar kolagen (hidroksiprolen) dinding

vena orang normal lebih tinggi daripada penderita VVTB. Kedua kelompok

peneliti tersebut menyimpulkan, pada varises primer terjadi perubahan struktur

dinding vena yang menyebabkan kelemahannya.

Varises sekunder disebabkan oleh peninggian tekanan vena superfisial

akibat suatu kelainan tertentu. Kelainan tersebut berupa sindrom paska flebitis

(kegagalan vena menahun), fistula arteri vena, sumbatan vena profunda karena

tumor atau trauma serta anomali vena profunda atau vena perforantes. Artinya

varises sekunder diawali oleh kegagalan vena perforantes akibat kelainan-

kelainan tersebut di atas.

Menurut klasifikasi Clinical, Etiological, Anatomic, Pathophysiologic

(CEAP) VVTB dibagi berdasarkan berat ringan manifestasi klinisnya, yaitu :

1) Derajat 0 : tidak terlihat atau teraba tanda gangguan vena

2) Derajat 1 : telangiektasis, vena retikular

3) Derajat 2 : varises vena

4) Derajat 3 : edem tanpa perubahan kulit

5) Derajat 4 : perubahan kulit akibat gangguan vena (pigmentasi, dermatitis

statis, lipodermatosklerosis)

6) Derajat 5 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus yang sudah sembuh

7) Derajat 6 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus aktif

10
2. 5 Manifestasi Klinis

Gejala Klinis VVTB timbul akibat adanya hipertensi vena baik karena

obstruksi, refluks atau kombinasi keduanya. Secara klinis VVTB dikelompokkan

berdasarkan jenisnya, yaitu :

1) Varises trunkal merupakan varises VSM dan VSP, diameter lebih dari 8 mm,

warna biru-biru kehijauan.

2) Varises reticular adalah varises yang mengenai cabang VSM atau VSP yang

umumnya kecil dan berkelok-kelok, diameter 2-8 mm, warna biru kehijau-

hijauan.

3) Varises kapiler merupakan vena subkutis yang tampak sebagai kelompok

serabut halus dari pembuluh darah, diameter 0,1-1 mm, warna merah, atau

sianotik (jarang).

Sesuai dengan berat ringannya, VVTB dibagi atas empat stadium, yaitu :

1) Stadium I

Keluhan samar (tidak khas) rasa berat, mudah lelah pada tungkai setelah

berdiri atau duduk lama. Gambaran pelebaran vena berwarna kebiruan tak

jelas.

2) Stadium II

Mulai tampak pelebaran vena, palpabel, dan menonjol.

3) Stadium III

Varises tampak jelas, memanjang, berkelok-kelok pada paha atau tungkai

bawah, dapat disertai telangiektasis/spider vein.

4) Stadium IV

11
Terjadi kelainan kulit dan/atau ulkus karena sindrom insufisiensi vena

menahun.

2. 6 Diagnosis

Sebelum melakukan pemeriksaan khusus pada penderita VVTB,

pemeriksaan klinis tetap merupakan dasar penilaian medis. Evaluasi penderita

VVTB dimulai dengan riwayat penyakitnya, meskipun saat ini teknologi dalam

menentukan diagnosis kelainan vena sudah berkembang pesat.

1. Anamnesis

Terdiri atas keluhan rasa berat, rasa lelah, rasa nyeri, rasa panas / sensasi

terbakar pada tungkai, kejang otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik.

Keluhan biasanya berkurang dengan elevasi tungkai, untuk berjalan atau

pemakaian bebat elastik dan makin bertambah setelah berdiri lama, selama

kehamilan, menstruasi, atau pengobatan hormonal. Gejala dan perkembangan

yang terjadi adalah lesi. Riwayat penyakit sistemik, pengobatan, dan tindakan

medis/pembedahan sebelumnya.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sistem vena cukup sulit. Di sebagian besar wilayah tubuh,

sistem vena profunda tidak dapat dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi,

auskultasi. Pemeriksaan sistem vena superfisial harus berfungsi sebagai

panduan langsung ke sistem vena profunda.

a. Inspeksi

Inspeksi tungkai dilakukan di bawah penyinaran yang cukup pada posisi

eksorotasi tungkai dan pemeriksaan pada tungkai yang abduksi dari arah

12
belakang akan membantu visualisasi VVTB. Perlu diperhatikan tanda

kronisitas dan kelainan kulit seperti talengiektasis, dermatitis statis, edem,

perdarahan, ulkus. Vena yang mengalami VVTB diperhatikan apakah vena

superfisial utama (VSM dan VSP) atau cabangnya. Biasanya vena tersebut

tampak jelas melebar, berkelok-kelok, dan berwarna kebiruan. Varises

vena tungkai bawah pada cabang vena superfisial biasanya lebih berkelok-

kelok dibanding pada vena superfisial utama.

b. Palpasi

Daerah vena yang berkelok diraba untuk menilai ketegangan VVTB dan

besarnya pelebaran vena. Pulsasi arteri harus teraba, bila tidak teraba maka

harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada

obstruksi arteri. Distribusi anatomi VVTB perlu digambarkan dengan

jelas.

c. Perkusi

Perkusi dilakukan untuk mengetahui keadaan katup vena superfisial.

Caranya dengan mengetuk vena bagian distal dan dirasakan adanya

gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal.

d. Manuver Perthes

Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran

darah retrogade dengan aliran darah antegrade. Tes ini digunakan untuk

penentuan berfungsinya sistem vena profunda. Penderita berdiri beberapa

saat lalu dipasang ikatan elastis di bawah lutut untuk membendung vena

superfisial. Kemudian penderita melakukan gerakan berjingkat beberapa

kali agar otot-otot betis berkontraksi sehingga darah dipompa dari sinusoid

13
vena otot dan vena sekitarnya. Bila vena yang terletak di distal dari ikatan

kempis / kosong berarti katup-katup vena perforantes dan vena profunda

berfungsi baik dan tidak ada sumbatan. Sebaliknya bila vena superfisial

bertambah lebar berarti katup-katup tersebut mengalami kegagalan atau

terdapat sumbatan pada vena profunda.

e. Tes Trendelenburg

Tes ini digunakan untuk menentukan derajat insuffisiensi katup pada vena

komunikans. Mula-mula penderita berbaring dengan tungkai yang akan

diperiksa ditinggikan 30°-45° selama beberapa menit untuk

mengosongkan vena. Setelah itu dipasang ikatan yang terbuat dari bahan

elastis di paha, tepat di bawah percabangan safenofemoral untuk

membendung vena superfisial setinggi mungkin. Kemudian penderita

berdiri dan pengisian vena diperhatikan. Bila vena lambat sekali terisi ke

proksimal, berarti katup komunikans baik. Vena terisi darah dari peredaran

darah kulit dan subkutis. Bila vena cepat terisi misalnya dalam waktu 30

detik, berarti terdapat insuffisiensi katup komunikans. Uji Trendelenburg

positif berarti terdapat pengisian vena safena yang patologis.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Ultrasonografi Doppler

Beberapa pemeriksaan seperti Tes Trendelenburg dan Tes Perthes dapat

memperkirakan derajat dan ketinggian lokasi inkompetensi katup vena,

namun ultrasonografi doppler dapat menunjukkan dengan tepat lokasi

katup yang abnormal.

b. Duplex ultrasonography

14
Merupakan modalitas pencitraan standar untuk diagnosis sindrom

insuffisiensi vena dan untuk perencanaan pengobatan serta pemetaan

sebelum operasi. Duplex ultrasonography adalah kombinasi dari

pencitraan model B dan Doppler. Pencitraan model B menggunakan

tranduser gelombang ultra yang ditempelkan pada kulit sebagai sumber

dan detektor. Pantulan gelombang suara yang terjadi dapat memberikan

citra struktur anatomi, dan pergerakan struktur tersebut dapat dideteksi

dalam bentuk bayangan.

c. Plebography

Plebography merupakan pemeriksaan invasif yang menggunakan medium

kontras. Terdapat 4 teknik pemeriksaan yaitu : ascending, descending,

intra osseus, dan varicography. Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya

sumbatan dan menunjukkan vena yang melebar, berkelok-kelok serta

katup yang rusak. Plebography juga dapat menunjukkan kekambuhan

VVTB paska operasi yang sering disebabkan oleh kelainan vena

perforantes di daerah kanalis Hunter di paha.

2. 7 Tatalaksana

Penanganan VVTB dapat berupa konservatif (non bedah) dan/atau

pembedahan, tergantung keadaan penderita serta berat ringannya penyakit.

Penanganan ditujukan bukan hanya untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki

fungsi vena, perbaikan kosmetik, dan mencegah komplikasi, tetapi juga untuk

memperbaiki kualitas hidup penderita.

1. Terapi Kompresi

15
Dasar penanganan terhadap insufisiensi vena adalah terapi kompresi. Cara ini

berfungsi sebagai katup vena yang membantu pompa otot betis untuk

mencegah kembalinya aliran darah vena, edem kaki, dan bocornya bahan

fibrin sehingga mencegah pembesaran vena lebih lanjut, tetapi tidak

mengembalikan ukuran vena.

2. Skleroterapi

Merupakan tindakan penyuntikan larutan ke dalam pembuluh darah vena yang

melebar secara abnormal atau yang mengganggu secara kosmetik. Terapi ini

juga akan menghilangkan keluhan nyeri dan rasa tidak nyaman serta

mencegah komplikasi seperti phlebitis yang kambuhan dan ulserasi.

Penyuntikan larutan (sklerosan) ke dalam vena menyebabkan iritasi tunika

intima dan merusak lapisan endotel, sehingga menyebabkan trombosis,

endosklerosis, dan fibrosis pembuluh darah yang selanjutnya diserap oleh

jaringan sekitarnya tanpa terjadi rekanalisasi. Sklerosan dapat digolongkan

dalam 3 jenis, yaitu : larutan deterjen (polidokanol), larutan

osmotik/hipertonik (larutan garam hipertonik atau kombinasi dengan gula

hipertonik), iritan kimia (polyiodide iodide). Skleroterapi dilakukan untuk

telangiektasis, varises retikular, varises persisten atau rekuren paska bedah

serta varises pada penderita lanjut usia. Kontra indikasi skleroterapi pada

VVTB adalah obstruksi berat pada tungkai, riwayat trombosis vena profunda,

penyakit pembekuan darah. Sedangkan kontra indikasi relatif adalah

kehamilan, penderita imobilisasi, diabetes, obesitas, urtikaria, dan dugaan

alergi terhadap sklerosan.

16
Efek samping yang mungkin timbul adalah urtikaria, hiperpigmentasi,

dermatitis kontak, folikulitis, telangiektasis, lepuh, erosi, memar di sekitar

suntikan, dan rasa nyeri. Komplikasi yang lebih serius tetapi jarang adalah

nekrosis kulit, ulkus, mikrotrombus, hematom intravaskular, tromboplebitis

superfisialis, trombosis vena profunda dengan emboli paru, anafilaksis.

3. Terapi Pembedahan

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita VVTB dengan varises ukuran

besar, varises pada tungkai atas sisi medial atau anterior, adanya komplikasi

statis (pigmentasi, dermatitis, ulkus), simtomatik, dan insufisiensi perforantes.

Tujuan metode pembedahan adalah untuk menghilangkan gejala, mengurangi

atau mencegah komplikasi, memulihkan fisiologi vena, dan memperbaiki

penampilan (kosmetik). Kontraindikasi tindakan pembedahan adalah usia

lanjut atau keadaan umum buruk, berat badan berlebihan.

Terapi kompresi dapat berupa compression stockings, compression bandages,

dan pneumatic compression pumps. Menurut klasifikasi European

Standardization Commission, Compression stockings (CS) dibagi berdasarkan

tekanan terhadap pergelangan kaki menjadi 4 kategori. CS dengan tekanan 16-

20 mmHg pada thrombosis prophylaxis. CS dengan tekanan 21-30 mmHg

pada VVTB simtomatis post-skleroterapi, kehamilan. CS dengan tekanan 31-

40 mmHg pada post-trombotic syndrome. Sedangkan CS dengan tekanan > 40

mmHgpada phlebolimpoedem.CS digunakan sepanjang hari kecuali penderita

tidur dan pemakaiannya harus tepat dari telapak kaki sampai bawah lutut.

tromboflebitis aktif, tukak vena terinfeksi, kehamilan, sumbatan arteri

menahun pada tungkai bersangkutan, dan tumor besar intra abdomen.

17
Komplikasi tindak bedah pada VVTB adalah perdarahan, infeksi, edema

tungkai, kerusakan saraf kulit (n. safena atau n. suralis), limfokel, dan

trombosis vena profunda. Infeksi berat dapat terjadi pada bekas saluran

”stripper”. Untuk mencegah edem tungkai dianjurkan memakai kaos kaki

elastis selama dua bulan pasca bedah. Limfokel terbentuk karena saluran limfe

terpotong saat operasi, pengobatannya cukup dengan aspirasi. Trombosis vena

dalam dapat berakibat fatal.

B. Penyakit Pembuluh Darah Arteri

1. Aterosklerosis

1. 1 Definisi

Aterosklerosis adalah keadaan terjadinya penyempitan pada pembuluh darah

akibat adanya penumpukan lemak yang meningkat di dalam dinding pembuluh

darah yang akan menghambat aliran darah di pembuluh darah arteri.

1. 2 Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab dari aterosklerosis berhubungan dengan beberapa faktor resiko.

Faktor resiko dari aterosklerosis berup faktor rsiko mayor yang berupa:

Dislipidemia, hipertensi, diabetes mellitus, dan merokok. Dan faktor resiko minor,

yaitu: Usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga (Genetik).

1. 3 Patofisiologi

Aterosklerosis terjadi akibat adanya pembentukan plak pada tunika intima

arteri. Kerusakan endotel merupakan tahap awal terjadinya aterosklerosis.

18
Kerusakan dari endotel akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel yang

ditandai dengan berkurangnya nitrit oksida yang mengganggu fungsi hemostasis

vaskuler. Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik terutama monosit berpindah

menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif

endotel. Jika telah berada di lapisan subendotel, sel ini akan mengalami

diferensiasi menjadi makrofag yang akan mencerna LDL teroksidasi yang

berpenetrasi ke dinding arteri dan berubah dan membentuk fatty streaks yang

berlanjut menjadi fibrous plaque dimana terjadi poliferasi sel. Secara

makroskopik, lesi ini berwarna putih dan dengan permukaan semakin meninggi

ke dalam lumen ateri. Jika lesi semakin berkembang maka diameter lumer akan

menyempit dan mengganggu aliran darah. Pada fibrous plaque yang trlah lanjut

(advance) jaringan nekrosis dan menyebabkan oklusi aliran darah.

1. 4 Manifestasi Klinis

Gejala dari aterosklerosis tergantung dari lokasi terbentuknya. Jika gejala

ateroskleosis menyebabkan penyempitan arteri yang sangat berat, maka bagian

tubuh yang diperdarahi tidak akan mendapatkan darah dalam jumlah yang

memadai yang mengangkut oksigen ke jaringan. Gejala awal dari penyempitan

arteri dapat berupa nyeri dada(angina) akibat aliran oksigen ke jantung berkurang

dan dapat juga terjadi kram tungkai (klaudikasio intermitten) karena aliran

oksigen ke tungkai berkurang. Khas pada gejala aterosklerosis adalah gejala

terjadi secara perlahan sejalan dengan terjadinya penyempitan arteri oleh plak

atheroma yang terjadi secara perlahan.

19
1. 5 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

aterosklerosis yaitu dengan cara:

a. Angiografi: Tindakan untuk mengetahui pembuluh darah jantung dengan

menggunakan pencitraan sinar-X atau katerisasi jantung. Hal ini bertujuan

untuk mengamati apakah arteri menyempit atau tersumbat.

b. ABI ( Ankle brachial index): Prosedur pemeriksaan diagnostic sirkulasi

ekstremitas bawah untuk mendeteksi adanya peripheral artery disease (PAD)

dengan membandingkan tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua

pergelangan kaki dan lengan (Normal: 0,9-1,3).

1. 6 Tatalaksana

1. Gaya hidup .Untuk mencegah keparahan dari aterosklerosis, maka yang harus

dikurangi adalah faktor resikonya, yaitu:

- Menurunkan kadar kolestrol darah

- Menurunkan tekanan darah

- Berhenti merokok

- Mengatur pola makan

- Olahraga secara teratur

2. Medikamentosa

- Aspirin : Mencegah terjadinya koagulasi dalam pembuluh darah sehingga

mengurangi terjadinya penggumpalan darah pada arteri yang telah

menyempit.

20
- B-blocker: Menurunkan tekanan darah sehingga gejala aterosklerosis

berkurang.

- Isosorbit dinitrate: Mekanisme kerja golongan nitrat ini adalah melepaskan

ion nitrit (N02 yang akan diubah menjadi nitrat oksida (NO) yang

mengaktivasi guanilat siklase sehingga terjadi peningkaan konsentrasi

(cGMP) intraseluler pada sel otot polos vascular.

2. Aneurisma Aorta

2. 1 Definisi

Kata aneurisma berasal dari bahasa yunani “aneurysma” yang berarti

pelebaran. Aneurisma adalah keadaan dimana pembuluh darah menjadi membesar

secara abnormal atau mengembang seperti balon yang menonjol keluar. Pelebaran

yang terjadi lebih dari 50% diameter pembuluh darah. Aneurisma sering terjadi

pada aorta. Aneurisma aorta mengacu kepada segmen patologis dari dilatasi aorta

yang memiliki kecenderungan untuk rupture.

2. 2 Etiologi

a. Degeneratif (Aterosklerosis) : Usia, merokok, jenis kelamin, riwayat genetic

aneurisma aorta, hiperkolestrol.

b. Diseksi aorta kronis: Proses dari diseksia aorta dapat melemahkan dinding

aorta sehingga berlanjut ke dilatasi dinding aorta.

c. Infeksi: Pada infeksi terjadi proses inflamasi pada periaorta sehingga dinding

aorta menipis dan melemah.

21
2. 3 Patofisiologi

Aneurisma timbul akibat degenerasi dan melemahnya tunika media arteri.

Degenerasi media dapat terjadi pada keadaan congenital dan di dapat, seperti

aterosklerosis dan sindrom marfan. Dilatasi vaskuler dapat terjadi akibat efek dari

semprotan aliran darah melalui plak vascular yang menyumbat dan menimbulkan

aliran turbulen di distal lesi sehingga terjadi dilatasi pascastenosis yang

melemahkan dinding arteri.

2. 4 Manifestasi Klinis

Aneurisma seringkali asimptomatik, Gejala-gejala yang terlihat biasanya

buruk menandakan adanya perluasan aneurisma, atau ancaman rupture. Pada

penderita aneurisma dapat dirasakan nyeri punggung. Manifestasi klinis

tergantung dari besarnya ukuran, posisi aneurisma, dan kecepatan tumbuh. Selain

itu juga terjsi dyspnea,,disfagia karena penekanan esophagus.

2. 5 Pemeriksaan Diagnostik

a. USG merupakan pilihan untuk melihat perkembangan aneurisma yang kecil.

b. CT Scan Selain untuk melihat ukuran aneurisma tetapi juga menentukan

hubungan terhadap arteri renalis.

c. Angiography aorta diindikasikan sebelum repair aneurisma arterial oclusive

disease.

22
2. 6 Tatalaksana

Tekanan darah dan denyut nadi harus diturunkan, sehingga tekanan darah

sistolik < 100 mmhg dan denyut nadi <60x/i. Obat yang sering digunakan adalah

golongan ACE, dan ARB serta b-blocker.

3. Diseksi Aorta

3. 1 Definisi

Diseksia aorta terjadi akibat robekan tunika intima dinding aorta yang

menyebabkan darah mengalir ke dalam dinding aorta sehingga aliran darah ke

tubuh berkurang, diseksi bertambah luas, dan dapat menyebabkan ruptur aorta.

3. 2 Etiologi dan Faktor Resiko

Diseksia dapat dipengaruhi oleh faktor resiko baik faktor resiko kongenital

maupun yang di dapat. Diseksia aorta lebih sering terjadi pada penderita

hipertensi, dan orang dengan riwayat pembedahan thoraks. Hipertensi merupakan

faktor predisposisi penting pada diseksia aorta. Pasien dengan diseksia aorta 70%

memiliki tekanan darah tinggi. Diseksia iatrogenik dapat terjadi melalui beberapa

prosedur kardiologi berupa penggantian katup aorta dan mitral, pembedahan

coronary artery bypass graft, dan penggunaan kateterisasi perkutaneus

(kateterisasi jantung).

3. 3 Patofisiologi

Setiap mekanisme yang menyebabkan kelemahan pada lapisan aorta akan

menyebabkan diseksia aorta yang mengakibatkan robekan yang memisahkan

23
bagian dinding aorta, terutama intima dan media. Darah akan mengalir melalui

robekan yang memisahkan lapisan intima dan lapisan media yang akan

membentuk hematom. Robekan awal dari intima boasa terjadi di daerah aortic

root dan dapat menimbulkan robekan luas di sepanjang aorta.

3. 4 Manifestasi Klinis

Keluhan dapat bervariasi, keluhan tersering pada diseksia aorta adalah nyeri

dada yang sangat hebat, onset mendadak, digambarkan seperti ditusuk, disayat

atau dirobek. Nyeri dapat menjalar sepanjang aorta pada thorak dan abdomen.

Pada pemeriksaan fisik, hipertensi sering ditemukan karene hipertensi merupakan

kondisi yang mendasari akibat meningkatnya aktivasi renin angiotensin akibat

aliran darah ginjal yang menurun. Sebagian kecil, pasien diseksia aorta dilaporkan

dengan keadaan hipotensi atau syok karena infark miokard akut, gagal jantung

ventrikel kiri, regurgitasi aorta, dan rupture aorta.

3. 5 Pemeriksaan Diagnostik

1. Ekokardiografi didapatkan adanya cairan perikard, regurgitasi aorta, dan flap

aorta.

2. CT scan menunjukan adanya 2 lumen yang dipisahkan oleh intimal flap.

3. Aortografi menunjukan adanya gambaran 2 lumen dengan ada atau tidaknya

intimal flap.

3. 6 Tatalaksana

24
Tujuan terapi adalah menghentikan progresi dari diseksi. Pasien diseksia

aorta memerlukan terapi intensif berupa stabilisasi pasien, menurunkan tekanan

darah. Pembedahan dilakukan jika terjadi perluasan diseksi, resiko mengenai

cabang mayor aorta, ancaman ruptur, atau nyeri yang terus menerus.

4. Lower Extremity Artery Disease

4. 1 Definisi

Penyakit arteri perifer ekstremitas bawah adalah penyakit akibat obstruksi

pembuluh darah arteri pada tugkai disebabkan terutama karena plak aterosklerosis

dan selain itu dapat juga akibat proses peradangan pembuluh darah dan

trombonemboli.

4. 2 Patofisiologi

Kebanyakan emboli menyebabkan sumbatan di area percabangan arteri,

bifurkasio aorta, iliaca, femoral, atau popliteal di area kaki, dan bifurkasio

brachial pada lengan. Thrombosis in situ seringkali menyebabkan gangguan pada

arteri femoral dan popliteal, terutama pada kondisi pasien yang pernah mengalami

bypass arteri, rupture plak atherosclerosis, atau pada keadaan low output.

Penghentian aliran arteri ke ekstremitas secara mendadak memicu kompleks

proses patofisiologis. Jaringan yang mengalami malperfusi akan mengalami

perubahan metabolism, dari metabolism aerob menjadi metabolism anaerob.

Perubahan rasio laktat – piruvat akan meningkatkan produksi laktat,

meningkatkan konsentrasi ion hydrogen, dan akhirnya menyebabkan terjadi

acidosis. Iskemia yang progresif menyebabkan disfungsi dan kematian sel.

25
Hipoksia otot akan menurunkan simpanan adenosine triphosphate (ATP)

intraseluler, dan menyebabkan disfungsi sodium/potassium-ATPase dan kanal

calcium/sodium sehigga menyebabkan kebocoran kalsium intrasel ke dalam

miosit. Level kalsium bebas intraseluler akan meningkat dan berinteraksi dengan

actin, myosin, dan protease, menyebabkan nekrosis pada serabut otot. Bersamaan

dengan kerusakan pada integritas mikrovaskular dan membrane sel, potassium,

fosfat, kreatinin kinase dan myoglobin intrasel akan keluar dari sel ke sirkulasi

sistemik. Lebih lanjut, reperfusi meningkatkan perubahan-perubahan yang terjadi

dalam sel ini. Jaringan otot dan saraf cukup rentan mengalami injuri iskemia,

sehingga ada atau tidaknya deficit neuromotor merupakan suatu poin yang sangat

penting untuk menilai keparahan iskemia anggota gerak akut. Kerusakan otot

yang ireversibel akan dimulai sejak 3 jam setelah terjadi iskemia dan kerusakan

ini akan total setelah mencapai 6 jam. Selain injuri miosit, injuri pada otot skeletal

akan diikuti dengan kerusakan mikrovaskular ang progresif. Semakin parah

kerusakan seluler yang terjadi, makin besar perubahan yang dialami

mikrovaskular. Pada kondisi nekrosis otot, aliran mikrovaskular berhenti dalm

waktu beberapa jam. Secara teori, butuh waktu sekitar 6 jam untuk menyebabkan

injuri fungsional yang ireversibel. Rentang waktu ini dapat lebih lama pada

kondisi ekstremitas yang memiliki aliran darah kontralateral.

Kondisi iskemik akan memicu suatu kondisi injuri reperfusim suatu proses

yang dipicu oleh pengembalian perfusi dan dimediasi oleh kompleks kaskade

sitokin, reactive oxygen species (ROS), dan neutrofil. Reactive oxygen species

(cth: superoxide anion, hydrogen peroksida, hidroksil radikal, peroksinitrit)

diproduksi oleh neutrofil teraktivasi dan xanthine oxidase, suatu enzim yang

26
berlokasi di sel endotel mikrovaskular pada otot skeletal dan teraktivasi pada

kondisi iskemik. Di bawah kondisi normal, xanthine dehydrogenase menggunakan

nicotinamide adenine dinucleotide untuk mengoksidase hypoxanthine menjadi

xanthine. Xanthine dehydrogenase diubah menjadi xanthine oksidase setelah 2

jam iskemia. Selama iskemia berlangsung, ATP didegradasi menjadi

hypoxanthine, akan tetapi xanthin oxidase membutuhkan oksigen untuk

mengubah hypoxanthine menjadi xanthine. Sehingga, hypoxanthine akan

terakumulasi selama iskemia. Ketika oksigen diperoleh selama fase reperfusi,

isoform xanthine dehydrogenase akan teraktivasi.

Perubahan hypoxanthine dalam jumlah besar-besaran akan menciptakan

reactive oxygen species. Substrat yang esensial dalam produksi radikal-radikal ini,

oksigen molecular, dihasilkan selama proses reperfusi. Oksidan yang berasal dari

xanthine oxidase memediasi peningkatan permeabilitas vaskular dalam otot

postischemic. Peran penting oksigen elemental dan peran oksigen radikal dalam

injuri reperfusi sering diabaikan pada penelitian-penelitian yang menunjukkan

bahwa reperfusi yang dimulai dengan darah autolog yang terdeoksigenasi

mencegah peningkatan permeabilitas setelah iskemik. Merubah darah yang

memperfusi menjadi darah yang teroksigenasi selama reperfusi mirip dengan

respon injuri mikrovaskular yang tampak setelah reperfusi normoxic. Demikian

juga, pengenalan oksigen kembali secara bertahap di awal reperfusi akan

menurunkan injuri postischemic.

Suplementasi tambahan dengan pembasmi radikal bebas dan menurunkan

konsumsi oksigen akan menurunkan injuri pada nekrosis postischemic. Neutrofil

yang teraktivasi merupakan agen utama yang berperan menyebabkan kerusakan

27
local maupun sistemik yang disebabkan proses reperfusi. Leukosit juga

memegang peran yang sama pentingnya dalam menyebabkan injuri reperfusi.

Neutrofil teraktivasi akan terakumulasi di dalam otot yang mengalami reperfusi

dan memproduksi metabolit oksigen reaktif, melepaskan enzim sitotoksik, dan

mengoklusi jalur mikrosirkulasi. Menurunkan jumlah leukosit telah diketahui

mampu mereduksi injuri iskemia-reperfusi. Reperfusi dengan darah yang

teroksigenasi dengan jumlah kandunga leukosit yang telah terdeplesi

menggunakan filter dapat mencegah peningkatan permeabilitas vaskular pada otot

skelet canine.

Iskemia dan reperfusi otot skelet akan menstimulus sejumlah kaskade

inflamasi tambahan yang melibatkan aktivasi komplemen, meningkatkan ekspresi

molekul adhesi, pelepasan sitokin, sintesa eicosanoid, pembentukan radikal bebas,

perubahan sitoskeletal, deplesi adenine nucleotide, perubahan metabolism kalsium

dan fosfolipid, aktivasi leukosit, dan disfungsi endotel. Interleukin (IL)-1β dan

tumor necrosis factor (TNF) – α dapat segera dideteksi setelah reperfusi dan

memicu molekul adhesi pada permukaan sel endotel, emningkatkan kebocoran

kapiler, dan menstimulasi produksi IL-6 dan IL-8, yang mana lebih lanjut

meningkatkan permeabilitas endotel, menghancurkan integritas endotel, dan

mengaktivkan leukosit.

Efek klinis dari respon seluler terhadap reperfusi berupa pembengkakan

jaringan, suatu kondisi kerusakan yang hebat pada ruang tertutup di lengan bawah,

paha, betis, dan pantat. Peningkatan tekanan kompartemen di dalam batas fascia

menyebabkan compartment syndrome: tekanan kompartemen yang meningkat

menyebabkan penurunan gradient perfusi dan aliran darah kapiler sehingga tidak

28
mencukupi kebutuhan metabolic, menyebabkan kondisi iskemia dan nekrosis

yang semakin parah. Pelepasan mioglobin dapat menyebabkan kerusakan ginjal.

Peningkatan permeabilitas endotel dapat menyebabkan acute lung injuri, suatu

proses yang telah diujikan pada hewan coba dengan menginduksi terjadinya

neutropenia secara kimiawi, menunjukkan bahwa aktivasi dan transmigrasi

neutrofil serta hilangnya integritas endotel merupakan hal-hal penting dalam acute

lung injury pada injuri reperfusi. Sehingga, edema paru noncardiac dapat terjadi

setelah proses reperfusi pada ekstremitas bawah, suatu proses yang dapat dicegah

dengan deplesi granulosit.

Sindroma reperfusi terdiri atas dua komponen. Respon local terhadap

reperfusi memicu terjadinya pembengkakan jaringan, sedangkan respon sistemik

terhadap reperfusi dapat berupa kegagalan multiorgan dan kematian. Respon

sistemik inilah yang menyebabkan kegagalan intervensi pada iskemia anggota

gerak tingkat lanjut dan ireversibel. Derajat respon inflamasi yang terjadi setelah

proses reperfusi bervariasi. Ketika nekrosis otot seragam maka dikatakan respon

inflamasinya kecil. Derajat kerusakan iskemik, meskipun begitu, akan bervariasi

tergntung proksimitas jaringan terhadap lokasi oklusi dan efisiensi suplai darah

melalui pembuluh kolateral.Besar kecilnya respon inflamasi akan ditentukan oleh

seberapa luas zona iskemik (tapi tidak sepenuhnya nekrotik). Sehingga reperfusi

pada sekelompok besar otot yang terjadi dengan injuri iskemik tingkat lanjut dan

nekrosis jaringan akan menyebabkan pelepasan sejumlah besar mediator inflamasi

toksik ke dalam sirkulasi sistemik. Efek perusak dari proses reperfusi dapat

menyebabkan pasien dengan injuri iskemik ireversibel harus diamputasi.

29
4. 3 Diagnosis

Gejala iskemik muncul saat terjadi ketidakseimbangan supply dan demand

aliran darah. Manifestasi klinis LEAD beragam mulai dari nyeri ekstremitas

yang berhubungan dengan aktivitas hingga keadaan iskemia yang mengancam.

Manifestasi nyeri berhubungan dengan lokasi dan derajat stenosis. Penilaian

klinis LEAD dimulai dari anamnesis: (1) claudicatio intermittent merupakan

perasaan tidak nyaman, kelelahan, kram dan/atau nyeri yang muncul

berhubungan dengan aktivitas otot ekstremitas bawah, dan membaik dengan

istirahat; (2) gangguan berjalan dapat akibat claudication dan (3) nyeri saat

istirahat. Pemeriksaan fisik awal bisa didapatkan:(1) pulsasi ekstremitas

bawah abnormal (2) bruit vaskular (3) luka di ekstremitas bawah yang sulit

sembuh atau ditemukan gangren. Berikutnya adalah penilaian aktivitas

fisik, lifestyle dan pola diet. Riwayat keluarga dengan penyakit

kardiovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskular, aneurisma

aorta, dan LEAD) dan penyakit kardiovaskular premature (wanita usia 65 tahun,

pria 55 tahun).

Pemeriksaan hematologi rutin meliputi: gula darah puasa, profil lipid, serum

kreatinin, dan creatinine clearance Pemeriksaan tambahan adalah lippoprotein (a)

jika ditemukan riwayat keluarga penyakit kardiovaskular premature Metode

diagnostik yang mudah diakses dan non-invasif adalah pemeriksaan ankle-

brachial index (ABI), dapat digunakan untuk diagnosis dan evaluasi LEAD.

Ankle-brachial index juga merupakan penanda kuat atherosclerosis luas dan risiko

kardiovaskular.

30
Pemeriksaan ABI dilakukan pada posisi supine, cuff diletakkan tepat di atas

ankle, ,tekanan darah sistolik diukur menggunakan probe Doppler (5-10 MHz)

pada arteri tibialis posterior dan tibialis anterior (atau dorsalis pedis) kedua

tungkai dan arteri brachialis kedua lengan. Ankle-brachial index didapat dari

perhitungan tekanan darah sistolik setiap tungkai dibagi tekanan darah sistolik

lengan tertinggi. LEAD didiagnosis jika ABI ≤0,90, jika nilai ABI antara 0,91 –

0,99 dengan kecurigaan LEAD maka penderita harus menjalani pemeriksaan

exercise ABI. Nilai ABI >1,4 menandakan arteri yang non-compressible biasanya

ditemukan pada penderita DM dan/atau penyakit ginjal kronik lanjut. Pemeriksaan

ABI yang dilakukan dengan latihan fisik penting untuk mengukur keterbatasan

fungsional berhubungan dengan gejala tungkai dan berguna untuk menegakkan

diagnosis LEAD pada keluhan disertai nilai ABI normal atau borderline.

Pemeriksaan penunjang lain meliputi duplex ultrasound (DUS), computed

tomography angiography (CTA), dan magnetic resonance angiography (MRA)

pada ekstremitas bawah berguna untuk mendiagnosis lokasi anatomis dan derajat

berat stenosis pada pasien terdiagnosis LEAD jika dipertimbangkan

revaskularisasi. Ketiga pemeriksaan non-invasif tersebut memiliki sensitivitas dan

spesifisitas cukup baik.

4. 4 Tatalaksana

a. Terapi antiplatelet (aspirin atau clopidogrel) diindikasikan untuk penderita

LEAD. Aspirin sudah terbukti menurunkan angka kejadian MACE

secara signifikan, sedangkan clopidogrel pada studi CAPRIE terbukti lebih

superior mengurangi mortalitas kardiovaskular dibandingkan aspirin pada

31
sub-grup penderita DM. Penggunaan dual-antiplatelet (aspirin dan

clopidogrel) dapat mengurang risiko kejadian berhubungan dengan

ekstremitas pada penderita LEAD pasca-revaskularisasi. Penggunaan dual-

antiplatelet direkomendasikan selama minimal 1 bulan tanpa melihat jenis

stent yang digunakan.

b. Terapi statin memperbaiki luaran kardiovaskular pada penderita LEAD.

Semua penderita LEAD diharapkan dapat mencapai target low-density

lipoprotein cholesterol (LDL-C) hingga <70 mg/dL atau penurunan

>50% dari nilai awal LDL-C.

c. Terapi anti-hipertensi harus diberikan pada penderita LEAD disertai

hipertensi.

C. Penyakit Pembuluh Darah Vena dan Arteri

1. Vaskulitis

1. 1 Definisi

Vaskulitis adalah reaksi kutaneus maupun sistemik, yang secara

mikroskopik digambarkan sebagai infiltrasi sel-sel inflamatorik pada dinding

pembuluh darah, dengan derajat nekrosis sel endotel dan dinding pembuluh darah

yang bervariasi. Ukuran pembuluh darah yang terkena bervariasi, mulai dari arteri

besar (giant cell arteritis) sampai kapiler dermis dan venula (lekocy toclastic

vasculitis). Hampir semua pembuluh darah di kulit dapat terserang vaskulitis;

paling banyak mengenai venula dan disebut vaskulitis kutaneus. Vaskulitis

kutaneus mempunyai gambaran histopatologi dengan ciri khas infiltrasi neutrofil

pada pembuluh darah, nekrosis fibrinoid, yang dikenal sebagai leukocytoclastic

32
vasculitis (LCV). Pada LCV, dapat ditemukan juga ekstravasasi eritrosit, debris

granulositik (leukositoklas), inflamasi granuloma atau limfositik, dan deposisi

imunoreaktan pada dinding pembuluh darah.

1. 2 Patogenesis

Patogenesis kompleks imun untuk vaskulitis mengikuti tipe reaksi klasik

Arthus. Di dalam tubuh pejamu (host) yang memiliki kelebihan antigen, kompleks

antigen – antibodi akan terlarut dan bersirkulasi, kemudian berkombinasi dengan

amina vasoaktif yang diproduksi oleh trombosit dan IgE stimulated basophil,

membentuk celah antar sel endotel sehingga kompleks imun tersebut terdeposit.

Deposit kompleks imun mengaktifkan sistem komplemen dengan c3a dan c5a

anafilaktoksin, menyebabkan infiltrasi neutrofil PMN (polimorfonukelar) dan

degranulasi sel mast. Sel PMN mengeluarkan kalase dan elastase, yang merusak

komponen pembuluh darah. Mekanisme imun sel mediate (sel mast) dan

sitotoksisitas seluler memegang peranan langsung pada patogenesis vaskulitis,

meskipun belum jelas diketahui dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

1. 3 Manifestasi Klinis

Gejala vaskulitis tergantung dari pembuluh primer yang terkena. Pada

pembuluh darah kecil, manifestasinya sering kali berupa palpable purpura, atau

urtikaria, pustula, vesikel, petekie, atau lesi seperti eritema multiforme. Pada

pembuluh darah ukuran sedang, manifestasi klinisnya bisa berupa ulkus, nodul

subkutan, livedo reticularis, dan nekrosis digital. Hal terpenting dalam

33
mengevaluasi pasien vaskulitis adalah mengenali gejala dan tanda adanya

penyakit sistemik.

1. 4 Kriteria Diagnosis

Jika dicurigai vaskulitis, dapat dilakukan beberapa langkah diagnostik untuk

mencari penyebab atau menyingkirkan kemungkinan proses lain yang dapat

menimbulkan vaskulitis sekunder (seperti infeksi, trombosis, dan keganasan) atau

dapat menimbulkan kondisi mirip vaskulitis. Ada beberapa kondisi demografis

yang berhubungan dengan terjadinya vaskulitis, di antaranya adalah umur pasien,

jenis kelamin, dan ras. Beberapa jenis vaskulitis terjadi pada populasi spesifik.

Selain itu, perlu ditentukan organ pembuluh darah mana yang terkena. Tipe dan

luas organ yang terkena dapat membantu menentukan tipe vaskulitis dan terapi

awal. Gambaran klinis dapat digunakan untuk melihat ukuran pembuluh darah

yang terkena. Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk

mendukung diagnosis yang tepat.

1. 5 Tatalaksana

Identifikasi tipe vaskulitis sangatlah penting karena berhubungan dengan

terapi. Tipe-tipe tertentu bersifat self-limited, sementara tipe lainnya

membutuhkan terapi kortikosteroid, dengan atau tanpa agen sitotoksik, atau

membutuhkan modalitas terapi lain, seperti plasmaferesis. Pada awal penegakan

diagnosis, harus segera ditentukan apakah ada organ dalam yang terlibat, sehingga

dapat segera diberi terapi yang tepat dan adekuat.

34
Vaskulitis sistemik berbahaya, tetapi morbiditas dan mortalitas dapat

dicegah jika penyakit segera dikenali dan diterapi sedini mungkin. Terapi awal

ditentukan oleh tipe vaskulitis, beratnya kerusakan organ yang terkena, dan

progresivitas penyakit. Kortikosteroid dosis tinggi (prednison 1 mg/kgBB/hari

dalam dosis terbagi) adalah terapi standar untuk sindrom vaskulitis sistemik.

Imunosupresan, seperti siklofosfamid, azatioprin, dan metotreksat, dikombinasi

dengan kortikosteroid, telah digunakan secara luas, tetapi masih sedikit bukti

ilmiah yang mendukung efektivitas terapi kombinasi ini.

2. Penyakit Buerger

2. 1 Definisi

Buerger’s disease atau disebut juga sebagai tromboangiitis obliteran adalah

penyakit inflamasi oklusif pada pembuluh darah arteri dan vena yang sering

mengenai bagian ekstremitas. Etiologi dari Buerger’s disease masih belum

diketahui, namun sebagian besar individu yang terkena penyakit ini adalah

perokok berat. Penyakit ini diidentifikasikan sebagai respon autoimun terhadap

nikotin, sehingga penyalahgunaan tembakau adalah faktor risiko utama. Penderita

penyakit Buerger biasanya datang dengan keluhan yang sangat mirip dengan

penyakit trombosis dan radang pembuluh darah (vaskulitis) lain. Penyakit ini

dapat menimbulkan kecacatan akibat oklusi pembuluh darah yang mengakibatkan

gangren atau kerusakan jaringan sehingga perlu diamputasi, oleh karena itu sangat

diperlukan diagnosis dini dan akurat.

35
2. 2 Etiologi

Penyebab penyakit Buerger belum diketahui dengan pasti. Merokok

merupakan faktor utama onset dan progresifi tas penyakit ini. Hipersensitivitas

seluler penderita penyakit Buerger meningkat setelah pemberian injeksi ekstrak

tembakau. Selain itu dibandingkan dengan aterosklerosis terjadi peninggian titer

antibodi terhadap kolagen tipe I dan tipe III, antibodi terhadap elastin pembuluh

darah. Selain itu pada penyakit ini terjadi aktivasi jalur endotelin-1 yang bersifat

vasokonstriktor poten, peningkatan kadar molekul adhesi, dan sitokin yang

berperan terhadap proses inflamasi. Faktor genetik merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap munculnya penyakit ini. Beberapa peneliti telah

mendokumentasikan peningkatan antigen HLA-A9 dan HLA-Bw5 atau HLA-B8,

B35, dan B40 pada penderita Eropa dan Asia Timur.

2. 3 Diagnosis

Secara umum, penegakan diagnosis suatu penyakit dapat dilakukan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada

Buerger’s disease akan ditemukan riwayat merokok serta rasa nyeri, klaudikasio

pada kaki atau juga tangan saat beraktivitas dan istirahat. Sebagian besar individu

yang terkena Buerger’s disease merupakan perokok. Buerger’s disease juga dapat

terjadi pada individu yang mengkonsumsi bentuk lain dari tembakau, seperti

tembakau yang dikunyah atau chewing tobacco. Perokok yang setiap harinya

mengkonsumsi satu setengah bungkus rokok atau lebih per harinya sangat

mungkin berkembang menjadi Buerger’s disease. Perokok berat didefinisikan

sebagai individu yang mengkonsumsi lebih dari 20 batang rokok setiap harinya.

36
Rasa nyeri pada bagian tubuh yang terkena dapat menyebar ke daerah sentral

tubuh. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya Raynaud’s phenomenon,

yaitu perubahan warna kulit menjadi lebih pucat ketika berada di lingkungan yang

dingin. Fenomena Raynaud terjadi pada sekitar 40% pasien Buerger’s disease.Tes

Allen juga dapat digunakan untuk mengetahui keadaan vaskularisasi di tangan.

Pada tes Allen, pasien diminta untuk mengepalkan tangannya dan pemeriksa akan

menekan pergelangan tangan pasien yang bertujuan untuk mengobstruksi aliran

darah ke tangan. Setelah itu, pasien diminta untuk membuka kepalan tangan, dan

pemeriksa akan melepaskan tekanan pada pergelangan tangan pasien. Normalnya,

telapak tangan akan dialiri darah kembali dalam 5 sampai 15 detik. Hasil tes Allen

pada pasien dengan Buerger’s disease biasanya negatif atau abnormal, dimana

terjadi perlambatan aliran darah pada tangan. Hal ini membuktikan adanya

gangguan pada aliran darah pada tangan pasien. Hasil abnormal pada tes Allen

pada perokok muda ditambah dengan adanya ulserasi dapat menjadi indikasi yang

jelas menunjukkan adanya Buerger’s disease. Namun hasil yang abnormal ini juga

dapat terlihat pada tipe penyakit oklusif arteri kecil pada tangan seperti

skleroderma, calcinosis syndrome, Raynaud's syndrome, oesophageal dysmotility,

sclerodactyly, dan telangiectasia (CREST); trauma berulang; emboli;

hipperkoagulabilitas; dan vaskulitis. Tak jarang, pasien datang ketika telah terjadi

kematian jaringan yang menimbulkan luka dan nyeri pada ekstremitas yang

terkena (gangren) atau ulkus kronik di jari tangan atau kaki.

Penegakan diagnosis Buerger’s disease ini sulit dilakukan pada tahap awal, karena

gejala yang ditemukan tidak spesifik dan tidak ada pemeriksaan penunjang yang

spesifik. Oleh karena itu, penegakan diagnosis penyakit ini dibantu dengan

37
menggunakan suatu criteria diagnosis. Kriteria diagnosis yang sudah diajukan

untuk mendiagnosis Buerger’s disease adalah kriteria Shionoya dan kriteria Olin.

Kriteria Shionoya terdiri dari lima kriteria, yaitu riwayat merokok; onset terjadi

sebelum umur 50 tahun; oklusi arteri infrapopliteal; keterlibatan ekstremitas atas

atau phlebitis migrans; dan tidak ada faktor risiko aterosklerosis lain selain

merokok. Kriteria Olin terdiri dari onset dibawah 45 tahun; riwayat penggunaan

tembakau; adanya iskemia ekstremitas bagian distal dengan indikasi klaudikasio,

nyeri saat istirahat, ulserasi iskemik atau gangren, dan didokumentasikan dengan

tes vaskular non-invasif; tidak termasuk dari penyakit autoimun,

hiperkoagulabilitas, dan diabetes melitus; tidak termasuk dari emboli yang

bersumber di proksimal dengan menggunakan ekokardiografi atau arteriografi;

dan temuan tetap dengan menggunakan arteriografi pada ekstremitas yang secara

klinis terkait dan yang tidak terkait. Kriteria diagnosis Buerger’s disease yang

paling sering digunakan adalah kriteria Shionoya.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah angiogram, biopsy

vaskular, dan pemeriksaan histopatologi. Temuan angiografi pada Buerger’s

disease berupa corkscrewshaped collaterals, yang dikenal dengan tanda Martorell,

mengindikasikan adanya perubahan kompensasi pada vasa vasorum akibat lesi

segmental atau karena adanya oklusi pada ekstremitas bagian distal. Namun, tanda

Martorell ini bukan merupakan patognomonik Buerger’s disease karena gambaran

ini juga terlihat pada lupus eritromatus, skleroderma, sindrom CREST, atau

penyakit oklusif pembuluh darah kecil lainnya, atau pada pasien dengan ingesti

kokain, amfetamin atau kanabis. Biopsi vascular sering digunakan untuk pasien-

38
pasien yang atipikal, seperti pasien lanjut usia, atau pasien yang terkena penyakit

ini pada arteri besar.

2. 4 Tatalaksana

Tatalaksana awal yang paling penting harus dilakukan pasien dengan

Buerger’s disease adalah menghentikan konsumsi rokok. Penghentian konsumsi

rokok bertujuan untuk mencegah progesi penyakit dan mencegah amputasi. Terapi

lain dilakukan pada pasien Buerger’s disease ini dapat berupa terapi suportif.

Terapi suportif perlu dilakukan untuk menjaga aliran darah tetap maksimal pada

ekstremitas yang terkena. Mencegah cedera pada kaki dan infeksi sekunder adalah

hal – hal yang dapat dilakukan dalam terapi suportif. Selain itu, mencegah

vasokonstriksi karena suhu dingin atau obat - obatan juga harus dilakukan. Terapi

medikamentosa yang digunakan untuk Buerger’s disease dibagi dalam beberapa

kategori sesuai mekanisme obatnya yaitu, vasodilator, inhibitor platelet,

antikoagulan, antiinflamasi, dan analog prostasiklin. Vasodilator seperti calcium

canal blocker efektif dalam mengurangi sindrom Raynaud. Prostaglandin E adalah

vasodilator yang efektif pada pasien Buerger’s disease. Ticlopidine, salah satu

agregasi platelet inhibitor spesifik, menunjukkan efek yang menguntungkan untuk

meredakan nyeri dan menyembuhkan ulkus pada Buerger’s disease. Penggunaan

antiinflamasi steroid belum menunjukkan adanya efek yang berarti. Postasiklin

(PGI2) atau analognya, seperti iloprost, beraprost, postinil sodium, juga

digunakan untuk Buerger’s disease. Penggunaan iloprost, analog prostasiklin,

menunjukkan efek yg lebih baik dari pada aspirin terhadap meredakan nyeri pada

saat istirahat dan menurunkan risiko amputasi.

39
Terapi trombolitik intraarterial dengan streptokinase, yang berasal dari

Streptococcus C. hemolyticus dan berguna untuk pengobatan fase dini emboli

paru akut dan infark miokard akut, telah diuji pada beberapa pasien yang memiliki

gangren atau lesi pregangren pada kaki atau jari kaki, menunjukkan hasil yang

baik dalam mencegah amputasi.

Terapi nonmedikamentosa dapat dilakukan dengan simpatektomi, stimulasi

medula spinalis, dan terapi gen faktor pertumbuhan vaskular endotel.

Simpatektomi dapat menurunkan spasme arteri pada Buerger’s disease.

Simpatektomi menunjukkan adanya efek meredakan nyeri dan membantu

penyembuhan ulkus pada sebagian pasien dalam jangka pendek, namun jangka

panjangnya belum ditemukan efektivitasnya. Stimulasi medula spinalis bertujuan

untuk meredakan nyeri neurogenik. Stimulasi pada nervus spinalis T-L

menyebabkan parestesia ekstremitas bawah dan mengurangi nyeri karena iskemia.

Penurunan tonus simpatis akan meningkatkan aliran darah nutrisi pada daerah

yang terkena. Pada pasien dengan Buerger’s disease, terjadi peningkatan

transcutaneous oxygen pressure tension (tcpO) dalam 3 bulan dan tetap stabil

selama lebih dari 4 tahun, serta klaudikasio dan nyeri saat istirahat hampir

menghilang ketika diterapi dengan stimulasi medula spinalis diiringi dengan

penurunan konsumsi rokok (kurang dari 3 rokok per hari). Administrasi gen faktor

pertumbuhan vaskular endotel pada pasien dengan penyakit arteri perifer dapat

meningkatkan konsentrasi faktor angiogenik pada ekstremitas bawah yang

iskemik, meningkatkan proliferasi sel endotel, dan pembentukan pembuluh darah

pada ekstremitas yang iskemik tersebut. Tatalaksana lain yang dapat dilakukan

pada pasien Buerger’s disease adalah amputasi. Indikasi amputasi adalah terdapat

40
gangren, infeksi sekunder basah, rasa nyeri yang hebat, dan sepsis. Namun,

amputasi dapatdipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien setelah lebih dahulu

dilakukan simpatektomi. Hal ini dilakukan karena simpatektomi dapat

meningkatkan suplai aliran darah dan menurunkan level amputasi pada Buerger’s

disease.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Jayanegara AP. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis. CDK-244.


2016;43(9):652-7.

2. Aziz M. Penyakit Arteri Ekstremitas Bawah – Tinjauan Klinis. CDK-258.


2017;44(11):814-6.

3. Setiati Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna
publishing; 2014.

4. Sungkar MA. Penanganan Sindroma Koroner Akut secara Paripurna.


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia.

5. Joewono BS. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Universitas Airlingga; 2003.

6. Kumar A Cannon CP. Acute Coronary Syndromes. Diagnosis an management


part I. Mayoclin Proc 2009;84(10).

7. Radiology-org. Catheter angiography examination of body vein and arteries.


2015.

8. Chow CK, Jolly S, Mellacini RP. American heart association. 1999.

9. Web-Md.com. Nitrates for coronary artery disease. 12 march 2014.

10. Wiesenfarth, John M et al. 2011. Emergency management of acute aortic.

11. Mancini, Mary et al. 2011. Aorta dissection. Available from:


emedicine.medscape.com 30 maret 2012.

12. Rachman, Otte J. Akibat lanjut hipertensi dalam bidang kardiologi. Jurnal
kardiologi Indonesia; UI.

13. Wahyudi Dendi. Endovascular stent graft pada diseksia aorta. Jurnal
kardiologi Indonesia. 2007.

14. Gray, H Anatomy of the human body. The aorta. Diakses di


bartleby.com/107/142.html. 30 maret 2012.

15. Dermengiu, Silvia et al. 2009. Aorta disection due to cystic medical
degeneration report of sudden death case. Romanian society of legal medicine.

16. Hariyanto A. Kriteria Diagnostik Vaskulitis. CDK-188. 2011;38(7):495-6.

42
17. Oktaria D. Samosir RK. Kriteria Diagnosis dan Tatalaksana pada Buerger’s
Disease. Majority. Maret 2017;6(2):126-131.

18. Nurtamin T. Penyakit Buerger. CDK-221. 2014;41(10):749-751.

43

Anda mungkin juga menyukai