Anda di halaman 1dari 5

DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC)

DIC adalah kelainan koagulasi yang disebabkan oleh defisiensi faktor koagulasi dan
trombosit akibat konsumsi yang meningkat. DIC dipicu oleh masuknya zat yang dapat
mengaktifkan system koagulasi. Disseminated intravascular coagulation bukan merupakan
penyakit, tetapi merupakan sindroma yang ada penyakit dasarnya atau underlying disease.
Penggumpalan darah dapat terjadi dalam waktu singkat, beberapa jam sampai satu
sampai dua hari (acute DIC) dan dapat juga dalam waktu yang lama, berminggu-minggu
sampai berbulan-bulan (chronic DIC). Pada DIC akut terjadi penggumpalan darah dalam
waktu singkat, hal ini mengakibatkan sebagian besar bahan-bahan koagulasi, seperti
trombosit, fibrinogen dan lain faktor pembekuan (I sampai XIII) dipergunakan dalam proses
penggumpalan tersebut, oleh karena itu, keadaan ini disebut juga consumption coagulapathy
atau defibrinolysis syndrome. Kesemuanya ini berakibat terjadinya perdarahan dari yang
ringan sampai berat. Penyebab Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang
berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Karena jumlah
faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta
usia. Orang-orang yang memiliki resiko untuk menderita DIC :
1. Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai
komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
2. Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang
menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
3. Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.
4. Komplikasi obstetrik bisa menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta
dan emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi,
sehingga jika terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP
(hemolysis, elevated liver function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi sistemik.
DIC biasanya menjadi komplikasi sekunder penyakit-penyakit tersebut.
5. Penderita abnormalitas vaskular (sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma pembuluh
darah besar)
6. Penderita penyakit hepar yang berat
7. Reaksi toksik-imunologik dari bisa ular, obat-obatan, reaksi transfusi, dan penolakan
transplantasi.
Patofisiologi
1. Consumptive coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan
darah secara sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin
bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar
yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi
aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah,
sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah
pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut,
akan terjadi komplikasi perdarahan. Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis
tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan
intravaskular.
Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-
antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien dengan
DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan,
keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana. Pengendapan fibrin
pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri
dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan
darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem
antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-
menerus. Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik
sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di
pembuluh darah. Sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan
oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1.
2. Depresi prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah
penyebab utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor
pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan
ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di
hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir
terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah. Pembentukan
trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia atau
endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif
mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur
ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat
dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur
intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor
pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial.
Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel
polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi
faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut
andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi
menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari
konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi
yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya
kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas
pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang
keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
3. Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan
berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun
pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan
Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan
sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator
plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di
pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute
myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker
prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-
mana serta perdarahan tetap berlangsung.

Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah,


trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang
dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.

Dianosis
1. Gejala Klinis
Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya,
ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.
Keadaan ini terjadi akibat sepsis atau infeksi berat, trauma, destruksi organ, keganasan
(tumor padat atau myelo/limfoproliferatif), penyakit obstetrik (emboli cairan amnion dan
abrupsi plasenta), abnormalitas vaskular (sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma
pembuluh darah besar), penyakit hepar yang berat, reaksi toksik-imunologik dari bisa
ular, obat-obatan, reaksi transfusi, dan penolakan transplantasi.
Gejala DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika keadaan
ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan sayatan atau jaringan
yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa
menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan; perdarahan masif bisa terjadi di
dalam otak, saluran pencernaan, kulit. Otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam
pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak
terbentuk air kemih.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik DIC akan sangat tergantung etiologi penyakit tersebut.
DIC akut akan memperlihatkan petekia pada palatum mole dan tungkai dan ekimosis
pada bekas punksi vena, keduanya akibat trombositeopenia. Pasien seperti ini juga akan
terdapat ekimosis pada area-area yang traumatik. Sedangkan pasien DIC kronik atau
subakut hanya akan memperlihatkan tanda dan gejala akibat trombosis dan
tromboemboli pada organ tertentu. Keadaan ini terjadi akibat kelainan berbagai penyakit.
Secara umum seperti yang tersebut di atas, terdapat dua jalur yang menjadi penyebab
terjadinya DIC, pertama, respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis atau
trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah. Kedua,
pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah (mis. Pasien kanker atau obstetrik). Pada
situasi tertentu, dua jalur penyebab DIC ini bisa muncul secara bersamaan (mis. Trauma
mayor atau pankreatitis nekrotik berat).

3. Diagnosis Laboratorium
Diagnosis Pemeriksaan darah menunjukkan :
– Penurunan jumlah faktor pembekuan
– Adanya bekuan-bekuan kecil yang tidak biasa
– Sejumlah besar hasil pemecahan bekuan darah.
Tidak ada metode khusus untuk mendiagnosis DIC selain menilai gejala klinis
berupa perdarahan terus-menerus dengan gejala sianosis perifer serta melihat hasil lab
dengan trombositopenia, masa perdarahan global yang memanjang signifikan (PT dan
aPTT), serta Fibrin Degradation Produc (FDP), atau spesifiknya D-dimer akan
meningkat (walaupun keduanya juga meningkat pada trauma berat).
Selain pemeriksaan fisis dan penunjang diatas, cara terbaik untuk mengenali DIC
ialah dengan mengetahui penyakit-penyakit apa saja yang biasanya potensial menyebabkan
DIC.

Penatalaksanaan
Penyebabnya harus dicari dan diatasi, apakah gangguan kebidanan, infeksi atau kanker.
Jika penyebabnya diatasi, maka gangguan pembekuan bisa berkurang. DIC bisa berakibat
fatal, sehingga harus diatasi sesegera mungkin. Diberikan transfusi trombosit dan faktor
pembekuan untuk menggantikan kekurangan dan menghentikan perdarahan. Untuk
memperlambat pembekuan kadang diberikan heparin.
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang
mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut,
sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.
Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat
buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif,
atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat
untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.
Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni
heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan
mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi,
namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu
mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal
heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap
empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai
dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut
pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup
serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa
DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai