Anda di halaman 1dari 17

Dic & Trombosis

Koagulasi intravascular diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan

medis,karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. Tetapi tidak

semua KID digolongkan dalam darurat medis,hanya KID fulminan atau akut sedang KID

kronik dengan derajat rendah atau terkompensasi bukan suatu keadaan darurat. Namun

perlu di waspadai bahwa KID derajat rendah dapat berubah menjadi KID fulminant

sehingga memerlukan pengobatan segera. 

Definisi

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan suatu sindrom

patologiklinis yang menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini ditandai dengan aktivasi

sistemik jalur menuju dan mengatur koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi

bekuan fibrin yang dapat menyebabkan kegagalan organ bersamaan dengan konsumsi

trombosit dan faktor koagulasi yang dapat mengakibatkan klinis perdarahan. 

Koagulasi Intravaskular Diseminta Akut dan Kronik

Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan kronik. Keduanya memiliki etiologi danmanifestasi
klinis yang berbeda. 

a. DIC akut 

DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor jaringan) memasuki

sirkulasi pada jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga beberapa hari),

sangat besar kemampuan tubuh untuk mengisi faktor koagulasi dan predisposisi

pasien terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia, trauma jaringan

luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau terlepasnya jaringan

plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita dengan hipotensi atau syok oleh

berbagai sebab (misalnya pada tindakan operasi, stroke luas, atau serangan jantung
 

b. DIC kronik 

Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang terlibat lebih kecil, sehingga

stimulasi lebih kurang kuat dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh untuk

mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan trombosit.  DIC kronik biasanya

berkembang secara perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan

dengan manifestasi klinik lebih bersifat trombotik.

DIC kronik sring terjadi pada penyakit kanker (sindroma trousseau), aneurisme aorta,

dan penyakit inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker, faktor resiko

yang penting adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan nekrosis pada tumor.

Kebanyakan DIC kronik terjadi pada penederita kanker jenis adenokarsinoma paru,

payudara, prostat atau kolorektal. 

Etiologi

Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC pun

dapat merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel.  

DIC akut: 

– Infeksi : Bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia), virus (HIV, varicella, CMV, hepatitis,
virus dengue), fungal (histoplasma),  parasit (malaria) 

– Keganasan  :  Hematologi (AML),  Metastase (mucin secreting adenocarcinoma) 

– Trauma berat : aktivasi tromboplastin jaringan.

– Reaksi Hemolitik, Reaksi transfuse, Gigitan ular, Penyakit hati, Acute hepatic failure, luka
bakar. 
DIC kronik: 

– Keganasan  : rumor solid, lekemi,

– Obstetri : intrauterin fetal death, abrasio plasenta

– Hematologi  : sindrom mieloproliferatif

– Vaskular : rematoid artritis, penyakit raynaud

– Cardiovascular - infark miokard

– Inflamasi; ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis 

Pada kasus infeksi, sepsis, endotoksin mengaktivasi system koagulasi merangsang

pelepasan sitokin tumor necrosis alpha (TNF -α), interleukin (IL-1) dan  komplemen

yang menyebabkan gangguan/ kerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme yang

berkaitan dengan DIC adalah reaksi antigen-antibodi yang mengaktivasi faktor XII,

reaksi pelepasan trombosit atau pengelupasan endotel dengan melibatkan kolagen sub

endotel dan membrana basalis .

Pada kasus keganasan terutama tumor padat, keadaan ini disebabkan oleh penekanan oleh

tumor tersebut, factor jaringan dan factor koagulan yang dilepaskan oleh sel tumor

tersebut atau melalui aktivasi sel endotel oleh sitokin (IL1, vascular endothelial growth

factor/VEGF, TNF.

Pada pasien dengan kasus obstetri seperti solusio plasenta, jaringan atau enzim dari

plasenta dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik, menyebabkan aktivasi sistem

koagulasi. 

Beberapa penyakit autoimun, penyakit kardiovaskular dapat menyebabkan DIC derajat

ringan (low-grade DIC) atau DIC kompensata. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi

mungkin disebabkan oleh syok, hipoksia, dan asidosis yang mengakibatkan gangguan 

endotel aktivasi faktor pembekuan . 


Patofisiologi

Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya : 

1. Aktivasi system koagulasi (consumptive coagulopathy)

2. Depresi prokoagulan

3. Defek Fibrinolisis 

Pembentukan fibrin secara sistemik terjadi akibat peningkatan pembentukan trombin,

bersamaan dengan mekanisme supresi antikoagulan fisiologis dan destruksi fibrin yang

terlambat, pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan fibrinolisis. 

Hampir semua respon inflamasi sistemik , gangguan koagulasi dan fibrinol isis pada DIC

dimediasi oleh beberapa sitokin proinflamasi. Mediator yang terlibat dalam aktivasi

koagulasi terutama interleukin 6 (IL-6). Tumor necrosis factor (TNF) secara tidak

langsung mempengaruhi pengaktifan koagulasi karena efeknya pada IL-6 dan merupakan

mediator yang penting dalam disregulasi jalur antikoagulan fisiologis dan defek

fibrinolisis.

 Ada 3 proses yang terlibat dalam terjadinya DIC, yaitu sebagai berikut :  

Pembentukan Trombin  

Pembentukan trombin sistemik pada binatang percobaan dengan DIC menunjukkan

bahwa secara eksklusif, proses ini diperantarai oleh jalur ekstrinsik yang melibatkan

faktor jaringan (TF) dan faktor VIIa.  Trombin di dalam sirkulasi memecah

fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang agregasi trombosit,

mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas aktivator plasminogen yang

membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin membentuk produk degradasi fibrin

dan selanjutnya menginaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas trombin yang berlebihan 

mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor koagulasi,


dan fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus .

Defek pada Inhibitor Koagulan 

Antikoagulan fisiologis terdiri atas antithombin III, protein C, dan tissue factor–

pathway inhibitor (TFPI). Kadar antitrombin III dalam plasma menurun akibat

koagulasi berkelanjutan, degradasi oleh elastase yang dilepaskan dari neutrofil yang

teraktivasi, dan gangguan sintesis antitrombin III.

 Gangguan pada sistem protein C dapat mengganggu regulasi aktivitas koagulasi.

Penurunan aktivitas protein C disebabkan oleh gabungan gangguan sintesis protein,

penurunan aktivitas trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin, dan kurangnya

kadar  fraksi bebas protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah menjadi

protease aktif oleh trombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue factor yang

merupakan pencetus DIC dihambat oleh  tissue factor-pathway inhibitor (TFPI).

Defek Fibrinolitik 

Penelitian pada binatang percobaan dengan DIC mengindikasikan bahwa sistem

fibrinolitik sebagian besar tertekan pada saat aktivasi koagulasi maksimal. Inhibisi ini

disebabkan oleh peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1)

yang menetap. Penelitian klinis menunjukkan bahwa supresi fibrinolisis  diperantarai

oleh PAI-1 dan walaupun ada beberapa aktivitas fibrinolitik dalam respon terhadap

pembentukan fibrin, tingkat aktivitas ini terlalu rendah untuk mengimbangi deposisi

fibrin sistemik.
DIC mempunyai dua akibat : (1) Endapan fibrin yang meluas dalam mikrosirkulasi.

Keadaan ini meyebabkan iskemi alat-alat vital tubuh yang terkena lebih parah atau lebih peka

dan menimbulkan hemolisis karena eritrosit mendapat trauma sewaktu melewati anyaman

fibrin (anemia hemolisis mikroangiopati).

(2) Diatesis perdarahan terjadi jika trombosit dan

faktor pembekuan diboroskan. Keadaan menjadi lebih buruk kalau pembekuan ekstensif

mengaktifkan plasminogen. Plasmin tidak hanya dapat memecah fibrin (fibrinolisis), tetapi

juga mencerna faktor V dan VIII, sehingga lebih lanjut mengurangi konsentrasinya. 

Disamping itu fibrinolisis berakibat pembentukan produk degradasi fibrin yang mempunyai

dampak menghambat pengendapan trombosit, memiliki aktivitas antitrombin dan merusak

polimerasi fibrin. Semua keadaan ini dapat menyebabkan kegagalan hemostasis. 


Manifestasi klinis

Manifestasi klinis DIC bervariasi. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan

penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi

organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien mengalami perdarahan yang luas pada kulit dan

membran mukosa. Manifestasi perdarahan yang tejadi dapat berupa peteki, purpura,

ekimosis, atau hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas suntikan atau tempat infusa

tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini juga bisa masif dan

membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata.

Sedangkan pasien dengan DIC kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit

dan mukosa. Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria

dapat menyertai.  

Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat

berupa bulla hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan  arteri besar dapat

terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat

berupa akrosianosis perifer, pregangren sampai gangren pada jari- jari, genitalia dan hidung,

iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress

síndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran. 

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain: 

 Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik 

 Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma,
Perdarahan Intrakranial 

 Sistem Kardiovaskular : Hipotensi,  Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer 

 Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang dapat
menyebabkan kematian. 
 Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia 

 Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus

Diagnosis

Untuk membuat diagnosis DIC dari berbagai tingkat dapat dikemukakan proses

terjadinya gangguan koagulasi. Ada juga sistem scoring untuk DIC ysng dikemukakan

pada pertemuan Scientific and Standarization committee International Society on Thrombosis


and Homeostasis yang paling banyak dianut . Langkah-langkah

mendiagnosis DIC sebagai berikut: 

1. Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan

DIC? Jika tidak, Penilaian tidak dianjurkan  


2. Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)

3. SKOR : Liat gambar 3 


Terapi

Pengelolaan DIC bergantung pada penyakit yang mencetuskan terjadinya DIC dan juga

derajat dari DIC. Maka pengobatan kasus demi kasus berbeda satu dengan lainnya. 

Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat diperlukan, sebaliknya pada

kasus yang lain sama sekali tidak.  Jadi setiap individu harus dilihat keuntungan dan

kerugian dari pengobatan.

Meskipun pengelolaan DIC berbeda tiap kasusnya, fokus utama dari pengobatan ialah

untuk menterapi penyebab utama terjadinya koagulasi yang berlebihan. Pada beberapa

kasus, penyebab DIC tidak dapat ditangani secara langsung (contoh: kasus malignasi).

Oleh karenanya diperlukan penanganann khusus untuk mencegah terjadinya trombosis 

dan juga perdarahan. Terapi DIC dibagi menjadi terapi substitusi, antikoagulasi,

pemulihan anticoagulation pathway, dan pemberian agen lainnya (dapat dilihat padatabel).
Tranfusi komponen darah 

Pemberian komponen darah perlu dilakukan pada pasien yang kekurangan komponen

darah akibat konsumsi yang berkelanjutan. Secara khusus, terapi penggantian hanya

digunakan pada pasien yang memiliki gejala klinis perdarahan dan tidak digunakan

untuk mengobati pasien dengan kelainan laboratorium tanpa adanya klinis perdarahan

[2, 4]. Fresh frozen plasma (FFP) merupakan pilihan utama karena memiliki faktorfaktor

koagulasi yang lebih lengkap. Dosis untuk setiap komponen darah dirangkum dalam tabel
dibawah.

Terapi substitusi komponen darah direkomendasikan pada pasien DIC akut maupun

kronis dengan perdarahan aktif. Pasien tanpa adanya perdarahan tidak anjurkan untuk

dilakukan substitusi.

Antikoagulasi 

Terapi antikoagulan telah direkomendasikan sebagai untuk mengatasi koagulasi


yang berlebihan pada DIC. Tapi dalam prakteknya manfaat ini jarang terlihat.

Untuk pasien yang secara aktif perdarahan, heparin akan memperburuk

pendarahan sebelum manfaat potensial. Dalam sebagian besar situasi khas DIC

akut (yang mencakup 95% atau lebih pasien) terapi heparin belum terbukti

berguna dan mungkin berbahaya. Heparin telah terbukti memiliki efek yang

menguntungkan dalam kecil, studi terkontrol pasien dengan koagulasi

intravaskular diseminata, tetapi tidak dalam uji klinis terkontrol [12].

Meskipun kontroversi, heparin dapat digunakan dalam kasus DIC kronis, di mana

trombosis mendominasi (contoh: purpura fulminans, tumor padat, hemangioma, sindrom janin


mati). Heparin biasanya diberikan pada dosis yang relatif rendah (510 unit / kg berat badan /
jam) dengan infus intravena kontinu atau injeksi

subkutan untuk terapi rawat jalan jangka panjang. Dosis rendah heparin subkutan

tampaknya seefektif atau mungkin lebih efektif daripada dosis yang lebih besar

dari heparin intravena di DIC. Namun demikian, harus dilakukan dengan sangat

hati-hati bila menggunakan heparin, dan itu harus dihentikan pada sedikit sedikit

memburuk pendarahan.

Sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa low molecular weight heparin

(LMWH) pada dosis 1 mg/kg/12 jam lebih unggul dari unfractionated heparin

(UFH) dalam mengobati DIC, menunjukkan bahwa penggunaan LMWH lebih

disukai dibandingkan UFH pada DIC.

Antifibrinolotik 

Penggunaan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat dapat mencegah

degradasi fibrin oleh plasmin sehingga dapat mengurangi pendarahan pada pasien

DIC dan yang mengalami hiperfibrinolisis (gambar 4). Akan tetapi, obat ini dapat
meningkatkan risiko terjadinya trombosis sehingga penggunaan heparin

diindikasikan. Terapi ini sangat berguna pada beberapa pasien DIC akut dimana

resiko perdarahan lebih besar dibandingkan terjadinya tombosis. 

Natural protease inhibitor 

Pada pasien DIC terdapat defisiensi inhibitor koagulasi (gambar 1). Pemberian

protease inhibitor dapat memulihkan jalur antikoagulan fisiologis sehingga

jumlah trombin yang berlebihan dapat dicegah. Natural protease inhibitor yang

dapat diberikan pada pasien DIC berupa anti thrombin dan protein C.

Antitrombin (AT) adalah inhibitor utama trombin, penggunaannya dalam DIC

tentu sangat rasional. Antitrombin juga memiliki sifat anti-inflamasi (mengurangi

protein C-reaktif dan IL-6) yang sangat bermanfaat pada DIC. Beberapa uji klinis
kecil pada manusia telah menunjukkan efek menguntungkan dari segi peningkatan parameter
koagulasi dan fungsi organ. Dosis yang digunakan biasanya antara

1500-3000 unit/hari .

Pada pasien DIC biasanya terjadi defisiensi protein C. Pemberian konsentrat

activated protein C (APC) dari 12μg / Kg / jam sampai 30 ug / Kg / jam pada

pasien dengan sepsis berat yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien.

Pemulihan jalur antikoagulasi sangat direkomendasikan pada DIC kronik dimana

biasanya terjadi kegagalan fungsi organ akibat thrombosis yang berlebihan.

Sedangkan pada DIC akut biasanya tidak memiliki manfaat yang terlihat. 

Agen anti-Xa 

Agen anti-Xa seperti Fondaparinux® dan Danaparoid sodium® masih tergolong

baru. Agen anti-Xa mengaktifkan AT khusus untuk menghambat Xa (gambar 5).

Pengobatan dengan Fondaparinux® dianjurkan untuk profilaksis DVT setelah

operasi; Namun, ada sedikit bukti untuk mendukung penggunaannya pada pasien

DIC. Ada sedikit bukti yang menunjukkan manfaat penggunaan agen ini pada

pasien dengan DIC, dan tidak dianjurkan pada kondisi akut dengan perdarahan.

Obat ini juga tidak dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal. 
Secara singkat, terapi-terapi yang direkomendasikan untuk DIC akut ataupun kronis

dapat dilihat pada table di bawah ini.

Nursing care

Although DIC is a medical problem, and treatments will be medically prescribed, quality

nursing care can significantly reduce complications from trauma, sepsis and bleeding.

Many nursing interventions may provoke haemorrhage:  

■ endotracheal suction  

■ turning 

■ cuff blood pressure measurement 

■ rectal temperature 

■ enemas 

■ rectal/***l examinations 

■ plasters and tape 

■ shaving 

■ mouthcare  

Some interventions may be necessary, although alternative approaches should be

considered. For example, wet shaves are likely to cause bleeding; electric shavers may be
safely used (staff may need to ask families to bring electric razors in, as electric shavers 

are usually unavailable in hospitals for infection control reasons). Similarly, foam sticks

are less traumatic than toothbrushes. Lubrication of skin and lips (e.g. with white

petroleum jelly) helps to prevent cracking. Invasive cannulae and procedures should be

minimised to reduce risks of haemorrhage.  

The sight of blood can cause many people great distress, often out of all proportion to

the amount of volume lost. The loss of 5 ml of blood is physiologically unimportant, but can
cause a large enough stain on bedding to create distress, and possible fainting.

Anxiety of both patients and relatives/visitors should be remembered. Visitors should be

warned about the possible sight of blood, escorted to the bedside, and observed until staff

are satisfied about their safety. Relatives experiencing stress may transmit their fears to

patients; apart from humanitarian reasons for reducing stress, it may increases fibrinolytic

activity (Thelan et al. 1990), so aggravating coagulopathy.  

case

Kelly Jones, a healthy 18-year-old, ingested an unknown amount of MDMA (Ecstasy) at a local
nightclub. On admission to ICU, Kelly was deeply unconscious, hyperthermic (40.1°C),
tachycardie (140 beats per minute) with hypotension (80/40 mmHg). Treatments were
commenced to correct her hyperthermia, hypotension and tachycardia; however, she later
developed disseminated intravascular coagulation (DIC).   Kelly’s haematological investigations
included:  

Q.1 Identify which blood results are related to intrinsic activation and which are

related to the extrinsic activation of Kelly’s blood coagulation. With reference to

physiology, explain why Kelly developed coagulation disorder from hyperthermia and
hypermetabolic state.  

Q.2 Cryoprecipitate, fresh frozen plasma and platelets are prescribed. Outline the

rationale for this treatment and the nursing approaches which can maximise their

therapeutic benefits (e.g. specify methods, routes and order of administration, storage,

temperature, minimising bleeding points and/or further fibrinolysis, evaluating

effectiveness).  

Q.3 Kelly’s prognosis is deemed poor and her family are informed. They begin to

discuss the possibility of organ donation if she dies. Reflect on how such a discussion

should be managed, appraise the feasibility of organ donation (e.g. which tissues/organs

can or cannot be used in the light of treatments, infusions of multiple blood products),

ethical dilemmas, specialist services.  

Anda mungkin juga menyukai