DISUSUN OLEH :
1. NURMIATI 70300117002
2. KHAERATUNNAFISAH 70300117005
3. ISMAWATI 70300117006
4. GITA LESTARI AMIN 70300117015
5. NURUL FADHILAH IHZAN 70300117027
6. SLAMET RUDIYANTO 70300117030
JURUSAN KEPERAWATAN
2020/2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hemostasis merupakan suatu mekanisme lokal tubuh yang secara spontan berfungsi untuk
mencegah kehilangan darah yang berlebihan ketika terjadi trauma atau luka. Sistem hemostasis pada
dasarnya terbentuk dari tiga kompartemen hemostasis yang sangat penting dan sangat berkaitan yaitu
trombosit, protein darah dan jaring-jaring fibrin pembuluh darah (Rahajuningsih,2007)
Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau disebut juga Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID) adalah sindrom kompleks dan merupakan gangguan serius yang terjadi pada
mekanisme pembekuan darah pada tubuh dimana homeostasis normal dan sistem fisiologik yng
mempertahankan darah agar tetap cair berubah menjadi sistem yang patologik sehingga terjadi
trombifibrin yang menyumbat mikrovaskular dari tubuh. Sistem fibrinolitik yang teraktivasi ini
mengakibatkan terjadinya perdarahan yang difus.
DIC ini dikategorikan ke dalam perdarahan, kegagalan organ, perdarahan masif, dan gejala non
simptomatik tergantung dari jumlah vektor untuk hiperkoagulasi dan hyperfibrinolysis. DIC ini dapat
terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC
umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat
trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.(Susanne, G. 2002). DIC dapat bersifat akut
maupun kronik. Banyak penyakit dengan beraneka ragam penyebab dapat menyebabkan DIC namun
bisa dipastikan penyakit yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis yang lebih buruk.
Kelliker, (2005) menyatakan bahwa DIC merupakan gangguan serius yang terjadi pada
mekanisme pembekuan darah pada tubuh. Secara normal tubuh membentuk bekuan darah sebagai
reaksi terhadap adanya trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor- faktor bekuan
darah. Dengan adanya DIC, tubuh akan membentuk bekuan darah kecil secara berlebihan, mengurangi
jumlah faktor pembekuan dan trombosit dalam tubuh. Bekuan-bekuan darah kecil ini berbahaya, dan
dapat mempengaruhi suplai darah ke organ tubuh lainnya, menyebabkan disfungsi dan kerusakan
organ. Perdarahan secara besar-besaran dapat terjadi karena kurangnya faktor pembekuan dan
trombosit pada tubuh.
DIC terjadi pada pasien dengan kondisi buruk yang bermanifestasi sebagai perdarahan yang
terjadi pada kulit (purpura) dan jaringan lainnya. 30-50% pasien dengan sepsis akan menderita DIC
(Yamamuto, 2014). Begitupula pernyataan dari Levi, (2016) yang menyatakan bahwa diperkirakan
sebanyak 1% pasien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami DIC. Hal tersebut timbul sebagai
komplikasi dari berbagai penyakit serius yang bahkan mengancam nyawa. DIC ini merupakan
kelanjutan dari peristiwa yang terjadi pada jalur koagulasi. Pada permulaannya terdapat aktivasi yang
tidak terkontrol dari faktor pembekuan pada pembuluh darah, yang menyebabkan pembekuan darah
pada seluruh tubuh. Penurunan jumlah trombosit tubuh dan faktor koagulasi meningkatkan terjadinya
resiko perdarahan. DIC bukan merupakan suatu diagnosa yang spesifik, tapi biasanya merupakan
indikasi adanya penyakit yang mendasari. (Ngan, 2005).
Wada Hideo, Matsumoto Takeshi, dan Yamashita Yoshiki, (2014) Menyatakan bahwa DIC
merupakan komplikasi dari infeksi, kanker, keganasan hematologi, penyakit kebidanan, trauma,
aneurisma, dan penyakit hati, dll, yang masing-masing menyediakan karakteristik yang berhubungan
dengan gangguan yang mendasarinya. DIC ini paling sering ditemukan pada pasien dengan sepsis
berat ( severe sepsis) dan syok septik, begitu pula dengan bakteremia, termasuk kedua organisme gram
positif dan gram negatif, paling sering dikaitkan dengan DIC, organisme lain (misalnya, virus, jamur,
dan parasit) juga dapat menyebabkan DIC. Perkembangan dan keparahan dari DIC akibat sepsis berat
dapat mengakibatkan kematian. karena DIC ini dapat mengancam nyawa sehingga harus diterapi
secara cepat.
B. Tujuan Penulisan
- Untuk memenuhi kegiatan pembelajaran tentang Disseminated intravascular coagulation
(DIC)
- Diperoleh pemahaman tentang konsep dasar DIC dan asuhan keperawatan pasien dengan DIC
secara teoritis
BAB 2
KONSEP MEDIS
A. Defenisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu sindrom yang ditandai
dengan adanya perdarahan akibat trombin bersirkulasi dalam darah hanya pada daerah tertentu.
Dasarnya ialah pembentukan bekuan darah dalam pembuluh-pembuluh darah kapiler, diduga karena
masuknya tromboplastin jaringan ke dalam darah. Akibat pembekuan ini terjadi trombositopenia,
pemakaian faktor-faktor pembekuan darah, dan fibrinolisis.(Hadaway, 2000).
Koagulasi Intravascular Diseminata (KID) atau Disseminated intravascular coagulation (DIC)
adalah sindrom yang ditandai oleh adanya aktivasi sistemik yang berlebihan dari pembekuan darah,
yang menghasilkan trombin intravaskular dan fibrin,yang dapat menyebabkan trombosis pembuluh
darah dari yang berukuran kecil sampai berukuran sedang dan akhirnya akan terjadi gangguan organ
dan perdarahan. (Wada Hideo., Matsumoto Takeshi., Yamashita Yoshiki, 2014).
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah gangguan dimana terjadi koagulasi atau
fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling umum
berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker prostat, traktus GI dan paru-paru.
Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencentuskan DIC
termasuk sepsis, gagal hepar dan Anafilaksis (Brunner & Suddarth, 2002).
B. Klasifikasi DIC
Klasifikasi DIC tergantung dari gejala awal yang mendasarinya. DIC dibagi menjadi :
1. DIC Akut
DIC Akut merupakan dekompensasi DIC dan meningkat ketika darah terpapar oleh sejumlah
faktor jaringan dalam waktu yang singkat, dengan membentuk thrombin yang banyak memicu
koagulasi. sehingga waktu pemulihan yang dibutuhkan dalam melakukan mekanisme kontrol dan
mekanisme kompensasi tidak cukup. Konsekuensi klinis yang ditemukan adalah perdarahan diathesis
sistemik dikarenakan endapan fibrin dalam intravaskuler, injuri jaringan ,iskemik, dan microangiopatik
hemolytic anemia.
DIC akut adalah kelainan perdarahan yang memiliki karakteristik timbulnya memar, atau
lebam(ekimosis), perdarahan dari mukosa seperti pada mukosa bibir atau genital, dan terjadi
penurunan jumlah trombosit dan factor pembekuan didalam darah.
2. DIC Kronik
DIC kronik terjadi akibat penurunan laju konsumsi faktor-faktor koagulasi yang bisa
diseimbangkan dengan meningkatka n sintesis protein. Dengan demikian, platelet sedikit berkurang,
fibrinogen plasma normal atau sedikit meningkat, dan PT dan APTT bisa dalam batas normal. Pada
pasien-pasien tertentu, diagnosis DIC secara garis besar didapatkan berdasarkan hasil dari
microangiopathy, apusan darah tepi dan peningkatan kadar FDP dan terutama D-Dimer
Pada saat cidera ada tiga proses utama yang bertanggung jawab atas hemostasis dan pembekuan yaitu:
1. Vasokonstriksi sementara
2. Reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan agregrasi trombosit
3. Pengaktifan faktor-faktor pembekuan.
Proses hemostasis yang berlangsung untuk memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah dapat dibagi
atas beberapa tahapan, yaitu
a. Hemostasis primer yang dimulai dengan aktivasi trombosit hingga terbentuknya sumbat trombosit.
b. Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi hingga terbentuknya bekuan fibrin yang
mengantikan sumbat trombosit.
c. Hemostasis tertier dimulai dengan diaktifkannya sistem fibrinolisis hingga pembentukan kembali
tempat yang luka setelah perdarahan berhenti
Proses hemostasis yang terjadi apabila terdapat kerusakan dalam pembuluh darah meliputi :
1. Interaksi pembuluh darah dengan struktur penunjangnya.
2. Trombosit dan interaksinya dengan pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
3. Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi.
4. Pengaturan terbentuknya bekuan darah oleh inhibitor/penghambat faktor pembekuan dan
sistem fibrinolisis.
5. Pembentukan kembali (remodeling) tempat yang luka setelah perdarahan berhenti.
Tahap 1 dan 2 dikenal sebagai hemostasis primer. Sel endotel pada dinding pembuluh darah
mempunyai mekanisme untuk mengatur aliran darah dengan cara vasokontriksi atau vasodilatasi,
sedangkan membran basal subendotel mengandung protein-protein yang berasal dari endotel seperti
kolagen, fibronektin, faktor von Willebrand dan lain-lain, yang merupakan tempat melekatnya
trombosit dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat hemostasis melalui proses: 1) adhesi
(adhesion), yaitu melekat pada dinding pembuluh darah: 2) agregasi atau saling melekat di antara
trombosit tersebut, yang kemudian menjadi dilanjutkan dengan proses koagulasi.
Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor pembekuan dan kofaktor yang berinteraksi pada
permukaan fosfolipid membran trombosit atau sel endotel yang rusak untuk membentuk darah yang
stabil. Sistem ini dibagi menjadi jalur ekstrinsik yang melibatkan faktor jaringan (tissue factor) dan
faktor VII, dan jalur instrinsik (starface-contact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan, yang
diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi (sel pembuluh darah atau monosit) berkontak
dengan faktor VII aktif (a) yang bersikulasi, membentuk kompleks yang selanjutnnya akan
mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan seterusnya hingga membentuk trombus/fibrin yang stabil
(fibrin ikat silang /cross-linked fibrin).
Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan untuk mengatur dan membatasi
pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding pembuluh darah yang rusak tersebut.
Sistem ini terdiri dari antirombin (AT)-III, protein S, serta heparin kofaktor II, alfa-1 antirifsin dan
alfa-2 makroglobulin. Antirombin bekerja menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa,
XIIa, Xia, Xa, dan Ixa. Tanpa adanya heparin, kecepatan inaktivasi ini relatif lambat. Heparin
mengikat dan mengubah AT dan meningkatkan kecepatan inaktivasi AT. Sedangkan protein C
menghambat faktor Va dan VIIIa, dengan bantuan protein S sebagai kofaktor.
Fibrinolisis atau pemecahan fibrin merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk
mempertahankan patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran darah. Enzim yang berperan dalam
sistem ini adalah plasminogen, yang akan diubah menjadi plasmin dan kemudian akan memecah
fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen( fibrin) degradation product (FDP), sedangkan produk
pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer.
Bagan 2.1. Proses Hemostasis Normal
Faktor-faktor pembekuan, kecuali faktor III dan Faktor IV, merupakan protein plasma. Faktor-
faktor ini bersirkulasi dalam darah sebagai molekul-molekul yang tidak aktif. Prekalikrein dan
kininogen berat molkul tinggi (high molecular weight kininogen) bersama-sama dengan faktor XI dan
faktor XII, dinakamakan faktor-faktor kontak. Pada saat cidera faktor-faktor kontak akan diaktifkan
karena terjadi kontak dengan permukaan jaringan. Setelah mereka terbentuk, faktor ini juga yang akan
berperan dalam melarutkan bekuan.
F. Etiologi
Penyebab terjadinya DIC antara lain:
1. Infeksi
Bakteri gram negative (pseudomonas, meningococcus, salmonella, haemophilus,
enterobacteria)
Bakteri gram positif (Pneumonococcus, staphylococcus)
Virus (Cytomegalovirus, varicella, hepatitis, HIV)
Jamur
Pada keadaan septikemia, DIC terjadi akibat endotoksin atau mantel poli-sakarida bakteri
memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan Faktor XII menjadi F XIIa, menginduksi pelepasan
reaksi trombosit, menyebabkan endotel terkelupas yang dilanjutkan aktivasi XII menjadi XIIa atau X-
XIa, dan pelepasan materi prokoagulan dari granulosit, dan semuanya ini dapat mencetuskan DIC
Terakhir dilaporkan bahwa organisme gram positif dapat menyebabkan DIC dengan
mekanisme seperti endotoksin yaitu mantel bakteri yang terdiri dari mikropolisakarida menginduksi
DIC
Viremia termasuk HIV, varisela, hepatitis, virus sitomegalo, demam berdarah dengue, dapat
disertai DIC. Mekanisme tidak jelas tetapi mungkin atas dasar antigen antibodi mengaktifkan F XII,
reaksi pelepasan trombosit atau endotel terkelupas dan terpapar kolagen subendotel dan membran
basalis.
7. Akut pakreatitis, komplikasi obstetri, gigitan ular, heat stroke, emboli lemak, hypertermy maligna,
gangguan perfusi atau shok
2. Depresi Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya.
Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula
penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah
tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan
darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.
Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia
atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk
dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama
jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri,
terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam
pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan
sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari
sel-sel polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor
pembekuan darah dapat melipat gandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk
fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC.
Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi
oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis
yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan
mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang keladi
terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C
sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation
trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen
pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan
darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa
protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi
menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor
pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan
memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil,
namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI
rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal,
ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh
senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah,
TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.
3. Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya
endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau
endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1).
Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C,
dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk
di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid
leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi
hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap
berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah,
trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat
menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.
Etiologi
H. Pathway DIC Fetus mati dalam kandungan asidosis
Auto imun sirkulasi extrakorporeal
Keganasan hemolisis
Abortus trauma bisa ular
Syok infeksi
perdarahan
Faktor instrinsik
Faktor ekstrinsik
Depresi system
fibrinolitik Disfungsi fisiologis Kelainan aktivasi Bakteremia/endotoksemia
antikoagulan endotel
Intoleransi aktivitas
I. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam tergantung pada sistem organ yang terlibat dalam
thrombus/ infark atau episode perdarahan. DIC kronis bisa menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah
memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena, perdarahan gusi, dan perdarahan
gastrointestinal lambat, atau tidak ada gejala yang tidak dapat diamati.
Manifestasi klinis bergantung pada penyakit dasar, akut atau kronik, dan proses patologis yang
mana lebih utama, apakah akibat thrombosis mikrovaskular atau diathesis hemoragik. Kedua proses
patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat ditemukan dalam waktu yang
bersamaan.
Pada DIC terdapat keadaan yang bertentangan, yaitu trombosis dan perdarahan bersama-sama.
Perdarahan lebih umum terjadi daripada trombosis, tetapi trombosis dapat mendominasi bila koagulasi
lebih teraktivasi daripada fibrinolisis. Perdarahan dapat terjadi dimana saja. Perhatikan terutama bila
terjadi perdarahan spontan dan hematoma pada luka atau pengambilan darah vena. Trombosis
umumnya ditandai dengan iskemia jari-jari tangan dan gangreng, mungkin pula nekrosis korteks renal
dan infark adrenal hemoragik. Secara sekunder dapat mengakibatkan anemia hemolitik
mikroangiopati.
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita DIC yang disertai dengan perdarahan misalnya:
petekie, ekimosis, hematuria, melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan kesadaran
hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak.
Sementara tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan
aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi
organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia fokal, gangren pada kulit.
Mengatasi perdarahan pada DIC sering lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis
pada mikrovaskular yang menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan kerusakan
organ yang menyebabkan gangguan aliran darah, iskemia dan berakhir dengan kerusakan organ dan
kematian.
J. Komplikasi DIC
Syok/hipoperfusi
Nekrosis tubular akut
Edema pulmoner
Gagal ginjal kronis
Konvulsi
Koma
Gagal system organ besar
Trombosis vena dalam
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Tn.S 52 tahun dirawat dengan keluhan Perut membesar kurang lebih 3 bulan disertai rasa
begah. Klien sudah dirawat 4 hari di RS UIN Alauddin Makassar. Pasien post operasi laparatomi
unroofing kista di OK dengan riwayat perdarahan 3000 CC. Riwayat kesehatan 4 tahun yang lalu
pasien mengalami BAB hitam, kadang merah segar, BB turun + 10 kg. 2 tahun yang lalu pasien
dilakukan CT Scan dan didapatkan hasil tumor di usus, tumor jinak dan tidak dilakukan kemoterapi.
Sejak 1 tahun yang lalu perut semakin membesar terutama perut kanan atas. Sejak 6 bulan terakhir
perut semakin membesar, nafsu makan turun, BB turun. 2 minggu SMRS perut semakin membesar dan
terasa begah, telah dilakukan tindakan aspirasi cairan intrahepatik sebanyak + 3000 cc berwarna
merah gelap dan diagnose setelah pembedahan adalah kista hepar hemoragic. Dari hasil pengkajian
Pasien stupor dan masih dalam pengaruh sedasi, Adanya luka post op laparotomi pada abdomen ,
terdapat massa di régimen abdomen kanan atas. Lingkar perut 92 Cm, terpsang drain di abdomen
dengan produksi cairan seros hemoragic + 700 cc/ 12 jam, tekanan intra abdomen 11 mmH20, terdapat
lebam di pinggang sebelah kanan pasien ± 10cm ,(+) akral dingin, (+) conjunctiva anemis, (+)pupil
Isokor , (+) terpasang NGT.
Dari pemeriksaan fisik ventilator dengan modus PC 12, RR 12, PEEP + 5, Fio2 40%.
Hemodinamik tidak stabil dengan TD 62/42 mmHg MAP: 58 , CVP + 7, HR: 100 x/mnt, Capilary refil
> 3 detik, mendapatkan topangan norepineprine 1 mikro/kg/mnt, Dobutamin 6 mikro/kg/mnt,
Epineprine 0,1 mikro/kg/mnt.
Dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorax ,USG intip dan USG abdomen dengan hasil sebagai
berikut : hasil pemeriksaan foto thorax : Dibandingkan tidak tampak kelainan radiologis jantung dan
paru, Tidak tampak pneumothorax, pneumomediastinum maupun enpisema subkutis.Tidak tanpak
gambaran effusi pleura kanan. Hasil pemeriksaan USG intip : Susp cairan bebas intra abdomen dan
hasil pemeriksaan USG abdomen Suggestive massa campuran-campuran kistik – solid luas memenuhi
parenkim hepar, tepi sebagian irregular, ukuran lebih dari 22 cm, mendesak jaringan sekitar,
kemungkinan massa maligna, dd abscess, Splenomegali ringan non spesifik, Ascites (+)
B. Diagnosa
C. Intervensi
D. Implementasi
E. Evaluasi
Daftar pustaka
Bare, Brenda. G.dan Smeltzer., Susanne, G. (2002). Keperawatan medical bedah. Jakarta: EGC
Blackwell Publishing Ltd, British Journal of Haematology, 145, 24–33 25 Guidelines for the diagnosis
and management of disseminated intravascular coagulation.2009
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2141.2009.07600.x/pdf .html
Furlong , MA, Furlong, BR. (2005). Disseminated Intravascular Coagulation. E-medicine. Available
at http://www.emedicine.com/emerg/HEMATOLOGY_AND_ONCOLOGY.htm
Hardaway R.M. (2000). Syndroms Of Intravascular Coagulation. C.C. Thomas Publ., Springfield,
Illinois , U.S.A. 2000. https://www.nursingtimes.net/clinical-archive/wound-care/understanding-
disseminated-intravascular-coagulation/204139.article diunduh tgl 22 Agustus 2016
Labelle Carrie Ann, Kitchens Craig S.Disseminated intravascular coagulation:Treat the cause, not the
lab values, on Cleaveland Clinic Journal of Medicine Volume 72 Number 5.2005.
Tambunan KL. (1999), Koagulasi Intravaskular Diseminata.. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
1999:167-79.
Wada Hideo., Matsumoto, Takeshi., dan Yamashita, Yoshiki. (2014). Diagnosis and treatment of
disseminated intravascular coagulation (DIC) according to four DIC guidelines. Journal of
intensive care. Diunduh dari https://jintensivecare.biomedcentral.com. Doi: 10.1186/2052-0492-
2-15