Anda di halaman 1dari 19

A.

PENDAHULUAN
1. PENGERTIAN
Otitis media supuratif kronik (OMSK) atau dalam sebutan sehari-hari congek
adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret
yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul (Soepardi et al.,
2017). Penyakit ini dapat dijumpai di seluruh dunia, baik di negara berkembang
maupun negara yang sudah maju. Di negara-negara sedang berkembang, angka
kejadian OMSK jauh lebih tinggi, hal ini dikarenakan hygiene yang kurang, standar
sosial ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk, gizi buruk dan kurangnya
pendidikan kesehatan (Dhingra, 2017).
OMSK biasanya berkembang pada tahun-tahun pertama kehidupan tetapi dapat
bertahan sampai dewasa. Penyakit ini menyerang 65-330 juta orang di seluruh dunia.
Diperkirakan ada 31 juta kasus OMSK baru per tahun, dengan 22,6% pada anak-anak
kurang dari usia 5 tahun. Di sub-Sahara Afrika prevalensi OMSK pada anak sekolah
adalah dari 0,4% hingga 4,2%. Studi dari Thailand, Vietnam, Korea, dan Malaysia
menunjukkan prevalensi OMSK adalah 0,9%- 4,7% (Master et al., 2018).
Secara klinis OMSK dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe jinak tanpa
kolesteatoma dan tipe bahaya yang disertai kolesteatoma. Otitis media supuratif
kronik tipe bahaya memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan OMSK tipe
jinak (Dornhoffer, 2017).
Komplikasi OMSK dapat diklasifikasikan menjadi komplikasi intrakranial dan
ekstrakranial (Master et al., 2018).
OMSK bisa menyebabkan adanya keterbatasan fungsional pendengaran pada
seseorang. Hal ini mengakibatkan masalah dalam komunikasi yang dapat
menghambat interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari baik dalam bekerja ataupun
beraktivitas. Seringkali ,dapat ditemukan pasien dengan kehilangan pendengaran
yang berat akan menarik diri dari aktivitas sosial.

2. Klasifikasi
OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu OMSK tipe tubotimpani dan tipe attikoantral
(Bansal, 2018)
1) OMSK tipe tubotimpani
OMSK tipe tubotimpani atau biasa disebut tipe benign (tipe aman). Tidak terdapat
resiko komplikasi serius pada OMSK jenis ini.
Tipe benigna ditandai dengan adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas
atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan
tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan
derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous.2 Sekret
mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia sel goblet, metaplasia dari mukosa
telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.

Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:


- Fase benigna aktif
Pada jenis ini terdapat otorea atau sekret pada telinga dan penurunan fungsi
pendengaran. Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui
tuba eutachius atau gaya hidup seperti setelah berenang dimana kuman masuk
melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen.
Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai perforasi subtotal pada pars
tensa. Jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luar. Perluasan
infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit
mukosa yang menetap.
- Fase benigna tidak aktif
Tipe tidak aktif dikatakan jika pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total
yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai
berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,
atau suatu rasa penuh dalam telinga.

Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :


a. Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis.
b. Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis.
c. Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang
terkontaminasi.
d. Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia.
e. Otitis media supuratif akut yang berulang.

2) OMSK tipe attikoantral OMSK tipe ini sering berhubungan dengan resiko
komplikasi yang serius dan bisa menyebabkan erosi tulang akibat kolesteatoma,
maka tipe ini disebut tipe bahaya atau tidak aman.
Tipe atikoantral / tipe tulang / tipe maligna Otitis media supuratif kronik tipe
maligna bersifat progresif, ditandai dengan ditemukannya kolesteatoma.
Kolesteatoma adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna
putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotik. Semakin luas
kolesteatoma, akan mendestruksi tulang yang disekitarnya. Infeksi sekunder akan
menyebabkan keadaan septik lokal dan menyebabkan nekrosis septik di jaringan
lunak yang disekitar kolesteatoma. Destruksi jaringan lunak di sekitar
kolesteatoma mengancam terjadinya komplikasi.

Tabel 2.2 PerbedaanOMSK Tipe benigna dan maligna (Bansal, 2018).

Karakteristik OMSK Benigna OMSK Maligna


Sifat Aman Bahaya,
Otorea Tubotimpani Attikoantral
Bau Tidak berbau Berbau busuk
Banyak cairan Banyak Sedikit
Tipe Mukoid Purulent
Perforasi Sentral Atik atau marginal
Polip Pucat Merah, seperti daging
Kolesteatoma Tidak ada Ada
Komplikasi Tidak pernah Sering dijumpai
intracranial
3. Etiologi
Penyebab otitis media yang paling umum adalah infeksi bakteri pada telinga
tengah. OMSK juga dapat ditandai dengan koinfeksi lebih dari satu `jenis bakteri dan
virus patogen. Jamur juga telah diidentifikasi dalam kultur dari pasien dengan OMSK.
Namun, jamur dapat disebabkan oleh pengobatan dengan antibiotik tetes telinga, yang
menyebabkan penekanan bakteri dan munculnya jamur (Mittal et al., 2017).
Telinga tengah dapat menjadi terinfeksi bila bakteri masuk dari saluran eksterna
atau nasofaring melalui tuba eustachii. Pada otitis media supuratif kronik, bakteri
penyebab OMSK yaitu bakteri aerob (Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, S.
aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella species) atau bakteri
anaerob (Bacteroides, Peptostreptococcus, Proprionibacterium). Bakteri ini cukup jarang
ditemukan pada kulit dari kanal eksternal, namun dapat berproliferasi dengan adanya
trauma, inflamasi, luka robek atau kelembaban yang tinggi. Bakteri ini bisa masuk ke
telinga tengah melalui perforasi kronik. Di antara bakteri ini, P.aeruginosa sering disebut
sebagai penyebab destruksi progresif telinga tengah dan struktur mastoid melalui toksin
dan enzim.
Faktor-faktor yang menyebabkan otitis media supuratif menjadi kronik sangat
majemuk, beberapa diantaranya :
1) Gangguan fungsi tuba eustakhius yang kronik akibat :
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronik atau berulang.
b. Obstruksi anatomik tuba eustakhius parsial atau total.
2) Perforasi membrana timpani yang menetap.
3) Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologis menetap pada telinga
tengah.
4) Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid.
5) Terdapat daerah-daerah dengan skuesterisasi atau osteomielitis persisten di mastoid.
6) Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan
mekanisme pertahanan tubuh.
Bakteri Aerob Bakteri Anaerob Fungi
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides spp. Aspergillus niger
Staphylococcus aereus Clostridium spp. Aspergillus flavus
Klebsiella pneumonia Prevotella spp. Candida albicans
Proteus mirabilis Fusobacterium Candida krusei
Proteus vulgaris nucleatum
Streptococcus
Pneumoniae
Acinetobacter baumanii

4. Patofisiologi
Patofisiologi dari OMSK dikarenakan oleh kerusakan ventilasi telinga tengah dan
inflamasi. Kedua mekanisme ini sangat berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Kerusakan pada ventilasi telinga tengah mengakibatkan inflamasi pada
mukosa, yang pada gilirannya akan mengganggu fungsi tuba Eustachius dan ventilasi
telinga tengah (Probst et al., 2017).
Respon peradangan menimbulkan edema mukosa. Peradangan yang berlanjut
akhirnya menyebabkan ulserasi mukosa dan kerusakan lapisan epitel. Penjamu akan
menghasilkan suatu jaringan granulasi (respon terhadap inflamasi) yang bisa membentuk
polip pada permukaan rongga telinga tengah. Siklus peradangan, ulserasi, infeksi, dan
pembentukan jaringan granulasi dapat berlanjut, pada akhirnya akan menghancurkan
tulang sehingga menimbulkan berbagai komplikasi OMSK (Roland, 2019).
Faktor-faktor yang menyebabkan proses infeksi menjadi kronik sangat bervariasi.
Secara umum dapat dibedakan menjadi lokal dan sistemik.
 Lokal
1) Anatomi dan fungsi tuba eustakhius
Anatomi tuba eustakhius sangat berperan dalam fungsi pertahanan lokal, hal ini
disebabkan oleh pars membranokartilagenous(2/3 bagian medial) pada keadaan
normal selalu menutup, dan hanya terbuka pada keadaan seperti menelan,
mengunyah, dan menguap. Pada pars membranokartilagenous juga mengandung
banyak sel-sel epitel kolumner berkelenjar yang menghasilkan zat mukus yang akan
membentuk mukisal blanket yang akan melekat satu sma lain oleh adanya adhesi
untuk menutup lumen tuba. Keadaan tersebut merupakan fungsi pertahanan mekanik
dari tuba eustakhius. Sel-sel kolumner sekretorik yang juga terdapat di pars
membranokartilagenous tuba yang menghasilkan enzim pembunuh kuman dan cairan
immunoglobulin yang mana keduanya merupakan fungsi pertahanan seluler dari tuba
eustakhius.
2) Mukosa telinga tengah
Embriologik endotelium yang masuk ke dalam rongga timpani berasal dari tuba
eustakhius yang kemudian membentuk lipatan mukosa yang akan melekat pada
tulang pendengaran maupun visera rongga timpani, yang kemudian dikenal dengan
mesenteriun atau lipatan mukosa rongga timpani. Epitel rongga timpani berbentuk sel
skuamus, kuboid, dan kolumner bersilia dan berkelenjar, yang berfungsi antara lain
meresorbsi O2, pembersihan, menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk
serta fungsi proteksi, seperti proteksi mekanik oleh mukosal blanket, proteksi
humoral oleh imunoglobulin dan enzim pembunuh kuman yang dihasilkan oleh sel
kolumner berkelenjar, serta prokteksi selular yang terdapat di submukosa yang berupa
sel fagosit.
3) Membran timpani
Pada keadaan normal membran timpani utuh, sehingga dapat berfungsi sebagai
pelindung rongga telinga tengah terhadap paparan kuman yang masuk dari kanalis
auditorius eksternus.10 Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan,
sehingga mudah terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari
lingkungan. Keadaan ini menyebabkan otorea yang persisten dan lamakelamaan akan
menjadi otitis media supuratif yang menahun.
 Sistemik
1) Keadaan umum tubuh Keadaan umum yang lemah akibat inadekuat asupan gizi,
menimbulkan daya pertahan tubuh terhadap infeksi menjadi lemah. Kondisi tersebut
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
faktor predisposisi infeksi kavum timpani atau rongga telinga tengah.
2) Penyakit sistemik yang menyertai Beberapa penyakit sistemik seperti diabetes
melitus, kelainan darah, dapat menyebabkan penurunan imunitas tubuh akibat tidak
berfungsinya lekosit sebagai sel makrofag secara baik. Inadekuat fungsi makrofag
menyebabkan penyakit sistemik sulit sembuh, bahkan mampu meningkatkan
progresifitas penyakit.
3) Adanya Alergi Infeksi saluran pernafasan yang didasari reaksi alergi menyebabkan
penyakit sulit dieliminasi terhadap pengobatan konvensional dan akan menjadi
kronis, kecuali bila faktor alergi dihilangkan.1 Sebagian otitis media kronis masih
sulit untuk ditangani. Para tenaga medis biasanya berasumsi bahwa setiap radang
hanya diakibatkan infeksi oleh kuman sesuai uji keberadaan bakteri. Hal tersebut
mengakibatkan antibiotik yang lebih sering diresepkan untuk mengobati kegagalan
pengobatan radang dan mungkin akan gagal lagi. Karena pada radang yang berulang,
kemungkinan terdapat faktor alergi sebagai latarbelakang penyebab kegagalan
pengobatan. Sehingga dalam penanganan OMSK, faktor alergi harus dicurigai.

5. Gejala klinik
Menurut Dhingra 2018, gejala klinis OMSK diantaranya :
gejala awal OMSK yaitu otorea kronik dengan sekret mukopurulen melalui membran
timpani non intak. Setelah infeksi bersih, pasien hanya memiliki beberapa atau tidak
ada gejala kecuali gangguan pendengaran. Rekurensi dari infeksi tersebut dapat
menyebabkan nyeri, tapi tidak sering. Sekret telinga bisa muncul kembali dan berbusa
atau mukopurulen pada adanya infeksi akut Sekretnya bisa tidak berbau, mukus
berserabut atau berbau busuk karena infeksi kronik dengan Pseudomonas atau
anaerob. Perforasi membran timpani bisa saja kering selama bertahun-tahun atau pada
kasus lain perforasi tersebut disertai otorea persisten atau berulang. Hal ini
bergantung pada ketekunan pasien dalam melindungi telinga mempraktekkan
higenitas telinga
1) Tipe tubotimpani
a. Sekret telinga : mukoid atau mukopurulen, konstan atau terputus- putus.
b. Gangguan pendengaran : tipe konduktif, tingkat keparahan bervariasi tetapi
jarang melebihi 50 dB.
Gangguan pendengaran tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang
pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun ada juga bersifat tuli
campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi
sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma dapat
menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai
kolesteatoma, tuli konduktif kurang dari 20 dB ditandai bahwa rantai tulang
pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang-tulang
pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 dB. Berat
ringan ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada
OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya
rantai tulang pendengaran.
c. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya
infeksi karena penetrasi toksin melalui foramen rotundum atau fistula labirin
tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan
terjadi tuli sensorineural berat
2) Tipe attikoantral
a. Sekret telinga : sedikit, berbau busuk
Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar
sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang
keluar mukopurulen yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
inflamasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani. Keluarnya
sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan
infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah
mandi atau berenang.
OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang
sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan
produk degenerasi kolesteatoma yang terlihat keping-keping kecil, berwarna
putih, mengkilap. Pada OMSK tipe maligna unsur mukoid dan sekret telinga
tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi
dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma. Sekret yang
encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
b. Gangguan pendengaran : sebagian besar tipe konduktif
Conductive Hearing Loss (CHL) terjadi akibat adanya gangguan hantaran
suara yang disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar dan atau di
telinga tengah. Bersifat correctable, umumnya mengenai nada atau frekuensi
rendah. Derajat keparahan adalah ringan sampai sedang, dan membaik jika
menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Gejala klinis CHL umumnya
suaranya pelan karena penderita mendengar suaranya sendiri terdengar keras.
Di tempat keramaian lebih jelas mendengar (parakusis willissis). Penyakit
yang menyebabkan kurang pendengaran tipe konduktif adalah otitis media
dan otosklerosis
c. Perdarahan pada telinga : perdarahan dapat berasal dari granulasi atau polip
saat membersihkan telinga
d. Kurang Pendengaran Kurang pendengaran dibedakan menjadi 3 jenis sesuai
dengan letak kelainan, yaitu kurang pendengaran tipe konduktif, kurang
pendengaran tipe sensorineural, dan kurang pendengaran tipe campuran
( Mixed Hearing Loss / MHL)
e. Otalgia (nyeri telinga) Pada OMSK, keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase sekret. Nyeri dapat menandakan adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau
dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga
dapat juga berupa manifestasi dari otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan
tanda berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses
atau trombosis sinus lateralis.
f. Vertigo Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius.
Keluhan vertigo merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatoma. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani
yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Fistula merupakan temuan yang serius pada OMSK, karena infeksi kemudian
dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga
timbul labirinitis dan bisa berlanjut menjadi meningitis

6. Penatalaksanaan OMSK
Tata laksana OMSK disesuaikan sesuai tipenya, pada tipe aman dilihat apakah
termasuk fase tenang atau aktif. Pada OMSK tipe aman fase tenang maka bisa
dilakukan stimulasi epitelialisasi tepi gendang telinga yang robek dengan harapan
gendang telinga bisa menutup secara alamiah. Bila gendang telinga tetap berlubang
maka indikasi untuk dilakukan operasi timpanoplasti atau penutupan gendang telinga.
Pada OMSK tipe aman fase aktif maka dilakukan pemberian obat antibiotika topikal
yang bisa dikombinasikan dengan antibiotika sistemik dan pencucian telinga secara
periodik. Bila otore berhenti maka bisa diperlakukan seperti OMSK tipe aman fase
tenang, sedangkan bila otore menetap >1 minggu perlu dilakukan pemeriksaan
mikrobiologi sekret telinga untuk menentukan jenis antibiotika yang tepat. Dan
bila otore masih terjadi > 3 bulan maka indikasi untuk dilakukan operasi
mastoidektomi dan timpanoplasti.
Tata laksana OMSK tipe bahaya satu satunya adalah tindakan operasi
mastoidektomi radikal ataupun mastoidektomi radikal kombinasi dalam rangka
eradikasi kolesteatoma yang bisa menyebabkan destruksi tulang, diikuti dengan
rekonstruksi gendang telinga dan dinding belakang liang telinga. Pengobatan
konservatif dengan cara pembersihan lokal melalui liang telinga masih bisa dilakukan
pada kolesteatoma yang terbatas atau pasien yang kondisinya tidak memungkinkan
untuk menjalani operasi baik dengan menggunakan anestesi lokal maupun anestesi
umum.
B. Asuhan Keperawatan Post Op otitis media supuratif kronik
1. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas Klien
Kaji Data klien secara lengkap yang mencakup ; nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa
medis, No RM / CM, tanggal masuk, tanggal kaji, dan ruangan tempat klien
dirawat. Data penanggung jawab mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama,
pekerjaan, suku bangsa, hubungan dengan klien dan alamat.
2) Keluhan Klien dengan Otitis Media Akut datang dengan keluhan nyeri pada
telinga bagian tengah.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di anamnesa, seperti
penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri yang dirasakan. Biasanya alasan
klien Otitis Media Akut datang memeriksakan diri ke rumah sakit yaitu adanya
nyeri pada telinga tengah disertai terganggunya fungsi pendengaran.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita gangguan pendengaran
(kapan, berapa lama, pengobatan apa yang dilakukan, bagaimana kebiasaan
membersihkan telinga, keadaan lingkungan tenan, daerah industri, daerah polusi).
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Ada atau tidaknya riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang dan riwayat
alergi pada keluarga.
6) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien
- Telinga : Lakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan di daerah telinga dengan
menggunakan senter ataupun alat-alat lain nya apakah ada cairan yang
keluar dari telinga, bagaimana warna, bau, dan jumlahnya. Apakah ada
tanda-tanda radang.
- Kaji adanya nyeri pada telinga
- Leher : Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah lehe
- Dada / thorak, jantung, perut / abdomen, genitourinaria, ekstremitas,
sistem integumen, sistem neurologi.
b. Data pola kebiasaan sehari-hari
- Nutrisi Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat dan
sakit,apakah ada perbedaan konsumsi diit nya.
- Eliminasi Kaji miksi,dan defekasi klien
- Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri Biasanya klien dengan gangguan
otitis media ini, agak susah untuk berkomunikasi dengan orang lain karena
ada gangguan pada telinga nya sehingga ia kurang mendengar / kurang
nyambung tentang apa yang di bicarakan orang lain.
7) Pemeriksaan diagnostik
a. Otoskopi
- Perhatikan adanya lesi pada telinga luar
- Amati adanya oedema pada membran tympani Periksa adanya pus dan
ruptur pada membran tympani
- Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada membran tympani
b. Tes bisik
- Dengan menempatkan klien pada ruang yang sunyi, kemudian dilakukan
tes bisik, pada klien dengan OMA dapat terjadi penurunan pendengaran
pada sisi telinga yang sakit.
c. Tes garpu tala
d. Tes Rinne didapatkan hasil negatif
e. Tes Weber didapatkan lateralisasi ke arah telinga yang sakit
f. Tes Audiometri : AC menurun
g. Xray : terhadap kondisi patologi
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien Otitis Media yaitu :
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.
2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan suhu tubuh
diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa hangat.
3) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan pendengaran
dibuktikan dengan tidak mampu mendengar, menunjukkan respon tidak sesuai,
sulit memahami komunikasi.
4) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi dibuktikan
dengan menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran.
5) Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
3. Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan (SIKI)


keperawatan (SLKI)
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri
berhubungan dengan intervensi selama 3 x 24 Observasi :
agen pencedera fisik jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dibuktikan dengan nyeri menurun dengan frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
mengeluh nyeri, kriteria hasil : - Keluhan 2. Identifikasi skala nyeri.
meringis, gelisah, sulit nyeri menurun - Meringis 3. Identifikasi respons nyeri non verbal.
tidur, diaforesis menurun - Sikap protektif 4. Identifikasi faktor yang memperberat
menurun - Gelisah dan memperingan nyeri.
menurun - Kesulitan tidur 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
menurun tentang nyeri.
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri.
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup.
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan.
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri.
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
2 Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
proses penyakit jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab hipertermia.
dibuktikan dengan termoregulasi membaik 2. Monitor suhu tubuh.
suhu tubuh diatas dengan kriteria hasil: - 3. Monitor kadar elektrolit.
batas normal, kulit Suhu tubuh membaik - 4. Monitor haluaran urine.
merah, kulit terasa Suhu kulit membaik - 5. Monitor komplikasi akibat hipertermia.
hangat. Kadar glukosa darah Terapeutik :
membaik - Pengisian 1. Sediakan lingkungan yang dingin.
kapiler membaik - 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
Ventilasi membaik - 3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
Tekanan darah membaik 4. Berikan cairan oral.
5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering
jika mengalami hiperhidrosis.
6. Lakukan pendinginan eksternal.
7. Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin.
8. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu.
3 Gangguan komunikasi Setelah dilakukan tindakan Promosi komunikasi : defisit pendengaran
verbal berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
dengan gangguan jam diharapkan 1. Periksa kemampuan pendengaran.
pendengaran komunikasi verbal 2. Monitor akumulasi serumen berlebihan.
dibuktikan dengan meningkat dengan kriteria 3. Identifikasi metode komunikasi yang
tidak mampu hasil: - Kemampuan disukai pasien
mendengar, berbicara meningkat - Terapeutik :
menunjukka n respon Kemampuan mendengar - 1. Gunakan bahasa sederhana.
tidak sesuai, sulit Kesesuaian ekspresi wajah 2. Gunakan bahasa isyarat, jika perlu.
memahami / tubuh meningkat - 3. Verifikasi apa yang dikatakan atau
komunikasi Kontak mata meningkat ditulis pasien.
4. Fasilitasi penggunaan alat bantu dengar.
5. Berhadapan dengan pasien secara
langsung selama berkomunikasi.
6. Pertahankan kontak mata selama
berkomunikasi.
7. Hindari merokok, mengunyah makanan
atau permen karet dan menutup mulut saat
berbicara.
8. Hindari kebisingan saat berkomunikasi.
9. Hindari berkomunikasi lebih dari 1meter
dari pasien.
10. Lakukan irigasi telinga, jika perlu.
11. Pertahankan kebersihan telinga.
Edukasi :
1. Anjurkan menyampaikan pesan dengan
isyarat.
2. Ajarkan cara membersihkan serumen
dengan tepat.
4 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi kesehatan
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
kurang terpapar jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan
informasi dibuktikan pengetahuan meningkat menerima informasi.
dengan menunjukka n dengan kriteria hasil: - 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat
perilaku tidak sesuai Perilaku sesuai anjuran meningkatkan dan menurunkan motivasi
anjuran. meningkat - Verbalisasi perilaku hidup bersih dan sehat.
minat dalam belajar Terapeutik :
meningkat - Perilaku 1. Sediakan materi dan media pendidikan
sesuai dengan pengetahuan kesehatan.
meningkat 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan.
3. Berikan kesempatan untuk bertanya.
Edukasi :
1. Jelaskan faktor resiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Anjarkan strategi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan perilaku hidup bersih
dan sehat.
5 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Perawatan Area Insisi
dibuktikan dengan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
efek prosedur invasif. jam diharapkan tingkat 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan,
infeksi menurun dengan bengkak atau tanda-tanda dehisen atau
kriteria hasil: - Demam eviserasi.
menurun - Kemerahan 2. Identifikasi karakteristik drainase.
menurun - Nyeri menurun 3. Monitor proses penyembuhan area
- Bengkak menurun insisi.
4. Monitor tanda dan gejala infeksi.
Terapeutik :
1. Bersihkan area insisi dengan pembersih
yang tepat.
2. Usap area insisi dari area yang bersih
menuju area yang kurang bersih.
3. Bersihkan area disekitar tempat
pembuangan atau tabung drainase.
4. Pertahankan posisi tabung drainase.
5. Berikan salep antiseptik, bila perlu.
6. Ganti balutan luka sesuai jadwal.
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur kepada pasien,
dengan menggunakan alat bantu.
2. Ajarkan meminimalkan tekanan pada
tempat insisi.
3. Ajarkan cara merawat area insisi.
4. Implementasi
Pelaksanaan keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana intervensi disusun
dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari
pelaksanaan adalah membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan,
dan memfasilitasi koping. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan
kebutuhan pasien (Nursalam, 2008).
5. Evaluasi
Evalusi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan
yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria
hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil
evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali kedalam siklus
tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment) (Asmadi, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Bansal, M. 2018, Diseases of ear, nose & throat, Jaypee Brothers Medical Publishers, New
Delhi.

Dhingra, P., Dhingra, S. and Dhingra, D. 2017, Diseases of ear, nose and throat & head and
neck surgery, Elsevier, New Delhi, India.

Dhingra, R., Dhillon, V., Monga, S., Mehta, A., Kaur, G. and Kaur, M. 2017,
‘Sociodemographic profile and evaluation of associated factors in Chronic
suppurative otitis media patients reporting to tertiary care Hospital of Punjab’,
International Archives of Integrated Medicine, vol. 3, no. 6, pp. 6-10.

Dornhoffer , John L. & Gluth, Michael B. 2017. The Chronic Ear, Thieme: New York.

Djaafar ZA. Kelainan Telinga Tengah. Dalam : Supardi E, Iskandar N, Editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FKUI; 2018

Master, A., Wilkinson, E. and Wagner, R. 2018, 'Management of Chronic Suppurative Otitis
Media and Otosclerosis in Developing Countries', Otolaryngologic Clinics of
North America, Elsevier Inc, vol. 51, no. 3, pp. 593–605.

Mittal, R., Lisi, C. V., Gerring, R., Mittal, J., Mathee, K., Narasimhan, G., Azad, R. K., Yao,
Q., Grati, M., Yan, D., Eshraghi, A. A., Angeli, S. I., Telischi, F. F. and Liu, X. Z.
2017, ‘Current concepts in the pathogenesis and treatment of chronic suppurative
otitis media’, Journal of Medical Microbiology, vol. 64, no. 10, pp.1103–1116.

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan


Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Probst, T. M. Brubaker, T. L. 2017. The Effects of Job Insecurity on Employee Safety


Outcomes: Cross-Sectional and Longitudinal Explorations. Journal Applied
Management. Washington State University Vancouver : Department of
Psychology.

Roland, P. 2019, Chronic Suppurative Otitis Media: Background, Anatomy,


Pathophysiology,accessed 23 May 2019, available at :
https://emedicine.medscape.com/article/859501-overview.

Yasmara, D., Nursiswati, & Arafat, R. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai