Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah didalam sistem kardiovaskuler
termasuk arteri, vena dan ruangan jantung. Menurut Robert Virchow terjadinya trombosis
adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen
pembekuan darah.
Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) merupakan kondisi di mana
darah pada vena-vena profunda pada tungkai atau pelvis membeku. Embolisasi dari
trombus menimbulkan emboli paru (pulmonary embolus, PE) sementara kerusakan vena
lokal dapat menyebabkan hipertensi vena kronis dan ekstermitas pascaflebitis
(postphlebisic, PPL).
Trombosis vena dalam ( DVT ) adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam
vena sekunder akibat inflamasi/trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian.
Trombosis vena adalah bekuan darah yang paling sering terjadi di dalam
pembuluh darah vena betis,dan kendati dapat pula mengenai vena poplitea,vena
femoralis,serta vena iliaka .
Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah terbentuknya bekuan darah (trombus) pada
salah satu vena dalam yang menyalurkan darah kembali ke jantung. Cedera traumatik
merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terbentuknya DVT. Pembentukan
trombus melibatkan tiga faktor penting meliputi aliran darah, komponen darah,
danpembuluh darah yang dikenal sebagai Virchow’s Triad. Temuan klasik nyeri pada
betispada saat kaki dorsifleksi (Homans sign) merupakan tanda yang spesifik tetapi
tidaksensitif dan terjadi pada setengah pasien dengan DVT.
Kebanyakan trombus vena profund berasal dari ekstermitas bawah, banyak yang
sembuh spontan dan lainnya menjadi lebih luas atau membentuk emboli. Trombosis pada
vena poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen-segmen vena ileofermoralis juga
sering terjadi. Amat banyak kasus emboli paru-paru yang terjadi akibat DVT pada vena-
vena panggul dan ekstermitas bawah.
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi umum DVT  terbagi menjadi
a. Venous thromboembolism (VTE), yang terjadi pada pembuluh balik
b. Arterial thrombosis yang terjadi pada pembuluh nadi

C. ETIOLOGI
Pada dasarnya penyebab utama DVT belum jelas, namun ada 3 faktor  yang dianggap
penting dalam pembentukan bekuan darah, hal ini dihubungkan dengan :
a. statis aliran darah
b. abnormalitas dinding pembuluh darah
c. gangguan mekanisme pembekuan
Statis vena terjadi bila aliran darah melambat, seperti pada gagal jantung dan syock ;
ketika vena berdilatasi, sebagai akibat terapi obat, dan bila kontraksi otot skeletal
berkurang, seperti pada istirahat lama, paralysis ekstremitas atau anestesia. Tirah baring
terbukti memperlambat aliran darah tungkai sebesar 50%. Kerusakan lapisan intima
pembuluh darah menciptakan tempat pembentukan bekuan darah. Trauma langsung pada
pembuluh darah, seperti pada fraktur atau dislokasi, penyakit vena dan iritasi bahan kimia
terhadap vena, baik akibat obat atau larutan intra vena, semuanya dapat merusak vena.
Kenaikan koagubilitas terjadi paling sering pada pasien dengan penghentian obat ani
koagulan secara mendadak. Kontrasepsi oral dan sejumlah besar diskrasia dapat
menyebabkan hiperkoagulabilitas.

D. PATOFISIOLOGI
Virchow mengemukakan bahwa faktor utama terbentuknya trombosis vena adalah
(1)hiperkoagulabilitas, (2)perubahan / kerusakan pada dinding pembuluh darah, (3)stasis
aliran darah, dan sampai saat ini ketiga faktor tersebut masih berperan penting pada
trombosis vena dan dikenal sebagai Triad Virchow.
1. Perubahan Daya Beku Darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah
dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas
pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena
banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti
pada hiper koagulasi, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C, defisiensi
protein S dan kelainan plasminogen.
2. Kerusakan Dinding Pembuluh Darah
Permukaan vena maupun arteri yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel
endotel. Bila tidak ada kerusakan atau inflamasi pada dinding pembuluh darah,
trombosit tidak akan melekat pada dinding pembuluh darah, hal ini terutama
dikarenakan tidak adanya reseptor pada endotel yang utuh untuk berikatan dengan
trombosit, selain itu juga karena endotel menghasilkan beberapa substansi yang
menjaga trombosit pada kondisi tak teraktivasi, seperti prostasiklin dan nitrit oksida.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir
akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan
mikrofibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan
tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk
berubah bentuk dan sitsaling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan
mengaktifkan sistem pembekuan darah.
Meskipun demikian, pada kasus-kasus terdiagnosa DVT, jarang ditemukan
adanya kerusakan langsung pada dinding pembuluh darah. Terbentuknya trombosis
pada vena yang masih intak diduga akibat pengaruh adanya inisiasi koagulasi oleh
tissue factor (TF), sebuah protein transmembran tipe I, dan faktor koagulasi VIIa
yang mengubah Faktor X menjadi Xa dan memulai sistem koagulasi seperti pada
gambar 2. Sejumlah TF beredar dalam darah bersamaan dengan suatu membran
mikrovesikel. Pada sebuah studi eksperimental didapatkan bahwa TF yang berikatan
dengan mikrovesikel berperan dalam proses trombosis dengan mengikat trombosit
pada lesi di dinding pembuluh darah. Selain berikatan dengan trombosit, mikrovesikel
tersebut juga bergabung dengan trombosit aktif. Dengan menyatukan trombosit-
trombosit, mikrovesikel tersebut mentransfer TF ke plasma membran dan kemudian
memicu proses pembentukan trombin dan deposisi fibrin pada tempat trombosis.
Selain itu, peningkatan jumlah TF-mikrovesikel juga berhubungan dengan
hiperkoagulasi, dengan didukung sebuah studi yang menyatakan bahwa DVT tanpa
kerusakan dinding pembuluh darah terjadi secara bilateral. Kompleks TF-
mikrovesikel juga dapat berikatan pada sel endotel, karena sel endotel juga
mempunyai P-selectin seperti pada trombosit/keping darah. Seperti pada platelet, sel
endotel juga menghasilkan phospatydilserin yang membantu fusi dan ikatan TF dan
menginisiasi proses koagulasi.
Skema-skema diatas menerngkan bahwa sel endotelial menjadi aktif unutk
menyokong pembentukan trombus vena. Terdapat beberapa stimuli yang dapat
mengaktifkan sel endotel, diantaranya, infeksi, kateter intravaskular, inflamasi dan
mediator lokal seperti TNF, serta stasis aliran darah.
3. Stasis Vena
Aliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis terutama
pada daerah-daerah yang mengalami imobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Hal
ini dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
Selain itu, stasis vena juga dapat menyebabkan desaturasi hemoglobin dan
mengarah pada suatu keadaan hipoksia pada endotelium. Suplai nutrisi endotelium
berasal dari perfusi langsung sel-sel darah di dalam lumen. Keadaan hipoksia pada
endotelium dapat menyebabkan berbagai respon seluler, mulai dari tidak ada respon,
aktivasi sel, hingga kematian sel. Keadaan iskemia dapat memicu aktivasi sel
endotelial untuk mengekpresikan P-selectin, yang kemudian memungkinkan
kompleks TF-mikrovesikel untuk menginisiasi koagulasi dan trombosis.

E. TANDA DAN GEJALA


DVT secara klasik menimbulkan nyeri dan edema pada ekstremitas. Gejala-gejala
ini dapat muncul ataupun tidak, unilateral atau bilateral, ringan atau berat bergantung
padatrombus yang terbentuk. Trombus yang tidak menyebabkan obstruksi aliran vena
seringasimptomatik. Edema merupakan gejala paling spesifik dari DVT. Trombus yang
terdapat pada iliac bifurcation, vena pelvis, vena kava menimbulkan edema kaki
yangbiasanya bilateral. Temuan klasik nyeri pada betis pada saat kaki dorsifleksi
(Homanssign) merupakan tanda yang spesifik tetapi tidak sensitif dan terjadi pada
setengahpasien dengan DVT.
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena
superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v.
poplitea, v. femoralis dan v. iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif
jarang terjadi DVT .
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul
tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis
yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian
besar trombosis di daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila
trombus tersebut meluas atau menyebar ke proksimal. Trombosis vena dalam pada
ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homan’s sign yaitu nyeri pada betis atau fosa
poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini sensitif namun tidak spesifik.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :
a. bendungan aliran vena.
b. peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
c. emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa


1) Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di
daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial
dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita
istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
2) Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan
maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila
disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis
dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan
berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.
3) Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis
vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di
temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-
kadang berwarna ungu.
4) Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai
konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini
mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis
sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam membalik ke
daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan
jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di
kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah
betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous claudicatio), nyeri
berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi
pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Anamnesis dan pemeriksan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan kecurigan mengalami DVT. Keluhan utama DVT biasanya
adalah kaki bengkak dan nyeri. Pada pemeriksan fisik tanda-tanda klasik seperti edema
kaki unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial teraba, dan Homans
sign positf tidak selalu ditemukan.
Pemeriksan laboratorium didapatkan peningkatan kadar D-dimer dan penurunan
Antihrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Konsentrasi D-dimer
dibawah level tertentu atau bahkan negatif mengindikasikan tidak adanya trombosis.
Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA ataupun dengan latex agglutination
assay. Hasil negatif dari pemeriksaan ini sangat berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan
nilai positif, walaupun dapat menandakan adanya trombosis, namun tidak spesifik untuk
DVT.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosis DVT. Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan
diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:
 Venography
Menyuntikan zat pewarna (dye) kedalam vena-vena untuk mencari thrombus,
umumnya tidak dilakukan lagi dan telah lebih menjadi catatan kaki sejarah. Sampai
saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena.
Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri
dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum
pedis dan akan terlihat gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke
proksimal ke v. iliaca.

 Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada
tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femrlis dan iliaca
dibandingkan vena di betis.
 Ultra sonografi (USG) Doppler
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga
adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.
Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini
dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di
deteksi dengan cara objektif lain.
Pemeriksaan Lain yang bisa dilakukan
a. D-dimer 
Adalah tes darah yang mungkin digunakan sebagai tes penyaringan (screening)
untuk menentukan apakah ada bekuan darah. D-dimer adalah kimia yang
dihasilkan ketika bekuan darah dalam tubuh secara berangsur-angsur
larut/terurai. Tes digunakan sebagai indikator positif atau negatif. Jika hasilnya
negatif, maka tidak ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif, itu tidak perlu
berarti bahwa deep vein thrombosis hadir karena banyak situasi-situasi akan
mempunyai hasil positif yang diharapkan (contohnya, dari operasi, jatuh, atau
kehamilan). Untuk sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan secara selektif.
b. EKG
Adalah Elektrokardiogram (ECG atau EKG) adalah tes non-invasif yang
digunakan untuk mencerminkan kondisi jantung yang mendasarinya dengan
mengukur aktivitas listrik jantung. Dengan posisi lead (listrik sensing perangkat)
pada tubuh di lokasi standar, informasi tentang kondisi jantung yang dapat
dipelajari dengan mencari pola karakteristik pada EKG.
c. Hematokrit
Hemokonsentrasi (peningkatan Ht) potensial risiko pembentukan thrombus.
d. Pemeriksaan Koagulasi
Dapat menyatakan hiperkoagulasi.
e. Pemerikasaan vaskuler noninvasive (oskilometri Doppler, toleransi latihan,
pletismografi impendan, dan skan dupleks).
Perubahan pada aliran darah dan identifikasi volume vena tersumbat, kerusakan
vaskuler, dan kegagalan vaskuler.
f. Tes Trendelenburg
Dapat menunjukan tidak kompetennya pembuluh darah.
g. MRI
Dapat berguna mengkaji turbulen darah dan gerakan, kompetensi vena katup.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah
pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang
diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius. Penatalaksanaan DVT
baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan
sebagai berikut:
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.

a. Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi
morbiditas pada serangan akut. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena
pasien diajurkan untuk: istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki,
dan dilakukan pemasangan stoking dengan tekanan kira-kira 40mmHg.
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada pasien-
pasien dengan bedrest, namun tujuan bedrest pada pasien-pasien dengan DVT adalah
untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan
berlebihan dari tungkai yang mengalami DVT dapat membuat klot terlepas dan
“berjalan” ke paru. Dahulu, pasien dengan DVT aktif diharuskan bedrest selama 7-10
hari. Namun, pada penelitian Patrtsch dan Blattler dengan design kohort melaporkan
bahwa ambulasi dini dapat mengurangi nyeri dan pembengkakan segera. Ambulasi
dini dilakukan pada pasien DVT yang belum terdiagnosa PE dan tidak memiliki
kelainan kardiopulmoner. Ambulasi dini juga disarankan pada pasien dengan kondisi
hiperkoagulasi dan dilakukan sekitar 24jam setelah menerima terapi antikoagulan.
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam serangan
trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan
tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan
thrombus atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.
b. Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini
di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin.
Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat
yang biasa di pakai adalah heparin.
Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save artinya anti
koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan
trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin
perlu di pantau waktu tromboplastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas,
sekurang-kurangnya waktu pembekuan.

1) Pemberian Heparin
Heparin 5000iu bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus
1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam
kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5
kontrol.
a) Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
b) Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
c) Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari
ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya
38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
- Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
- Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana
penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
2) Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin.
Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan
(Nandroparin Fraxiparin).
Tabel 2. Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT
Nama Obat Dosis
Enoxaparin 1mg/kgBB, terbagi 2 dosis per hari
Dalteparin 200UI/kgBB, satu kali sehari
Tinzaparin 175UI/kgBB, satu kali sehari
Nadroparin  6150UI terbagi 2 dosis, untuk BB
50-70kg
 4100 UI terbagi 2 dosis, bila BB
<50kg
 9200 UI terbagi 2 dosis, bila BB
>70kg
Reviparin  4200 UI terbagi 2 dosis, untuk
BB 46-60kg
 3500 UI terbagi 2 dosis bila BB
35-45kg
 6300 UI terbagi 2 dosis, bila BB
> 60kg
Fondaparinux  7,5mg satu kali sehari untuk BB
50-100kg
 5mg satu kali sehari untuk BB
<50kg
 10mg satu kali sehari untuk
BB>100kg

LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih
dipilih dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada
pasien-pasien dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.

Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena tetap menjadi


antikoagulan inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH
yang telah terbukti efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat pada
tabel 2.

3) Pemberian Antikoagulan Oral


Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah
rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium
warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada
malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR
(International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0.
- Cara penyesuaian dosis
INR Penyesuaian
a. 1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
b. 1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
c. 2,0 – 3,0 tidak ada perubahan. Kembali : 1 minggu
d. 3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan Kembali : 2 minggu
e. 4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat mingguan : kurang 10%-20%
TDM kembali : 1 minggu
f. > 50 :
- Stop pemberian warfarin.
- Pantau sampai INR : 3,
- Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%. kembali tiap hari.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.
Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan
heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya
pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,
terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen
activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan
fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn
pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam
dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit.
Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik
adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan sereral. Untuk
mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang
ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan
melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
4) Pembengkakan tungkai
Pembengkakkan dapat di kurangi dengan cara berbaring dan menaikkan
tungkai atau dengan menggunakan perban kompresi. Perban ini harus di pasang
oleh dokter atau perawat dan harus di pakai selama beberapa hari. Selama
pemasangan perban, penderita harus tetap berjalan. Jika pembengkakkan belum
seluruhnya hilang perban harus kembali di gunakan.
5) Ulkus di kulit
Jika timbul ulkus ( luka terbuka, lecet ) di kulit yang terasa nyeri, gunakan
perban kompresi 1-2 kali/seminggu karena bisa memperbaiki aliran darah dalam
vena. Ulkus hampir selalu mengalami infeksi dan mengeluarkan nanah berbau. Jika
aliran darah di dalam vena sudah membaik, ulkus akan sembuh  dengan sendirinya.
Untuk mencegah kekambuhan, setelah ulkus sembuh gunakan stoking elastis setiap
hari. Meskipun jarang terjadi pada ulkus yang tidak kunjung sembuh, kadang perlu
di lakukan pencakokan kulit
6) Pembedahan
- Jarang menunjukan.
- Teknik yang digunakan untuk tromboflebitis vena gangguan yang memerlukan
ligasi-vena,vena lipatan, atau klipping.
- Iliofemoral trombektoni-dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
thrombosis iliofemoral akut dan perkusi arteri berkompromi yang gagal respon
terhadap terapi konvesional.
- Prosedur untuk mencegah embolisasi distal
Ekstravaskuler  vena kava gangguan-aplikasi dari klip partisi sekitar
urat;digunakan profillaktit untuk pasien dengan resiko tinggi untuk embolisasi
yang menjalani pembedahan perut untuk alasan lain.
- Intracaval filter(mobin-uidden umbrella,kimray-greendfield filter) adalah
perangkat gangguan dimasukan kedalam vena jugularis kananinternal dan maju
ke vena kava melalui keteter,satu kali di tempat, perangkat
memungkinkan  aliran vena kontinyu sementara filtering pembekuan, sehingga
mencegah embolisasi lebih lanjut.
Penataksanaan Bedah. Pembedahan trombosis vena dalam (DVT)
diperlukan bila : ada kontraindikasi terapi antikoagulan atau trombolitik, ada
bahaya emboli paru yang jelas dan aliran darah vena sangat terganggu yang
dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada ekstremitas. Trombektomi
(pengangkatan trombosis) merupakan penanganan pilihan bila diperlukan
pembedahan. Filter vena kava harus dipasang pada saat dilakukan trombektomi,
untuk menangkap emboli besar dan mencegah emboli paru.

H. Penatalaksanaan Keperawatan.
Tirah baring, peninggian ekstremitas yang terkena, stoking elastik dan analgesik
untuk mengurangi nyeri adalah tambahan terapi DVT. Biasanya diperlukan tirah baring 5
– 7 hari setelah terjadi DVT. Waktu ini kurang lebih sama dengan waktu yang diperlukan
thrombus untuk melekat pada dinding vena, sehingga menghindari terjadinya emboli.
Ketika pasien mulai berjalan, harus dipakai stoking elastik. Berjalan-jalan akan lebih baik
daripada berdiri atau duduk lama-lama. Latihan ditempat tidur, seperti dorsofleksi kaki
melawan papan kaki, juga dianjurkan. Kompres hangat dan lembab pada ekstremitas
yang terkena dapat mengurangi ketidaknyamanan sehubungan dengan DVT. Analgesik
ringan untuk mengontrol nyeri, sesuai resep akan menambah rasa nyaman.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN FOKUS
a. DemografDVT sebagai salah satu manifestasi dari Venous
Thromboembolism (VTE) memiliki beberapa faktor risiko antara lain
faktor demograf/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama),
kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital,
antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas,
riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah,
obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Meskipun DVT
umumnya timbul karena adanya faktor risiko tertentu, DVT juga dapat
timbul tanpa etiologi yang jelas ( idiopathic DVT).
b. Riwayat KesehatanRisiko terjadinya DVT akan meningkat dengan
bertambahnya usia, riwayat keluarga menderita DVT, perokok,
dehidrasi, kanker, vena varikosa, operasi, penyakit jantung dan
pernafasan, obesitas dan kehamilan. Studi tentang riwayat keluarga dan
anak kembar menunjukkan faktor genetika berpengaruh sekitar 60%
risiko DVT. Defsiensi anti thrombin, protein C dan protein S
merupakan faktor risiko yang kuat pada DVT.
c. Data Fokus Terkait Perubahan Pola Fungsi dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fsik merupakan hal yang sangatpenting
dalam pendekatanpasien dengan kecurigaan mengalami DVT. Keluhan
utama DVT biasanya adalah kakibengkak dan nyeri. Pada pemeriksaan
fsik tanda-tanda klasik seperti edema kakiunilateral, eritema, hangat,
nyeri, pembuluh darah superfsial teraba, dan Homans signpositif tidak
selalu ditemukan. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
D-dimer dan penurunan Antithrombin (AT). Peningkatan D-dimer
merupakan indikatoradanya trombosis aktif. Pemeriksaan laboratorium
lain umumnya tidak terlalu bermaknauntuk mendiagnosis adanya
DVT, tetapi membantu menentukan faktor resiko.
d. Pemeriksaan Penunjang
a) Venograf atau flebograf
b) Venograf atauflebograf merupakan pemeriksaan standar untuk
mendiagnosis DVT baik pada betis,paha maupun ileofemoral.
c) Ultrasonograf (USG) Doppler (duplex scanning)
d) USG kompresi
e) Venous Impedance Plethysmography (IPG)
f) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
g) MRI umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT
padaperempuan hamil atau DVT pada daerah pelvis, iliaka dan
vena kava dimana Duplexscanning pada ekstremitas
bawahmenunjukkan hasil negatif.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah/vena.
2) Nyeri berhubungan dengan kondisi kronik
3) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan prenyakit kronis
NO DIAGNOSA INTERVENSI
KEPERAWATAN SLKI SIKI
1. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan tindakan Observasi :
efektif berhubungan keperawatan 3x24 jam Identifikasi kondisi umum (mis,
dengan penurunan diharapkan perfusi perifer tekanan darah, nadi, pernafasan,
aliran darah/vena. meningkat dengan kriteria dan suhu tubuh, tingkat nyeri,
hasil : tanggal sirkumsisi)
- Denyut nadi parifer Periksa kondisi luka (mis, ukuran
meningkat luka, jenis luka, perdarahan, warna
- Penyembuhan luka dasar luka, infeksi, eksudate, bau
meningkat luka, kondisi jaringan tepi luka)
-Warna kulit pucat menurun Monitor adanya perdarahan (mis,
-Edema parifer menurun warna balutar, rembes darah)
-Nyeri ekstremitas menurun Monitor terjadinya komplikasi
-Parastesia menurun pasca sirkumsisi (mis, concealed
-Kelemahanotot menurun penis, phimosis, skin brigde,
-Kram otot menurun retensi urin,flstula, nekrosis,
-Nekrosis menurun hipospadia latrogenik)
-Pengisian kapiler membaik Terapeutik :
-Akral membaik Terapkan teknik aseptik selama
-Tekanan darah sistolik merawat luka sirkumsisi
membaik Terapkan atraumatik care pada
-Tekanan darah diastolik pasien anak-anak
membaik
-Tekanan arteri rata-rata
membaik

2. D.0078 Setelah dilakukan tindakan Observasi


Nyeri akut keperawatan 3x24 jam - Identifikasi skala nyeri
berhubungan dengan diharapkan tingkat nyeri - Identifikasi faktor yang memberat
post op berkurang dengan kriteria dan memperingan nyeri
hasil: - Identifikasi pengetahuan dan
Tingkat nyeri menurun dari kenyakinan tentang nyeri
point 1 (meningkat) ke point Terapeutik
3 (sedang) - Berikan teknik nonfarmakologis
Meringis dari pont 1 untuk mengurangi rasa nyeri
(meningkat) ke point 3 (kompres hangat/dingin)
(sedang) - Fasilitasi istrahat tidur
Kesulitan tidur dari point 1 Edukasi
(meningkat) ke point 3 - Jelaskan penyebab, periode, dan
(sedang) pemicu nyeri
Ketegangan otot dari point 1 - Jelaskan strategi meredakan nyeri
(meningkat) menurun ke - Ajarkan teknik nonfarmakologi
point 3 (sedang) untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik.
Daftar Pustaka

Mackman N, Becker R (2010). DVT: a new era in anticoagulant therapy.Arterioscler Thromb


Vasc Biol, 30: 369-371
Brunner & Suddarth (1997), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 2, EGC,
Jakarta
Marilyn E. Doenges, (1993), Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta
Sarwono, dr, ( 1997), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3, Jilid I, FKUI, Jakarta.
Grace, Pierce A., & Borley, Neil R. 2019. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Erlangga.
Price, Sylvia A., & Wilson, Lorraine M. 2017. Patofisiologi Volume 1: Konsep Klinis Proses-  
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Morton, Patricia Gonce dkk. 2019. Keperawatan Kritis Volume 1: Pendekatan Asuhan    
Holistik. Jakarta: EGC.
Megasafitri, Dian., Wiargitha, & Maliawan, Sri. 2018. Low-Molecular Weight Heparin
Kaushansky, K, MA Lichtman, E Beutler, TJ Kipps, U Seligsohn, JT. Prchal. 2020. Venous
Thrombosis. Williams Hematology, 8th edition. China: The McGraw-Hill Companies, Inc.
P. 2700 – 2720.
Lopez, JA, C Kearon, dan AYY Lee. Deep Venous Thrombosis. Hematology. ASH Education
Book January 1, 2018 vol. 2004 no. 1 439-456
Cushman, M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin Hematol. 2017
April ; 44(2): 62–69.
White, R. The Epidemiology of Venous Thromboembolism. Circulation. 2017;107:I-4 – I-8.
(dari http://circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_I/I-4, diakses pada tanggal 7
November 20219, pkl 20.00)
Bates, SM, R Jaeschke, SM Stevens, S Goodoacre, PS Wells, MD Stevenson, C Kearon, HJ
Schunemann, M Crowther, SG Pauker, R Makdissi, dan GH Guyatt. Diagnosis of DVT:
Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American College of Chest
Physicians. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST 2018; 141(2)
(Suppl):e351S–e418S
Fauci, AS, DL Kasper, DL Longo, E Braunwald, SL Hauser, JL Jameson, J Loscalzo. Venous
Thrombosis. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. 2018. Chapter
111. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Hirsh, J dan J Hoak. Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism.
Circulation.1996; 93: 2212-2245 (dari: http://circ.ahajournals.org/ content/93/12/2212.full,
diakses pada tanggal 5 November 2019, pkl 22.00)
Hirsh, J, RD Hull, dan GE Raskob. Epidemiology and Pathogenesis of Venous Thrombosis. J
Am Coll CardioI 1986;8:104B-113B. (dari:
http://content.onlinejacc.org/data/Journals/JAC/22739/00122.pdf, diakses tanggal 5
November 2019, pkl 22.05)
Kerr T.M et al : Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by Duplex Scanning, The Am
J of Surgery 160:120-206, 1990.
Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent Thrombo-embolism
in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2017.
Thomas J.H et al. Pathogenesis Diagnosis, and Treatment of Thrombosis. The Am J of Surgery
160:547-551, 1990.
Ginsberg J.S. et al. Use of Antithrombotic Agent During Pregnancy. CHEST ;119:122S–
131S.2017
Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J Med.
327:1128-1133, 1992.
Brenner B et al. Quantiation of Venous Clot Lysis D – Dimer Immuboassay During Fibrinolytic
Theraphy Requires Correction for Sluble Fibrin Dehidration. Circulation 81(6) : 1818-1825,
1990.
Strandness D.E. et al : Long-term Sequelae of Acute Venous Thrombosis. JAMA 250:1289-
1292, 1983.
Anderson D.R. et al : Efficacy and Cost of LMH Compared with Standard Heparin for
Prevention of DVT After Total Hip Arthrosplasty. Ann of Intern Med. 119: 1105 –
1112.1993.
Raju S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction. Surgery 123:637-
644, 1999.
Runge M.S et al : Prevention of Thrombosis and Rethrombosis. Circulation 82:655-657, 1990.
Partsch, H dan Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the treatment of
proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J Vasc Surg. 2017;
32:861-869

Anda mungkin juga menyukai