Anda di halaman 1dari 211

DIC

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakangh
Hemostasis ialah proses pembentukan bekuan pada dinding pembuluh darah yang rusak,

untuk mencegah kehilangan darah, sementara tetap mempertahankan datah dalam keadaan cair di
dalam system pembuluh darah. Sekumpulan mekanisme sistemik kompleks yang saling
berkaitan akan bekerja untuk mempertahankan imbangan antara koagulasi dengan antikoagulasi.
Sebagai tambahan, imbangan tersebut dipengaruhi oleh factor lokal pada berbagai organ yang
berbeda.
Respons terhadap cedera
Kalau suatu pembuluh terpotong atau rusak, cedera tersebut memulai suatu rangkaian peristiwa
( seperti pada gambar)

yang menghasilkan terbentuknya bekuan (hemostasis). Bekuan ini

menyumbat daerah yang rusak dan mencegah terjadinya kehilangan darah lebih lanjut. Peristiwa
yang mula-mula terjadi adlaah konstriksi pembuluh darah dan pembentukan sumbat hemostatik
sementara dari trombosit yang akan tercetus bila trombosit mengikat kolagen dan beragregasi.
Peristiwa ini diikuti dengan konversi sumbat tersebut menjadi bekuan definitif.
Mekanisme pembekuan
Agregasi trombosit yang longgar pada sumbat sementara diikat dan dikonversi menjadi
sumbat definitive oleh fibrin. Mekanisme pembekuan yang berperan dalam pembentukan fibrin
melibatkan kaskade reaksi enzim yang tidak aktif di ubah menjadi aktif, dan enzim tersebut
selanjutnya mengaktifkan enzim lain yang belum aktif. Kompleksnya, system tersebut pada masa
lalu dipersulit oleh berbagai penamaan, tetapi diterimanya system pemberian nomor untuk
berbagai factor pembekuan lebih mempermudah keadaan

Reaksi mendasar dalam pembekuan darah adlah konversi protein olasma yang larut, yaitu
fibrinogen menjadi fibrin yang tidak Larut. Proses ini mencakup pembebasan dua pasang
polipeptida dari setiap molekul fibrinogen. Bagian yang tersisa, monomer fibrin, kemudian
mengalamai polimerisasi dengan molekul-molekul monomer lain sehinga membentuk fibrin.
Fibrin mula-mula berupa gumpalan longgar benang-benang yang saling menjalin. Selanjutnya,
pembentukan ikatan-ikatan silang kovalen akan mengubah gumpalan longgar menjadi agregat
yang padat dan ketat. Reaksi yang terakhir ini dikatalisis oleh faktor XIII yang telah diaktifkan
dan memerlukan Ca2+.
Perubahan fibrinogen menjadi dikatalisis oleh trombin. Trombin adalh suatu serin
protease yang terbentuk dari prekursornya di sirkulasi, protrombin, oleh kerja faktor X yang
telah diaktifkan. Kerja tambahan trombin adalah pengaktifan trombosit, sel endotel, serta leukosi
melalui sedikitnya satu reseptor gabungan protein G.
Faktor X dapat daktifkan melalui reaksi pada salah satu dari 2 sistem, sistem intrinsik dan
sistem ektrinsik. Reaksi awal pada sistem intrinsik adalah konversi faktor XII inaktif menjadi
faktor XII aktif (XIIa). Aktivasi ini yang dikatalisis oleh kininogen berberat molekul tinggi dan
kalikrein dapat dilakasanakan in vitro dengan pemajanan darah terhadap permukaan bermuatan
elektronegatif yang mudah dibasahi, seperti gelas dan serat kolagen. Aktivasi in vivo terjadi
kalau darah terpajan terhadap serat-serat kolagen yang berada dibawah lapisan endotel pada
pembuluh darah. Faktor XII aktif kemudian mengaktifkan faktor XI, dan faktor XI aktif
mengaktifkan faktor IX. Faktor IX yang telah diaktikan membentuk suatu kompleks dengan
faktor VIII aktif, yang menjadi aktif kalau terpisah dari faktor von Willebrand. Kompleks Ixa dan
VIIIa mengaktifkan faktor X. Fosfolipid dari trombosit yang beragregasi (PL) dan Ca 2+
diperlukan untuk pengaktifan sempurna faktor X. Sistem ekstrinsik dipicu oleh pelepasan
tromboplastin jaringan, suatu campuran protein-fosfolipid yang mengaktifkan faktor VII.
Tromboplastin jaringan dan faktor VII mengaktifkan faktor IX dan X. Dengan adanya PL, Ca 2+,
dan faktor V, faktor X yang telah diaktifkan mengatalisis konversi protrombin menjadi trombin.
Jalur ekstrinsik dihambat oleh suatu penghambat jalur faktor jaringan yang membentuk struktur
kuartener dengan TPL, faktor VIIa dan faktor Xa.
Contoh-contoh penyakit yang disebabkan oleh defisiensi faktor pembekuan
Defisiensi faktor :
I

Sindroma klinis
Afibrinogemia

Penyebab
Pengurasan selama

kehamilan disertai
pelepasan plasenta
prematur; juga kongenital
II

(jarang)
Penurunan

Hipoprotrombinemia

(kecenderungan perdarahan hati,


V
VII
VIII

sintesis

biasanya

oleh

sekunder

pada penyakit hati)


Parahemofilia
Hipokonvertinemia
Hemofilia A (hemofilia

akibat defisiensi vitamin K


kongenital
kongenital
Cacat kongenital yang

klasik)

disebabkan

oleh

aneka

macam kelainan gen pada


kromosom X yang mengode
faktor

VIII;

penyakit

ini

karena

itu

diturunkan

seagai ciri-ciri yang terkait


IX

Hemofilia

Christmas)
Defisiensi faktor

XI
XII

prower
Defisiensi PTA
Ciri Hageman

seks.
(penyakit kongenital
Stuart- kongenital
kongenital
kongenital

Gangguan pembekuan dapat terjadi oleh karena gangguan pada tahap pertama, kedua
atau ketiga ataupun karena adanya antikoagulansia yang beredar di dalam darah atau karena
proses pembekuan dalam pembuluh darah.
GANGGUAN TAHAP PERTAMA
Gangguan ini dapat disebabkan kekurangan faktor pembekuan yang bekerja pada tahap
tersebut. Kekurangan faktor pembekuan pada tahap pertama dapat diketahui dari pemeriksaan
SPT (serum prothrombin time) atau prothrombin consumption time). PTT (Partial
thromboplastin time), pemeriksaan TGT (thromboplastin generation test). Bila terdapat

kekurangan faktor pembekuan dalam tahap pertama maka SPT kurang dari 40 detik (normal
lebih dari 40 detik), PTT dan TGT memanjang atau abnormal.
Gangguan mekanisme pembekuan pada tahap pertama terdapat pada penyakit :
a. Hemofilia A (kekurangan faktor VIII)
b. Hemofilia B (kekurangan faktor IX)
c. Penyakit von Willebrand ( pseudohemofilia, hemofilia vaskular)

GANGGUAN TAHAP KEDUA


Gangguan ini ditetapkan dengan pemeri8ksaan T (plasma prothrombin time) dengan
lebih dahulu dibuktikan bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama normal atau dengan
perkataan lain tromboplastin yang dibentuk cukup. Bila PTT lebih dari 20 detik (normal 20
detik), berarti bahwa faktor pembekuan tahap kedua ( II, V, VII, X) kurang.
Untuk penentuan faktor mana yang kurang, maka masing-0masing faktor harus diselidiki lebih
lanjut.
ETIOLOGI
1. Faktor kongenital
Bersifat resesif autosomal herediter. Kelainan timbul akibat sintesis faktor pembekuan tersebut
menurun.
2. Faktor didapat
Biasanya disebabkan defisiensi faktor II (prothrombin), yang terdapat pada keadaan sebagai
berikut:
a.

Neonatus, terutama yang kurang bulan yaitu karena fungsi hati yang belum sempurna sehingga

pembentukan faktor pembekuan II mengalami gangguan.


b. Defisiensi vitamin K. Hal ini dapat terjadi pada penderita ikterus obstruktif, fistula biliaris,
absorbsi vitamin K dari usus yang tidak sempurna atau karena gangguan pertumbuhan bakteri
usus.
c. Beberapa penyakit seperti sirosis hati, uremia, sindrom nefrotik dan lain-lain.
d. Terdapatnya zat antikoagulansia (dikumarol, heparin) yang bersifat antagonistik terhadap
prothrombin.
e. Disseminated intravaskular coagulation (DIC)

GANGGUAN TAHAP TIGA


Untuk menentukan adanya kelainan pembekuan pada tahap tiga harus dibuktikan dahulu
bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama dan kedua berjalan normal.
Gangguan pada tahap tiga ini biasanya ialah kekurangan fibrinogen. Pemeriksaan kadar
fibrinogen dapat dilakukan kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif ialah dengan
menentukan thrombin time. Bila thrombin time memanjang (normal kurang dari 15-20 detik)
berarti terdapat hipofibrinogenemia. Secara kuantitatif ialah dengan mengukur kadar fibrinogen
dalam plasma (normal 250-350 mg%)
Kekurangan fibrinogen ini dapat kongenital dan bersifat resesif autosomal atau didapat
misalnya setelah mengalami operasi berat, solusio plasenta, DIC
B.

Tujuan

1. Memahami mekanisme hemostasis dalam tubuh manusia


2. Dapat menjelaskan patogenesis dan patofisiologi penyakit pasien
3. Mengetahui dan memahami apa dilakukan untuk menegakkan diagnosis
4. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan penyakit pasien
C.

Data pelaksana tutorial

1. Judul blok

: Blok Hematologi

2. Nama Tutor

: dr. Tina S.

3. Data Diskusi
a. SGD I
Hari/tanggal
Waktu
Tempat

: Jumat, 14 Mei 2010


: 10.30-12.00 WIB
: Ruang Diskusi

b. SGD II
Hari/tanggal
Waktu
Tempat
c.

: Senin, 17 Mei 2010


: 07.50-09.30 WIB
: Ruang Diskusi

Pleno

Hari/tanggal
Waktu
Tempat

: Kamis, 20 Mei 2010


: 07.50-09.30 WIB
: Ruang Diskusi

D.

Pemicu / Skenario
SKENARIO 3
SI AMAT YANG DEMAM

Amat (laki-laki 15 tahun) adalah remaja yang memiliki segudang aktivitas. Akhir-akhir ini Amat
mengalami demam tinggi, menggigil, nausea, vomitus serta pada permukaan tubuhnya dijumpai
petechiae, ekimosis dan terjadi perdarahan yang sulit berhenti dibekas suntikan. Amat pun pergi
ke dokter untuk mendapatkan pengobatan dan sekaligus melakukan pemeriksaan darah. Pada
pemeriksaan darah dijumpai trombosit 100.000/ mm3, leukosit 14.000 mm/ mm3, PT 18 detik,
aPTT 45 detik. Kira-kira apakah yang terjadi pada Amat dan bagaimana pengobatan yang
seharusnya diterima Amat.
E. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui hemostasis
2. Mengetahui Hemofilia
3. Mengetahui Defisiensi Vitamin K
4. Mengetahui Thalassemia
5. Mengetahui DIC
6. Mengetahui ITP
7. Mengetahui von Willebrand
F.
Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat
1. Apa maksud dari pemeriksaan penunjang pada DIC menurut Sistem Skor DIC (ISTH 2001) ?
2. Bagaimana penatalaksanaan penyakit yang diderita sesuai skenario ?
G.
Jawaban atas pertanyaan
1. Penilaian dibaca sesuai skor yang dibuat sistem skor DIC (ISTH 2001) .
2. Yang pertama dilakukan adalah pemberian vitamin K untuk penanganan perdarahan pertama
kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin dengan dosis 300-500 U/ jam, plasma
trombosit, dan penghambat pembekuan III.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Petechiae

: bintik merah kecil akibat keluarnya sejumlah kecil darah

2. Ekimosis

: bercak perdarahan yang kecil pada kulit atau membran mukosa, lebih

besar dari petekie, yang membentuk bercak biru atau ungu yang bundar atau tidak teratur
serta tanpa elevasi.
3. Vomitus

: muntah; bahan yang dimuntahkan

4. Nausea

: sensasi tidak menyenangkan yang secara samar mrngacu pada

epigastrium dan dan abdomen.


5. PT

: prothrombin time. ukuran dari jalur ekstrinsik koagulasi

6. aPTT

: activated partial thromboplastin time. waktu yang diperlukan untuk

membentuk bekuan yang stabil dalam plasma darah setelah terpapar dengan komponen dari
platelet.
B.

MENETAPKAN PERMASALAHAN

1. OS mengalami demam tinggi, menggigil, nausea, vomitus dan dijumpai petechiae dan ekimosis
2. Terjadi perdarahan yang sulit berhenti di bekas suntikan.
3. Hasil pemeriksaan darah
- Trombosit : 100.000/ mm3
- Leukosit : 14.000/ mm3
- PT : 18 detik
- aPTT : 45 detik
C.

ANALISIS MASALAH

Demam tinggi menggigil

Faktor mikroorganisme/ nonmikroorganisme


Gangguan hemostasis
Mempengaruhi thrombosit
Demam tinggi, menggigil

Nausea, vomitus
Stimulus berupa gangguan hemostasis
(menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit)
Nausea, vomitus

Petechiae/ ekimosis
Kapiler/ pembuluh darah intra dermal pecah

Gangguan hemostasis
Petechiae/ ekimosis

Perdarahan yang tidak berhenti


Gangguan hemostasis
Gangguan faktor koagulasi
perdarahan

Hasil Lab :
Thrombosit : 100.000/ mm3
Leukosit
PT

: 14.000/ mm3

Tanda-tanda gangguan koagulasi

: 18 Detik

aPTT : 45 detik
Remaja memiliki segenap aktivitas

risiko terhadap

intake
Istirahat tidak adekuat
Daya tahan tubuh menurun

HEMOSTASIS
DEFENISI

Hemostasis adalah penghentian perdarahan oleh sifat fisiologis vasokontriksi dan koagulasi
(Dorland, 2006). Hemostasis dan koagulasi juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian
kompleks reaksi yang menyebabkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan trombosit
dan bekuan fibrin pada tempat cedera
KOMPONEN HEMOSTASIS
Pembuluh
Trombosit
Kaskade faktor koagulasi
Inhibitor koagulasi
Fibrinolisis
SUMBAT HEMOSTASIS PRIMER : Pembentukan agregasi trombosit
SUMBAT HEMOSTASIS SEKUNDER : Pembentukan fibrin
URUTAN MEKANISME HEMOSTASIS DAN KOAGULASI
Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah yang
rusak itu menyebabkan dinding pembuluh berkontraksi sehingga dengan segera aliran darah dari
pembuluh darah yang pecah akan berkurang (terjadi vasokonstriksi). Setelah itu, akan diikuti
oleh adhesi trombosit, yaitu penempelan trombosit pada kolagen. ADP (adenosin difosfat)
kemudian dilepaskan oleh trombosit kemudian ditambah dengan tromboksan A2 menyebabkan
terjadinya agregasi (penempelan trombosit satu sama lain). Proses aktivasi trombosit ini terus
terjadi sampai terbentuk sumbat trombosit, disebut juga hemostasis primer. Setelah itu
dimulailah kaskade koagulasi yaitu hemostasis sekunder, diakhiri dengan pembentukan fibrin.
Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi faktor Xa. Faktor X diaktifkan
melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik. Jalur ekstrinsik dipicu oleh tissue
factor/tromboplastin. Kompleks lipoprotein tromboplastin selanjutnya bergabung dengan faktor
VII bersamaan dengan hadirnya ion kalsium yang nantinya akan mengaktifkan faktor X. Jalur
intrinsik diawali oleh keluarnya plasma atau kolagen melalui pembuluh darah yang rusak dan
mengenai kulit. Paparan kolagen yang rusak akan mengubah faktor XII menjadi faktor XII yang
teraktivasi. Selanjutnya faktor XIIa akan bekerja secara enzimatik dan mengaktifkan faktor XI.
Faktor XIa akan mengubah faktor IX menjadi faktor IXa. Setelah itu, faktor IXa akan bekerja
sama dengan lipoprotein trombosit, faktor VIII, serta ion kalsium untuk mengaktifkan faktor X

menjadi faktor Xa. Setelah itu, faktor Xa yang dihasilkan dua jalur berbeda itu akan memasuki
jalur bersama. Faktor Xa akan berikatan dengan fosfolipid trombosit, ion kalsium, dan juga
faktor V sehingga membentuk aktivator protrombin. Selanjutnya senyawa itu akan mengubah
protrombin menjadi trombin. Trombin selanjutnya akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin
(longgar), dan akhirnya dengan bantuan fakor VIIa dan ion kalsium, fibrin tersebut menjadi kuat.
Fibrin inilah yang akan menjerat sumbat trombosit sehingga menjadi kuat. Selanjutnya apabila
sudah tidak dibutuhkan lagi, bekuan darah akan dilisiskan melalui proses fibrinolitik. Proses ini
dimulai dengan adanya proaktivator plasminogen yang kemudian dikatalis menjadi aktivator
plasminogen dengan adanya enzim streptokinase, kinase jaringan, serta faktor XIIa. Selanjutnya
plasminogen akan diubah menjadi plasmin dengan bantuan enzim seperti urokinase. Plasmin
inilah yang akan mendegradasi fibrinogen/fibrin menjadi fibrin degradation product
SISTEM HEMOSTASIS
I. Sistem Pembuluh Darah
Fungsinya :
1. Kontraksi pembuluh darah.
2. Aktivasi pembekuan darah dengan memproduksi tromboplastin.
3. Aktivasi trombosit dengan memproduksi faktor von Willebrand.
4. Trombotik : melepaskan aktivator plasminogen.
II. Sistem Trombosit
Fungsinya :
1. Memelihara supaya pembuluh darah tetap utuh setelah trauma pada endotel.
2. Mengawali penyumbatan pembuluh darah dengan membentuk sumbat primer.
3. Stabilisasi sumbat trombosit (fibrin), melalui beberapa tahap:
Adhesi

trombosit.

Agregasi

trombosit.

Reaksi pelepasan

(release).

III. Sistem Pembekuan Darah


Pembekuan
Pro

terjadi oleh karena interaksi antara pro-koagulan (faktor pembeku), fosfolipid dan ion

koagulan antara lain :

Substrat : fibrinogen

(F I).

Kofaktor

: FIII, FV, FVIII, HMWK.

Enzim : faktor

koagulasi yang lain.

IV. Sistem Fibrinolisis


1. Proaktivator plasminogen diubah menjadi aktivator plasminogen.
2. Aktivator plasminogen akan mengubah plasminogen menjadi plasmin.
3. Plasmin menghidrolisis fibrinogen dan fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP).
HOMEOSTATIC HEMOSTASIS adalah mekanisme fisiologis yang mempertahankan darah
dalam bentuk cairan di dalam sirkulasi, yang menggambarkan suatu kesetimbangan yang baik
antara perdarahan dan pembekuan
HEMOSTASIS, (Virchows Triad)
Kerjasama 3 komponen : pembuluh darah, aliran darah dan darah
MEKANISME HEMOSTASIS
Istilah hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami cidera
atau pecah, hemostasis akan terjadi. Peristiwa ini terjadi melalui beberapa cara yaitu :
vasokonstriksi pembuluh darah yang cidera, pembentukan sumbat trombosit, pembekuan darah,
dan pertumbuhan jaringan ikat kedalam bekuan darah untuk menutup pembuluh yang luka secara
permanen. Kerja mekanisme pembekuan in vivo ini diimbangi oleh reaksi-reaksi pembatas yang
normalnya mencegah mencegah terjadinya pembekuan di pembuluh yang tidak mengalami
cidera dan mempertahankan darah berada dalam keadaan selalu cair.
Vasokonstriksi pembuluh darah
Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah yang
rusak menyebabkan dinding pembuluh berkontraksi sehingga aliran darah dari pembuluh darah
yang pecah barkurang. Kontraksi terjadi akibat refleks syaraf dan spasme miogenik setempat.
Refleks saraf dicetuskan oleh rasa nyeri atau lewat impuls lain dari pembuluh darah yang rusak.
Kontraksi miogenik yang sebagian besar menyebabkan refleks saraf ini, terjadi karena kerusakan
pada dinding pembuluh darah yang menimbulkan transmisi potensial aksi sepanjang pembuluh
darah. Konstriksi suatu arterioul menyebabkan tertutupnya lumen arteri.
Pembentukan sumbat trombosit

Perbaikan oleh trombosit terhadap pembuluh darah yang rusak didasarkan pada fungsi penting
dari trombosit itu sendiri. Pada saat trombosit bersinggungan dengan pembuluh darah yang rusak
misalnya dengan serabut kolagen atau dengan sel endotel yang rusak, trombosit akan berubah
sifat secara drastis. Trombosit mulai membengkak, bentuknya irreguler dengan tonjolan yang
mencuat ke permukaan. Trombosit menjadi lengket dan melekat pada serabut kolagen dan
mensekresi ADP. Enzimnya membentuk tromboksan A, sejenis prostaglandin yang disekresikan
kedalam darah oleh trombosit. ADP dan tromboksan A kemudian mengaktifkan trombosit yang
berdekatan sehingga dapat melekat pada trombosit yang semula aktif. Dengan demikian pada
setiap lubang luka akan terbentuksiklus aktivasi trombosit yang akan menjadi sumbat trombosit
pada dinding pembuluh.
Pembentukan bekuan darah
Bekuan mulai terbentuk dalam 15-20 detik bila trauma pembuluh sangat hebat dan dalam 1-2
menit bila trauma pembuluh kecil. Banyak sekali zat yang mempengaruhi proses pembekuan
darah salah satunya disebut dengan zat prokoagulan yang mempermudah terjadinya pembekuan
dan sebaliknya zat yang menghambat proses pembekuan disebut dengan zet antikoagulan. Dalam
keadaan normal zat antikoagulan lebih dominan sehingga darah tidak membeku. Tetapi bila
pembuluh darah rusak aktivitas prokoagulan didaerah yang rusak meningkat dan bekuan akan
terbentuk. Pada dasarnya secara umum proses pembekuan darah melalui tiga langkah utama
yaitu pembentukan aktivator protombin sebagai reaksi terhadap pecahnya pembuluh darah,
perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisa oleh aktivator protombin, dan perubahan
fibrinogen menjadi benang fibrin oleh trombin yang akan menyaring trombosit, sel darah, dan
plasma sehingga terjadi bekuan darah.
a. Pembentukan aktivator protombin
Aktivator protombin dapat dibentuk melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik.
Pada jalur ekstrinsik pembentukan dimulai dengan adanya peristiwa trauma pada dinding
pembuluh darah sedangkan pada jalur intrinsik, pembentukan aktivator protombin berawal pada
darah itu sendiri.
Langkah-langkah mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan
1. Pelepasan tromboplastin jaringan yang dilepaskan oleh jaringan yang luka. Yaitu fosfolipid dan
satu glikoprotein yang berfungsi sebagai enzim proteolitik.

2. Pengaktifan faktor X yang dimulai dengan adanya penggabungan glikoprotein jaringan


dengan faktor VII dan bersama fosfolipid bekerja sebagai enzim membentuk faktor X
yang teraktivasi.
3. Terjadinya ikatan dengan fosfolipid sebagai efek dari faktor X yang teraktivasi yang dilepaskan
dari tromboplastin jaringan . Kemudian berikatan dengan faktor V untuk membentuk suatu
senyawa yang disebut aktivator protombin.
Mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan
Langkah-langkah mekanisme intrinsik sebagai awal pembekuan
1. Pengaktifan faktor XII dan pelepasan fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena trauma. Bila
faktor XII terganggu misalnya karena berkontak dengan kolagen, maka ia akan berubah menjadi
bentuk baru sebagai enzim proteolitik yang disebut dengan faktor XII yang teraktivasi.
2. Pengaktifan faktor XI yang disebabkan oleh karena faktor XII yang teraktivasi bekerja secara
enzimatik terhadap faktor XI. Pada reaksi ini diperlukan HMW kinogen dan dipercepat oleh
prekalikrein.
3. Pengaktifan faktor IX oleh faktor XI yang teraktivasi. Faktor XI yang teraktivasi bekerja secara
enzimatik terhadap faktor IX dan mengaktifkannya.
4. Pengaktifan faktor X oleh faktor IX yang teraktivasi yang bekerja sama dengan faktor VIII dan
5.

fosfolipid trombosit dari trombosit yang rusak untuk mengaktifkan faktor X.


Kerja dari faktor X yang teraktivasi dalam pembentikan aktivator protombin. Langkah dalam
jalur intrinsic ini pada prinsipnya sama dengan langkah terakhir dalam jalur ekstrinsik. Faktor X
yang teraktivasi bergabung dengan faktor V dan fosfolipid trombosit untuk membentuk suatu
kompleks yang disebut dengan activator protombin. Perbedaannya hanya terletak pada fosfolipid
yang dalam hal ini berasal dari trombosit yang rusak dan bukan dari jaringan yang rusak.
Aktivator protombin dalam beberapa detik mengawali pemecahan protombin menjadi trombin
dan dilanjutkan dengan proses pembekuan selanjutnya.

b.

Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisis oleh activator protombin.


Setelah activator protombin terbentuk sebagai akibat pecahnya pembuluh darah, activator
protombin akan menyebabkan perubahan protombin menjadi trombin yang selanjutnya akan
menyebabkan polimerisasi molekul-molekul fibrinogen menjadi benang-benang fibrin dalam 1015 detik berikutnya. Pembentukan activator protombin adalah faktor yang membatasi kecepatan
pembekuan darah. Protombin adalah protein plasma, suatu alfa 2 globulin yang dibentuk terus
menerus di hati dan selalu dipakai untuk pembekuan darah. Vitamin K diperlukan oleh hati untuk

pembekuan protombin. Aktivator protombin sangat berpengaruh terhadap pembentukan trombin


dari protombin. Yang kecepatannya berbanding lurus dangan jumlahnya. Kecepatan pembekuan
sebanding dengan trombin yang terbentuk.

c.

Perubahan fibrinogen menjadi fibrin.


Trombin merupakan enzim protein yang mempunyai kemampuan proteolitik dan bekerja
terhadap fibrinogen dengan cara melepaskan 4 peptida yang berberat molekul kecil dari setiap
molekul fibrinogen sehingga terbentuk molekul fibrin monomer yang mempunyai kemampuan
otomatis berpolimerisasi dengan molekul fibrin monomer lain sehingga terbentuk retikulum dari
bekuan. Pada tingkat awal dari polimerisasi, molekul-molekul fibrin monomer saling berikatan
melalui ikatan non kovalen yang lemah sehingga bekuan yang dihasilkan tidaklah kuat daan
mudah diceraiberaikan. Oleh karena itu untuk memperkuat jalinan fibrin tersebut terdapaat faktor
pemantap fibrin dalaam bentuk globulin plasma. Globulin plasma dilepaskan oleh trombosit
yang terperangkap dalam bekuan. Sebelum faktor pemantap fibrin dapat bekerja terhadap benang
fibrin harus diaktifkan lebih dahulu. Kemudian zat yang telah aktif ini bekerja sebagai enzim
untuk menimbulkan ikatan kovalen diantara molekul fibrin monomer dan menimbulkan
jembatan silang multiple diantara benang-benang fibrin yang berdekatan sehingga menambah
kekuatan jaringan fibrin secara tiga dimensi.
Gangguan pembekuan dapat terjadi oleh karena gangguan pada tahap pertama, kedua
atau ketiga ataupun karena adanya antikoagulansia yang beredar di dalam darah atau karena
proses pembekuan dalam pembuluh darah.
GANGGUAN TAHAP PERTAMA
Gangguan ini dapat disebabkan kekurangan faktor pembekuan yang bekerja pada tahap
tersebut. Kekurangan faktor pembekuan pada tahap pertama dapat diketahui dari pemeriksaan
SPT (serum prothrombin time) atau prothrombin consumption time). PTT (Partial
thromboplastin time), pemeriksaan TGT (thromboplastin generation test). Bila terdapat
kekurangan faktor pembekuan dalam tahap pertama maka SPT kurang dari 40 detik (normal
lebih dari 40 detik), PTT dan TGT memanjang atau abnormal.
Gangguan mekanisme pembekuan pada tahap pertama terdapat pada penyakit :

d. Hemofilia A (kekurangan faktor VIII)


e. Hemofilia B (kekurangan faktor IX)

f.

Penyakit von Willebrand ( pseudohemofilia, hemofilia vaskular)


GANGGUAN TAHAP KEDUA
Gangguan ini ditetapkan dengan pemeri8ksaan T (plasma prothrombin time) dengan
lebih dahulu dibuktikan bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama normal atau dengan
perkataan lain tromboplastin yang dibentuk cukup. Bila PTT lebih dari 20 detik (normal 20
detik), berarti bahwa faktor pembekuan tahap kedua ( II, V, VII, X) kurang.
Untuk penentuan faktor mana yang kurang, maka masing-0masing faktor harus diselidiki lebih
lanjut.
ETIOLOGI

3. Faktor kongenital
Bersifat resesif autosomal herediter. Kelainan timbul akibat sintesis faktor pembekuan tersebut
menurun.
4. Faktor didapat
Biasanya disebabkan defisiensi faktor II (prothrombin), yang terdapat pada keadaan sebagai
berikut:
f.

Neonatus, terutama yang kurang bulan yaitu karena fungsi hati yang belum sempurna sehingga

g.

pembentukan faktor pembekuan II mengalami gangguan.


Defisiensi vitamin K. Hal ini dapat terjadi pada penderita ikterus obstruktif, fistula biliaris,
absorbsi vitamin K dari usus yang tidak sempurna atau karena gangguan pertumbuhan bakteri

usus.
h. Beberapa penyakit seperti sirosis hati, uremia, sindrom nefrotik dan lain-lain.
i.
Terdapatnya zat antikoagulansia (dikumarol, heparin) yang bersifat antagonistik terhadap
prothrombin.
j. Disseminated intravaskular coagulation (DIC)
GANGGUAN TAHAP TIGA
Untuk menentukan adanya kelainan pembekuan pada tahap tiga harus dibuktikan dahulu
bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama dan kedua berjalan normal.
Gangguan pada tahap tiga ini biasanya ialah kekurangan fibrinogen. Pemeriksaan kadar
fibrinogen dapat dilakukan kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif ialah dengan
menentukan thrombin time. Bila thrombin time memanjang (normal kurang dari 15-20 detik)

berarti terdapat hipofibrinogenemia. Secara kuantitatif ialah dengan mengukur kadar fibrinogen
dalam plasma (normal 250-350 mg%)
Kekurangan fibrinogen ini dapat kongenital dan bersifat resesif autosomal atau didapat
misalnya setelah mengalami operasi berat, solusio plasenta, DIC
Gejalanya sama seperti kekurangan faktor pembekuan yang lain.

FAKTOR FAKTOR PEMBEKUAN


I

: Fibrinogen

II

: Protrombin

III

: Tromboplastin

IV

: Ion Ca

: Proekselerin, Faktor labil, Globulin akseletor

VII

: Prokonvertin, SPCA, Faktor stabil

VIII

: Faktor anti hemofilia (AHF), Faktor antihemofilia A, Globulin

IX

: Faktor

Christmas, Faktor

antihemofilia (AHG)

antihemofilia B

: Faktor Stuart-Power

XI

: Turunan tromboplasti plasma (PTA), Faktor antihemofilia C

XII

: Faktor Hageman, Faktor gelas

XIII

: Faktor penstabil fibrin, Faktor Laki-Lorand


Mekanisme pembekuan darah ( Hemostasis)

Cedera dinding pembuluh darah

Kontraksi

Kolagen

Reaksi trombosit

Tromboplastin jaringan

Aktivasi koagulasi

Agregasi trombosit
longgar

Trombin

Sumbatan hemostatik definitif

Reaksi-reaksi pembatas

PEMERIKSAAN PENUNJANG HEMOSTASIS


1. Pemeriksaan untuk hemostasis primer
a.

Tes Rumpel Leede (Torniquet test) :Tes ini untuk mengevaluasi integritas pembuluh darah.

b. Hitung jumlah trombosit dan evaluasi hapusan darah tepi.Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan
laboratorium pertama yang terpenting,karena dengan cara ini dapat ditentukan dengan cepat
adanya trombositopenia dan kadang-kadang dapat ditentukan penyebab trombositopenia itu.
c.

Masa

perdarahan

(bleeding

time

BT)

memanjang

pada

pasien

dengan

trombositopenia,gangguan faal trombosit dan pada pasien dengan vaskulopati.


d.

Faal trombosit : dikerjakan bila ada dugaan gangguan faal trombosit,misalnya pada pasien
dengan gangguan hemostasis primer tetapi jmlah trombositnya normal.Tes faal trombosit ini
untuk melihat kemampuan adhesi sel trombosit dan kemampuan agregasi sel trombosit.
2. Pemeriksaan untuk hemostasis sekunder (fase koagulasi)

a.

Masa pembekuan (clotting time = CT) dan masa rekalsifikasi plasma (plasma recalcification
time = PRT) memanjang bila ada defisiensi faktor; pada defisiensi ringan ,CT masih normal.

b. Perlu diperhatikan retraksi bekuan (clot retraction = CR) setelah 1-2 jam.Bila tidak ada retraksi
maka hal ini menunjukkan adanya gangguan faal trombosit yaitu kurangnya enzim retraktrozim.
c.

APTT (activated partial thromboplastin time) memanjang pada pasien dengan defisiensi faktor
intrinsik atau adanya antikoagulan terhadap faktor tersebut.Nilai normalnya 30-40 detik.

d.

PPT (plasma prothrombine time) memanjang pada pasien dengan defisiensi faktor-faktor
ekstrinsik atau adanya antikoagulan terhadap faktor tersebut.
3. Pemeriksaan untuk integritas pembentukan fibrin

a.
-

Masa thrombin (thrombin time = TT) dapat memanjang pada keadaan berikut:
Defisiensi faktor-faktor pada common pathway atau adanya antikoagulan terhadap faktor
tersebut.

Kadar fibrinogen sangat rendah (< 80 mg/dL)


Nilai normal antara 14-16 detik.
4. Pemeriksaan untuk stabilitas fibrin.Defisiensi faktor XIIIa menghasilkan bekuan yang larut
dalam urea 5M atau 1% asam monoklorosetat.
5. Pemeriksaan untuk integritas fibrinolisis

a.

Waktu trombin (TT) dapat memanjang akibat terdapatnya fibrinogen degradation product (FDP).

b.

Euglobulin clot lysis time dan whole blood atau dilute whole blood clot lysis time biasanya
normal pada fibrinolisis lokal.Masa ini memendek bila ada peningkatan kadar aktivator
plasminogen dalam darah.

c.

Kadar FDP meningkat bila terjadi proses fibrinolisis yang berlebihan baik primer maupun
sekunder.

DEFISIENSI VITAMIN K
DEFINISI
Vitamin K adalah nama generik untuk beberapa bahan yang diperlukan dalam pembekuan darah
yang normal. Bentuk dasarnya adalah vitamin K1 (filokuinon), yang terdapat dalam tumbuhtumbuhan, terutama sayuran berdaun hijau. Bakteri dalam usus kecil sebelah bawah dan bakteri
dalam usus besar menghasilkan vitamin K2 (menakuinon), yang dapat diserap dalam jumlah
yang terbatas.
Kecenderungan terjadinya perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang disebabkan oleh
kekurangan vitamin K atau dikenal dengan Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB).
PATOFISIOLOGI
Vitamin K diperlukan untuk sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX dan X (kompleks protrombin)
serta protein C dan S yang berperan sebagai antikoagulan (menghambat proses pembekuan).
Selain itu Vitamin K diperlukan untuk konversi faktor pembekuan tidak aktif menjadi aktif.
Ada 3 Kelompok :

VKDB dini
VKDB klasik
VKDB lambat atau acquired prothrombin complex deficiency (APCD)
Secondary prothrombin complex (PC) deficiency

DIAGNOSIS

Anamnesis

1. onset perdarahan
2. lokasi perdarahan
3. pola pemberian makanan
4. riwayat pemberian obat-obatan pada ibu selama kehamilan

Pemeriksaan fisik
Adanya perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain sebagainya

Pemeriksaan penunjang
Waktu pembekuan memanjang
PPT (Plasma Prothrombin Time) memanjang
Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang
Thrombin Time normal
USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak


VKDB dini

VKDB klasik

VKDB lambat
(APCD)

Secondary
PC deficiency

Umur

< 24 jam

1-7 hari (terbanyak


3-5 hari)

2 minggu-6 bulan
(terutama 2-8
minggu)

Segala usia

Penyebab &

Obat yang
diminum
selama
kehamilan

Pemberian
makanan terlambat

Intake Vit K
inadekuat

- obstruksi
bilier

Intake Vit K
inadekuat

Kadar vit K
rendah pada ASI

-penyakit hati

Kadar vit K
rendah pada ASI

Tidak dapat
profilaksis vit K

-intake
kurang
(nutrisi
parenteral)

Faktor
resiko

Tidak dapat

profilaksis vit K
Frekuensi

< 5% pada
kelompok

0,01-1%

4-10 per 100.000


kelahiran

-malabsorbsi

resiko tinggi

(tergantung pola
makan bayi)

(terutama di Asia
Tenggara)

Lokasi
perdarahan

Sefalhematom,
umbilikus,
intrakranial,
intraabdominal
, GIT,
intratorakal

GIT, umbilikus,
hidung, tempat
suntikan, bekas
sirkumsisi,
intrakranial

Intrakranial (3060%), kulit,


hidung, GIT,
tempat suntikan,
umbilikus, UGT,
intratorakal

Pencegaha
n

-penghentian /
penggantian
obat penyebab

-Vit K profilaksis
(oral / im)

Vit K profilaksis
(im)

- asupan vit K yang


adekuat

- asupan vit K
yang adekuat

PENATALAKSANAAN
Pencegahan VKDB
Dapat dilakukan dengan pemberian vitamin K Profilaksis
Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali @ 2 mg pada
waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun
Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin K1 5
mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan. Selanjutnya
bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan diulang 24 jam kemudian
Pengobatan VKDB

Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari


Fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg

HEMOPHILIA A
Adalah defisiensi factor pembekuan herediter yang paling banyak ditemukan. Prevalensinya
adalah sekitar 30-100 tiap sejuta populasi. Pewarisannya berkaitan dengan jenis kelamin, tetapi
hingga 33% pasien tidak mempunyai riwayat dalam keluarga dan terjadi akibat mutasi spontan.
Gen factor VIII terletak di dekat ujung lengan panjang kromosom X. Gen ini sangat besar dan
terdiri dari 26 ekson. Protein factor VIII meliputi meliputi region rangkap tiga A1, A2, A3 dengan

homologi sebesar 30% antar mereka, suatu region rangkap dua C1 , C2 dan suatu domain B yang
sangat terglikosilasi, yang dibuang pada waktu factor VIII diaktifkan oleh thrombin.
Defeknya adalah tidak ada atau rendahnya kadar factor VIII plasma. Sekitar separuh dari pasienpasien tersebut mengalami mutasi missensei atau frameshift atau delesi dalam gen factor VIII.
Gambaran klinis
Bayi dapat menderita perdarahan pascasirkumsisi atau mengalami perdarahan sendi dan jaringan
lunak serta memar yang berlebihan pada saat mereka mulai aktif. Hemartrosis berulang yang
terasa nyeri dan hematom otot mendominasi perjalanan penyakit pada pasien yang sakit berat
dan jika tidak diobati dengan baik, dapat menyebabkan deformitas sendi yang progresif dan
kecacatan. Perdarahan yang berkepanjangan terjadi setelah ekstrasi gigi. Hematuria dan
perdarahan saluran cerna yang spontan juga dapat terjadi. Keparahan klinis penyakit berkolerasi
dengan beratnya defisiensi factor VIII. Perdarahan operatif dan pasca trauma dapat mengancam
jiwa baik pada pasien yang sakit berat maupun ringan. Walaupun tidak sering, perdarahan
intrasebral spontan lebih sering terjadi daripada populasi umum dan merupakan penyebab
kematian yang penting pada pasien dengan penyakit berat.
Hasil pemerikasaan laboratorium
Pemeriksaan berikut ini hasilnya abnormal
1. Masa tromboplastin parsial teraktivasi, APTT
2. Pemeriksaan factor pembekuan VIII
Masa perdarahan dan masa protrombin normal
Deteksi pembawa sifat dan diagnosis antenatal
Sekarang deteksi pembawa sifat dapat lebih baik dilakukan dengan pelacak DNA. Suatu mutasi
spesifik yang diketahui dapat diidentifikasi atau polimorfisme panjang fragmen restriksi didalam
atau dekat gen factor VIII memungkinkan alel mutan diacak.
Pengobatan
Sebagian besar pasien dating ke pusat khusus hemophilia dengan tim multidisipliner yang
berdedikasi pada perawatan mereka. Episode perdarahan diobati dengan terapi penggantian
factor VIII dan perdarahan spontan biasanya terkendali bila kadar factor VIII pasien meningkat
diatasi 20% dari normal.

Factor VIII rekombinan dan preparat factor VIII yang dimurnikan dengan imunoafinitas saat ini
tersedia untuk penggunaan klinis dan mengeliminasi risiko penularan virus.
DDAVP (desmopresia) member cara alternative untuk meningkatkan kadar factor VIII plasma
pada penderita hemophilia yang lebih ringan. DDAVP juga dapat diberikan per-nasal-cara ini
telah digunaka sebagai pengobatan segera untuk henofilia ringan setelah trauma kecelakaan atau
perdarhan.
Tindakan suportif local yang digunakan untuk hemartrosis dan hematoma meliputi
pengistirahatan bagian yang sakit dan ppencegahan trauma lebih lanjut.
Terapi penderita hemofilia dengan konsentrat faktor VIII; ini cukup memudahkan perkiraan dosis
yang diperlukan untuk mencapai tinhkat hemostasis. Menurut definisi, 1ml plasma normal
mengandung 1 unit faktor VIII. Karena volume plasma kira-kira 45 ml/kg, maka diperlukan infus
faktor VIII 45 unit/kg untuk menaikkan kadarnya pada resipien yang hemofilia dari 0-100% (0100 unit/dl). Dosis faktor VIII sebesar 25-50 unit/kg biasanya diberikan untuk menIKKn kadar
pada resipien menjadi 50-100% (50-100 unit/dl) normal. Karena waktu paro faktor VIII kir-kira
8-12 jam, infus berulang dapat diberikan, menurut kebutuhan, untuk mempertahankan tingkat
aktivitas yang diinginkan.
Bila anak hemofilia mengalami perdarahan nyata, terapi penggantian harus segera dilaksanakan.
Tindakan pertolongan pertama harus mencakup aplikasi suhu dingin dan tekanan, tetapi ini tidak
boleh sebagai ganti dari terapi penggantian adekuat. Untuk hemartrosis biasa , diperlukan
menaikkan kadar faktor VIII sampai sekitar 50% (50 unit/dl) dan mempertahankannya paling
tidak diatas 5% (5 unit/dl) selama 48-72 jam. Infus tunggal konsentrat faktor VIII 20-30 unit/kg
cukup, memungkinkan terapi satu langkah episode perdarahan biasa. Imobilisasi pada awalnya
terindikasi , tetapi latihan pasif harus dimulai dalam 48 jam untuk mencegah kekakuan dan
fibrosis sendi.
Apabila perdarahan terjadi di daerah vital seperti otak atau leher, atau bila pembedahan
diperlukan, terapi intensif dengan menggunakan konsentrat faktor VIII selama 2 minggu
terindikasi untuk mempertahankan kadar plasma diatas 50% (50 unit/dl). Asam -aminokaproat,
50-100 mg/kg tiap 6 jam, mungkin terindikasi berbarengan dengan terapi penggantian untuk
perdarahan mukosa dan ekstraksi gigi.
Faktor
Produk-produk faktor VIII
A. Murni imunoafinitas

Pabrik

Proses

Monoklat P

Armour

Pasteurisasi

Hemofili M

Baxter Hyland

Pelarut deterjen

Metode

Bexter Hyland untuk palang

Pelarut deterjen

amerika
B. Kemurnian sedang dan
kemurnian tinggi

Cutter

Pelarut- deterjen

Kaotat-HP

Behringwerke

Pasteurasi

Humat P

Bank darah N.Y

Pelarut-deterjen

Melat SD

Alfa

Pelarut deterjen

Alfanat

Bank darah N.Y, -Melville

Pelarut deterjen

biologik
Bank darah N.Y
C. Babi (porcine)
Hyate : C
D. Rekayasa genetik

Proton /speywood

Polielektronik kromatografi

AHF rekombinan

Baxter

Rekayasa genetik

AHF KoGeNate

Cutter

Rekayasa genetik

Pengobatan profilaksis
Meningkatnya ketersedian konsetrat factor VIII yang dapat disimpan di kulkas rumah telah
mengubah pengobatan hemophilia secara dramatis. Seoarang anak yang menderita hemophilia
dapat diobati di rumah begitu terdapat kecurigaan tanda-tanda awal perdarahan. Kemajuan ini
telah mengurangi

angka kejadian hemartrosis yang menyebabkan cacat dan perlunya

penanganan rawat inap. Pasien sakit berat sekarang dapat mencapai usia dewasa dangan arthritis
ringan atau tanpa arthritis.
Penderita hemophilia dianjurkan untuk menjalani perawatan gigi yang teratur. Anak-anak
penderita hemophilia dan orang tua mereka sering kali memerlukan bantuan ekstensif dalam
masalah social dan psikologis.
Terapi gen
Untuk mencegah sebagian besar mortalitas mortalitas dan morbiditas akibat defisiensi factor VIII
atau factor IX hanya perlu mempertahankan kadar factor >1%, sehingga terdapat ketertarikan
pada terapi berdasar gen dan saat ini sedang dilakukan uji klinis.

Inhibitor
Salah satu komplikasi hemophilia yang paling serius adalah terbentuknya antibody (inhibitor)
terhadap factor VIII yang diinfuskan, yang terjadi pada 5-10% pasien. Imunosupresi telah
digunakan dalam usaha mengurangi pembentukan antibody. Konsentrat factor VIII babi, factor
VIIa rekombinan dan konsentrat kompleks protrombin aktif (juga dikenal sebagai FEIBA
factor eight inhibitor bypassing activity (aktivitas pintas inhibitor factor VIII ) dapat berguna
dalam pengobatan episode perdarahan.
HEMOPHILIA B
Pewarisan dan gambaran klinis defisiensi factor IX (penyakit Christmas) identik dengan yang
terdapat pada hemophilia A. Bahkan kedua kelainan tersebut hanya dapat dibedakan dengan
pemeriksaan factor pembekuan spesifik. Insidensi nya seperlima dari insidensi hemophilia A.
factor IX dikode oleh gen yang terletak dekat dengan gen untuk factor VIII dekat ujung lengan
panjang kromosom X. Deteksi pembawa sifat dan diagnosis antenatal dilakukan sama seperti
untuk hemophilia A. Prinsip terapi penggantian sama dengan hemophilia A. Episode perdarahan
diatasi dengan konsentrat factor IX. Factor IX rekombinan saat ini telah tersedia. Pemberian
dosis yang lebih tinggi diperlukan dibandingkan dengan factor IX yang berasal dari plasma.
Hasil pemeriksaan laboratorium
Uji-uji berikut ini memberinya hasil yang abnormal.
1. aPTT
2. Pemeriksaan Faktor pembekuan IX
Seperti pada hemophilia A, masa perdarahan dan PT member hasil yang abnormal.
Pengobatan
Penggantian faktor IX dilakukan dengan infus plasma beku segar atau konsentrat faktor IX.
Karena waktu paro faktor IX lebih lama dari pada faktor VIII (kira-kira 24 jam), faktor IX dapat
diberikan kurang sering. Satu unit faktor IX /kg menaikkan faktor IX plasma dari 1-1,2%
normal (1 unit/kg faktor VIII dapat menaikkan faktor VIII plasma resipien dengan 2%. Jadi
untuk mencapai aktivitas 100% ( 100 unit/dl) pada penderita dengan hemofilia B berat
diperlukan infus 100 unit faktor IX /kg.

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA

Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) ditandai dengan proses aktivasi dari sistem koagulasi
yang menyeluruh yang menyebabkan pembentukan fibrin di dalam pembuluh darah sehingga
terjadi oklusi trombotik di dalam pembuluh darah berukuran sedang dan kecil. Proses tersebut
menjadikan aliran darah terganggu sehingga terjadi kerusakan pada banyak organ tubuh. Pada
saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan
sehingga terjadi perdarahan. Sebelum dikenal istilah KID, dahulu dikenal istilah-istilah lain yang
diberikan sesuai dengan patofisiologinya:
1. Coagulation consumption
2. Hyperfibrinosis
3. Defibrinasi
4. Thrombohaemoraghic Syndrome

KID merupakan keadaan yang termasuk dalam kategori kedaruratan medik, sehingga
memerlukan tindakan medis dan penanganan segera. Tindakan dan penanganan yang diberikan
tergantung dari patofisiologi penyakit
yang mendasarinya, apakah terjadi secara akut atau memang sudah ada penyakit yang sudah
lama diderita. Namun yang utama dalam memberikan penanganan tersebut adalah mengetahui
proses patologi KID itu sendiri, sepeti telah disebutkan sebelumnya, yakni terjadinya proses
trombosis mikrovaskular dan kemungkinan terjadi perdarahan (diatesa hemoragik) secara
bersamaan.

Gambar 1. Mekanisme KID


Trombosis pada pembuluh darah dan kegagalan multi organ
Aktivasi Sistem Koagulasi
Konsumsi trombosit dan faktor koagulasi
Pembentukan Fibrin intravaskular
Perdarahan

Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita KID yang disertai dengan perdarahan misalnya:
petekie, ekimosis, hematuria, melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan
kesadaran hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak.
Sementara tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan aliran
darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi organ
tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia fokal, gangren pada kulit.Berikut ini
adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan terjadinya KID:
Sepsis
Trauma
o Cidera jaringan berat
o Cidera kepala
o Emboli lemak
Kanker
o Myeloproliferative disorder
o Tumor padat

Komplikasi Obstetrik
o Emboli cairan amnion
o Abruptio Placentae
Kelainan pembuluh darah
o Giant hemangioma
o Aneurysma Aorta
Reaksi terhadap toksin
Kelainan Imunologik
o Reaksi alergi yang berat
o Reaksi hemolitik pada transfusi
o Rejeksi pada transplant
PATOGENESIS
Pada pasien dengan KID, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang diaktivasi oleh faktor
jaringan. Faktor jaringan, berupa sel mononuklir dan sel endotel yang teraktivasi, mengaktivasi
faktor VII. Kompleks antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut akan
mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengaktivasi
faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V akan mengubah
protrombin menjadi trombin. Di saat yang bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan
seperti antitrombin III, protein C dan jalur penghambat-faktor jaringan, mengakibatkan
kurangnya faktor-faktor tersebut. Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan
penghancuran fibrin yang adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh
penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat
pembentukan plasmin dari plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin
dan tidak adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang
menyeluruh.
DIAGNOSIS
Diagnosis KID tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium, karena itu
biasanya digunakan beberapa

hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berdasarkan

kondisi klinik pasien.Dalam praktik klinik diagnosis KID dapat ditentukan atas dasar temuan
sebagai berikut:
1.adanya penyakit yang mendasari terjadinya KID.
2.Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm.
3.Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT).
4.Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan peningkatan D-dimer).
5.Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)Rendahnya trombosit pada KID
menandakan adanya aktivasi trombin yang terinduksi dan penggunaan trombosit. Memanjangnya
waktu pembekuan menandakan menurunnya jumlah faktor pembekuan yang tersedia seperti
vitamin K.Pemeriksaan kadar penghambat pembekuan (AT III atau protein C) berguna untuk
memberikan informasi prognostik. Pemeriksaan hasil degradasi fibrin seperti D-dimer, akan
membantu untuk membedakan KID dengan kondisi lain yang memiliki gejala serupa,
pemanjangan waktu pembekuan dan turunnya trombosit, seperti pada penyakit hati kronik.
Rekomendasi KonNas Tatalaksana DIC pada Sepsis tahun 2001
Kriteria minimal untuk diagnosis DIC adalah didapatkan keadaan atau gambaran klinik yang
dapat menyebabkan DIC dengan manifestasi perdarahan, tromboemboli atau keduanya, disertai
dengan pemeriksaan laboratorium trombositopenia dan gambaran eritrosit sel Burr atau D-dimer
positif.Bilamana fasilitas laboratorium memungkinkan dapat digunakan kriteria menurut Bick
atau berdasarkan skor DIC dari ISTH 2001.
Kriteria Laboratorium DIC menurut KonNas Tata laksana DIC pada sepsis 2001
1.Hitung trombosit: trombositopeni pada 98% DIC
2.PT: memanjang pada 50-70% DIC
3.aPTT: memanjang pada 50-60% DIC
4.Masa Trombin : memanjang
5.Fibrinogen
6.sFM (soluble fibrin monomer)
7.D-dimer: meningkat
8.FDP: meningkat
9.Antitrombin: menurun
Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick
1.Aktivasi prokoagualan: PF1+2, TAT, D-dimer, fibrinopeptide

2.Aktivasi fibrinolitik: D-dimer, FDP, plasmin, PAP


3.Konsumsi inhibitor: AT III, TAT, PAP, Protein C & S
4.Kerusakan/kegagalan organ: LDH, kreatinin, pH, pO2
Sistem Skor DIC (ISTH 2001)
1.Penilaian risiko: apakah terdapat penyebab DICjika tidak ada, penilaian tidak dilanjutkan
2.Uji Koagulasi (trombosit, PT, D-dimer, fibrinogen)
3.Skor:
a. Trombosit: > 100000 = 0
50000-100000 = 1
<50000 = 2
b. D-dimer:

< 500 = 0

500-1000 = 1
>10000=2
c. PT memanjang:

<3 detik = 0

4-6 detik = 1
>6 detik = 2
d. Fibrinogen: <100mg/dl = 1
>100 mg/dl = 0
4.Jumlah skor: 5 : sesuai DIC: skor diulang setiap hari
< 5 : sugestif DIC: skor diulang dalam 1-2 hari
PENATALAKSAAAN
Penatalakasanaan KID yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya KID.
Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil. Kemudian
pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
1.Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan, baik yang
disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin juga banyak
diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada pasien KID,
heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang signifikan.

Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam dalam infus kontinu.Indikasi: 1.Penyakit
dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat2.Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah
diatasi3.Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma
gagal nafasDosis:100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu,
dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol Low molecular weight
heparin dapat menggantikan unfractionated heparin
2.Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan hanya
kepada pasien KID dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan
perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam palasma hanya
berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien KID terjadi gangguan
seluruh faktor pembekuan.

3.Penghambat pembekuan (AT III)


Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal.Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%Dosis:
a. Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu selama 3
5 hari.
b. rumus: 1.1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%2. AT III x 0,6 x BB (kg),
dengan target AT III > 125%
4.Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID pemberian
antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis sehingga
fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya KID yang terjadi akan semakin berat.

ITP ( Idiopathic Trombocytopenic Purpura )


DEFENISI

Suatu kelaianan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia
oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini didalam sistem retikuloendotel akibat
adanya auto antibodi terhadap trombosit yang berasal dari Ig G.
KLASIFIKASI
ITP akut : Pada anak anak, paling sering usia 2-4 tahun
ITP kronis : Pada orang dewasa.
ETIOLOGI
Penyakit yang pasti belum diketahui, tetapi dikemukakan berbagai kemungkinan diantaranya
ialah hipersplenisme, infeksi virus ( demam berdarah, morbili, varisela, dan sebagainya),
intoksikasi makanan atau obat.
GEJALA KLINIK
1. ITP akut :

Di jumpai pada anak jarang pada umur dewasa

Awitan penyakit biasanya mendadak

Riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang

Manifestasi perdarahan ITP akut pada anak biasanya ringan

ITP akut pada anak biasanya self limiting

2. ITP kronis :

Awitan seringkali terjadi perlahan dengan perdarahan berupa petekie,mudah memar, menoragia
(pada wanita), perdarahan mukosa (misalnya epitaksis atau perdarahan gusi)

Riwayat perdarahan sering dari yang ringan sampai sedang.

ITP kronis cenderung mengalami relaps dan menyembuh secara spontan sehingga perjalanan
klinisnya sulit diprediksi.

PENGOBATAN
1. ITP AKUT

Tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan

Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid ( prednison) peroral


dengan atau tanpa transfusi.

Pada trombositopenia yang disebabkan DIC, dapat diberikan heparin intravena.


Pada pemberian heparin ini sebaiknya selalu disiapkan antidotumnya yaitu
protamin sulfat

Bila keadaan sangat gawat ( perdarahan otak ) hendaknya diberikan transfusi


trombosit.

2. ITP KRONIS
Kortikosteroid, diberikan selama 6 bulan
Splenektomi dianjurkan bila tidak diperoleh hasil dengan penambahan obat imunosupresif selama
2-3 bulan.
Terapi Ig intravena dosis tinggi
Obat-obatan imunosupresif : vinkristin, siklofosfamid, azitiopurin)
Danazol dan Ig anti O untuk tindakan emergenci transfusi trombosit.
Indikasi Transfusi Trombosit
a.

Trombositopenia / fungsi trombosit abnormal. Pada saat terjadi perdarahan atau sebelum
dilakukan tindakan infasif dan tidak tersedia terapi alternatif ( misal steroid, atau Ig dosis tinggi).
Hitung trombosit harus > 50000/mm3 sebelum biopsi hati.

b. Secara profilaksis pada pasien dengan hitung trombosit < 5000 10000/mm3. Jika terdapat
infeksi tempat perdarahan yang potensial atau koagulopati. Jumlah tersebut harus dipertahankan
> 20000/mm3.

PENYAKIT VON WILLEBRAND


Penyakit ini adalah kelainan perdarahan herediter disebabkan oleh defisiensi factor von
Willebrand (FVW).
FVW membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah dan antara sesamanya, yang
diperlukan untuk pembekuan darah.
Faktor von Willebrand
FVW adalah suatu glokoprotein multimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi utama:
1.

Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stress berat dengan menghubungkan reseptor

membrane trombosit ke subendotel pembuluh darah.


2. Bekerja sebagai pembawa plasma bagi factor VIII, suatu protein koagulasi darah yang penting.
Penyakit Von Willebrand (PVW)
Kelainan perdarahan kronis ditandai baik agregasi trombosit maupun pembentukan bekuan tidak
terjadi secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin akibat kelainan reseptor trombosit
intriksik atau karena kelainan atau defisiensi molekul pelekat seperti FVW. Penyakit ini disebut
juga sebagai pseudohemofilia atau hemophilia vascular.
Klasifikasi dan Patologi
PVW disebabkan oleh kelainan kuantitatifdan/atau kualitatif FVW, suatu protein factor
pembekuan yang diperlukan untuk interaksi antara trombosit-dinding pembuluh darah dan untuk
pembawa factor VIII. Pada banyak kasus juga terdapat defisiensi factor VIII. Kelainan yang
nyata pada FVW bertanggung jawab terhadap 3 tipe utama PVW.
Kelainan Kuantitatif FVW
Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW. Identifikasi kelainan gen adalah sulit
pada tipe 1 dan 3 PVW. Tipe 1 merupakan kelainan ringan, dan menjadi kasus terbanyak. Tipe 3
merupakan bentuk terberat tetapi jarang terjadi.

Kelainan Kualitatif FVW

Tipe 2 yang terdiri dari subtype 2A, 2B, 2M, dan 2N, meliputi pasien dengan kelainan kualitatif
FVW. Tipe 2 meliputi kalainan yang ringan sampai sedang, ditandai dengan gejala gejala yang
sifatnya khas. Tipe 2A ditandai dengan penurunan fungsi FVW yang terkait trombosit dan
termasuk subtype II A dan II C. Tipe 2B ditetapkan dengan meningkatnya

afinitas

FVW

terhadap GP 1 b trombosit. Tipe 2N, ditandai oleh kelainan ikatan FVW pada factor VIII.
Gambaran Klinik
Gejala paling sering terjadi meliputi: perdarahan gusi, hematuria, epistaksis, perdarahan saluran
kemih, darah dalam feses, mudah memar, menoragi.
Pada PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi trombosit lainnya, biasanya tampil dengan
perdarahan mukokutan, terutama epistaksis, muah memar, menoragi, dan perdarahan gusi dan
gastrointestinal. Pasien dengan kadar VIII yang sangat rendah bahkan dapat menunjukkan
hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam tubuh. Seringkali gambaran kelaianan ini tidak nyata
sampai terdapat pemberat seperti trauma atau perdarahan. Seringkali terdapat riwayat yang jelas
dalam keluarga dengan perdarahan abnormal dan berat, namun daya tembus dan ekspresi gen
yang mengalami mutasi sangat bervariasi/. Pasien dengan gen resesif tunggal khas asimptomatik
tetapi menunjukkan kadar aktivitas antigen FVW abnormal. Keturunan dengan heterozigot
ganda, ang diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen cacat, menghasilkan penyakit
berat tipe 3.
Diagnosis
Diagnosis PVW memerlukan:
1. Kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan
2. Kecakapan pemamfaatan laboratorium.
Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap
merupakan factor penunjang pada perdarahan pasien, lebih dahulu harus diobati secara empiris
dan penelusuran laboratories yang rumit ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan tidak
mendapat prosuk darah dan obat selama beberapa minggu.
PVW selain congenital juga ada yang didapat. PVW yang didapat berbeda dari PVW congenital,
jarang terjadi, tampil lambat, dan tanpa riwayat perdarahan dalam keluarga. PVW yang didapat
berkaitan dengan sejumlah penyakit kronis termasuk kelainan berikut:
1. Autoimun
2. Gamopati monoclonal
3. Limfoproliferatif

4.
5.
6.
7.
8.

Keganasan epidemic
Hipotiroidisme
Tumor Wilm
Mieloproliferatif
Sebab pemakaian obat, termasuk siproloksasin

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemanjangan BT
2. Penurunan kadar FVW plasma
3. Penurunan secara parallel kadar aktivitas biologi diperiksa dengan penentukan kofaktor
ristosetin
4. Penurunan aktivitas factor VIII

Evaluasi Penapisan
Untuk PVW harus mencakup pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT, dan APTT.
1. PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila penyakit lebih berat BT memanjang
antara 15-30 menit sedangkan hitung trombosit normal.
2. Pasien dengan defisiensi berat FVW atau kelainan factor VIII mengikat FVW berakibat
pemanjangan APTT, sekunder akibat menurunnya kadar kofaktor VIII dalam plasma.
3. Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan fungsinya.
D. KESIMPULAN SEMENTARA
1.
a.
b.
c.
d.
2.

Adanya gangguan hemostasis


DIC
Hemofilia
Thalassemia
ITP
Defisiensi vitamin K

ANAMNESIS
Nama

: Amat

Jenis kelamin

: laki-laki

Alamat

:-

Umur

: 15 tahun

Keluhan utama

: perdarahan yang sulit berhenti pada bekas suntikan.

Keluhan tambahan

: demam tinggi, menggigil, nausea, vomitus, petechiae dan ekimosis

Riwayat penyakit terdahulu : Riwayat sosial : memiliki segudang aktivitas


Pemeriksaan fisik
Inspeksi

: petechiae, ekimosis

Palpasi

: demam tinggi

Perkusi

:-

Auskultasi

:-

Pemeriksaan Laboratorium
Thrombosit : 100.000/ mm3
Leukosit
PT

: 14.000/ mm3

: 18 Detik

aPTT : 45 detik
DIAGNOSA AWAL
DIC
DIAGNOSA BANDING
DIC, defisiensi vitamin K, ITP, Hemofilia
DIAGNOSA AKHIR
DIC
E.

KESIMPULAN AKHIR
OS mengalami gangguan hemostasis sehingga menyebabkan perdarahan pada bekas

suntikan yang sulit berhenti.

BAB III
PENUTUP

Diagnosis anemia DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) ditegakkan berdasarkan


hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung
sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.
Prinsip penatalaksanaan DIC adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi sesuai dengan faktor penyebabnya. Mencari faktor penyebab DIC pada pasien
merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Jika penatalaksanaannya tidak dilakukan sesuai
dengan faktor penyebabnya maka pengobatannya tidak akan berhasil. Selain itu perlu juga
diberikan pengobatan secara suportif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Jakarta


2. Farmakologi UI, 1995, Farmakologi dan Cairan, edisi 4, Jakarta
3. Fakultas Kedokteran UI, 2005, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta
4. Sylvia A.Price,Lorraine M.Wilson,2005,Patofisiologi,EGC,Jakarta
5. A.V Hoffbrand,J.E.Pettit.P.A.H.Moss,2005,Kapita selekta Hematologi,EGC Jakarta
6. Fakultas Kedokteran UI,1985, Ilmu Kesehatan Anak,edisi 4,Jakarta

Diposkan 2nd September 2012 oleh yoki yogie


0

Tambahkan komentar

catatan co-ass (dokter muda yokie)

Klasik

Kartu Lipat

Majalah

Mozaik

Bilah Sisi

Cuplikan

Kronologis

1.
Sep
2

DEMAM SI ALI

SKENARIO 1
Setelah Demam si Ali menjadi Muka Pucat

Ali (anak laki laki, usia 6 tahun) adalah anak yang cukup aktif disekolahnya. 5 hari ini ,
Ali tidak dapat mengikuti kegiatan disekolah karena sedang mengalami demam yang
tinggi, mialgia serta terdapat anorexia. Akhirnya Ali pergi ke dokter tempat keluarga Ali
biasa berobat, dan Ali diberi obat Chloramfenicol, antipiretik, dan anti emetik. Setelah
mengkonsumsi obat itu demam Ali hilang, tetapi setelah itu muka Ali lama lama
menjadi pucat, dadanya

sering berdebar, malaise, nafsu makan

menurun, terdapat

perdarahan disekitar gusinya dan petechie, ekimosis dipermukaannya. Karena keadaan


Ali memburuk Ali pergi berobat ke dokter spesialis Anak. Sang dokter menganjurkan
untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan sum-sum tulang. Kira
kira apakah yang terjadi pada Ali dan bagaimana penatalaksanaan serta pengobatan
yang terbaik buat Ali ?
Pemeriksaan penunjang :
Hb : 6 mg/dl

Leukosit : 8000/ L
Trombosit : 15.000/ L
Retikulosit: 50.000 / L
Neutrofil : 400 / L
Darah tepi : Makrositosis dan Poikilositosis

Seven Jump 1 : Klarifikasi istilah/konsep

Seven Jump 2 Penetapan Masalah


1. Os mengalami demam yang tinggi, disertai dengan mialgia dan anorexia.
2. Setelah mengkonsumsi obat ( Kloramfenicol, antipiretik, antiemetik)

demam

Ali hilang, tetapi setelah itu muka Ali lama lama menjadi pucat, dadanya sering
berdebar, malaise, nafsu makan menurun, terdapat perdarahan disekitar gusinya
dan petechie, ekimosis dipermukaannya.
3. Efek samping dari Kloramfenikol, antipiretik, antiemetik
4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 6 mg/dl
Leukosit : 8000/ L
Trombosit : 15.000/ L
Retikulosit: 50.000 / L
Neutrofil : 400 / L

Darah tepi : Makrositosis dan Poikilositosis

Seven Jump 3 : Analisis Masalah

PenyebabDemam ( Infeksi /Non Infeksi


1.

Kloramfenikol
2.

3. Efek samping Kloramfenikol

TINJAUAN TEORITIS
A. Fisiologi dan Morfologi Darah
a. Darah
Merupakan jaringan tubuh dan volume darah adalah 8 % dari berat badan, 55% adalah
plasma dan temperaturnya :38oc, ph 7,35 7, 45
Terdiri dari :
1.
2.
3.
4.

Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Plasma darah

b. Fungsi darah :
1. Sebagai alat transport :
a.
b.
c.
d.
e.

O2 dari paru-paru diangkut keseluruh tubuh


Co2 diangkut dari seluruh tubuh ke paru-paru
Sari makanan diangkut dari jonjot usus ke seluruh jaringan yang membutuhkan.
Zat sampah hasil metabolisme dari seluruh tubuh ke alat pengleluaran.
Mengedarkan hormon dari kelenjar endokrin (kelenjar buntu) ke bagian tubuh tertentu.
2. Mengatur keseimbangan asam dan basa
3. Sebagai pertahanan tubuh dari infeksi kuman
4. Untuk mengatur stabilitas suhu tubuh
c. Plasma darah

Plasma darah terdiri dari : 90 % air, 7 % protein : albumin, fibrinogen,


globulin.protombin 3 % bahan organic

: lipid, garam, nutrient dan waste product

1. Sel-sel darah (bagian padat)


a. Eritrosit (sel darah merah)
Tidak berinti, mengandung hb (protein yang mengandung senyawa hemin dan fe
yang mempunyai daya ikat terhadap o2 dan co2), bentuk bikonkav, dibuat dalam sumsum
merah tulang pipih sedang pada bayi dibentuk dalam hati. Dalam 1 mm3 terkandung 5
juta eritrosit (laki-laki) dan 4 juta eritrosit (wanita). Setelah tua sel darah merah akan
dirombak oleh hati dan dijadikan zat warna empedu (bilirubin). Eritrosit berusia sekitar
120 hari. Sel yang telah tua dihancurkan di limpa (Junquera, 1997)
b. Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengendung inti, disebut juga sel darahputih.
Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000sel/mm3,
bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,bilakurang dari 5000
disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka seldarah putih mempunyai
granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidupberupa tetesan setengah cair,
dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yangbervariasi, yang tidak mempunyai
granula, sitoplasmanya homogen dengan intibentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua
jenis leukosit agranuler : linfosit selkecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar
mengandung sitoplasma lebihbanyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: neutrofil,
basofil, dan asidofil (ataueosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula
terhadap zat warna netral basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap
terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya)
(Leeson, 1990).

Granulosit

1. Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, sel sel ini
merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um,satu inti dan
2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um)
mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis romanovky.

Granul pada neutrofil ada dua :


A. Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.
B. Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein
kationik) yang dinamakan fagositin
Neutrofil

jarang

mengandung

retikulum

endoplasma

granuler,

sedikit

mitokonria,apparatus golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan


garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil
dengan aktif. Adanya asam amino d oksidase dalam granula azurofilik penting dalam
penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino d. Selama proses fagositosis
dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan
peroksida

dan

halida

bekerja

pada

molekultirosin

dinding

sel

bakteri

dan

menghancurkannya.
Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus membran
granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh
aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai metabolisme
yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara arrob maupun anaerob.
Kemampuan nautropil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan,
karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada
jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat
shunt, meningkatkan glicogenolisis (Leeson, 1990).

2. Eosinofil
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih
kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, retikulum endoplasma mitokonria dan
apparatus golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin
asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin,
ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid,
dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil.
Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil
untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibody. Eosinofil
mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan,
khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses patologi. Kortikosteroid akan
menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat (Leeson, 1990).

3. Basofil
Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar
bentukilihan ireguler, umumnya bentuk huruf s, sitoplasma basofil terisi granul yang
lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya leukosit mempunyai
peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan.
Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat
meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam
jaringan penyambung.jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal
adalah4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai
12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel ireguler
berwarna metakromatik, dengan campuran jenis romanvaki tampak lembayung. Granula
basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil
merupakan sel utama pada tempat peradangan inidinamakan hypersesitivitas kulit basofil.
Hal ini menunjukkan basofil mempunyaihubungan kekebalan (Leeson, 1990).

Granulosit
1. Limfosit
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.normal,
inti relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru
terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik,
mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan romonovsky
mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat
dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel
tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos seperti imunoglobulin yang mengikat
antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit dalam sirkulasi darah normal dapat
berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih
banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada
dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan patologis,
pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit
dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan
dengan sifat
Imunologisnya, siklus hidup dan fungsi (Leeson, 1990).

2. Monosit
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um
tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya
eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda.kromatin kurang padat,
susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap momosit sitoplasma relatif banyak
dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula azurofil,
merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma

sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Apa ratus golgi
berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah
identasi inti.monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga
tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin
dan komplemen.monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk
kedalam jaringan penyambung. Daiam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi
dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel
immunocmpetent dengan antigen (Leeson, 1990).

c. Trombosit
Keping darah, lempeng darah, trombosit atau platelet, adalah fragmen sel
yang tersirkulasi dalam darah yang terlibat dalam mekanisme hemostatis tingkat sel yang
menimbulkan pembekuan darah (trombus).
Jumlah trombosit adalah 150.000 450. 000 keping/mm darah. Diameter

2- 4

mikrometer, umur nya 7 -10 hari, Disfungsi atau jumlah keping darah yang sedikit dapat
menyebabkan pendarahan, sedangkan jumlah yang tinggi dapat meningkatkan risiko
trombosis. Trombosit memiliki bentuk yang tidak teratur, tidak berwarna, tidak berinti,
berukuran lebih kesil dari eritrosit dan leukosit, dan mudah pecah bila tersentuh benda
kasar (Leeson, 1990).

B. Faktor Faktor Pembekuan Darah


a. Faktor faktor pembekuan darah
1.
2.

F.I
F. II

: Fibrinogen, Merupakan Precursor Fibrin ( Protein Terpolimerasi )


: Protrombin, Merupakan Precursor Enzim Proteolitik Thrombin Dan

Mungkin Akselerator Lain Pada Konversi Protrombin.

3.
4.
5.

F. III
F. IV
F. V

: Tromboplastin, Aktifator Lipoprotein Jaringan Pada Protrombin


: Ion Ca, Diperlukan Untuk Aktivasi Protrombin Dan Pembentukan Fibrin
: Proakselerin, Merupakan Akselerator Plasma Globin : Suatu Faktor

Plasma Yang Mempercepat Konversi Protrombin Menjadi Thrombin


6. F. VI : Bentuk Aktif F.V
7. F. VII : Prokonvertin, Akselator Konversi Protrombin Serum : Suatu Serum Yang
Mempercepat Konversi Protrombin.
8. F. VIII : Anti Hemofilik Faktor (Ahg), Suatu Faktor Plasma Yang Berkaitan
Dengan Faktor III Trombosit Dan Faktor Christmas (Ix), Mengaktivasi Protrombin
9. F. IX : Christmas Faktor, Faktor Serum Yang Berkaitan Dengan Faktor-Faktor
Trombosit Iii Dan Viiiahg, Mengaktivasi Protrombin.
10. F. X
: Stuart Prower Faktor, Suatu Faktor Plasma Dan Serum, Akselerator
Konversi Protrombin.
11. F. Xi
: Plasma Tromboplastin Antecedent, Akselator Pembentukan Thrombin.
12. F. Xii : Hagemen Faktor, Suatu Faktor Plasma, Mengaktivasi Faktor Xi
13. F. Xiii : Fibrinase Faktor, Mengaktivasi Bekuan Fibrin Yang Lebih Kuat.
(FK UI, 2005).
b. Sumber-Sumber Faktor Pembekuan
1.Hati
Hal Ini Dikarenakan Hati Mensintesis Sebagian Besar Faktor Pembekuan, Sehingga
Berperan Penting Dalam Pembekuan Darah
2.Vitamin K
Vitamin K Sangat Penting Dalam Sintesis Protrombin Dan Faktor Pembekuan Lainnya
Dalam Hati. Absorbsi Vitamin K Dalam Usus Tergantung Pada Garam Empedu Yang
Diproduksi Oleh Hati (FK UI, 2005).
c. Pembentukan Sel Darah
Sel Sistim Hemopotetik Pluripoten Penginduksi Diferensiasi Sel Sistim Hemopoietik
Pluripoten Merupakan Asal Dari Seluruh Sel-Sel Dalam Darah Sirkulasi
1.

Sel Darah Muncul Dari Mesoderm

2.

Beberapa Saat Kemudian, Hati & Limpa Berfungsi Sebagai Jaringan Hematopoietik
Sementara, Namun Menjelang Bulan Kedua, Membentuk Sumsum Tulang Di Pusatnya.

3.

Sewaktu Kecepatan Penulangan Pralahir Dari Sisa Kerangka Meningkat, Sumsum


Tulang Menjadi Jaringan Hematopoietik Utama

4.

Sesudah Lahir & Semasa Kanak-Kanak, Eritrosit, Leukosit Granular, Monosit &
Trombosit Berkembang Dari Sel Induk Yang Terdapat Di Sumsum Tulang. Asal Dan
Pematangan

Sel-Sel Ini Berturut-Turut Disebut Eritropoiesis, Monositopoiesis, Dan

Megakariositopoeisis
5.

Sumsum Tulang Juga Menghasilkan Sel-Sel Yang Bermigrasi Ke Organ Limfoid Yang
Menghasilkan Berbagai Tipe Limfosit (Ganong, 2005)
d. Produksi Sel-Sel Darah Merah

1.

Minggu Petama Kehidupan Embrio, Sel Darah Primitive Yang Berinti Diproduksi Dalam
Yolk Saw

2.

Selama Pertengahan Trimester Masa Gestasimasi, Walaupun Cukup Banyak Diproduksi


Juga Dalam Limpa Dan Limfonodus

3.

Pada Dasarnya Sumsum Tulang Dari Semua Tulang Memproduksi Sel Darah Merah
Sampai Seseorang Berusia 5 Tahun, Tetapi Sumsum Dari Tulang Panjang, Kecepatan
Proksimal Humerus & Tibia, Menjadi Sangat Berlemak Dan Tidak Memproduksi Lagi
Setelah Kurang Lebih Berusia 20 Tahun

4.

Di Atas 20 Tahun, Kebanyakan Sel Darah Merah Diproduksi Dalam Sumsum Tulang
Membranosa, Seperti Vertebrata, Sternum, Iga & Ileum. Sehingga Bertambahnya Usia
Tulang-Tulang Ini Sumsum Menjadi Kurang Produktif
e. Tahap-Tahap Diferensiasi Sel Darah Merah

Proeritroblas

Sel Petama Yang Dapat Dikenali Sebagai Bagian Dari

Rangkaian Sel Darah


Merah
Basofil Eritroblas

Sel-Sel Generasi Pertama Yang Terbentuk Banyak Sel

Darah Merah Yang


Matur Dari Pembelahan Beberapa Kali Sebab Dapat
Dipulas Dengan Zat
Warna Biasa
Retikolosit

Reticulum

Endoplasma

Direabsorbsi

Karena

Masih

Mengandung Sedikit
Bahan Basofilik Dari Golgi, Mitokondria & Sedikit
Organel Sitoplamik
Eritrosit

Bahan Basofilik Yang Tersisa Sedikit Demi Sedikit

Akan Menghilang Dalam 1-2 Hari Dalam Retikulosit Normalnya (FK UI, 2005).

f. Pengaturan Produksi Sel Darah Merah Peran Eritropoietin


Oksigenasi Jaringan Sebagai Pengatur Dasar Dari Produksi Sel Darah Merah
Eritropoietin Berfungsi Untuk Merangsang Produksi Sel Darah Merah & Bentuknya
Sebagai Respon Terhadap Hipoksia
Peran Ginjal Dalam Pembentukan Eritropoietin
Pengaruh Eritropoietin Terhadap Pembentukan Sel-Sel Darah Merah

g. Pematangan Sel Darah Merah


2 Vitamin Yang Penting

B 12

Asam Folat
Keduanya Bersifat Penting Untuk Sintesis Dna Karena Masing-Masing Dalam Cara Yang
Bebeda Dibutuhkan Untuk Pembentukan Timidin Trifosfat, Yaitu Salah Satu Blok
Pembangun Penting Dna
h. Kegagalan Pematangan Sel Darah Merah, Akmibat:

Kegagalan Pematangan Sel Akibat Buruknya Absorbs Vitamin B12-Anemia Pernisiosa


Kegagalan Pematangan Yang Disebabkan Oleh Defisiensi Asam Folat (Asam
Pteroilglutamat)
i. Pembentukan Hb
Dimulai Dalam Proeritroblas Dan Kemudian Dilanjutkan Sedikit Dalam Stadium
Retikulosit, Karena Ketika Retikulosit Meninggalkan Sumsum Tulang & Masuk Ke
Dalam Aliran Darah, Maka Retikulosit Tetap Membentuk Sedikit Hemoglobin Selama
Beberapa Hari Berikutnya
j. Penguraian Sel Darah Merah

Nadph Melayani Sel Darah Merah Dalam Beberapa Hal Penting:

Mempertahankan Kelenturan Membrane Sel

Mempertahankan Pengangkutan Ion-Ion Melalui Membran

Mempertahankan Besi Hb Sel Agar Tetap Dalam Bentuknya

Mencegah Oksidasi Protein Dalam Sel Darah Merah


(FK UI, 2005).

C. ANEMIA APLASTIK
a. DEFENISI
Anemia aplastik didefenisikan sebagai pansitopenia yang disebabkan oleh aplasia sumsum tulang.
b. EPIDEMIOLOGI
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus
persejuta penduduk per tahun. Penelitian The International Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi di Eropa dan Israel 2
kasus persejuta penduduk. Di Thailand dan Cina, angka kejadiannya yaitu lima hingga
tujuh orang per satu juta populasi. Pada umumnya, pria dan wanita memiliki frekuensi
yang sama (Av.Hoffbrand, 2005).
c. KLASIFIKASI
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa:

1. Primer
: kongenital dan idiopatik didapat
Kongenital
Jenis fanconi memiliki suatu pola pewarisan resesif autosomal dan sering
disertai dengan retardasi pertumbuhan dan cacat congenital di rangka
(misalnya mikrosefalus, tidak adanya tulang radius atau ibu jari), kelainan
saluran ginjal (misal ginjal tapal kuda), atau kulit (daerah-daerah
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi); kadang-kadang terdapat retardasi
mental. Syndrome ini bersifat heterogen secara genetik dengan 7 gugus

tambahan berbeda yang disebut FAA sampai FAG. Persoalan yang mendasari
tampaknya adalah perbaikan (reapair) DNA yang mengalami gangguan. Sel
dari penderita anemi fanconi memperlihatkan frekuensi pecahnya kromosom
spontan yang sangat tinggi dan uji diagnostik adalah peningkatan pemecahan
setelah inkubasi limfosit darah perifer dengan dengan diepoksibutana (tes
DEB).
Idiopatik didapat
Penyakit ini merupakan jenis anemia aplastik yang paling sering ditemukan.
Walaupun mekanismenya belum diketahui, respons yang baik terhadap
globulin anti-limfosit (GAL) dan siklosporin menunjukkan bahwa kerusakan
autoimun yang diperantarai sel T, kemungkinan terhadap sel induk yang
berubah secara struktural dan fungsional, berperan penting.
2. Skunder : radiasi pengion, zat kimia, obat, infeksi.
Seringkali disebabkan oleh kerusakan langsung di sumsum hemopoietik
akibat radiasi atau obat-obat sitotoksik. Obat anti-metabolit (mis; metotreksat)
dan inhibitor mitosis (mis; daunoribisin) menyebabkan aplasia sementara saja,
tetapi agen pengalkil, khususnya busulfan, dapat terjadinya aplasia kronik.
Beberapa individu menderita anemia akibat efek samping obat (misal;
idiosinkrasi) yang jarang terjadi. Seperti kloramfenikol atau emas yang tidak
diketahui bersifat sitotoksik, mereka juga dapat menderita penyakit ini dalam
beberapa bulan setalah hepatitis virus (NON- A, NON- B, NON- C).
Kloramfenikol memiliki insidensi toksikosis sumsum tulang sangat tinggi,
sehingga obat ini harus digunakan untuk pengoabtan yang mengancam jiwa
atau untuk penyakit yang membutuhkan obat ini sebagai pengobatan optimum
(misal. tifoid). Zat kimia seperti benzena mungkin terlibat sebagai penyebab
terlibat sebagai penyebab penyakit ini (Av.Hoffbrand, 2005).
B.

Klasifikasi menurut prognosis


1. Anemia aplastik berat,
Neutrofil
: <500/mm3
Trombosit
: <20.0000/mm3
Retikulosit : <1%

2. Anemia aplastik sangat berat, defenisinya sama seperti anemia aplastik berat
kecuali neutrofil <200/mm3
3. Anemia aplastik tidak berat, kesempatan sembuh mencapai 50% ( Harisson,
2008).
d. PATOGENESIS
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh:
1. Defisiensi absolut stem cell sumsum tulang
2. Hambatan pada diferensiasi
3. Supresi imun
4. Kelainan stroma
( Harisson, 2008).
e. ETIOLOGI
A. Faktor Genetik : Anemia Fanconi (kongenital)
B. Obat-obatan dan Bahan Kimia
Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sum-sum sebagai toksisitas utamanya;
efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi pada semua pengguna. Pada konteks
penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi walaupun pada
beberapa orang terjadi dengan sangat buruk. Chloramphenicol, merupakan penyebab
utama, namun dilaporkan hanya menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000
pengobatan dan kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko
selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya; walaupun
pengenalan

chloramphenicol

dicurigai

menyebabkan

epidemic

anemia

aplasia,

penghentian pemakaiannya tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi kegagalan sumsum tulang).

Benzena merupakan penyebab yang diketahui dari kegagalan sum-sum tulang. Banyak
data laboratorium, klinis, dan epidemiologi yang menghubungkan antara paparan
benzene dengan anemia aplastik, leukemia akut, serta abnormalitas darah dan sum-sum
tulang.
C. Infeksi
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya anemia aplasia,
dan kegagalan sum-sum paska hepatitis terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan
kejadian. Pasien biasanya pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1
hingga 2 bulan sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya
seronegatif (non-A, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru
yang tidak terdeteksi. Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya terjadi setelah
hepatitis seronegatif dan kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada pasien ini.
Anemia aplastik terkadang terjadi setelah infeksi mononucleosis, dan virus Eipsten-Barr
telah ditemukan pada sum-sum pada sebagian pasien, beberapanya tanpa disertai riwayat
penyakit sebelumnya. Parvovirus B19, penyebab krisis aplastik transient pada anemia
hemolitik dan beberapa PRCA (Pure Red Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan
kegagalan sum-sum tulang yang luas. Penurunan hitung darah yang ringan sering terjadi
pada perjalanan penyakit beberapa infeksi bakteri dan virus namun sembuh kembali
setelah infeksi berakhir.
D. Iradiasi
Aplasia sum-sum merupakan sekuele akut utama dari radiasi. Radiasi merusak DNA;
jaringan bergantung pada mitosis aktif yang biasanya terganggu. Kecelakaan nuklir tidak
hanya melibatkan pekerja namun juga pegawai rumah sakit, laboratorium dan industri
(sterilisasi makanan, radiography metal,dll), begitupula dengan orang lain yang terpapar
secara tidak sengaja. Sementara dosis radiasi dapat diperkirakan melalui angka dan
derajat penurunan hitung darah, dosimetri dengan rekonstruksi paparan dapat membantu
memperkirakan prognosis pasien dan dapat pula melindungi tenaga medis dari kontak
dengan jaringan radioaktif dan sekret.

E. Kelainan Imunologis
Aplasia merupakan konsekuensi utama dan penyebab kematian yang tak terhindarkan
pada keadaan transfusion-associated graft-versus-host disease (GVDH), yang dapat
terjadi setelah infuse produk darah kepada pasien immunodefisiensi. Anemia aplastik
sangat terkait dengan sindroma kolagen vaskuler yang jarang terjadi yang disebut fasciitis
eosinophilic, yang ditandai dengan adanya indurasi yang sakit pada jaringan
subcutaneous. Pansitopenia dengan hipoplasia sum-sum dapat pula terjadi pada systemic
lupus erythematosus.

F. Kelompok idiopatik (Av.Hoffbrand, 2005).


e. MANIFESTASI KLINIS
Anemia aplastik dapat berupa asimptomatik, juga terdapat pucat, perdarahan (kulit, gusi,
hidung, saluran cerna, dll), demam, petekie, ekimosis dan sebagian kecil hepatomegali.
f. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1.

Anemia bersifat normokrom normositik, atau makrositik, jumlah retikulosit biasanya


sangat rendah jika dikaitkan dengan derajat anemia. Kadang-kadang ditemukan pula
makrositosis dan poikilositosis.

2. Leucopenia. Terdapat penurunan selektif granulosit, tetapi tidak sampai 1,5 x109 /l.
3.

Sumsum tulang memperlihatkan adanya hipoplasia dengan hilangnya jaringan


hemopoietik dan penggantian oleh lemak yang meliputi lebih dari 75% sumsum tulang.

4.

Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan


pemeriksaan imunitas sel T.
g. DIAGNOSIS
Kriteria minimal diagnosis anemia aplastik adalah:

1.

Pansitopenia berupa

kadar hemoglobin < 13% (pria) dan <12% (wanita), jumlah

neutrofil <1500/mm3 , leukosit <4000/mm3 dan trombosit <150.000/mm3 .


2.

Aplasia atau hipoplasia sumsum tulang. Sediaan hapus aspirat sumsum tulang
memperlihatkan peningkatan sel-sel lemak, hipoplasia eritroid, myeloid limfosit tampak
meningkat. Walaupun hasil aspirasi sumsum tulang mengesankan suatu diagnosis anemia
aplastik, harus tetap dilaksanakan biopsi tulang (Av.Hoffbrand, 2005).
h. PENATALAKSANAAN
Umum
Penyebabnya (jika diketahui) harus disingkirkan, misalnya menghentikan radiasi atau
terapi obat. Penatalaksanaan awal meliputi perawatan suportif dengantransfusi darah,
konsentrat trombosit dan pengobatan serta pencegahan infeksi.
Penanganan anemia aplastik meliputi :
- Tindakan suportif
untuk mencegah perdarahan dan infeksi
- Transfusi darah
- Bone Marrow stimulants dengan immunosupresif
dan hematopoietic growth factors
- Transplantasi sumsum tulang

Spesifik
I.

Menghentikan atau menghindari zat toksik yang

II. tersangka sebagai penyebab anemia aplastik


III.

Menjaga hygiene penderita untuk mencegah infeksi atau perdarahan

Perlukaan dihindari
Sikat gigi harus dengan sikat gigi yang lunak
Bila haid berlebihan, diberi kontraseptif
Jangan mempergunakan aspirin
IV.

Transfusi darah

Diberi transfusi packed red cells ( PRC ) sampai kadar hemoglobin 7 8 g %


Transfusi dalam bentuk

washed

atau

frozen red blood cells

untuk

menghindari reaksi imun.


V. Transfusi trombosit dilakukan bila :
Trombositopenia berat, disertai perdarahan dibawah kulit
Perdarahan masif saluran pencernaan
Perdarahan otak, perdarahan retina
Purpura yang cepat meluas
VI. Diberi transfusi trombosit konsentrat sampai hitung trombosit > 20.000 / mm3
VII Transfusi buffy coat granulocytes consentrate diberi bila
Hitung neutrofil < 200 / mm3 disertai sepsis gram negatif

Neutropenia berat disertai penyakit infeksi yg tidak terkendalikan dgn


pemberian

antibiotik adekuat

VIII. Pemberian Bone Marrow stimulants seperti :


immunosupresif
- Champlin dkk ( 1983 ) menyarankan
penggunaan imunosupresif pada penderita
berumur > 40 tahun yg tidak dapat menjalani
transplantasi sst dan pada penderita yg telah
mendapat transfusi berulang
- Anti Timosit Globulin ( ATG )
- Cyclosporine A
- Anti-T cell agent
IX. Hematopoietic growth factors
G-CSF ( Granulocyte colony stimulating factors )
GM-CSF ( Granulocyte monocyte colony stimulating factors )
Kortikosteroid
Androgen
X.Transplantasi sumsum tulang
Pada severe aplastic anemia, transplantasi sst merupakan pengobatan pilihan.

Keberhasilan transplantasi sst tergantung pada :


- masalah penolakan graft
- penyakit graft lawan resipien
- infeksi dan Umur
XI. Penderita mild atau moderate aplastic anemia umumnya tidak memerlukan
penanganan segera dan dapat hidup bertahun-tahun.
XI. Penderita anemia aplastik berat ( severe ) memiliki resiko besar untuk terkena
infeksi
Bila demam, dilakukan pemeriksaan kultur darah
Pemberian antibiotik yg sensitif terhadap bakteri
gram positif dan gram negatif selama minimal 48
jam demam berhenti dan hasil kultur darah negatif
Jika penderita tetap demam dan tidak ada perubahan
klinis obat anti jamur dan obat anti virus sebaiknya
diberikan ( FK UI, 2005).

D. ANEMIA MEGALOBLASTIK

a. Defenisi

Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA
dan ditandai oleh sel megaloblastik.
b. Etiologi
1. Defisiensi vitamin B12
2. Defisiensi asam folat
3. Gangguan metabolism vitamin B12 dan asam folat
4.

Gangguan sintesis DNA akibat dari defisiensi enzim congenital, didapat setelah
pemberian obat atau sitostatik tertentu (FK UI, 2005)
c. Patofisiologi
Timbulnya megaloblast adalah

akibat gangguan maturasi inti sel karena gangguan

sintesis DNA sel-sel eritroblas.


d. Klasifikasi etiologi anemia megaloblastik
1. Defisiensi vitamin B12
a.

Pasien tidak makan daging hewan atau ikan, telur, susu (yang

mengandung vitamin B12 ).


b. Adanyan malabsorbsi akibat:
i.

Kelainan lambung: anemia pernisiosa,

gastrektomi total atau parsial.


ii. Kelainan

usus: pasien reseksi ileum ,

intestinal loop syndrome.


2. Defisiensi Asam Folat
a. Makanan kurang gizi asam folat terutama pada usia tua , penghuni panti,
kemiskinan, dan diet khusus.

b. Ekskresi asam folat yang berlebihan melalui urin ini terjadi pada penyakit
hati yang aktif atau kegagalan faal jantung.
c.
Obat-obat anti konvulsan
d.
Malabsorbsi asam folat misalnya karena tropical sprue,
e.
f.

penyakit celiac.
Kebutuhan yang meningkat akibat:
Keadaan fisiologis misalnya hamil, menyusui, dan

g.

prematurasi.
Keadaan patologis misalnya anemia hemolitik,penyakit
keganasan.

Tabel. Perbedaan Vitamin B12 dan Asam Folat Berdasarkan Aspek Nutrisi
Vitamin B12
Asupan harian normal dari 7-30ug

Asam Folat
200-250ug

makanan
Asal makanan

Sebagian besar khususnya

Hati, daging, ikan, susu

Kebutuhan harian minimal 1-2ug

hati, sayuran hijau, ragi.


100-150ug

untuk dewasa
Cadangan dalam tubuh

10-12mg ( cukup untuk 4

2-3mg ( cukup 2-4 tahun )

bulan)
Absorbsi
Letak
Mekanisme
Batas

Sirkulasi Enterohepatik
Transpor dalam plasma

Ileum
Faktor intrinsic
5-10ug/ hari

Duodenum dan yeyenum


Konversi menjadi metal
tetrahidrofolat
50-80%

makanan.
5-10ug/hari
90ug/hari
Sebagian besar terikat pada TC Terikat lemah pada albumin
I,

TC

II

(Transkobalamin),esensial untuk
ambialn sel
( FKUI, 2005)

kandungan

e. Gejala Klinis
1.

Defisiensi Vitamin B12 : lemah, letih, lemah, sakit kepala, palpitasi, pucat, keluhan
nyeri lidah, anoreksia, berat badab turun, diare.

2. Defisiensi Asam folat : pucat, letih, lemah, pusing, sukar tidur, pada auskultasi terdengar
bising sistolik.

f. Diagnosis
1. Gejala klinis
2. Menentukan kadar vitamin B12 dan asam folat dalam darah.Kadar normal vitamin B12
serum antara 160-925 ug/L, sedangkan asam folat dalam serum 3,0-15,0 ug/L
3. Menentukan penyebab kekurangan vitamin B12 dan asam folat.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan defisiensi B12 dan asam folat
Untuk kekurangan Vitamin B12
I.
II.
III.
IV.
V.

Anamnesis makanan
Tes absorbs vitamin B12 dengan atau tanpa faktor intrinsic
Penentuan faktor intrinsic dan antibody terhadap sel parietal lambung
Endoskopi,foto saluran makanan bagian atas
Analisis cairan lambung

Untuk kekurangan Asam Folat


I. Anamnesis makanan
II. Uji untuk malasorbsi intestinal
III. Penyakit yang mendasari
g. Pengobatan

1. Untuk Defisiensi Vitamin B12


a) Diberikan vitamin B12 100-1000 ug intramuscular sehari selama 2
minggu,selanjutnya 100-1000 ug intramuscular setiap bulan. Bila ada kelainan
neurologis terlebih dahuly diberikan tiap 2 minggu selama 6 bulan baru
kemudian diberikan sebulan sekali. Bila pasien sensitive terhadap suntikan
dapat diberikan secara oral 1000ug sekali sehari asal jika tidak terdapat
b)

gangguan absorbsi.
Transfusi darah diberikan bila kadar Hb < 5 gr% disertai keadaan umum
jelek misal gagal jantung, infeksi berat. Transfusi darah sebaiknya diberikan

packed red cells


2.Untuk Defisiensi Asam Folat
Diberikan asam folat 1-5 mg/hari per oral selama 4-5 minggu, asal tidak dapat terdapat
gangguan absorbsi. Asam folat tersedia dalam kemasan tablet @ 1 mg dan suntikan @
5mg/mL atau dalam bentuk multivitamin dengan dosis 0,1 - 1,0 mg tiap tablet.
( FKUI, 2005)

E. ANEMIA HEMOLITIK
a. Defenisi
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan
destruksi

eritrosit. Hiperplasia

eritropoiesis

dan pelebaran sum sum tulang

menyebabkan meningkatnya destruksi eritrosit beberapa kali


b. Klasifikasi
1. Anemia hemolitik herediter
2. Anemia hemolitik didapat
c. Gambaran Klinis
Pasien memprlihatkan kepucatan membran mukosa, ikterus ringan, spelomegali,
tidak terdapat bilirubin dalam urin

F. PENYEBAB PANSITOPENIA

a. Definisi

Suatu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari 13 g% (pada pria) atau kurang dari
12 g% (pada wanita), jumlah neutrofil absolut kurang dari 1500/mm 3 (biasanya jumlah
leukosit kurang dari 4000/mm),dan jumlah trombosit kurang dari 150.000/mm3
b. Penyebab pansitopenia

1. Defisiensi B12 : anemia megaloblastik.


1. Pasien yang tidak makan daging hewan atau ikan,telur,susu (yang mengandung
vitamin B12 )
2. Adanya malabsorpsi akibat:
a. Kelainan lambung:
- anemia pernisiosa
- kelainan kongenital faktor intrinsik
- gastrektomi total atau parsial
b. Kelainan usus:
- intestinal loop syndrome
- tropical sprue
- pasien reseksi ileum
2. Defisiensi asam folat
1.

Karena makanan yang kurang gizi asam folat terutama pada orang
tua,gastrektomi parsial dan akibat hanya minum susu kambing.

2. Malabsorpsi asam folat misalnya karena tropical sprue,penyakit coeliac.


3. Kebutuhan yang meningkat akibat :
a.

keadaan fisiologis, misalnya hamil,laktasi dan prematuritas.

b.

keadaan patologis misalnya anemia hemolitik,penyakit keganasan


serta penyakit kolagen.

4. Ekskresi asam folat yang berlebihan melalui urin terjadi pada penyakit hati
yang aktif atau kegagalan faal jantung.
5. Obat-obat anti konvulsan dan sitostatik tertentu.
2. Kegagalan stem cell : anemia aplastik
a. faktor genetik
b. obat-obatan dan bahan kimia
c. infeksi
d. iradiasi
e. kelainan imunologis
3.Infiltrasi sumsum tulang:leukimia,limfoma,mieloma,karsinoma,mielofibrosis
4. Destruksi primer : hipersplenisme,infeksi berat
5. Autoimun : lupus eritematosus sistemik (LES)
( FKUI, 2005)

G. PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA


a.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari :
1. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta
jenis morfologik anemia tersebut yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih
lanjut.
2. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan
laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang
dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
3. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi eritroid.
4. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :

1) Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity),
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin
2)

dan pengecatan besi pada sumsum tulang ( Pearls stain).


Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi

deoksiuridin dan tes Schiling.


3) Anemia hemolitik
: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain-lain.
4) Anemia aplastik
: biopsi sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non- hematologik tertentu seperti misalnya


pemeriksaan faal hati, faal ginjal dan faal tiroid (FKUI, 2006)

H. FARMAKOLOGI KLORAMFENIKOL, ANTIPIRETIK, ANTIEMETIK


a. KLORAMFENIKOL
1. Asal dan kimia

Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari streptonyces venezuelae.
Karena ternyata mempunyai daya antimikroba ayang kuat, maka penggunaan obat ini
meluas dengan cepat sampai pada tahun 1950. Kloramfenikol merupakan kristal putih,
yang sukar larut dalam air dan rasanya pahit ( Farmakologi UI, 1995)
2. Efek samping
Diskrasia darah terutama aplastik anemia yang dapat menjadi serius dan fatal, reaksi
hipersensitif lainnya seperti anafilaktik dan urtikaria, sindroma gray pada bayi prematur
atau bayi yang baru lahir dan gangguan gastrointestinal seperti misalnya mual, muntah
dan diare ( Farmakologi UI, 1995)

3.Indikasi:
1.Kloramfenikol merupakan obat pilihan untuk penyakit tifus, paratifus dan salmonelosis
lainnya.
2.Untuk infeksi berat yang disebabkan oleh H. influenzae (terutama infeksi meningual),
rickettsia, lymphogranuloma-psittacosis dan beberapa bakteri gram-negatif yang
menyebabkan

bakteremia

meningitis,

dan

infeksi

berat

yang

lainnya.

4. Kontra Indikasi
Penderita yang hipersensitif atau mengalami reaksi toksik dengan kloramfenikol.
Jangan digunakan untuk mengobati influenza, batuk-pilek, infeksi tenggorokan, atau
untuk

mencegah

infeksi

ringan.(ISOIndonesia,2010)

5. Cara kerja
Kloramfenikol adalah antibiotik yang mempunyai aktifitas bakteriostatik, dan pada dosis
tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas antibakterinya dengan menghambat sintesa protein
dengan jalan mengikat ribosom subunit 50S, yang merupakan langkah penting dalam
pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol efektif terhadap bakteri aerob gram-positif,
termasuk Streptococcus pneumoniae, dan beberapa bakteri aerob gram-negatif, termasuk
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, Salmonella, Proteus mirabilis,
Pseudomonas mallei, Ps. cepacia, Vibrio cholerae, Francisella tularensis, Yersinia pestis,
Brucela ( Depkes RI, 1995)

b. Paracetamol

Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Asetaminofen (Paracetamol)
merupakan metabolit fenasetinn dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan
sejak tahun 1893. Efek anti piretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen
di Indonesia lebih dikenal dengan nama Paracetamol. (Farmakologi UI, 1995).

Farmakokinetik

Paracetamol dan fenasetin diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Selain
itu kedua obat ini juga mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan

Methemoglobinemia

dan

hemolisis

eritrosit.

Fenasetin

dapat

menyebabkan Anemia Hemolitik (Depkes RI, 1995)

c. Metoclopramid

Metoclopramid

merupakan

senyawa golongan benzamid, gugus kimianya mirip

prokainamid , tetapi metoclopramid memiliki efek anaestesi lokal yang sangat lemah.
Ada 3 hipotesis yang diajukan tentang mekanisme kerja metoclopramid
1. Potensiasi efek kolinergik
2. Efek langsung pada otot polos
3. Penghambatan dopaminergik sentral
(Depkes RI, 1995)

Seven Jump 4 : Kesimpulan Sementara

A. Anemia Aplastik
B. Anemia Megaloblatik
C. Anemia Hemolitik

Seven Jump 5. : Menentukan Tujuan Pembelajaran


Mahasiswa dapat menjelaskan dan memahami tentang :
A. Fisiologi dan Morfologi Darah
B. Faktor faktor Pembentukan sel darah
C. Anemia Aplastik
D. Anemia Megaloblasitk
E. Anemia Hemolitik
F. Penyebab Pansitopenia
G. Pemeriksaan Penunjang Anemia
H. Farmakologi Kloramfenikol, antipiretik, antiemetik

Seven Jump 6 : Belajar Mandiri


A. Texk book
B. Penelusuran Internet

C. Diskusi kelompok melalui kegiatan Belajar Mandiri

Seven Jump 7 : Kesimpulan Akhir


A. Os mengalami Anemia Aplastik
B. Penyebab

Anemia

Aplastik

kemungkinan

disebabkan

oleh

penggunaan

Kloramfenikol yang tidak sesuai dengan indikasi medis


C. Upaya pencegahan terhadap kejadian Anemia Aplastik sangat diperlukan, yang
melibatkan peran serta masyarakat dan petugas kesehatan.
D. Apabila sudah mengalami Anemia Aplastik, pengobatan yang tepat dan benar
sangat dianjurkan untuk mengurangi resiko komplikasi dan prognosa yang buruk.

Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Jakarta
2. Farmakologi UI, 1995, Farmakologi dan Cairan, edisi 4, Jakarta
3. Fakultas Kedokteran UI, 2005, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta
4. Harper, 2002 , Biokimia ,edisi 2. EGC, Jakarta
5. Harisson, 2008, Principle of Medicine, NCBB, Jakarta
6. ISO Indonesia, 2010, Informasi Spesialite Obat Indonesia, PT ISFI, Jakarta
7. Kapita Selekta Hematologi,
4,Egc,Jakarta 2005

Av.Hoffbrand.J.E

Pettit.P.A.H.

Moss

Edisi

Diposkan 2nd September 2012 oleh yoki yogie


0

Tambahkan komentar
2.
Sep
2

DIC
BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakangh
Hemostasis ialah proses pembentukan bekuan pada dinding pembuluh darah yang

rusak, untuk mencegah kehilangan darah, sementara tetap mempertahankan datah dalam
keadaan cair di dalam system pembuluh darah. Sekumpulan mekanisme sistemik
kompleks yang saling berkaitan akan bekerja untuk mempertahankan imbangan antara
koagulasi dengan antikoagulasi. Sebagai tambahan, imbangan tersebut dipengaruhi oleh
factor lokal pada berbagai organ yang berbeda.

Respons terhadap cedera


Kalau suatu pembuluh terpotong atau rusak, cedera tersebut memulai suatu rangkaian
peristiwa ( seperti pada gambar) yang menghasilkan terbentuknya bekuan (hemostasis).
Bekuan ini menyumbat daerah yang rusak dan mencegah terjadinya kehilangan darah
lebih lanjut. Peristiwa yang mula-mula terjadi adlaah konstriksi pembuluh darah dan
pembentukan sumbat hemostatik sementara dari trombosit yang akan tercetus bila
trombosit mengikat kolagen dan beragregasi. Peristiwa ini diikuti dengan konversi
sumbat tersebut menjadi bekuan definitif.

Mekanisme pembekuan

Agregasi trombosit yang longgar pada sumbat sementara diikat dan dikonversi
menjadi sumbat definitive oleh fibrin. Mekanisme pembekuan yang berperan dalam
pembentukan fibrin melibatkan kaskade reaksi enzim yang tidak aktif di ubah menjadi
aktif, dan enzim tersebut selanjutnya mengaktifkan enzim lain yang belum aktif.
Kompleksnya, system tersebut pada masa lalu dipersulit oleh berbagai penamaan, tetapi
diterimanya system pemberian nomor untuk berbagai factor pembekuan lebih
mempermudah keadaan
Reaksi mendasar dalam pembekuan darah adlah konversi protein olasma yang
larut, yaitu fibrinogen menjadi fibrin yang tidak Larut. Proses ini mencakup pembebasan
dua pasang polipeptida dari setiap molekul fibrinogen. Bagian yang tersisa, monomer
fibrin, kemudian mengalamai polimerisasi dengan molekul-molekul monomer lain
sehinga membentuk fibrin. Fibrin mula-mula berupa gumpalan longgar benang-benang
yang saling menjalin. Selanjutnya, pembentukan ikatan-ikatan silang kovalen akan
mengubah gumpalan longgar menjadi agregat yang padat dan ketat. Reaksi yang terakhir
ini dikatalisis oleh faktor XIII yang telah diaktifkan dan memerlukan Ca2+.
Perubahan fibrinogen menjadi dikatalisis oleh trombin. Trombin adalh suatu serin
protease yang terbentuk dari prekursornya di sirkulasi, protrombin, oleh kerja faktor X
yang telah diaktifkan. Kerja tambahan trombin adalah pengaktifan trombosit, sel endotel,
serta leukosi melalui sedikitnya satu reseptor gabungan protein G.
Faktor X dapat daktifkan melalui reaksi pada salah satu dari 2 sistem, sistem
intrinsik dan sistem ektrinsik. Reaksi awal pada sistem intrinsik adalah konversi faktor
XII inaktif menjadi faktor XII aktif (XIIa). Aktivasi ini yang dikatalisis oleh kininogen
berberat molekul tinggi dan kalikrein dapat dilakasanakan in vitro dengan pemajanan
darah terhadap permukaan bermuatan elektronegatif yang mudah dibasahi, seperti gelas
dan serat kolagen. Aktivasi in vivo terjadi kalau darah terpajan terhadap serat-serat
kolagen yang berada dibawah lapisan endotel pada pembuluh darah. Faktor XII aktif
kemudian mengaktifkan faktor XI, dan faktor XI aktif mengaktifkan faktor IX. Faktor IX
yang telah diaktikan membentuk suatu kompleks dengan faktor VIII aktif, yang menjadi
aktif kalau terpisah dari faktor von Willebrand. Kompleks Ixa dan VIIIa mengaktifkan

faktor X. Fosfolipid dari trombosit yang beragregasi (PL) dan Ca 2+ diperlukan untuk
pengaktifan sempurna faktor X. Sistem ekstrinsik dipicu oleh pelepasan tromboplastin
jaringan, suatu campuran protein-fosfolipid yang mengaktifkan faktor VII. Tromboplastin
jaringan dan faktor VII mengaktifkan faktor IX dan X. Dengan adanya PL, Ca 2+, dan
faktor V, faktor X yang telah diaktifkan mengatalisis konversi protrombin menjadi
trombin. Jalur ekstrinsik dihambat oleh suatu penghambat jalur faktor jaringan yang
membentuk struktur kuartener dengan TPL, faktor VIIa dan faktor Xa.
Contoh-contoh penyakit yang disebabkan oleh defisiensi faktor pembekuan
Defisiensi faktor :
I

Sindroma klinis
Afibrinogemia

Penyebab
Pengurasan selama
kehamilan disertai
pelepasan plasenta
prematur; juga kongenital

II

(jarang)
Penurunan

Hipoprotrombinemia

(kecenderungan perdarahan hati,


V
VII
VIII

sintesis

biasanya

oleh

sekunder

pada penyakit hati)


Parahemofilia
Hipokonvertinemia
Hemofilia A (hemofilia

akibat defisiensi vitamin K


kongenital
kongenital
Cacat kongenital yang

klasik)

disebabkan

oleh

aneka

macam kelainan gen pada


kromosom X yang mengode
faktor

VIII;

penyakit

ini

karena

itu

diturunkan

seagai ciri-ciri yang terkait


IX

Hemofilia

Christmas)
Defisiensi faktor

XI
XII

prower
Defisiensi PTA
Ciri Hageman

seks.
(penyakit kongenital
Stuart- kongenital
kongenital
kongenital

Gangguan pembekuan dapat terjadi oleh karena gangguan pada tahap pertama,
kedua atau ketiga ataupun karena adanya antikoagulansia yang beredar di dalam darah
atau karena proses pembekuan dalam pembuluh darah.

GANGGUAN TAHAP PERTAMA


Gangguan ini dapat disebabkan kekurangan faktor pembekuan yang bekerja pada
tahap tersebut. Kekurangan faktor pembekuan pada tahap pertama dapat diketahui dari
pemeriksaan SPT (serum prothrombin time) atau prothrombin consumption time). PTT
(Partial thromboplastin time), pemeriksaan TGT (thromboplastin generation test). Bila
terdapat kekurangan faktor pembekuan dalam tahap pertama maka SPT kurang dari 40
detik (normal lebih dari 40 detik), PTT dan TGT memanjang atau abnormal.
Gangguan mekanisme pembekuan pada tahap pertama terdapat pada penyakit :
a. Hemofilia A (kekurangan faktor VIII)
b. Hemofilia B (kekurangan faktor IX)
c. Penyakit von Willebrand ( pseudohemofilia, hemofilia vaskular)

GANGGUAN TAHAP KEDUA


Gangguan ini ditetapkan dengan pemeri8ksaan T (plasma prothrombin time)
dengan lebih dahulu dibuktikan bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama normal
atau dengan perkataan lain tromboplastin yang dibentuk cukup. Bila PTT lebih dari 20
detik (normal 20 detik), berarti bahwa faktor pembekuan tahap kedua ( II, V, VII, X)
kurang.
Untuk penentuan faktor mana yang kurang, maka masing-0masing faktor harus diselidiki
lebih lanjut.

ETIOLOGI
1. Faktor kongenital
Bersifat resesif autosomal herediter. Kelainan timbul akibat sintesis faktor pembekuan
tersebut menurun.
2. Faktor didapat
Biasanya disebabkan defisiensi faktor II (prothrombin), yang terdapat pada keadaan
sebagai berikut:
a.

Neonatus, terutama yang kurang bulan yaitu karena fungsi hati yang belum

sempurna sehingga pembentukan faktor pembekuan II mengalami gangguan.


b. Defisiensi vitamin K. Hal ini dapat terjadi pada penderita ikterus obstruktif,
fistula biliaris, absorbsi vitamin K dari usus yang tidak sempurna atau karena
gangguan pertumbuhan bakteri usus.
c. Beberapa penyakit seperti sirosis hati, uremia, sindrom nefrotik dan lain-lain.
d.
Terdapatnya zat antikoagulansia (dikumarol, heparin) yang bersifat
antagonistik terhadap prothrombin.
e. Disseminated intravaskular coagulation (DIC)
GANGGUAN TAHAP TIGA
Untuk menentukan adanya kelainan pembekuan pada tahap tiga harus dibuktikan
dahulu bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama dan kedua berjalan normal.
Gangguan pada tahap tiga ini biasanya ialah kekurangan fibrinogen. Pemeriksaan
kadar fibrinogen dapat dilakukan kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif ialah
dengan menentukan thrombin time. Bila thrombin time memanjang (normal kurang dari
15-20 detik) berarti terdapat hipofibrinogenemia. Secara kuantitatif ialah dengan
mengukur kadar fibrinogen dalam plasma (normal 250-350 mg%)
Kekurangan fibrinogen ini dapat kongenital dan bersifat resesif autosomal atau
didapat misalnya setelah mengalami operasi berat, solusio plasenta, DIC
B.

Tujuan

1. Memahami mekanisme hemostasis dalam tubuh manusia

2. Dapat menjelaskan patogenesis dan patofisiologi penyakit pasien


3. Mengetahui dan memahami apa dilakukan untuk menegakkan diagnosis
4. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan penyakit pasien
C.

Data pelaksana tutorial


1. Judul blok

: Blok Hematologi

2. Nama Tutor : dr. Tina S.


3. Data Diskusi
a. SGD I
Hari/tanggal : Jumat, 14 Mei 2010
Waktu

: 10.30-12.00 WIB

Tempat

: Ruang Diskusi

b. SGD II
Hari/tanggal : Senin, 17 Mei 2010

c.

Waktu

: 07.50-09.30 WIB

Tempat

: Ruang Diskusi

Pleno
Hari/tanggal : Kamis, 20 Mei 2010
Waktu

: 07.50-09.30 WIB

Tempat

: Ruang Diskusi

D.

Pemicu / Skenario
SKENARIO 3
SI AMAT YANG DEMAM

Amat (laki-laki 15 tahun) adalah remaja yang memiliki segudang aktivitas. Akhir-akhir
ini Amat mengalami demam tinggi, menggigil, nausea, vomitus serta pada permukaan
tubuhnya dijumpai petechiae, ekimosis dan terjadi perdarahan yang sulit berhenti dibekas
suntikan. Amat pun pergi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan dan sekaligus
melakukan pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah dijumpai trombosit 100.000/
mm3, leukosit 14.000 mm/ mm3, PT 18 detik, aPTT 45 detik. Kira-kira apakah yang
terjadi pada Amat dan bagaimana pengobatan yang seharusnya diterima Amat.
E. Tujuan Pembelajaran

1. Mengetahui hemostasis

2. Mengetahui Hemofilia

3. Mengetahui Defisiensi Vitamin K

4. Mengetahui Thalassemia

5. Mengetahui DIC

6. Mengetahui ITP

7. Mengetahui von Willebrand


F.

Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat


1. Apa maksud dari pemeriksaan penunjang pada DIC menurut Sistem Skor DIC
(ISTH 2001) ?
2. Bagaimana penatalaksanaan penyakit yang diderita sesuai skenario ?

G.

Jawaban atas pertanyaan


1. Penilaian dibaca sesuai skor yang dibuat sistem skor DIC (ISTH 2001) .
2. Yang pertama dilakukan adalah pemberian vitamin K untuk penanganan
perdarahan pertama kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin dengan
dosis 300-500 U/ jam, plasma trombosit, dan penghambat pembekuan III.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Petechiae

: bintik merah kecil akibat keluarnya sejumlah kecil darah

2. Ekimosis

: bercak perdarahan yang kecil pada kulit atau membran mukosa,

lebih besar dari petekie, yang membentuk bercak biru atau ungu yang bundar atau
tidak teratur serta tanpa elevasi.
3. Vomitus

: muntah; bahan yang dimuntahkan

4. Nausea

: sensasi tidak menyenangkan yang secara samar mrngacu pada

epigastrium dan dan abdomen.


5. PT

: prothrombin time. ukuran dari jalur ekstrinsik koagulasi

6. aPTT

: activated partial thromboplastin time. waktu yang diperlukan

untuk membentuk bekuan yang stabil dalam plasma darah setelah terpapar dengan
komponen dari platelet.

B.

MENETAPKAN PERMASALAHAN
1.

OS mengalami demam tinggi, menggigil, nausea, vomitus dan dijumpai


petechiae dan ekimosis

2. Terjadi perdarahan yang sulit berhenti di bekas suntikan.


3. Hasil pemeriksaan darah
- Trombosit : 100.000/ mm3
- Leukosit : 14.000/ mm3
- PT : 18 detik
- aPTT : 45 detik

C.

ANALISIS MASALAH

Demam tinggi menggigil


Faktor mikroorganisme/ nonmikroorganisme
Gangguan hemostasis
Mempengaruhi thrombosit
Demam tinggi, menggigil

Nausea, vomitus
Stimulus berupa gangguan hemostasis
(menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit)
Nausea, vomitus

Petechiae/ ekimosis
Kapiler/ pembuluh darah intra dermal pecah

Gangguan hemostasis
Petechiae/ ekimosis

Perdarahan yang tidak berhenti


Gangguan hemostasis
Gangguan faktor koagulasi
perdarahan

Hasil Lab :

Thrombosit : 100.000/ mm3


Leukosit
PT

: 14.000/ mm3

Tanda-tanda gangguan koagulasi

: 18 Detik

aPTT : 45 detik

Remaja memiliki segenap aktivitas

risiko terhadap

intake
Istirahat tidak adekuat
Daya tahan tubuh menurun

HEMOSTASIS
DEFENISI

Hemostasis adalah penghentian perdarahan oleh sifat fisiologis vasokontriksi dan


koagulasi (Dorland, 2006). Hemostasis dan koagulasi juga dapat didefinisikan sebagai
serangkaian kompleks reaksi yang menyebabkan pengendalian perdarahan melalui
pembentukan trombosit dan bekuan fibrin pada tempat cedera

KOMPONEN HEMOSTASIS
Pembuluh
Trombosit
Kaskade faktor koagulasi
Inhibitor koagulasi
Fibrinolisis

SUMBAT HEMOSTASIS PRIMER : Pembentukan agregasi trombosit


SUMBAT HEMOSTASIS SEKUNDER : Pembentukan fibrin

URUTAN MEKANISME HEMOSTASIS DAN KOAGULASI


Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah
yang rusak itu menyebabkan dinding pembuluh berkontraksi sehingga dengan segera
aliran darah dari pembuluh darah yang pecah akan berkurang (terjadi vasokonstriksi).
Setelah itu, akan diikuti oleh adhesi trombosit, yaitu penempelan trombosit pada kolagen.
ADP (adenosin difosfat) kemudian dilepaskan oleh trombosit kemudian ditambah dengan
tromboksan A2 menyebabkan terjadinya agregasi (penempelan trombosit satu sama lain).
Proses aktivasi trombosit ini terus terjadi sampai terbentuk sumbat trombosit, disebut
juga hemostasis primer. Setelah itu dimulailah kaskade koagulasi yaitu hemostasis
sekunder, diakhiri dengan pembentukan fibrin. Produksi fibrin dimulai dengan perubahan
faktor X menjadi faktor Xa. Faktor X diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik
dan jalur intrinsik. Jalur ekstrinsik dipicu oleh tissue factor/tromboplastin. Kompleks
lipoprotein tromboplastin selanjutnya bergabung dengan faktor VII bersamaan dengan
hadirnya ion kalsium yang nantinya akan mengaktifkan faktor X. Jalur intrinsik diawali
oleh keluarnya plasma atau kolagen melalui pembuluh darah yang rusak dan mengenai
kulit. Paparan kolagen yang rusak akan mengubah faktor XII menjadi faktor XII yang
teraktivasi. Selanjutnya faktor XIIa akan bekerja secara enzimatik dan mengaktifkan
faktor XI. Faktor XIa akan mengubah faktor IX menjadi faktor IXa. Setelah itu, faktor
IXa akan bekerja sama dengan lipoprotein trombosit, faktor VIII, serta ion kalsium untuk
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa. Setelah itu, faktor Xa yang dihasilkan dua
jalur berbeda itu akan memasuki jalur bersama. Faktor Xa akan berikatan dengan
fosfolipid trombosit, ion kalsium, dan juga faktor V sehingga membentuk aktivator
protrombin. Selanjutnya senyawa itu akan mengubah protrombin menjadi trombin.
Trombin selanjutnya akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin (longgar), dan akhirnya
dengan bantuan fakor VIIa dan ion kalsium, fibrin tersebut menjadi kuat. Fibrin inilah
yang akan menjerat sumbat trombosit sehingga menjadi kuat. Selanjutnya apabila sudah
tidak dibutuhkan lagi, bekuan darah akan dilisiskan melalui proses fibrinolitik. Proses ini
dimulai dengan adanya proaktivator plasminogen yang kemudian dikatalis menjadi
aktivator plasminogen dengan adanya enzim streptokinase, kinase jaringan, serta faktor
XIIa. Selanjutnya plasminogen akan diubah menjadi plasmin dengan bantuan enzim

seperti urokinase. Plasmin inilah yang akan mendegradasi fibrinogen/fibrin menjadi


fibrin degradation product

SISTEM HEMOSTASIS
I. Sistem Pembuluh Darah
Fungsinya :
1. Kontraksi pembuluh darah.
2. Aktivasi pembekuan darah dengan memproduksi tromboplastin.
3. Aktivasi trombosit dengan memproduksi faktor von Willebrand.
4. Trombotik : melepaskan aktivator plasminogen.
II. Sistem Trombosit
Fungsinya :
1. Memelihara supaya pembuluh darah tetap utuh setelah trauma pada endotel.
2. Mengawali penyumbatan pembuluh darah dengan membentuk sumbat primer.
3. Stabilisasi sumbat trombosit (fibrin), melalui beberapa tahap:
Adhesi

trombosit.

Agregasi

trombosit.

Reaksi pelepasan

(release).

III. Sistem Pembekuan Darah

Pembekuan terjadi oleh karena interaksi antara pro-koagulan (faktor pembeku),


fosfolipid dan ion

Pro

koagulan antara lain :

Substrat : fibrinogen
Kofaktor

(F I).

: FIII, FV, FVIII, HMWK.

Enzim : faktor

koagulasi yang lain.

IV. Sistem Fibrinolisis


1. Proaktivator plasminogen diubah menjadi aktivator plasminogen.
2. Aktivator plasminogen akan mengubah plasminogen menjadi plasmin.
3. Plasmin menghidrolisis fibrinogen dan fibrin menjadi fibrin degradation product
(FDP).

HOMEOSTATIC HEMOSTASIS adalah mekanisme fisiologis yang mempertahankan


darah dalam bentuk cairan di dalam sirkulasi, yang menggambarkan suatu kesetimbangan
yang baik antara perdarahan dan pembekuan

HEMOSTASIS, (Virchows Triad)

Kerjasama 3 komponen : pembuluh darah, aliran darah dan darah

MEKANISME HEMOSTASIS
Istilah hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami
cidera atau pecah, hemostasis akan terjadi. Peristiwa ini terjadi melalui beberapa cara
yaitu : vasokonstriksi pembuluh darah yang cidera, pembentukan sumbat trombosit,
pembekuan darah, dan pertumbuhan jaringan ikat kedalam bekuan darah untuk menutup
pembuluh yang luka secara permanen. Kerja mekanisme pembekuan in vivo ini
diimbangi oleh reaksi-reaksi pembatas yang normalnya mencegah mencegah terjadinya
pembekuan di pembuluh yang tidak mengalami cidera dan mempertahankan darah berada
dalam keadaan selalu cair.
Vasokonstriksi pembuluh darah
Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah
yang rusak menyebabkan dinding pembuluh berkontraksi sehingga aliran darah dari
pembuluh darah yang pecah barkurang. Kontraksi terjadi akibat refleks syaraf dan
spasme miogenik setempat. Refleks saraf dicetuskan oleh rasa nyeri atau lewat impuls
lain dari pembuluh darah yang rusak. Kontraksi miogenik yang sebagian besar
menyebabkan refleks saraf ini, terjadi karena kerusakan pada dinding pembuluh darah
yang menimbulkan transmisi potensial aksi sepanjang pembuluh darah. Konstriksi suatu
arterioul menyebabkan tertutupnya lumen arteri.
Pembentukan sumbat trombosit
Perbaikan oleh trombosit terhadap pembuluh darah yang rusak didasarkan pada fungsi
penting dari trombosit itu sendiri. Pada saat trombosit bersinggungan dengan pembuluh
darah yang rusak misalnya dengan serabut kolagen atau dengan sel endotel yang rusak,
trombosit akan berubah sifat secara drastis. Trombosit mulai membengkak, bentuknya
irreguler dengan tonjolan yang mencuat ke permukaan. Trombosit menjadi lengket dan

melekat pada serabut kolagen dan mensekresi ADP. Enzimnya membentuk tromboksan
A, sejenis prostaglandin yang disekresikan kedalam darah oleh trombosit. ADP dan
tromboksan A kemudian mengaktifkan trombosit yang berdekatan sehingga dapat
melekat pada trombosit yang semula aktif. Dengan demikian pada setiap lubang luka
akan terbentuksiklus aktivasi trombosit yang akan menjadi sumbat trombosit pada
dinding pembuluh.
Pembentukan bekuan darah
Bekuan mulai terbentuk dalam 15-20 detik bila trauma pembuluh sangat hebat dan dalam
1-2 menit bila trauma pembuluh kecil. Banyak sekali zat yang mempengaruhi proses
pembekuan darah salah satunya disebut dengan zat prokoagulan yang mempermudah
terjadinya pembekuan dan sebaliknya zat yang menghambat proses pembekuan disebut
dengan zet antikoagulan. Dalam keadaan normal zat antikoagulan lebih dominan
sehingga darah tidak membeku. Tetapi bila pembuluh darah rusak aktivitas prokoagulan
didaerah yang rusak meningkat dan bekuan akan terbentuk. Pada dasarnya secara umum
proses pembekuan darah melalui tiga langkah utama yaitu pembentukan aktivator
protombin sebagai reaksi terhadap pecahnya pembuluh darah, perubahan protombin
menjadi trombin yang dikatalisa oleh aktivator protombin, dan perubahan fibrinogen
menjadi benang fibrin oleh trombin yang akan menyaring trombosit, sel darah, dan
plasma sehingga terjadi bekuan darah.

a. Pembentukan aktivator protombin


Aktivator protombin dapat dibentuk melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur
intrinsik. Pada jalur ekstrinsik pembentukan dimulai dengan adanya peristiwa trauma
pada dinding pembuluh darah sedangkan pada jalur intrinsik, pembentukan aktivator
protombin berawal pada darah itu sendiri.
Langkah-langkah mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan

1.

Pelepasan tromboplastin jaringan yang dilepaskan oleh jaringan yang luka. Yaitu
fosfolipid dan satu glikoprotein yang berfungsi sebagai enzim proteolitik.
1. Pengaktifan faktor X yang dimulai dengan adanya penggabungan glikoprotein
jaringan dengan faktor VII dan bersama fosfolipid bekerja sebagai enzim
membentuk faktor X yang teraktivasi.
3. Terjadinya ikatan dengan fosfolipid sebagai efek dari faktor X yang teraktivasi
yang dilepaskan dari tromboplastin jaringan . Kemudian berikatan dengan faktor
V untuk membentuk suatu senyawa yang disebut aktivator protombin.
Mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan
Langkah-langkah mekanisme intrinsik sebagai awal pembekuan

1.

Pengaktifan faktor XII dan pelepasan fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena
trauma. Bila faktor XII terganggu misalnya karena berkontak dengan kolagen, maka ia
akan berubah menjadi bentuk baru sebagai enzim proteolitik yang disebut dengan faktor

XII yang teraktivasi.


2. Pengaktifan faktor XI yang disebabkan oleh karena faktor XII yang teraktivasi bekerja
secara enzimatik terhadap faktor XI. Pada reaksi ini diperlukan HMW kinogen dan
dipercepat oleh prekalikrein.
3. Pengaktifan faktor IX oleh faktor XI yang teraktivasi. Faktor XI yang teraktivasi bekerja
secara enzimatik terhadap faktor IX dan mengaktifkannya.
4. Pengaktifan faktor X oleh faktor IX yang teraktivasi yang bekerja sama dengan faktor
VIII dan fosfolipid trombosit dari trombosit yang rusak untuk mengaktifkan faktor X.
5. Kerja dari faktor X yang teraktivasi dalam pembentikan aktivator protombin. Langkah
dalam jalur intrinsic ini pada prinsipnya sama dengan langkah terakhir dalam jalur
ekstrinsik. Faktor X yang teraktivasi bergabung dengan faktor V dan fosfolipid trombosit
untuk membentuk suatu kompleks yang disebut dengan activator protombin.
Perbedaannya hanya terletak pada fosfolipid yang dalam hal ini berasal dari trombosit
yang rusak dan bukan dari jaringan yang rusak. Aktivator protombin dalam beberapa
detik mengawali pemecahan protombin menjadi trombin dan dilanjutkan dengan proses
pembekuan selanjutnya.

b. Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisis oleh activator protombin.


Setelah activator protombin terbentuk sebagai akibat pecahnya pembuluh darah, activator
protombin akan menyebabkan perubahan protombin menjadi trombin yang selanjutnya
akan menyebabkan polimerisasi molekul-molekul fibrinogen menjadi benang-benang
fibrin dalam 10-15 detik berikutnya. Pembentukan activator protombin adalah faktor
yang membatasi kecepatan pembekuan darah. Protombin adalah protein plasma, suatu
alfa 2 globulin yang dibentuk terus menerus di hati dan selalu dipakai untuk pembekuan
darah. Vitamin K diperlukan oleh hati untuk pembekuan protombin. Aktivator protombin
sangat berpengaruh terhadap pembentukan trombin dari protombin. Yang kecepatannya
berbanding lurus dangan jumlahnya. Kecepatan pembekuan sebanding dengan trombin
yang terbentuk.

c.

Perubahan fibrinogen menjadi fibrin.


Trombin merupakan enzim protein yang mempunyai kemampuan proteolitik dan bekerja
terhadap fibrinogen dengan cara melepaskan 4 peptida yang berberat molekul kecil dari
setiap molekul fibrinogen sehingga terbentuk molekul fibrin monomer yang mempunyai
kemampuan otomatis berpolimerisasi dengan molekul fibrin monomer lain sehingga
terbentuk retikulum dari bekuan. Pada tingkat awal dari polimerisasi, molekul-molekul
fibrin monomer saling berikatan melalui ikatan non kovalen yang lemah sehingga bekuan
yang dihasilkan tidaklah kuat daan mudah diceraiberaikan. Oleh karena itu untuk
memperkuat jalinan fibrin tersebut terdapaat faktor pemantap fibrin dalaam bentuk
globulin plasma. Globulin plasma dilepaskan oleh trombosit yang terperangkap dalam
bekuan. Sebelum faktor pemantap fibrin dapat bekerja terhadap benang fibrin harus
diaktifkan lebih dahulu. Kemudian zat yang telah aktif ini bekerja sebagai enzim untuk
menimbulkan ikatan kovalen diantara molekul fibrin monomer dan menimbulkan
jembatan silang multiple diantara benang-benang fibrin yang berdekatan sehingga
menambah kekuatan jaringan fibrin secara tiga dimensi.

Gangguan pembekuan dapat terjadi oleh karena gangguan pada tahap pertama,
kedua atau ketiga ataupun karena adanya antikoagulansia yang beredar di dalam darah
atau karena proses pembekuan dalam pembuluh darah.
GANGGUAN TAHAP PERTAMA
Gangguan ini dapat disebabkan kekurangan faktor pembekuan yang bekerja pada
tahap tersebut. Kekurangan faktor pembekuan pada tahap pertama dapat diketahui dari
pemeriksaan SPT (serum prothrombin time) atau prothrombin consumption time). PTT
(Partial thromboplastin time), pemeriksaan TGT (thromboplastin generation test). Bila
terdapat kekurangan faktor pembekuan dalam tahap pertama maka SPT kurang dari 40
detik (normal lebih dari 40 detik), PTT dan TGT memanjang atau abnormal.
Gangguan mekanisme pembekuan pada tahap pertama terdapat pada penyakit :
d. Hemofilia A (kekurangan faktor VIII)
e. Hemofilia B (kekurangan faktor IX)
f. Penyakit von Willebrand ( pseudohemofilia, hemofilia vaskular)
GANGGUAN TAHAP KEDUA
Gangguan ini ditetapkan dengan pemeri8ksaan T (plasma prothrombin time)
dengan lebih dahulu dibuktikan bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama normal
atau dengan perkataan lain tromboplastin yang dibentuk cukup. Bila PTT lebih dari 20
detik (normal 20 detik), berarti bahwa faktor pembekuan tahap kedua ( II, V, VII, X)
kurang.
Untuk penentuan faktor mana yang kurang, maka masing-0masing faktor harus diselidiki
lebih lanjut.
ETIOLOGI
3. Faktor kongenital

Bersifat resesif autosomal herediter. Kelainan timbul akibat sintesis faktor pembekuan
tersebut menurun.
4. Faktor didapat
Biasanya disebabkan defisiensi faktor II (prothrombin), yang terdapat pada keadaan
sebagai berikut:
f.

Neonatus, terutama yang kurang bulan yaitu karena fungsi hati yang belum

sempurna sehingga pembentukan faktor pembekuan II mengalami gangguan.


g. Defisiensi vitamin K. Hal ini dapat terjadi pada penderita ikterus obstruktif,
fistula biliaris, absorbsi vitamin K dari usus yang tidak sempurna atau karena
gangguan pertumbuhan bakteri usus.
h. Beberapa penyakit seperti sirosis hati, uremia, sindrom nefrotik dan lain-lain.
i.
Terdapatnya zat antikoagulansia (dikumarol, heparin) yang bersifat
j.

antagonistik terhadap prothrombin.


Disseminated intravaskular coagulation (DIC)

GANGGUAN TAHAP TIGA


Untuk menentukan adanya kelainan pembekuan pada tahap tiga harus dibuktikan
dahulu bahwa mekanisme pembekuan tahap pertama dan kedua berjalan normal.
Gangguan pada tahap tiga ini biasanya ialah kekurangan fibrinogen. Pemeriksaan
kadar fibrinogen dapat dilakukan kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif ialah
dengan menentukan thrombin time. Bila thrombin time memanjang (normal kurang dari
15-20 detik) berarti terdapat hipofibrinogenemia. Secara kuantitatif ialah dengan
mengukur kadar fibrinogen dalam plasma (normal 250-350 mg%)
Kekurangan fibrinogen ini dapat kongenital dan bersifat resesif autosomal atau
didapat misalnya setelah mengalami operasi berat, solusio plasenta, DIC
Gejalanya sama seperti kekurangan faktor pembekuan yang lain.

FAKTOR FAKTOR PEMBEKUAN

: Fibrinogen

II

: Protrombin

III

: Tromboplastin

IV

: Ion Ca

: Proekselerin, Faktor labil, Globulin akseletor

VII

: Prokonvertin, SPCA, Faktor stabil

VIII

: Faktor anti hemofilia (AHF), Faktor antihemofilia A, Globulin


antihemofilia (AHG)

IX

: Faktor

Christmas, Faktor

antihemofilia B

: Faktor Stuart-Power

XI

: Turunan tromboplasti plasma (PTA), Faktor antihemofilia C

XII

: Faktor Hageman, Faktor gelas

XIII

: Faktor penstabil fibrin, Faktor Laki-Lorand

Mekanisme pembekuan darah ( Hemostasis)

Cedera dinding pembuluh darah

Kontraksi
jaringan

Kolagen

Tromboplastin

Reaksi trombosit

Aktivasi koagulasi

Agregasi trombosit

Trombin

longgar

Sumbatan hemostatik sementara

Sumbatan
hemostatik definitif

Reaksi-reaksi pembatas

PEMERIKSAAN PENUNJANG HEMOSTASIS

1. Pemeriksaan untuk hemostasis primer


a.

Tes Rumpel Leede (Torniquet test) :Tes ini untuk mengevaluasi integritas
pembuluh darah.

b. Hitung jumlah trombosit dan evaluasi hapusan darah tepi.Pemeriksaan ini adalah
pemeriksaan laboratorium pertama yang terpenting,karena dengan cara ini dapat
ditentukan dengan cepat adanya trombositopenia dan kadang-kadang dapat
ditentukan penyebab trombositopenia itu.
c.

Masa perdarahan (bleeding time = BT) memanjang pada pasien dengan


trombositopenia,gangguan faal trombosit dan pada pasien dengan vaskulopati.

d.

Faal trombosit : dikerjakan bila ada dugaan gangguan faal trombosit,misalnya


pada pasien dengan gangguan hemostasis primer tetapi jmlah trombositnya
normal.Tes faal trombosit ini untuk melihat kemampuan adhesi sel trombosit dan
kemampuan agregasi sel trombosit.

2. Pemeriksaan untuk hemostasis sekunder (fase koagulasi)

a.

Masa pembekuan (clotting time = CT) dan masa rekalsifikasi plasma (plasma
recalcification time = PRT) memanjang bila ada defisiensi faktor; pada defisiensi
ringan ,CT masih normal.

b.

Perlu diperhatikan retraksi bekuan (clot retraction = CR) setelah 1-2 jam.Bila
tidak ada retraksi maka hal ini menunjukkan adanya gangguan faal trombosit
yaitu kurangnya enzim retraktrozim.

c.

APTT (activated partial thromboplastin time) memanjang pada pasien dengan


defisiensi faktor intrinsik atau adanya antikoagulan terhadap faktor tersebut.Nilai
normalnya 30-40 detik.

d.

PPT (plasma prothrombine time) memanjang pada pasien dengan defisiensi


faktor-faktor ekstrinsik atau adanya antikoagulan terhadap faktor tersebut.

3. Pemeriksaan untuk integritas pembentukan fibrin


a.

Masa thrombin (thrombin time = TT) dapat memanjang pada keadaan berikut:
-

Defisiensi faktor-faktor pada common pathway atau adanya antikoagulan


terhadap faktor tersebut.

Kadar fibrinogen sangat rendah (< 80 mg/dL)

Nilai normal antara 14-16 detik.

4. Pemeriksaan untuk stabilitas fibrin.Defisiensi faktor XIIIa menghasilkan bekuan yang


larut dalam urea 5M atau 1% asam monoklorosetat.
5. Pemeriksaan untuk integritas fibrinolisis

a.

Waktu trombin (TT) dapat memanjang akibat terdapatnya fibrinogen degradation


product (FDP).

b. Euglobulin clot lysis time dan whole blood atau dilute whole blood clot lysis time
biasanya normal pada fibrinolisis lokal.Masa ini memendek bila ada peningkatan
kadar aktivator plasminogen dalam darah.
c.

Kadar FDP meningkat bila terjadi proses fibrinolisis yang berlebihan baik primer
maupun sekunder.

DEFISIENSI VITAMIN K

DEFINISI
Vitamin K adalah nama generik untuk beberapa bahan yang diperlukan dalam
pembekuan darah yang normal. Bentuk dasarnya adalah vitamin K1 (filokuinon), yang
terdapat dalam tumbuh-tumbuhan, terutama sayuran berdaun hijau. Bakteri dalam usus
kecil sebelah bawah dan bakteri dalam usus besar menghasilkan vitamin K2
(menakuinon), yang dapat diserap dalam jumlah yang terbatas.
Kecenderungan terjadinya perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang disebabkan
oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB).
PATOFISIOLOGI
Vitamin K diperlukan untuk sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX dan X (kompleks
protrombin) serta protein C dan S yang berperan sebagai antikoagulan (menghambat
proses pembekuan). Selain itu Vitamin K diperlukan untuk konversi faktor pembekuan
tidak aktif menjadi aktif.

Ada 3 Kelompok :

VKDB dini

VKDB klasik

VKDB lambat atau acquired prothrombin complex deficiency (APCD)

Secondary prothrombin complex (PC) deficiency

DIAGNOSIS

Anamnesis

1. onset perdarahan
2. lokasi perdarahan
3. pola pemberian makanan
4. riwayat pemberian obat-obatan pada ibu selama kehamilan

Pemeriksaan fisik
Adanya perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain
sebagainya

Pemeriksaan penunjang
Waktu pembekuan memanjang

PPT (Plasma Prothrombin Time) memanjang


Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang
Thrombin Time normal
USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak


VKDB dini

VKDB klasik

VKDB lambat
(APCD)

Umur

< 24 jam

1-7 hari (terbanyak


3-5 hari)

2 minggu-6 bulan
(terutama 2-8

Secondary
PC deficiency
Segala usia

minggu)
Penyebab &
Faktor
resiko

Obat yang
diminum
selama
kehamilan

Pemberian
makanan terlambat

Intake Vit K
inadekuat

- obstruksi
bilier

Intake Vit K
inadekuat

Kadar vit K
rendah pada ASI

-penyakit hati

Kadar vit K
rendah pada ASI

Tidak dapat
profilaksis vit K

-intake
kurang
(nutrisi
parenteral)

Tidak dapat

profilaksis vit K
Frekuensi

< 5% pada
kelompok
resiko tinggi

0,01-1%

Lokasi
perdarahan

Sefalhematom,
umbilikus,
intrakranial,
intraabdominal
, GIT,
intratorakal

GIT, umbilikus,
hidung, tempat
suntikan, bekas
sirkumsisi,
intrakranial

Intrakranial (3060%), kulit,


hidung, GIT,
tempat suntikan,
umbilikus, UGT,
intratorakal

Pencegaha
n

-penghentian /
penggantian
obat penyebab

-Vit K profilaksis
(oral / im)

Vit K profilaksis
(im)

- asupan vit K yang


adekuat

- asupan vit K
yang adekuat

(tergantung pola
makan bayi)

-malabsorbsi

4-10 per 100.000


kelahiran
(terutama di Asia
Tenggara)

PENATALAKSANAAN
Pencegahan VKDB
Dapat dilakukan dengan pemberian vitamin K Profilaksis
Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali
@ 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun
Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis
vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum
melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan diulang 24 jam
kemudian

Pengobatan VKDB

Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari

Fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg

HEMOPHILIA A
Adalah defisiensi factor pembekuan herediter yang paling banyak ditemukan.
Prevalensinya adalah sekitar 30-100 tiap sejuta populasi. Pewarisannya berkaitan dengan
jenis kelamin, tetapi hingga 33% pasien tidak mempunyai riwayat dalam keluarga dan
terjadi akibat mutasi spontan. Gen factor VIII terletak di dekat ujung lengan panjang
kromosom X. Gen ini sangat besar dan terdiri dari 26 ekson. Protein factor VIII meliputi
meliputi region rangkap tiga A1, A2, A3 dengan homologi sebesar 30% antar mereka,
suatu region rangkap dua C1 , C2 dan suatu domain B yang sangat terglikosilasi, yang
dibuang pada waktu factor VIII diaktifkan oleh thrombin.
Defeknya adalah tidak ada atau rendahnya kadar factor VIII plasma. Sekitar separuh dari
pasien-pasien tersebut mengalami mutasi missensei atau frameshift atau delesi dalam gen
factor VIII.
Gambaran klinis
Bayi dapat menderita perdarahan pascasirkumsisi atau mengalami perdarahan sendi dan
jaringan lunak serta memar yang berlebihan pada saat mereka mulai aktif. Hemartrosis
berulang yang terasa nyeri dan hematom otot mendominasi perjalanan penyakit pada
pasien yang sakit berat dan jika tidak diobati dengan baik, dapat menyebabkan deformitas
sendi yang progresif dan kecacatan. Perdarahan yang berkepanjangan terjadi setelah
ekstrasi gigi. Hematuria dan perdarahan saluran cerna yang spontan juga dapat terjadi.
Keparahan klinis penyakit berkolerasi dengan beratnya defisiensi factor VIII. Perdarahan

operatif dan pasca trauma dapat mengancam jiwa baik pada pasien yang sakit berat
maupun ringan. Walaupun tidak sering, perdarahan intrasebral spontan lebih sering terjadi
daripada populasi umum dan merupakan penyebab kematian yang penting pada pasien
dengan penyakit berat.
Hasil pemerikasaan laboratorium
Pemeriksaan berikut ini hasilnya abnormal
1. Masa tromboplastin parsial teraktivasi, APTT
2. Pemeriksaan factor pembekuan VIII
Masa perdarahan dan masa protrombin normal
Deteksi pembawa sifat dan diagnosis antenatal
Sekarang deteksi pembawa sifat dapat lebih baik dilakukan dengan pelacak DNA.
Suatu mutasi spesifik yang diketahui dapat diidentifikasi atau polimorfisme panjang
fragmen restriksi didalam atau dekat gen factor VIII memungkinkan alel mutan
diacak.

Pengobatan
Sebagian besar pasien dating ke pusat khusus hemophilia dengan tim multidisipliner
yang berdedikasi pada perawatan mereka. Episode perdarahan diobati dengan terapi
penggantian factor VIII dan perdarahan spontan biasanya terkendali bila kadar factor
VIII pasien meningkat diatasi 20% dari normal.
Factor VIII rekombinan dan preparat factor VIII yang dimurnikan dengan
imunoafinitas saat ini tersedia untuk penggunaan klinis dan mengeliminasi risiko
penularan virus.

DDAVP (desmopresia) member cara alternative untuk meningkatkan kadar factor


VIII plasma pada penderita hemophilia yang lebih ringan. DDAVP juga dapat
diberikan per-nasal-cara ini telah digunaka sebagai pengobatan segera untuk henofilia
ringan setelah trauma kecelakaan atau perdarhan.
Tindakan suportif local yang digunakan untuk hemartrosis dan hematoma meliputi
pengistirahatan bagian yang sakit dan ppencegahan trauma lebih lanjut.
Terapi penderita hemofilia dengan konsentrat faktor VIII; ini cukup memudahkan
perkiraan dosis yang diperlukan untuk mencapai tinhkat hemostasis. Menurut
definisi, 1ml plasma normal mengandung 1 unit faktor VIII. Karena volume plasma
kira-kira 45 ml/kg, maka diperlukan infus faktor VIII 45 unit/kg untuk menaikkan
kadarnya pada resipien yang hemofilia dari 0-100% (0-100 unit/dl). Dosis faktor VIII
sebesar 25-50 unit/kg biasanya diberikan untuk menIKKn kadar pada resipien
menjadi 50-100% (50-100 unit/dl) normal. Karena waktu paro faktor VIII kir-kira 812 jam, infus berulang dapat diberikan, menurut kebutuhan, untuk mempertahankan
tingkat aktivitas yang diinginkan.
Bila anak hemofilia mengalami perdarahan nyata, terapi penggantian harus segera
dilaksanakan. Tindakan pertolongan pertama harus mencakup aplikasi suhu dingin
dan tekanan, tetapi ini tidak boleh sebagai ganti dari terapi penggantian adekuat.
Untuk hemartrosis biasa , diperlukan menaikkan kadar faktor VIII sampai sekitar
50% (50 unit/dl) dan mempertahankannya paling tidak diatas 5% (5 unit/dl) selama
48-72 jam. Infus tunggal konsentrat faktor VIII 20-30 unit/kg cukup, memungkinkan
terapi satu langkah episode perdarahan biasa. Imobilisasi pada awalnya terindikasi ,
tetapi latihan pasif harus dimulai dalam 48 jam untuk mencegah kekakuan dan
fibrosis sendi.
Apabila perdarahan terjadi di daerah vital seperti otak atau leher, atau bila
pembedahan diperlukan, terapi intensif dengan menggunakan konsentrat faktor VIII
selama 2 minggu terindikasi untuk mempertahankan kadar plasma diatas 50% (50

unit/dl). Asam -aminokaproat, 50-100 mg/kg tiap 6 jam, mungkin terindikasi


berbarengan dengan terapi penggantian untuk perdarahan mukosa dan ekstraksi gigi.
Faktor
Produk-produk faktor VIII
A. Murni imunoafinitas

Pabrik

Proses

Monoklat P

Armour

Pasteurisasi

Hemofili M

Baxter Hyland

Pelarut deterjen

Metode

Bexter Hyland untuk palang

Pelarut deterjen

amerika
B. Kemurnian sedang dan
kemurnian tinggi

Cutter

Pelarut- deterjen

Kaotat-HP

Behringwerke

Pasteurasi

Humat P

Bank darah N.Y

Pelarut-deterjen

Melat SD

Alfa

Pelarut deterjen

Alfanat

Bank darah N.Y, -Melville

Pelarut deterjen

biologik
Bank darah N.Y
C. Babi (porcine)
Hyate : C
D. Rekayasa genetik

Proton /speywood

Polielektronik kromatografi

AHF rekombinan

Baxter

Rekayasa genetik

AHF KoGeNate

Cutter

Rekayasa genetik

Pengobatan profilaksis
Meningkatnya ketersedian konsetrat factor VIII yang dapat disimpan di kulkas rumah
telah

mengubah pengobatan hemophilia secara dramatis. Seoarang anak yang

menderita hemophilia dapat diobati di rumah begitu terdapat kecurigaan tanda-tanda


awal perdarahan. Kemajuan ini telah mengurangi angka kejadian hemartrosis yang
menyebabkan cacat dan perlunya penanganan rawat inap. Pasien sakit berat sekarang
dapat mencapai usia dewasa dangan arthritis ringan atau tanpa arthritis.

Penderita hemophilia dianjurkan untuk menjalani perawatan gigi yang teratur. Anakanak penderita hemophilia dan orang tua mereka sering kali memerlukan bantuan
ekstensif dalam masalah social dan psikologis.
Terapi gen
Untuk mencegah sebagian besar mortalitas mortalitas dan morbiditas akibat defisiensi
factor VIII atau factor IX hanya perlu mempertahankan kadar factor >1%, sehingga
terdapat ketertarikan pada terapi berdasar gen dan saat ini sedang dilakukan uji klinis.
Inhibitor
Salah satu komplikasi hemophilia yang paling serius adalah terbentuknya antibody
(inhibitor) terhadap factor VIII yang diinfuskan, yang terjadi pada 5-10% pasien.
Imunosupresi telah digunakan dalam usaha mengurangi pembentukan antibody.
Konsentrat factor VIII babi, factor VIIa rekombinan dan konsentrat kompleks
protrombin aktif (juga dikenal sebagai FEIBA factor eight inhibitor bypassing
activity (aktivitas pintas inhibitor factor VIII ) dapat berguna dalam pengobatan
episode perdarahan.

HEMOPHILIA B
Pewarisan dan gambaran klinis defisiensi factor IX (penyakit Christmas) identik
dengan yang terdapat pada hemophilia A. Bahkan kedua kelainan tersebut hanya
dapat dibedakan dengan pemeriksaan factor pembekuan spesifik. Insidensi nya
seperlima dari insidensi hemophilia A. factor IX dikode oleh gen yang terletak dekat
dengan gen untuk factor VIII dekat ujung lengan panjang kromosom X. Deteksi
pembawa sifat dan diagnosis antenatal dilakukan sama seperti untuk hemophilia A.
Prinsip terapi penggantian sama dengan hemophilia A. Episode perdarahan diatasi
dengan konsentrat factor IX. Factor IX rekombinan saat ini telah tersedia. Pemberian

dosis yang lebih tinggi diperlukan dibandingkan dengan factor IX yang berasal dari
plasma.
Hasil pemeriksaan laboratorium
Uji-uji berikut ini memberinya hasil yang abnormal.
1. aPTT
2. Pemeriksaan Faktor pembekuan IX
Seperti pada hemophilia A, masa perdarahan dan PT member hasil yang abnormal.

Pengobatan
Penggantian faktor IX dilakukan dengan infus plasma beku segar atau konsentrat
faktor IX. Karena waktu paro faktor IX lebih lama dari pada faktor VIII (kira-kira 24
jam), faktor IX dapat diberikan kurang sering. Satu unit faktor IX /kg menaikkan
faktor IX plasma dari 1-1,2% normal (1 unit/kg faktor VIII dapat menaikkan faktor
VIII plasma resipien dengan 2%. Jadi untuk mencapai aktivitas 100% ( 100 unit/dl)
pada penderita dengan hemofilia B berat diperlukan infus 100 unit faktor IX /kg.

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA


Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) ditandai dengan proses aktivasi dari sistem
koagulasi yang menyeluruh yang menyebabkan pembentukan fibrin di dalam pembuluh
darah sehingga terjadi oklusi trombotik di dalam pembuluh darah berukuran sedang dan
kecil. Proses tersebut menjadikan aliran darah terganggu sehingga terjadi kerusakan pada
banyak organ tubuh. Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein
dari faktor-faktor pembekuan sehingga terjadi perdarahan. Sebelum dikenal istilah KID,
dahulu dikenal istilah-istilah lain yang diberikan sesuai dengan patofisiologinya:
1. Coagulation consumption

2. Hyperfibrinosis
3. Defibrinasi
4. Thrombohaemoraghic Syndrome

KID merupakan keadaan yang termasuk dalam kategori kedaruratan medik, sehingga
memerlukan tindakan medis dan penanganan segera. Tindakan dan penanganan yang
diberikan tergantung dari patofisiologi penyakit
yang mendasarinya, apakah terjadi secara akut atau memang sudah ada penyakit yang
sudah lama diderita. Namun yang utama dalam memberikan penanganan tersebut adalah
mengetahui proses patologi KID itu sendiri, sepeti telah disebutkan sebelumnya, yakni
terjadinya proses trombosis mikrovaskular dan kemungkinan terjadi perdarahan (diatesa
hemoragik) secara bersamaan.

Gambar 1. Mekanisme KID


Trombosis pada pembuluh darah dan kegagalan multi organ
Aktivasi Sistem Koagulasi
Konsumsi trombosit dan faktor koagulasi
Pembentukan Fibrin intravaskular
Perdarahan

Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita KID yang disertai dengan perdarahan
misalnya: petekie, ekimosis, hematuria, melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi,
penurunan kesadaran hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak.
Sementara tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan
aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada
kegagalan fungsi organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia

fokal, gangren pada kulit.Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan
terjadinya KID:
Sepsis
Trauma
o Cidera jaringan berat
o Cidera kepala
o Emboli lemak
Kanker
o Myeloproliferative disorder
o Tumor padat
Komplikasi Obstetrik
o Emboli cairan amnion
o Abruptio Placentae
Kelainan pembuluh darah
o Giant hemangioma
o Aneurysma Aorta
Reaksi terhadap toksin
Kelainan Imunologik
o Reaksi alergi yang berat

o Reaksi hemolitik pada transfusi


o Rejeksi pada transplant

PATOGENESIS
Pada pasien dengan KID, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang diaktivasi oleh
faktor jaringan. Faktor jaringan, berupa sel mononuklir dan sel endotel yang teraktivasi,
mengaktivasi faktor VII. Kompleks antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi
tersebut akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
cara mengaktivasi faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V
akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di saat yang bersamaan terjadi konsumsi
faktor antikoagulan seperti antitrombin III, protein C dan jalur penghambat-faktor
jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut. Pembentukan fibrin yang
terjadi tidak diimbangi dengan penghancuran fibrin yang adekuat, karena sistem
fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1
yang kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat pembentukan plasmin dari
plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin dan tidak adekuatnya
penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh.

DIAGNOSIS
Diagnosis KID tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium, karena itu
biasanya digunakan beberapa

hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan

berdasarkan kondisi klinik pasien.Dalam praktik klinik diagnosis KID dapat ditentukan
atas dasar temuan sebagai berikut:
1.adanya penyakit yang mendasari terjadinya KID.
2.Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm.

3.Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT).


4.Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan peningkatan D-dimer).
5.Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)Rendahnya trombosit pada
KID menandakan adanya aktivasi trombin yang terinduksi dan penggunaan trombosit.
Memanjangnya waktu pembekuan menandakan menurunnya jumlah faktor pembekuan
yang tersedia seperti vitamin K.Pemeriksaan kadar penghambat pembekuan (AT III atau
protein C) berguna untuk memberikan informasi prognostik. Pemeriksaan hasil degradasi
fibrin seperti D-dimer, akan membantu untuk membedakan KID dengan kondisi lain
yang memiliki gejala serupa, pemanjangan waktu pembekuan dan turunnya trombosit,
seperti pada penyakit hati kronik.
Rekomendasi KonNas Tatalaksana DIC pada Sepsis tahun 2001
Kriteria minimal untuk diagnosis DIC adalah didapatkan keadaan atau gambaran klinik
yang dapat menyebabkan DIC dengan manifestasi perdarahan, tromboemboli atau
keduanya, disertai dengan pemeriksaan laboratorium trombositopenia dan gambaran
eritrosit sel Burr atau D-dimer positif.Bilamana fasilitas laboratorium memungkinkan
dapat digunakan kriteria menurut Bick atau berdasarkan skor DIC dari ISTH 2001.
Kriteria Laboratorium DIC menurut KonNas Tata laksana DIC pada sepsis 2001
1.Hitung trombosit: trombositopeni pada 98% DIC
2.PT: memanjang pada 50-70% DIC
3.aPTT: memanjang pada 50-60% DIC
4.Masa Trombin : memanjang
5.Fibrinogen
6.sFM (soluble fibrin monomer)

7.D-dimer: meningkat
8.FDP: meningkat
9.Antitrombin: menurun
Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick
1.Aktivasi prokoagualan: PF1+2, TAT, D-dimer, fibrinopeptide
2.Aktivasi fibrinolitik: D-dimer, FDP, plasmin, PAP
3.Konsumsi inhibitor: AT III, TAT, PAP, Protein C & S
4.Kerusakan/kegagalan organ: LDH, kreatinin, pH, pO2
Sistem Skor DIC (ISTH 2001)
1.Penilaian risiko: apakah terdapat penyebab DICjika tidak ada, penilaian tidak
dilanjutkan
2.Uji Koagulasi (trombosit, PT, D-dimer, fibrinogen)
3.Skor:
a. Trombosit: > 100000 = 0
50000-100000 = 1
<50000 = 2

b. D-dimer:

< 500 = 0
500-1000 = 1

>10000=2
c. PT memanjang:

<3 detik = 0
4-6 detik = 1
>6 detik = 2

d. Fibrinogen: <100mg/dl = 1
>100 mg/dl = 0
4.Jumlah skor: 5 : sesuai DIC: skor diulang setiap hari
< 5 : sugestif DIC: skor diulang dalam 1-2 hari

PENATALAKSAAAN
Penatalakasanaan KID yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya
KID. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil.
Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
1.Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan,
baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin
juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian
klinik pada pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang
signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam dalam infus kontinu.Indikasi:
1.Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat2.Terjadi perdarahan meski
penyakit dasar sudah diatasi3.Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal

ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafasDosis:100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25


iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai
aPTT 1,5-2 kali kontrol Low molecular weight heparin

dapat menggantikan

unfractionated heparin
2.Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan
hanya kepada pasien KID dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan
kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di
dalam palasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien
KID terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.

3.Penghambat pembekuan (AT III)


Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal.Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%Dosis:
a. Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu
selama 3 5 hari.
b. rumus: 1.1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%2. AT III x 0,6 x BB
(kg), dengan target AT III > 125%
4.Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID
pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses
fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya KID yang
terjadi akan semakin berat.

ITP ( Idiopathic Trombocytopenic Purpura )

DEFENISI
Suatu kelaianan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan
trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini didalam sistem
retikuloendotel akibat adanya auto antibodi terhadap trombosit yang berasal dari Ig G.

KLASIFIKASI
ITP akut : Pada anak anak, paling sering usia 2-4 tahun
ITP kronis : Pada orang dewasa.

ETIOLOGI
Penyakit yang pasti belum diketahui, tetapi dikemukakan berbagai kemungkinan
diantaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus ( demam berdarah, morbili, varisela, dan
sebagainya), intoksikasi makanan atau obat.
GEJALA KLINIK
1. ITP akut :

Di jumpai pada anak jarang pada umur dewasa

Awitan penyakit biasanya mendadak

Riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang

Manifestasi perdarahan ITP akut pada anak biasanya ringan

ITP akut pada anak biasanya self limiting

2. ITP kronis :

Awitan seringkali terjadi perlahan dengan perdarahan berupa petekie,mudah


memar, menoragia (pada wanita), perdarahan mukosa (misalnya epitaksis atau
perdarahan gusi)

Riwayat perdarahan sering dari yang ringan sampai sedang.

ITP kronis cenderung mengalami relaps dan menyembuh secara spontan


sehingga perjalanan klinisnya sulit diprediksi.

PENGOBATAN
1. ITP AKUT

Tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan

Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid ( prednison)


peroral dengan atau tanpa transfusi.

Pada trombositopenia yang disebabkan DIC, dapat diberikan heparin


intravena. Pada pemberian heparin ini sebaiknya selalu disiapkan
antidotumnya yaitu protamin sulfat

Bila keadaan sangat gawat ( perdarahan otak ) hendaknya diberikan


transfusi trombosit.

ITP KRONIS

Kortikosteroid, diberikan selama 6 bulan


Splenektomi dianjurkan bila tidak diperoleh hasil dengan penambahan obat
imunosupresif selama 2-3 bulan.
Terapi Ig intravena dosis tinggi
Obat-obatan imunosupresif : vinkristin, siklofosfamid, azitiopurin)
Danazol dan Ig anti O untuk tindakan emergenci transfusi trombosit.

Indikasi Transfusi Trombosit


a.

Trombositopenia / fungsi trombosit abnormal. Pada saat terjadi perdarahan


atau sebelum dilakukan tindakan infasif dan tidak tersedia terapi alternatif
( misal steroid, atau Ig dosis tinggi). Hitung trombosit harus > 50000/mm3
sebelum biopsi hati.

b. Secara profilaksis pada pasien dengan hitung trombosit < 5000 10000/mm3.
Jika terdapat infeksi tempat perdarahan yang potensial atau koagulopati.
Jumlah tersebut harus dipertahankan > 20000/mm3.

PENYAKIT VON WILLEBRAND


Penyakit ini adalah kelainan perdarahan herediter disebabkan oleh defisiensi factor von
Willebrand (FVW).

FVW membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah dan antara sesamanya,
yang diperlukan untuk pembekuan darah.
Faktor von Willebrand
FVW adalah suatu glokoprotein multimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi
utama:
1.

Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stress berat dengan menghubungkan

reseptor membrane trombosit ke subendotel pembuluh darah.


2. Bekerja sebagai pembawa plasma bagi factor VIII, suatu protein koagulasi darah yang
penting.
Penyakit Von Willebrand (PVW)
Kelainan perdarahan kronis ditandai baik agregasi trombosit maupun pembentukan
bekuan tidak terjadi secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin akibat
kelainan reseptor trombosit intriksik atau karena kelainan atau defisiensi molekul
pelekat seperti FVW.

Penyakit ini disebut juga sebagai pseudohemofilia atau

hemophilia vascular.
Klasifikasi dan Patologi
PVW disebabkan oleh kelainan kuantitatifdan/atau kualitatif FVW, suatu protein factor
pembekuan yang diperlukan untuk interaksi antara trombosit-dinding pembuluh darah
dan untuk pembawa factor VIII. Pada banyak kasus juga terdapat defisiensi factor VIII.
Kelainan yang nyata pada FVW bertanggung jawab terhadap 3 tipe utama PVW.
Kelainan Kuantitatif FVW
Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW. Identifikasi kelainan gen adalah
sulit pada tipe 1 dan 3 PVW. Tipe 1 merupakan kelainan ringan, dan menjadi kasus
terbanyak. Tipe 3 merupakan bentuk terberat tetapi jarang terjadi.

Kelainan Kualitatif FVW


Tipe 2 yang terdiri dari subtype 2A, 2B, 2M, dan 2N, meliputi pasien dengan kelainan
kualitatif FVW. Tipe 2 meliputi kalainan yang ringan sampai sedang, ditandai dengan
gejala gejala yang sifatnya khas. Tipe 2A ditandai dengan penurunan fungsi FVW yang
terkait trombosit dan termasuk subtype II A dan II C. Tipe 2B ditetapkan dengan
meningkatnya afinitas FVW terhadap GP 1 b trombosit. Tipe 2N, ditandai oleh kelainan
ikatan FVW pada factor VIII.
Gambaran Klinik
Gejala paling sering terjadi meliputi: perdarahan gusi, hematuria, epistaksis, perdarahan
saluran kemih, darah dalam feses, mudah memar, menoragi.
Pada PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi trombosit lainnya, biasanya tampil
dengan perdarahan mukokutan, terutama epistaksis, muah memar, menoragi, dan
perdarahan gusi dan gastrointestinal. Pasien dengan kadar VIII yang sangat rendah
bahkan dapat menunjukkan hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam tubuh. Seringkali
gambaran kelaianan ini tidak nyata sampai terdapat pemberat seperti trauma atau
perdarahan. Seringkali terdapat riwayat yang jelas dalam keluarga dengan perdarahan
abnormal dan berat, namun daya tembus dan ekspresi gen yang mengalami mutasi sangat
bervariasi/. Pasien dengan gen resesif tunggal khas asimptomatik tetapi menunjukkan
kadar

aktivitas antigen FVW abnormal. Keturunan dengan heterozigot ganda, ang

diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen cacat, menghasilkan penyakit
berat tipe 3.
Diagnosis
Diagnosis PVW memerlukan:
1. Kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan
2. Kecakapan pemamfaatan laboratorium.

Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila PVW
dianggap merupakan factor penunjang pada perdarahan pasien, lebih dahulu harus diobati
secara empiris dan penelusuran laboratories yang rumit ditunda sampai pasien secara
klinis stabil dan tidak mendapat prosuk darah dan obat selama beberapa minggu.
PVW selain congenital juga ada yang didapat. PVW yang didapat berbeda dari PVW
congenital, jarang terjadi, tampil lambat, dan tanpa riwayat perdarahan dalam keluarga.
PVW yang didapat berkaitan dengan sejumlah penyakit kronis termasuk kelainan berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Autoimun
Gamopati monoclonal
Limfoproliferatif
Keganasan epidemic
Hipotiroidisme
Tumor Wilm
Mieloproliferatif
Sebab pemakaian obat, termasuk siproloksasin

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemanjangan BT
2. Penurunan kadar FVW plasma
3. Penurunan secara parallel kadar aktivitas biologi diperiksa dengan penentukan kofaktor
ristosetin
4. Penurunan aktivitas factor VIII

Evaluasi Penapisan
Untuk PVW harus mencakup pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT, dan APTT.
1.

PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila penyakit lebih berat BT

memanjang antara 15-30 menit sedangkan hitung trombosit normal.


2. Pasien dengan defisiensi berat FVW atau kelainan factor VIII mengikat FVW berakibat
pemanjangan APTT, sekunder akibat menurunnya kadar kofaktor VIII dalam plasma.
3. Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan fungsinya.

D. KESIMPULAN SEMENTARA
1. Adanya gangguan hemostasis
a. DIC
b. Hemofilia
c. Thalassemia
d. ITP
2. Defisiensi vitamin K

ANAMNESIS
Nama

: Amat

Jenis kelamin

: laki-laki

Alamat

:-

Umur

: 15 tahun

Keluhan utama

: perdarahan yang sulit berhenti pada bekas suntikan.

Keluhan tambahan

: demam tinggi, menggigil, nausea, vomitus, petechiae dan

ekimosis
Riwayat penyakit terdahulu : Riwayat sosial : memiliki segudang aktivitas
Pemeriksaan fisik
Inspeksi

: petechiae, ekimosis

Palpasi

: demam tinggi

Perkusi

:-

Auskultasi

:-

Pemeriksaan Laboratorium
Thrombosit : 100.000/ mm3
Leukosit
PT

: 14.000/ mm3

: 18 Detik

aPTT : 45 detik

DIAGNOSA AWAL
DIC
DIAGNOSA BANDING
DIC, defisiensi vitamin K, ITP, Hemofilia
DIAGNOSA AKHIR
DIC

E.

KESIMPULAN AKHIR
OS mengalami gangguan hemostasis sehingga menyebabkan perdarahan pada

bekas suntikan yang sulit berhenti.

BAB III
PENUTUP
Diagnosis anemia DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) ditegakkan
berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat
mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.
Prinsip penatalaksanaan DIC adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi sesuai dengan faktor penyebabnya. Mencari faktor
penyebab DIC pada pasien merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Jika
penatalaksanaannya tidak dilakukan sesuai dengan faktor penyebabnya maka
pengobatannya tidak akan berhasil. Selain itu perlu juga diberikan pengobatan secara
suportif.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Jakarta

Farmakologi UI, 1995, Farmakologi dan Cairan, edisi 4, Jakarta

Fakultas Kedokteran UI, 2005, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta

Sylvia A.Price,Lorraine M.Wilson,2005,Patofisiologi,EGC,Jakarta

A.V

Hoffbrand,J.E.Pettit.P.A.H.Moss,2005,Kapita

Hematologi,EGC Jakarta

Fakultas Kedokteran UI,1985, Ilmu Kesehatan Anak,edisi 4,Jakarta

Diposkan 2nd September 2012 oleh yoki yogie


0

Tambahkan komentar
2
Sep
2

selekta

KARSINOMA NASOFARING
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Karsinoma nasofaring berkembang di nasofaring, suatu area di belakang hidung


menuju dasar tengkorak. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (American Cancer Society, 2011 dan
Roezin, 2010).
Karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun
Oseania. Insidennya umumnya kurang dari 1/100.000. Insiden di beberapa negara Afrika
agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Tapi, relatif sering ditemukan di berbagai
Asia Tenggara dan China. Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering
ditemukan daripada di berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya
1,88/100.000 pada laki-laki 2,49/100.000, dan 1,27/100.000 pada perempuan (Desen,
2008).
Di Amerika Utara, karsinoma nasofaring terjadi pada 7 dari 1.000.000 penduduk.
Pada tahun 2011, ada sekitar 2,750 kasus di Amerika Serikat (American Cancer Society,
2011).
Di Indonesia, didapatkan di bagian THT RSUD Dr. Sutomo (selama tahun 20002001), poliklinik onkologi melaporkan penderita baru karsinoma nasofaring berjumlah

623 orang. Di bagian THT RSUP H.Adam Malik, selama 1991-1996 terdapat kasus 160
tumor ganas, 94 kasus (58,81%) merupakan karsinoma nasofaring (Rusdiana, 2006).
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang
usia 30-60 tahun, hingga 75-90%. Proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8-1
(Desen, 2008).
Latar belakang etnis dan paparan kepada (Epstein-Barr Virus) EBV bisa
mempengaruhi faktor risiko perkembangan karsinoma nasofaring. Faktor risiko yang
termasuk ke dalam halayak yang berisiko ini adalah: Orang Cina atau keturunan Asia,
Paparan EBV telah berkaitan dengan karsinoma tertentu, termasuk karsinoma nasofaring
dan beberapa lymphoma, dan terlalu banyak minum alkohol (National Cancer Institute,
2011).
Telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier faktor genetik dari pasien
karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Pengaruh genetik
terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam penelitian dengan mempelajari cell
mediated immunity dari EBV dan tumor assosiated antigens pada karsinoma nasofaring.
Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut
pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup (Roezin, 2010).
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung virus EBV, dan kebanyakan
orang dengan karsinoma nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini di dalam darah.
Infeksi EBV sangat umum di suluruh dunia, dan sering terjadi pada masa kanak-kanak.
Infeksi EBV sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring karena
infeksi ini sangat umum dan kanker ini jarang terjadi. Faktor-faktor lain, seperti genetik
seseorang, mungkin mempengaruhi bagaimana tubuh berespon terhadap EBV, yang pada
gilirannya

mempengaruhi

bagaimana

EBV

memberikan

kontribusi

terhadap

perkembangan karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011).


Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis
kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas serta memakan makanan yang diawetkan dalam
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Terdapat hubungan
antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma

nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin,
2010). Selain iu juga debu kayu (Herza, 2010), serta asap dupa (kemenyan) bisa
merupaka faktor lingkungan (Rusdiana, 2006).
Tembakau adalah penyebab yang paling sering disebut dalam perkembangan
karsinoma sel skuamosa. Bahkan, perokok berat dan hygiene mulut yang buruk telah
dituduh sebagai faktor penyebab (Adams, 1997).
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit untuk dilakukan ,
karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar
tengkorak. Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering
kali, tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering
ditemukan sebagai gejala pertama.
Sangat mencolok perbedaan (angka bertahan hidup 5 tahun), antara stadium awal
dan stadium lanjut, yaitu 76.9% untuk stadium I, 56.0% untuk stadium II, 38.4% untuk
stadium III dan hanya 16.4% untuk stadium IV (Roezin, 2010).
Dari hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN, didapatkan data dari tahun 2008-2010 jumlah keseluruhan pasien penderita
penyakit karsinoma nasofaring yang dirawat inap berjumlah 141 pasien. Dengan
perincian pada tahun 2008 berjumlah 82 pasien, 2009 berjumlah 32 pasien, dan 2010
berjumlah 27 pasien.
1.2.

Rumusan Masalah

Bagimanakah gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring?


1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Untuk mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring.
1.3.2. Tujuan Khusus
a.

Mengetahui distribusi proporsi sosiodemografi pada pasien karsinoma nasofaring: umur,

jenis kelamin, suku, dan pekerjaan.


b. Mengetahui distribusi proporsi keluhan utama pada pasien karsinoma nasofaring.
c. Mengetahui distribusi proporsi keluhan tambahan pada pasien karsinoma nasofaring.
d. Mengetahui distribusi proporsi tipe histopatologis pada pasien karsinoma nasofaring.

1.4.

Manfaat Penelitian

a. Membantu menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring.


b. Mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Karsinoma Nasofaring

2.1.1. Definisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel
epitelial- batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring. Ada tiga
tipe karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011):
a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk
di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang
hidung. Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5
inchi dimulai dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan
makanan melawati pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel
skuamos yang melapisi nasofaring (National Cancer Institute, 2011).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel
nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke
hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak (Munir, 2010).

2.1.2. Epidemiologi

Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, karsinoma nasofaring jarang


sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun Oseania, insidennya umumnya
kurang dari 1/100.000 penduduk. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar
5-10/100.000 penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan

China. Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada
berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria
2,49/100.000, dan pada wanita 1,27/100.000 (Desen, 2008).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase
rendah (Roezin, 2010).
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang
usia 30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria dan wanita adalah 23,8:1 (Desen, 2008).
Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan
umur paling banyak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata
penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah
umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun.
Sebesar 2% dari kasus. karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di
Guangzhou ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada penelitian yang
dilakukan di medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma nasofaring terbanyak
adalah 50-59 tahun (29,1%). Umur penderita yang paling muda adalah 21- tahun dan
yang paling tua 77 tahun. Rata-rata umur penderita pada penelitian ini adalah 48,8 tahun
(Munir, 2010).
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab
yang masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan adanya
faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain (Roezin, 2010).

2.1.3. Etiologi

Terjadinya

karsinoma

nasofaring

mungkin

multifaktorial,

proses

karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya
karsinoma nasofaring adalah:
a.

Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap kanker
nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang banyak
sekali menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi
familial ( Desen, 2008), Anggota keluarga yang menderita karsinoma nasofaring
cendrung juga menderita karsinoma nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring
ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring dikarenakan oleh gen yang
diwariskan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ( seperti diet makanan yang
sama atau tinggal di lingkungan yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya
juga ikut mendukung timbulnya karsinoma nasofaring (American cancer society,
2011). Analisis korelasi menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan
gen pengode enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap kanker nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya
sebagian besar kanker nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan
memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom
manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden
tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen
kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12 (Desen, 2008).

b. Epstein-Barr Virus

EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma
nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi DNA sel
sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen menjadi oncogen (American
c.

Cancer Society, 2011 dan Sudiana, 2008).


Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,
termasuk asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat
hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas
karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak
jelas (Roezin, 2010). Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin
dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga
berhubungan (Desen, 2008).
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik dengan
karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan daging
yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa diet tinggi
buah dan sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring (American Cancer

Society, 2011).
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan
dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau
pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering kontak dengan zat yang dianggap
karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri,
dan asap kayu (Soetjipto, 1989).
e. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan (Soetjipto, 1989 dan Herawati, 2002).
2.1.4. Patologi
Rongga nasofaring diselaputi lapisan mukosa epitel tipis , terutama berupa epitel
skuamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina
propria mukosa sering terdapat limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan

musinosa. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang
melapisi nasofaring.
A.

Tipe Patologik
Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan

tinggi. Para ahli di RRC menganjurkan penggunaan serentak klasifikasi histologik yang
ditetapkan WHO tahun 1991 dan klasifikasi standar diagnosis terapi kanker nasofaring
dari China (tabel 2.1).
Tabel 2.1. Perbandingan Klasifikasi Standar Diagnosis Dan Terapi Karsinoma
Nasofaring China Dan Klasifikasi Histologik Karsinoma Nasofaring WHO

Standar diagnosis dan terapi


Karsinoma sel skuamosa

Kalsifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa

berdiferensiasi baik
Karsinoma sel skuamosa

keratinisasi
Karsinoma nonkeratinisasi

berdiferensiasi sedang
Karsinoma sel skuamosa

berdiferensiasi
Karsinoma tak berdiferensiasi

berdiferensiasi buruk
Karsinoma sel intivaskular
Karsinoma tak berdiferensiasi
(Desen, 2008).

B.

Pertumbuhan Dan Ekspansi


Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring

(terutama di recessus pharyngeus) dan dinding supero-posterior.


Tingkat kegananasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat
langsung berekspansi hingga menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat
langsung merusak basis kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis karotis
internal atau sinus sfenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan

alamiah menginfiltrasi kranial, mengenai saraf kranial; ke anterior menyerang rongga


nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat
melalui intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus
pterigopalatina lalu ke orbita. Ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fosa
intratemporal dan kelompok otot kunyah dll. Ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak
prevertebra servikal, vertebra servikal. Ke inferior mengenai orofaring bahkan
laringofaring.
C.

Metastasis
Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat

melintasi garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe
leher dari kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering
ditemukan pada kelenjar limfe profunda leher atas di bawah otot digastrik, yang kedua
adalah kelenjar limfe leher profunda kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus
aksesorius di trigonum servikal posterior.
Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar
leher, menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juga
meningkat jelas.
Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, dan sering terjadi
metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008) tetapi, jarang ke hati (Brennan, 2006)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika pertama kali
datang ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah menyebar ke kelenjar
getah bening di leher, menyebabkan mereka menjadi lebih besar dari normal (kelenjar
getah bening yang seukuran kacang mengumpuli sel sistem imun di seluruh tubuh).
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 4 kelompok (Roezin, 2010, American
Cancer Society, 2011, Mansjoer, 2003, Herawati, 2002, dan Soetjipto, 1989) yaitu :
1. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan pilek.
2. Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan muara
tuba eustachius ( fossa roodden muller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak
nyaman di telinga (otalgia) hingga nyeri dan infeksi telinga yang berulang.
3. Gejala mata dan saraf: gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma
ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, 1V,VI dan dapat

pula ke V, sehingga tidak jarang diplopialah yang membawa pasien dahulu ke dokter
mata. Neuralgia merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut dapat mengenai saraf ke
IX, X, XI, dan XII manifestasi kerusakannya ialah:
N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga belakang lidah dan terjadi
kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior.
N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring dan laring diikuti gangguan
respirasi dan salivasi.
N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta
hemiparesis palatum mole.
N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah.
Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom jackson, dan jika
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral serta dapat terjadi destruksi tulang
tengkorak dengan prognosis yang buruk.
4. Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak ada keluhan lain.
5. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.
2.1.6. Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TIM menurut UICC (2002) dikutip dari
buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher Roezin, (lihat
Roezin, 2010).

Stadium 0

T1s

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium IIA

T2a

N0

M0

Stadium IIB

T1

N2

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0,N1

M0

Stadium III

T1

N2

M0

T2a,T2b

N2

M0

T3

N2

M0

Stadium IVa

T4

N0,N1,N2

M0

Stadium IVb

semua T

N3

M0

Stadium IVc

semua T

semua N

M1

T
T0
T1
T2

= Tumor
= Tidak tampak tumor.
= Tumor terbatas di nasofaring.
= Tumor meluas kejaringan lunak.
T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan
ke parafaring (perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah
postero-lateral melebihi fasia faring-basiler.
T2b: Disertai perluasan ke parafaring.

T3

= Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal.

T4

= Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf cranial,

fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator.


N

= Pembesaran kelenjar getah bening.

NX

= Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.

N0

= Tidak ada pembesaran.

N1

= Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.

N2

= Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.

N3

= Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar, atau
terletak dalam fossa supraclavikular.
N3a: Ukuran lebih dari 6 cm.
N3b: Di dalam fossa supraclavicular.

Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral.
M

= Metastasis.

MX

= Metastasis jauh tidak dapat dinilai.

M0

= Tidak ada metastasis jauh.

M1

= Terdapat metastasis jauh.

2.1.7. Diagnosis Dan Prognosa

Diagnosis

Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu harus
melakukan hal-hal berikut ini:
a.

Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien


Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf kranial dengan kausa tak
jelas, dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringnya dengan

nasofaringoskop indirek atau elektrik (Desen, 2008).


b. Pemeriksaan kelenar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran (Desen,
2008 dan National Cancer Institute, 2011).
c. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter (American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011 dan
Soetjipto, 1989).
Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus
untuk menilai nasofaring dan area yang dekat sekitarnya.
Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat
dilakukan. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat

tampak dengan mudah.


Rinoskop posterior menggunakan kateter
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic
scope ( lentur, menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga
hidung atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring.
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga
hidung kanan dan kiri, setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut
dijepit dengan pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan

masing-masing ujung kateter yang lainnya.


d. Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah
e.

kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif (Desen, 2008).
Pencitraan
Computed tomography (CT) scan nasofaring
Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2)
memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat

menetapkan zona target terapi; merancang medan radiasi; (4) memonitor


kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut (Desen,

2008, National Cancer Institute 2011, dan Soetjipto, 1989).


Chest x-ray
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray
dada mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru
(National Cancer Institute, American Cancer Society, 2011 dan Soetjipto,

1989) .
Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih
baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur
nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan
infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca
radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat (Desen, 2008

dan American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011) .


Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak
serta adanya metastasis jauh (National Cancer Institute, 2011 dan,

Soetjipto, 1989).
Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke
tulang, lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih
dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi
umumnya tampak

tampak sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian

kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas (Desen, 2008 dan Soetjipto,

1989).
(Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo.
Pasien akan menerima injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif.
Jumlah radioaktif yang digunakan sangat rendah. Karena sel kanker di
dalam tubuh bertumbuh dengan cepat, kanker mengabsorpsi sejumlah

f.

besar gula radioaktif (Desen, 2008 dan National Cancer Institute 2011).
Biopsy nasofaring

Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker (National Cancer Institute, 2011).
g. Pemeriksaan histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid)
pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak
berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi ( Roezin, 2010 dan Brennan 2006).

h. Pemeriksaan serologis EBV


Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi kanker
nasofaring (Desen, 2008):

Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >=

1:80;
Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin)

EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.


Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang
tinggi kontinu atau terus meningkat.

Prognosa
Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah meyebar
luas keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka bertahan
hidup 5 tahun setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95% untuk KNF stadium I
dan 70-80% untuk KNF stadium II. Stadium III dan stadium IV yang cuma mendapat
terapi radiasi, angka bertahan hidup 5 tahun berkisar antara 24-80%. Kira-kira sepertiga
penderita meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru,
dan hati ( Lin HS, 2009, Gardjito, 2005, dan Brennan, 2006).

2.1.8. Diagnosis Banding

a.

Kelainan hiperplastik nasofaring


Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia
sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi

itu terjadi infeksi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetris di tempat
itu.
b. TB nasofaring
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangakal atau benjol
granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh
c.

nasofaring.
TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja, konsistensi agak keras, dapat melekat
dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi
(Desen, 2008).
2.1.9. Terapi Karsinoma Nasofaring

a. Stadium I
: Radioterapi.
b. Stadium II&III
: Kemoradiasi (Roezin, 2010 dan National Cancer Institute 2011).
c. Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi.
d. Stadium IV dengan N>6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi (Roezin,
2010).

a.

Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi atau
radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat pertumbuhan sel
kanker. Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external menggunakan mesin yang
berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi internal
menggunakan zat radioaktif yang dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires
atau kateter yang ditempatkan secara langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara
pemberian terapi radiasi tergantung pada tipe dan satdium kanker yang diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi Co-60, radiasi energi tinggi atau radiasi
X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum, dibantu

brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi stereotaktik (Desen, 2008).


b. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap periode
diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan tubuh melakukan

recover. Siklus-siklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3 sampai 4 minggu.


Kemoterapi sering tidak dianjurkan bagi pasien yang kesehatannya memburuk. Tetapi
umur yang lanjut bukanlah penghalang mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati
karsinoma nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai bagian dari
kemoradiasi, tetapi boleh dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorourasil (5-FU) jika
diberikan setelah terapi radiasi. Beberapa obat lain boleh juga berguna untuk mengobati
kanker yang telah menyebar. Obat-obat ini termasuk: Carboplatin, Oxaliplatin,
Bleomycin, Methotrexate, Doxorubicin, Epirubicin, Docetaxel, dan Gemcitabine. Sering,
pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini yang digunakan (American Cancer Society,
2011). Tetapi berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini
adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti (Roezin, 2010).
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocyn C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang
memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
c. Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai,
tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan
pada karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa
grade I, II, adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll) (Desen, 2008
dan Roezin, 2010).
d. Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat
disembuhakn lagi. Tujuan terapi paliatif adalah:
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita
atas kematian penderita.

Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.


Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain menasihatkan penderita untuk
makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan

mencoba

memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya liur
(Roezin, 2010 dan Sukardja, 2002).

2.1.10. Pencegahan

a.

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko

tinggi (Roezin, 2010).


b. Mengurangi konsumsi ikan asin ternyata dapat menurunkan insidens secara nyata
(Soetjipto, 1989).
c. Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
d. Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol stress
e. Berolahraga secara teratur (American Cancer Society, 2011).

2.1.11. Komplikasi

Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang,
batuk-batuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain (Sudiana, 2008).

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1.

Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian

adalah :
Pasien Karsinoma Nasofaring
Anamnesis
Sosiodemografi: umur, jenis kelmin, suku, pekerjaan
Keluhan utama
Keluhan tambahan
Etiologi
Kerentanan genetik: rasial dan agregasi familial.
EBV
Faktor lingkungan dan diet: konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamin, alkohol asap
dupa,makan makanan panas, kurang makan sayur dan buah, diet tinggi garam, dll.
Faktor pekerjaan: Benzopyrene, asap industri, debu kayu, asap kayu, debu nikel, dan gas kimia
lainnya.
Radang kronis daerah nasofaring.
Rekam medik
Diagnosis
Diagnosis laboratorium: Tipe histopatologis

= objek yang diteliti

Penelitian ini dilakukan dengan melihat dan mencatat rekam medis yang ada di RSUD
Dr. PIRNGADI MEDAN. Dari rekam medis, dilihat status pasien yang telah terdiagnosis
oleh dokter menderita karsinoma nasofaring pada tahun 2008-2010. Kemudian peneliti

melihat umur, jenis kelamin, etnis, pekerjaan, keluhan utama, keluhan tambahan, agregasi
familial, tipe histopatologis, stadium, dan komplikasi.
3.2.

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel
Pasien
Karsinoma
nasofaring

Umur
Jenis
Kelamin
Pekerjaan

Etnis

Keluhan
Utama

Definisi
Operasional

Alat
Ukur

Seseorang
Rekam
yang
telah Medis
didiagnosis
oleh dokter
menderita
karsinoma
nasofaring
Rekam
Medis
Rekam
Medis
Rekam
Medis

Hasil Ukur

Skala

Umur
Nominal

Tahun

Ordinal

1. Laki-laki
2. Perempuan
1.Wiraswasta
2. PNS
3. IRT
4. Pelajar
5. Petani
6. Mahasiswa
7. Supir
Rekam 1. Batak
Medis
2. Jawa
3. Aceh
4. Melayu
5. Minang
Dasar utama Rekam1. Benjolan di leher
untuk
Medis 2. Pandangan ganda
mengevaluasi
3. Apatis
masalah
4. Benjolan di rongga nasofaring
pasien
5. Batuk berdarah
(Lukmanto,
6. Susah menelan
1995)
7. Telinga berdengung
8. Nyeri mata
9. Nyeri ulu hati
10. Suara serak
11. Benjolan di hidung
12. Nyeri diafragma

Nominal
Nominal

Nominal

Nominal

Keluhan
Tambahan

Tipe
Histopatolo
gis

13. Mimisan
14. Sesak nafas
15. Hidung tersumbat
16. Luka di leher
17. Sakit menelan
18. Sakit kepala
Gejala yang Rekam1. Benjolan di leher
menyertai
Medis 2. Sakit menelan
gejala utama
3. Susah menelan
penyakit
4. Mimisan
karsinoma
5. Hidung tersumbat
nasofaring
6. Pilek
7. Telinga berdengung
8. Tuli
9. Batuk berdarah
10. Nyeri di leher
11. Sakit kepala
12. Sesak nafas
13. Batuk
14. Pandangan mata menurun
15. Mual
16. Muntah
17. Suara serak
18. Badan lemas
19. Benjolan di mata
20. Mata kabur
21. Susah tidur
22. Pandangan ganda
23. Benjolan di telinga
24. Benjolan di hidung
Gambaran
Rekam1. Karsinoma tak berdiferensiasi
mikroskopik Medis 2. Karsinoma sel skuamos
secara
3. Non keratinaizing skuamos
hisologi dan
4. Ca cell
patologi
5. Karsinoma sel skuamos
(Hartanto,
diferensiasi buruk
2002).
6. Malignant smear
7. Karsinoma sel skuamos
keratinisasi diferensiasi baik
8. Adeno karsinoma keratinaizing
skuamos diferensiasi baik

Nominal

Nominal

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain studi kasus dilanjutkan dengan
analisis statistika.

4.2.

Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada 13 Desember-13 Januari 2011.

4.2.2. Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Ruang Rekam Medik RSUD Dr. PIRNGADI


MEDAN.

4.3.

Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Seluruh data penderita karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN tahun 2008-2011.

4.3.2. Sampel

Besarnya Subjek yang diambil 100 data penelitian. Data diambilkan oleh petugas
rekam medis sebanyak 100.

4.4.

Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara mencatat data rekam medis yang terdapat pada
RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010.

4.5.

Pengolahan dan Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menghitung distribusi
proporsi untuk analisis deskriptif menggunakan komputer program SPSS. Hasil disajikan
dalam bentuk tabel distribusi proporsi, gambar (bar)

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1

Hasil Penelitian

5.1.1

Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. PIRNGADI MEDAN terletak di jalan prof. H.
M. Yamin SH No. 47 Medan. Penelitian dilakukan di Gedung Ruang Rekam Medis lantai
2.

5.1.2

Deskripsi umur Pasien Karsinoma Nasofaring

Deskripsi umur pasien karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:

Tabel 5.1.2 Deskripsi Umur Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010

Jumlah

Interval

Umur

Umur

Nilai rata-

Termuda

Tertua

rata

Umur

100

78

87

47.72

Dari Tabel 5.1.2 dapat diketahui umur tertua pasien karsinoma nasofaring adalah
87 tahun dan umur termuda adalah 9 tahun. Dengan jarak interval umur pasien dari umur
yang paling tua sampai umur yang paling muda adalah 78 tahun, dan dengan rata-rata
47,72.

5.1.3

Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Rincian

Tahun

Proporsi pasien karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI


MEDAN berdasarkan rincian tahun dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:

Tabel 5.1.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD
Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010

No
1
2
3

Tahun
2008
2009
2010
Total

Jumlah Pasien
82
32
27
141

Proporsi (%)
58
23
19
100

Pada Tabel 5.1.3 dapat dilihat tahun 2008 proporsi pasien karsinoma nasofaring
82 pasien (52%), sedangkan pada tahun 2009 berjumlah 32 pasien (23%) dan tahun 2010
jumlah pasien menurun menjadi 27 pasien (19%).

5.1.4

Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur Dan

Jenis Kelamin

Proporsi pasien karsinoma nasofairng berdasarkan umur dan jenis kelamin yang
rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel
dibawah ini:

Tabel 5.1.4 Distribusi Proporsi Menurut Umur

Dan Jenis Kelamin Pasien

Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 20082010

Kelompok Umur
9-18
19-28
29-38
39-48
49-58
59-68
69-78
79-88
Total

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
6
2
7
19
26
7
2
2
71

0
0
5
10
6
6
1
1
29

Total
6
2
12
29
32
13
3
3
100

Pada Tabel 5.1.4 didapatkan proporsi pasien terbanyak adalah antara umur 49-58
tahun berjumlah 32 pasien. Sedangkan proporsi pasien yang paling sedikit adalah antara
umur 19-28 tahun berjumlah 2 pasien. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada
perempuan, dengan pasien laki-laki berjumlah 71 pasien dan perempuan berjumlah 29
pasien.

5.1.5

Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Suku

Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan suku yang rawat inap di RSUD
Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:

Gambar 5.1.5 Distribusi Proporsi Menurut Suku Pasien Karsinoma Nasofaring


Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010

Pada Gambar 5.1.5 proporsi pasien yang bersuku batak merupakan pasien
terbanyak berjumlah 65 pasien, disusul dengan pasien yang bersuku jawa berjumlah 22
pasien, aceh berjumlah 6 pasien, melayu berjumlah 4 pasien, dan proporsi pasien yang
bersuku minang merupakan pasien yang paling sedikit berjumlah 2 pasien.

5.1.6

Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Pekerjaan

Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan pekerjaan yang rawat inap di


RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah
ini:

Gambar 5.1.6 Distribusi Proporsi Menurut Pekerjaan Pasien Karsinoma


Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010

Dari Gambar 5.1.6 dapat dilihat proporsi pasien yang berprofesi sebagai
wiraswasta merupakan pasien terbanyak berjumlah 38 pasien, disusul dengan pasien yang
berfropesi sebagai PNS berjumlah 27 pasien, IRT berjumlah 21 pasien, pelajar berjumlah
6 pasien, petani berjumlah 5 pasien, mahasiswa berjumlah 2 pasien, dan pasien yang
berprofesi sebagai supir merupakan pasien yang paling sedikit berjumlah 1 pasien.
5.1.7

Distribusi Proporsi

Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan

Utama

Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan keluhan utama yang rawat


inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel
dibawah ini:

Tabel 5.1.7 Distribusi Proporsi Menurut Keluhan Utama Pasien Pasien Karsinoma
Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010

N
o
1
2
3
4
5
6
7
8

Keluhan utama
Benjolan di leher
Pandangan ganda
Apatis
Benjolan di rongga nasofaring
Batuk berdarah
Susah menelan
Telinga berdengung
Nyeri mata

Proporsi (%)

51
1
1
1
1
6
1
1

51
1
1
1
1
6
1
1

9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nyeri ulu hati


Suara serak
Benjolan di hidung
Nyeri diafragma
Mimisan
Sesak nafas
Hidung tersumbat
Luka di leher
Sakit menelan
Sakit kepala
Total

1
1
1
1
10
3
8
1
3
8
100

1
1
1
1
10
3
8
1
3
8
100

Pada Tabel 5.1.7 keluhan yang paling banyak dikeluhkan pasien merupakan
benjolan di leher berjumlah 51 pasien, disusul dengan keluhan mimisan berjumlah 10
pasien, hidung tersumbat dan sakit kepala masing-masing berjumlah 8 pasien, sesak nafas
dan sakit menelan masing-masing berjumlah 3 pasien, dan keluhan yang paling sedikit
dikeluhkan pasien ada beberapa keluhan diantaranya merupakan keluhan pandangan
ganda, apatis, benjolan di rongga nasofaring, batuk berdarah, telinga berdengung, nyeri di
mata, nyeri ulu hati, suara serak, susah menelan, benjolan di hidung, nyeri diafragma, dan
luka di leher masing di keluhkan oleh berjumlah 1 pasien.

5.1.8

Distribusi Proporsi

Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan

Tambahan

Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan keluhan utama yang rawat inap di
RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah
ini:

Gambar 5.1.8 Distribusi Proporsi Pasien Yang Memiliki Keluhan Tambahan


Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.8 dapat diketahui pasien yang mengeluhkan keluhan tambahan
yang terbanyak adalah keluhan susah menelan dan mimisan yang masing-masing
berjumlah 16 pasien, disusul dengan keluhan hidung tersumbat berjumlah 14 pasien, sakit
kepala berjumlah 11 pasien, benjolan di leher dan sakit menelan masing-masing
berjumlah 10 pasien, telinga berdengung dan tuli berjumlah 8 pasien, nyeri di leher
berjumlah 6 pasien, muntah, mual, batuk, dan sesak nafas masing-masing berjumlah 4
pasien, pandangan ganda berjumlah 3 pasien, benjolan di hidung, batuk berdarah, dan
pilek masing-masing berjumlah 2 pasein, dan pasien yang mengeluhkan keluhan
tambahan yang paling sedikit adalah keluhan pandangan mata menurun, suara serak,
badan lemas, benjolan di mata, mata kabur, susah tidur, dan benjolan di telinga yang
masing-masing berjumlah 1 pasien.

5.1.9

Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Menurut

Hasil Pemeriksaan Histopatologis

Proporsi

pasien

karsinoma

nasofaring

berdasarkan

hasil

pemeriksaan

histopatologis yang rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010
dapat dilihat pada Diagram dibawah ini:

Gambar 5.1.9 Distribusi Proporsi Menurut Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Histopatologis Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.9 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan laboratorium
histopatologis yang terbanyak adalah karsinoma tak berdiferensiasi yang berjumlah 43
pasien, disusul dengan karsinoma sel skuamos berjumlah 23 pasien, karsinoma sel
skuamos diferensiasi buruk dan malignant smear masing-masing berjumlah 9 pasien, non
keratinaizing kuamos, ca cell, dan karsinoma sel skuamos keratinisasi diferensiasi baik
masing-masing berjumlah

pasien, dan hasil pemeriksaan histopatologis yang paling

sedikit adalah adeno karsinoma keratinaizing skuamos diferensiasi baik berjumlah 1


pasien.

5.2

Pembahasan

Umur yang tertua berumur 87 tahun, yang termuda berumur 9 tahun, dan umur
rata-rata pasien karsinoma nasofaring berumur 47,72 tahun. Sementara hasil penelitian
Dharishini umur tertua diatas 80 tahun, umur termuda dibawah 30 tahun (Dharishini,
2011). Dari hasil penelitian Munir umur termuda adalah 21 tahun, umur tertua berumur
77 tahun dan hasil penelitian Rata-rata umur penderita adalah 48,8 tahun (Munir, 2008).
Desen menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi Dua
bahwa karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia (Desen, 2008).
Didapatkan pasien karsinoma nasofaring tiap tahunya mengalami penurunan
jumlah, ini dikarenakan tidak tersediannya alat radioterapi yang dibutuhkan oleh pasien
karsinoma nasofaring.
Diketahui rata-rata umur pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah
antara umur 49-58 tahun. sementara itu, dari hasil penelitian Dharishini didapatkan umur
yang paling banyak jumlah pasiennya adalah antara umur 40-49 tahun (Dharishini, 2011)

dan penelitian Munir didapatkan umur yang paling banyak antara umur 50-59 tahun.
Pasien laki-laki lebih banyak daripada pasien perempuan, dari teori American Cancer
Society menyebutkan laki-laki 2 kali lebih rentan daripada wanita ini kemungkinan
lamanya terpapar zat-zat karsinogen yang menimbulkan karsinoma nasofaring (American
Cancer Society, 2011).
Didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring yang terbanyak ialah bersuku
batak, ini dikarenakan ada suku-suku tertentu yang memiliki faktor resiko kerentanan
genetik, memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (Human
Leukocyte

Antigen),

kromosom

pasien

karsinoma

nasofaring

menunjukkan

keidaksetabilan, hingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari
lingkungan dan timbulnya penyakit (Desen, 2008), dan gen pengode enzim sitokrom
p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring dan
memiliki perbedaan jaringan pada keturunan tertentu juga ikut mempengaruhi imun
respon, jadi mungkin berhubungan dengan bagaimana tubuh seseorang merespon infeksi
EBV (American Cancer Society, 2011). Selain itu juga kebiasaan makan makanan yang
bisa menimbulkan karsinoma nasofaring ikut serta memicu timbulnya karsinoma
nasofaring (Roezin, 2010)
Pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah wiraswasta, sementara
hasil penelitian Munir didapatkan pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak
berfropesi sebagai petani (Munir, 2006). Dari penelitian ini pekerjaan juga ikut
berpengaruh untuk memicu timbulnya karsinoma nasofaring, karena pekerjaan yang
banyak berhubungan dengan debu nikel, debu kayu, atau pekerjaan pembuat sepatu, dan
terpapar zat-zat kimia juga ikut merangsang sel untuk menjadi mutagenik(Soetjipto, 1989
dan Desen, 2008)
Dapat diketahui bahwa pasien karsinoma nasofaring paling banyak mengeluhkan
benjolan di leher sebagai keluhan utama. Dikarenakan banyak pasien datang berobat
pertama kali saat sudah terjadi penyebaran limfogen atau sudah stadium lanjut. Selain itu,
pada daerah nasofaring juga kaya akan jaringan limfaik, drainase limfatik dapat melintasi
garis tengah ke sisi leher kontralateral (Desen, 2008). Sedangkan pada stadium awal

pasien belum menunjukkan gejala klinis yang menurutnya belum merasa mengganggu
dirinya. Sakit kepala pada pasien karsinoma nasofaring disebabkan karena tumor sudah
mengalami perluasan ke intra-kranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut
penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior
saraf otak yaitu n II s.d nIV. Jika semua saraf grup anterior terkena serta mengalami
penekanan tumor pada duramater. Perluasan ke atas mengenai n VI menimbulkan gejala
pandangan ganda (Soetjipto, 1989). Nyeri dimata diduga tumor sudah menginvasi
jaringan mata. Benjolan di rongga nasofaring diduga tumor sudah membesar dan
menyumbat tengggorokan. Batuk berdarah, nyeri diafragma, dan sesak nafas dikarenakan
tumor sudah metastase ke paru. Telinga berdengung karena tumor di resesus faringeus
dan dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachi, menyebabkan
tekanan negatif di dalam kavum timpani. Nyeri ulu hati kemungkinan efek samping dari
pengobatan radioterapi pada karsinoma nasofaring, suara serak kemungkinan tumor telah
menginvasi vokal cord. Benjolan dihidung mungkin karena tumor telah menjalar dan
membesar ke cavum nasi, tumor tumbuh dari nasofaring melewati koana dan sampai ke
cavum nasi dan dapat menimbulkan keluhan hidung tersumbat (Sukardja, 2002).
Keluhan tambahan pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah susah
menelan dan mimisan. Susah menelan terjadi karena kemungkinan adanya sumbatan
lumen esofagus oleh massa tumor dan pembesaran kelenjar getah bening, pada tumor
terdapat luka yang apabila menelan makanan dan terjadi gesekan akan menimbulkan rasa
sakit menelan akhirnya menjadi sulit menelan, atau metastasis tumor ke batang otak yang
merusak n V, n VII, n IX, n X, dan n XII sehingga sulit menelan ( Soepardi, 2010).
Sedangkan mimisan dikarenakan sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga
hidung atau nasofaring, bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan
tumor, sehingga pembuluh darah dipermukaan tumor robek dan menimbulkan perdarahan
di hidung. Tuli dikarenakan hambatan konduksi karena adanya desakan dari tumor dan
mudah terjadinya otitis media transudatif (Desen, 2008). Mual dan muntah merupakan
efek samping dari radioterapi (Sukardja, 2002). Pilek karena sumbatan hidung yang
menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring dan menutupi
koana. Badan lemas ini dikarenakan pada status rekam medis pasien didapatkan pada

pasien karsinoma nasofaring juga terkena diabetes melitus. Pandangan mata menurun dan
mata kabur dikarenakan tumor telah menjalar ke atas dan merusak seluru saraf grup
anterior yaitu n II s.d n VI.
Didapatkan karsinoma tak berdiferensiasi merupakan hasil pemeriksaan
histopatologis yang paling banyak ditemukan pada pasien karsinoma nasofaring.
Sementara itu hasil penelitian Herza dan Munir didapatkan subtipe yang paling banyak
adalah karsinoma tak berdiferensiasi (Munir, 2006, Munir, 2008, dan Herza, 2010). Pada
teori American Cancer Society menyebutkan, di Asia Tenggara. Karsinoma nasofaring
yang paling banyak tipe karsinoma tak berdiferensiasi (American Cancer Society, 2011).
Ini tergantung dari bagaimana karakteristik selnya, makin jelek diferensiasinya maka
makin ganas sifat selnya. Tetapi, sebenarnya dari kesemua tipe berasal dari satu sel yang
sama.

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1

Kesimpulan

Dari hasil data yang dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008
jumlah pasien karsinoma nasofaring rawat inap RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN
berjumlah 82, sedangkan pada tahun 2009 berjumlah 32, dan tahun 2010 berjumlah 27,

data ini menunjukkan penurunan jumlah pasien karsinoma nasofaring tiap tahun
cendrung turun.
Pasien yang paling banyak ialah antara umur 49-58 tahun yaitu 32 orang. Umur
yang paling tua adalah 87 tahun, yang paling muda 9 tahun, dengan umur rata-rata 47,72.
Dilihat dari jenis kelamin, pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Yang bersuku Batak merupakan pasien paling banyak. Ini mungkin karena penelitian
yang dilakukan dalam ruang lingkup kecil saja hanya pasien yang datang berobat ke
RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN.
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan pasien yang berprofesi sebagai
wiraswasta paling banyak terkena karsinoma nasofaring. Keluhan utama yang paling
banyak ialah benjolan di leher, serta susah menelan dan mimisan merupakan keluahan
tambahan yang paling banyak dikeluhakan.
Dari hasil pemeriksaan histopatologi Karsinoma tak-berdiferensiasi adalah yang
paling banyak.

6.2

Saran

Masih diperlukan penelitian lanjutan dengan penambahan variabel yang diteliti


yaitu variabel stadium, dan komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G L., 1997. Tumor-Tumor Ganas Kepala Dan Leher. Dalam: Adam, Gorge L.,
Lawrence R., Boies, Jr., Dan Peter A. Higler. BOIES Buku Ajar Penyakit THT
(BOIES Fundamentals Of Otolaryngology). Terjemahan. EGC. Jakarta.

430-

431.
American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer Society.
Diunduh:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf
(pada tanggal 12 juli 2011)
Brennan, B., 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. BioMed Central Ltd. USA.
Diunduh: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/ (pada tanggal
1

agustus 2011).

Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.
Dharishini, P., 2011. Gambaran Karateristik Penderita Karsinoma Nasofaring Di Rumah
Sakit Umum Haji Adam Malik Dari Januari Sampai Desember 2009.

USU

Digital

Library. Medan. Diunduh:


http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21527 (pada 19 januari 2012)
Gardjito, W., 2005. Kepala dan Leher. Dalam: Sjamsuhidjarat. R., dan Wim de jong.
Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. 351-352.
Hartanto, H., Dkk. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta. 44, 47,
478, 770, 1014, 1832, 1978, 2051.
Herawati, S., Dan Sri R. 2002. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Untuk Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta. 40-42.

Herza, P., 2010. Profil Penderita Karsinoma Nasofaring Di Laboratorium Patologi


Anatomi Kota Medan Tahun 2009. USU Digital Library. Medan. Diunduh:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16912/4/Chapter%20II.pdf
(pada tanggal 11 july 2011).
Lin HS, Fee WS., 2009. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Medscape Referernse
Drugs, Disease, & Procedures. Diunduh:
http://emedicine.medscape.com/article/848163-overview (pada tanggal 2 agustus
2011).
Lukmanto, H., 1995. Adams Diagnosis Fisik Edisi 17. EGC. Jakarta. 11-38.
Mansjoer, A., Kuspaji T., Rakhmi S., Dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran Edisi
Ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 110-111.
Munir, D., 2006. Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak di Medan
dan Sekitarnya. USU Digital Library. Medan. Diunduh:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20661 (pada tanggal 19 januari
2012).
Munir, D., 2008. Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma
Nasofaring Suku Batak. USU Digital Library. Medan. Diunduh :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18625 (19 januari 2012).
Munir, D., 2010. Karsinoma Nasofaring Kangker Tenggorok; Edisi Revisi. USU Press.
Medan. Diunduh: http://usupress.usu.ac.id/terbitan-2010/366-

karsinoma-

nasofaring-kangker-tenggorok-edisi-revisi.html (pada tangal juli

2011).

National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011. Nasopharyngeal


Cancer Treatment (PDQ). USA:

National Cancer Institute. Diunduh:

http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/All
Pages/Print (pada tanggal 12 juli 2011).
Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty
A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan TelingaHidung-Tenggorok

Kepala Leher

edisi

keenam. Fakultas

Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.


Rusdiana., Delfitri M., Dan Yahwardiah S. 2006. Hubungan Antibodi Anti Epstein
Barr Virus dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan.
Usu Digital Library. Medan. Diunduh:
http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/rusdiana.pdf (pada tanggal 11 juli 2011).
Soetjipto, D., 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Iskandar, N., Masrin M., Dan
Damayanti

S.

Tumor-hidung-tenggorok

diagnose

&

penatalaksanaan.

Fakultas kedokteran universitas Indonesia. 71-83.


Soepardi, Efianty A., 2010. Disfagia. Dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny
B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala
Leher edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 276280.
Sudiana, I., 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Salemba Medika. Jakarta. 41-42.
Sukardja, I., 2002. Onkologi klinik edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya. 229237.
Susworo, R. 2001. Kanker Nasofaring Epidemiologi Dan Pengobatan Mutakhir. Cermin
Dunia Kedokteran. Diunduh:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_09KankerNasofaring.pdf/144_09K
ankerNasofaring.pdf (pada tanggal 12 juli 2001).

Diposkan 2nd September 2012 oleh yoki yogie


0

Tambahkan komentar
3
Sep
2

pielonefriti

BAB I
PENDAHULUAN

Pielonefritis akut ditemukan pada setiap umur, laki-laki atau wanita walaupun
lebih seringditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-laki usia lanjut, pielonefritis
akut biasanyadisertai hipertrofi prostat.
Dalam riwayat penyakit harus dicari faktor-faktor yang berhubungan dengan
pielonefritis.Keluhan panas badan disertai menggigil, sakit lokal dari infeksi saluran
kemih bagian bawah (lower urinary tract infection) maupun infeksi saluran kemih bagian
atas (upper urinarytract infection) terutama di daerah ginjal. Kadang disertai mual,muntah
dan diare. Sakit yangmenetap pada daerah satu atau kedua ginjal terutama disebabkan
karena regangan dari kapsulginjal. Sakit ini dapat menyebar ke daerah perut bagian
bawah sehingga menyerupaiappendisitis.

Faktor-faktor predisposisi :

Wanita dan Kehamilan


Diabetes melitus
Hipertensi
Anemia
Hematuria
Riwayat penyakit ginjal
Pada pemeriksaan fisik diagnosis tampak sakit sedang berat, panas intermitten
disertaimenggigil dan takikardi. Frekuensi nadi dapat dipakai sebagai pedoman klinik
untuk derajatpenyakit. Bila infeksi disebabkan oleh E.coli biasanya frekuensi nadi kirakira 90 kali permenit, tetapi infeksi oleh kuman stafilokok atau streptokok dapat
menyebabkan takhikardilebih dari 140 per menit. Sakit sekitar pinggang dan ginjal sulit

diraba karena spasme otot-otot. Fist percussion di daerah sudut kostovertebral selalu
dijumpai pada setiap pasien. Distensi abdomen sangat nyata dan rebound tenderness
mungkin juga ditemukan, hal inimenunjukkan adanya proses dalam perut, intra
peritoneal. Bising usus mungkin melemahkarena ileus paralitik terutama pada pasienpasien septikemi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI TRAKTUS URINARIUS

GINJAL

Letak Ginjal
Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen.
Ginjal ini terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian
atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal).
Ginjal bersifat retroperitoneal, yang berarti terletak di belakang peritoneum yang
melapisi rongga abdomen. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri
untuk memberi tempat untuk hati. Ginjal kanan pada level Th12-L3 dan ginjal kiri Th11L2. Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas.
Masing-masing ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa renis (melekat rapat pada parenchym).
Kemudian terdapat pula capsula adiposa renis yaitu jaringan lemak yang membungkus
ginjal disemua arah beserta glandula suprarenalis. Dilauar capsula adiposa renis ini
terdapat lagi fascia renis, fascia ini melapisi bagian ginjal kiri dan kanan didepan dan
belakang, kesamping capsul ini bersatu dan melekat pada fascia dinding abdomen
belakang.
Fascia ini terdiri dari lembaran:
1. Fascia pre-renalis (disebelah depan)
2. Fascia retro renalis (meluas bagian belakang)

Struktur Dan Detail Ginjal


Pada orang dewasa, setiap ginjal memiliki ukuran panjang sekitar 11 cm dan
ketebalan 5 cm dengan berat sekitar 150 gram. Ginjal memiliki bentuk seperti kacang
dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Di tiap ginjal terdapat bukaan yang disebut
hilus yang menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter.
Tiap ginajl terdiri dari cortex (bagian luar) dan medulla (bagian dalam). Cortes ini
terdapat banyak sekali unit penyaringan darah yaitu glomerulus dan pada meulla terdapat
banyak saluran micro menyalurkan filtrat urine ke papilla renalis dan ini ditampung oleh
ureter di hilus.
Sebuah glomerolus menerima sebuah arteri kecil dengan darah untuk disaring dan
setiap glomerolus mempunyai sebuah saluran micro yang panjang dan bereblit-belit yang
bermuara kedalam collecting tubulle dan ini bermuara kedalam papilla renalis.
Kalau ginjal kita belah sagital melalui margo lateralis maka kita lihat bangunanbanguan pyramid dengan alas dipinggir dan puncak di hilus papilla dan diantaranya
disebut piramid renalis yang merupakan tempat kedudukan tubuli dan glomerulus di
cortex dan tubuli (saluran micro) di medulla. Diantara 2 pyramid renalis terdapat collum
renalis yang merupakan bagian tempat masuk dan keluar cabang-cabang arteri dan vena
renalis.
Tiap 1 pyramid renalis disebut juga lobus renbalis dan tiap 1 daerah A. Renalis
langsung merupakan cabang aorta abdominalis. A. Renalis didalam hilus bercabang 5, 1
cabang segmen superior, 1 cabang segmen superior anterior, 1 cabang segmen inferior
anterior, 1 cabang segmen posterior dan 1 cabang segmen polus inferior.
A.interlobaris ini memberi cabang-cabang A.Arciformis yang berada pada cortex
atau basis pyramid. Dari 1 A. Arciformis yang berada pada cortex atau basis pyramid.
Dari 1 A Arciformis ini keluar beberapa cabang A. Intrlobularis; dan dari A. Interlobularis

ini akan keluar bebebrapa cabang kecil disebut vasa Afferentia yang memasuki capsul
tubuli renis dan disini arteri ini bercabang bergelung dan disebut glomerulus; arteri yang
mambentuk glomerulus kemudian membentuk 1 arteri lagi disebut vasa afferentia yang
kemudian bercabang-cabang menjadi capillair untuk memberi nutrisi tubulus, kemudian
membentuk venule, lalu menjadi venule V. Arciformis , lalu V. Interlobaris dan
membentuk cabang-cabang V. Renalis antara arteri didalam parenchym ginjal tidak ada
anastomose oleh karena itu merupakan end arteri.

URETER

Ureter adalah organ berbetuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine dari
pielum ginjal kedalam buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm.
Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos

sirkular dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik guna mengeluarkan
urine ke buli-buli.
Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju buli-buli, secara anastomosis
terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relatif lebih sempit daripada ditempat
lain, tempat-tempat penyempitan itu: (1) pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter
atau pelvi-ureter junction, (2) tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis dan
(3) pada saat ureter masuk ke buli-buli.. ureter masuk ke buli-buli dalam posisi miring
dan berada didalam otot buli-buli.
Secara radiologi ureter dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1) uretr 1/3 proksimal
mulai dari pelvis renalis sampai batas atas sakrum, (2) ureter 1/3 medial mulai dari batas
atas sakrum sampai pada batas bawah sakrum, dan (3) ureter 1/3 distal mulai batas bawah
sakrum sampai masuk ke buli-buli.
VESIKA URINARIA

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah
pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria
dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari:
1. Lapisan sebelah luar (peritoneum).
2. Tunika muskularis (lapisan berotot).
3. Tunika submukosa.
4. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
Buli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya
melalui uretra dalam mekanisme miksi.

URETRA

Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:
1. Urethra pars Prostatica
2. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa)
3. Urethra pars spongiosa.
Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter
urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya
sebagai saluran ekskresi.
Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:

1.

Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria.
Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter urethra menjaga agar
urethra tetap tertutup.

2. Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.


3. Lapisan mukosa.

PROSTAT
Kelenjar proatat adalah suatu jaringan fibromuskular dan kelenjar grandular yang
melingkari urethra bagian proksimal yang terdiri dari kelnjar majemuk, saluran-saluran
dan otot polos terletak di bawah kandung kemih dan melekat pada dinding kandung
kemih dengan ukuran panjang : 3-4 cm dan lebar : 4,4 cm, tebal : 2,6 cm dan sebesar biji
kenari, pembesaran pada prostat akan membendung uretra dan dapat menyebabkan
retensi urine, kelenjar prostat terdiri dari lobus posterior lateral, anterior dan lobus
medial, kelenjar prostat berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap tekanan yang
ada uretra dan vagina. Serta menambah cairan alkalis pada cairan seminalis.

PIELONEFRITIS

Definisi
Pielonefritis adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan
parenkim ginjail. Pada umumnya kuman yang menyebabkan infeksi ini berasal dari
saluran kemih bagian bawah yang naik ke ginjal melalui ureter. Kuman-kuman itu adalah
E. Coli, Proteus Spp, dan Kokus Gram Positif

yaitu: Streptokokus faecalis dan

enterokokus. Kuman Stafilokokus aureus dapat menyebabkan pielonefritis melalui


penularan secara hematogen, meskipun sekarang jarang dijumpai.

Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan suatu keadaan yang tidak dapat diabaikan
karenainsidennya masih cukup tinggi, yaitu sekitar 5,2% , sedangkan dari penderita yang
berobat kedokter umum 0,5 - l % menunjukkan gejala infeksi saluran kemih.
Insiden pada wanita dewasa (5%) lebih banyak dari pada pria maupun anak anak, sedangkan pada usia lanjutlebih meningkat dan mencapai 20-50%. Frekuensi yang
tinggi pada wanita disebabkan olehkarena beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah
karena saluran uretra wanita lebihpendek sehingga mudah terkontaminasi oleh kumankuman sekitar perianal. Penelitian yangdilakukan terhadap wanita hamil menunjukan
bahwa sekitar 7 % memberikan hitung bakteridalam urine > 100,000 cfu (colony forming
unit) / ml. Sedangkan pada wanita yang tidak hamil frekuensinya berkisar antara 2,8%22%. Infeksi nyata terjadi pada kehamilan antara 26hingga 36 minggu dengan puncak
insiden pada kehamilan 30-32 minggu. Bakteriuria padakehamilan dapat berupa:
bakteriuria asimtomatik (1%-1,5%), sistitis (3%- 1,3%) danpielonefritis (1% -2 %).
Bakteriruia asimtomatik (ASB) dapat mengakibatkan bayi lahirdengan berat badan
rendah, kelahiran prematur, abortus dan kematian ibu dan janin.Sedangkan penelitian
oleh Desmiwarti, di RSUP Dr M Jamil Padang didapatkan abortus42% pada wanita hamil
dengan bakteriuria asimtomatik. Insiden pielonefritis akut padawanita hamil sekitar 33 %
dan setelah diberikan pengobatan yang tepat dapat ditekan menjadi2,8%. Pada 24%
wanita hamil dengan infeksi saluran kemih, bayinya lahir prematur. sedangkan setelah
diberikan pengobatan yang tepat, kelahiran prematur ini dapat ditekanmenjadi 10%. Oleh
karena itu penting bagi pertugas kesehatan untuk memahami mekanisme,diagnosis dan
pengobatan infeksi saluran kemih pada kunjungan pemeriksaan kehamilanberkala.Pada
kehamilan terdapat sebanyak 1 % -2% pielonefritis akut. Insiden pada populasibervariasi
dan tergantung pada prevalensi ASB dalam komunitas dan penderita secara rutindiberi
pengobatan pada ASB. Wanita dengan riwayat pielonefritis, malformasi saluran
kemihatau batu ginjal meningkatkan risiko terjadinya pielonefritis. Penelitian prospective
pada 656wanita dengan pielonefritis, di antaranya 73% terjadi pada antepartum, 8% pada

intrapartumdan 19% terjadi pada postpartum. .Pada antepartum 9% terjadi pada trimester
pertama, 46 %terdapat pada trimester kedua dan 45% terdapat pada trimester ketiga.
Menurut Harris denganpemeriksaan penyaring rutin dan pengobatan pada ASB dapat
menekan pielonefrits dari 4%menjadi 0,8%.

Etiologi
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar)
merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan penyebab dari 50%
infeksi ginjal di rumah sakit. Infeksi biasanya berasal dari daerah kelamin yang naik ke
kandung kemih.
Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh
aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di tempat
masuknya ke kandung kemih.
Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih (misalnya batu ginjal atau
pembesaran prostat) atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter, akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi ginjal.
Infeksi juga bisa dibawa ke ginjal dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah.
Keadaan lainnya yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi ginjal adalah:

Kehamilan
Diabetes
Keadaan-keadaan yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh untuk
melawan infeksi

Patofisiologi
Secara normal, air kencing atau urine adalah steril alias bebas kuman. Infeksi
terjadi bilabakteri atau kuman yang berasal dari saluran cerna jalan jalan ke urethra atau
ujung salurankencing untuk kemudian berkembang biak disana. Maka dari itu kuman
yang paling seringmenyebabkan ISK adalah E.coli yang umum terdapat dalam saluran
pencernaan bagianbawah.
Pertama-tama, bakteri akan menginap di urethra dan berkembang biak disana.
Akibatnya,urethra akan terinfeksi yang kemudian disebut dengan nama urethritis. Jika
kemudian bakterinaik ke atas menuju saluran kemih dan berkembang biak disana maka
saluran kemih akanterinfeksi yang kemudian disebut dengan istilah cystitis. Jika infeksi
ini tidak diobati makabakteri akan naik lagi ke atas menuju ginjal dan menginfeksi ginjal
yang dikenal denganistilah pyelonephritis.

Mikroorganisme seperti klamidia dan mikoplasma juga dapat menyebabkan ISK


namuninfeksi yang diakibatkan hanya terbatas pada urethra dan sistem reproduksi. Tidak
seperti E.coli, kedua kuman ini menginfeksi orang melalui perantara hubungan
seksual.Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang mengatur keseimbangan cairan
tubuhdan elektrolit dalam tubuh, dan sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah dengan mengeksresikan air yang dikeluarkan dalam bentuk urine apabila berlebih.
Diteruskan denganureter yang menyalurkan urine ke kandung kemih. Sejauh ini diketahui
bahwa saluran kemihatau urine bebas dari mikroorganisme atau steril.
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam
traktusurinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : endogen yaitu kontak langsung dari
tempatinfeksi terdekat (ascending), hematogen, limfogen, dan eksogen ( akibat
pemakaian kateter).Ada tiga jalur utama terjadinya ISK yaitu asending, hematogen dan
limfogen:

Secara asending yaitu:


Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih, antara lain: faktor
anatomidimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada
laki-lakisehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, faktor tekanan urine
saat miksi,kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius
(pemeriksaansistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang

terinfeksi.
Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal.
Secara hematogen yaitu:
Sering terjadi pada pasien yang system imunnya
mempermudahpenyebaran

infeksi

secara

hematogen. Ada

rendah

beberapa

sehingga
hal

yang

mempengaruhi strukturdan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu:


adanyabendungan

total

urine

yang

mengakibatkan

distensi

kandung

kemih,

bendunganintrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.


Secara limfogen yaitu :
Limfogen Pielonefritis (infeksi traktus urinarius atas) merupakan infeksi bakteri
pialaginjal, tubulus dan jaringan intertisial dari salah satu atau kedua ginjal.
Bakterimencapai kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal meskipun ginjal 20

%sampai 25 % curah jantung; bakteri jarang mencapai ginjal melalui aliran darah ;kasus
penyebaran secara hematogen kurang dari 3 %.

Pielonefritis akut biasanya terjadi akibat infeksi kandung kemih asendens.


Pielonefritisakut juga dapat terjadi melalui infeksi hematogen atau limfogen tetapi jarang.
Infeksi dapatterjadi di satu atau di kedua ginjal. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat
infeksi berulang,dan biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain,
atau refluksvesikoureter. Sistitis (inflamasi kandung kemih) yang paling sering
disebabkan olehmenyebarnya infeksi dari uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran
balik urine dari uretrake dalam kandung kemih (refluks urtrovesikal), kontaminasi fekal,
pemakaian kateter atausistoskop.
Uretritis suatu inflamasi biasanya adalah suatu infeksi yang menyebar naik
yangdigolongkan sebagai general atau mongonoreal. Uretritis gonoreal disebabkan oleh
niesseriagonorhoeae dan ditularkan melalui kontak seksual. Uretritis nongonoreal ;
uretritis yang tidak berhubungan dengan niesseria gonorhoeae biasanya disebabkan oleh
klamidia frakomatik atau urea plasma urelytikum.Pada usia lanjut terjadinya ISK ini
sering disebabkan karena adanya:

Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih
yangtidak lengkap atau kurang efektif.
Mobilitas menurun
Nutrisi yang sering kurang baik
Sistem imunitas yang menurun
Adanya hambatan pada saluran urin
Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensi
yangberlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan
resistensiterhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri
yangselanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan
ini secarahematogen menyebar ke seluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang
menjadipredisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang

menGakibtakanpenimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang


disebut sebagaihidronefrosis. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal,
batu, neoplasma danhipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia
60 tahun.

Gambaran klinis
Pada pielonefritis akut Demam tinggi dengan diserti menggigil, nyeri di daerah
perut dan pinggang, disertai mual dan muntah. Kadang-kadang terdapat gejala iritasi pada
buli-buli yaitu berupa disuria, frekuens, dan urgensi.
Pielonefritis kronis biasanya tanpa gejala infeksi, kecuali terjadi eksaserbasi.
Tada-tanda utama mencakup keletiah sakit kepala, nafsumakan rendah, poliuria, haus
yang berlebihan, dan kehilangan berat badan. Infeksi yang menetap atau kambuh dapat
menyebabkan jaringan parut progresif di ginjal disertai gagal ginjal pada akhirnya.
Pada pememriksaan fisis terdapat nyeri pada pinggang dan perut serta nyeri pada
sudut costovertebral, suara usus melemah seperti ilues paralitik. Pada pemeriksaan darah
menunjukkan adanya leukosistosis disertai peningkatan laju endap darah, urinalisis
terdapat piuria, bakteriuria, dan hematuria. Pada pielonefritis akut yang mengenai kedua
sisi ginjal terjadi penurunan faal ginjal; dan pada kultur urine terdapat bakteriuria.

Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis

Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya


ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang
besar (LPB) sediment air kemih

Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment


air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik
berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.

2. Bakteriologis

Mikroskopis : satu bakteri lapangan pandang >105 cfu/ mL urin plus

piuria
Biakan bakteri
Tes kimiawi : tes reduksi griess nitrate berupa perubahan warna pada uji

carik
3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung
aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya
infeksi.

5. Metode tes

Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes

Griess untuk pengurangan nitrat).


Tes esterase lekosit positif: maka pasien mengalami piuria.
Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang

mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.


6. Foto radiologi
Pencitraan awal penyajian pielonefritis akut mungkin lebih berguna daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Dalam satu studi, 16% dari pasien dirawat untuk pielonefritis
akut ditemukan memiliki kelainan baru dan klinis signifikan pada pencitraan ginjal pada
saat masuk. Kemudian dalam perjalanan rumah sakit, pencitraan yang digunakan untuk
evaluasi cepat dari komplikasi yang berpotensi organ-atau mengancam jiwa.
Indikasi untuk studi pencitraan adalah sebagai berikut:
Demam atau positif hasil kultur darah yang bertahan selama lebih dari 48

jam
Memburuknya tiba-tiba kondisi pasien
Toksisitas bertahan selama lebih dari 72 jam

Complicated UTI

Pyelonephritis X Ray

A | Extensive gas with renal destruction. B | Extensive gas with paranephric spread.

MRI

didaptakan gambaran Ginjal kiri membesar, bengkak, dengan beberapa (nonmeningkatkan) garis hipodens seluruh parenkim tersebut.

Acute pyelonephritis . MRI showing an enlarged kidney due to inflammation that also
causes the edema. Sometimes the tubules/blood vessels are obstructed giving a wedgeshaped enhancement of the kidney.

CT

Pada foto CT mengungkapkan lobus kiri terdapat abses besar dan lebih rendah serta
ginjal kiri buruk meningkatkan dengan kalkuli jenis staghorn banyak. Ada abses ekstensi
dari tiang unggul dari ginjal kiri untuk memasukkan lobus kiri bawah paru-paru (tidak
ditampilkan).

IVP

Pada IVP menunjukkan pielonefritis kronis atrophic. Ginjal kanan menunjukkan atrofi
masih bisa memiliki fungsi utuh ditandai dengan kekeruhan dari penyerapan bahan
kontras.

USG

Pyelonephritis. Transverse gray-scale (A) and color flow Doppler (B) sonography of the
right kidney demonstrate two wedge-shaped areas of decreased echogenicity (arrows) in
the renal cortex with absence of color flow, consistent with multifocal pyelonephritis

Komplikasi
1.

Bakterimia dan septikemiaBakteremia dengan atau tanpa septikemia sering ditemukan


pada pasien-pasiendengan pielonefritis berat ( fulminating pyelonephritis ). Bakteremia
jugamenyebabkan infeksi atau pembentukan abses multipel pada bagian korteks
dariginjal

kontra

lateral.

Bakteremia

disertai

septikemi

terutama

disebabkanmikroorganisme Gram negatif.


2. Pionefrosis Pada stadium akhir dari infected hydronephrosis atau pyonephrosis terutama
padapasien-pasien daibetes melitus mungkin disertai pembentukan gas intrarenal
sehinggadapat memberikan gambaran radiologik pada foto polos perut

Diagnosa banding

Pielonefritis
Appendisitis
Endometriosis
Nephrolitisasis
Prostatitis

Penatalaksanaan Dan Pengobatan


Non Medika Mentosa
Istirahat penting selama fase akut. Bila mual-mual dan muntah-muntah perlu
mendapatmakanan parenteral.Pasien dianjurkan minum banyak supaya jumlah diuresis
mencapai 2 liter per hari selamafase akut. Keuntungan minum banyak : (a) pertumbuhan
mikroorganisme terutama E.colidapat dihambat, (b) mengurangi resiko anuria selama
pengobatan dengan sulfonamide, (c) mikroorganisme banyak diekskresikan selama miksi.
Beberapa kerugian minum banyak : (a)pasien tidak istirahat karena sering kencing, (b)
mengurangi konsentrasi antibiotika dalamurin sehingga mengurangi efek terapeutik.

Medikamentosa
Terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang lebih parah
dan memperbaiki kondisi pasien, yaitu berupa terapi suportif dan pemberian antibiotika.
Antibiotika yang dipergunakan pada keadaan ini adalah yang bersifat bakterisidal, dan
berspektrum luas, yang secara farmakologis mampu mengadakan penetrasi ke jaringan
ginjal dan kadarnya didalam urine cukup tinggi. Golongan obat-obat ni adalah:
aminoglikosida yang dikombinasikan dengan aminopenisilin (ampisilin atau amoksisilin),
aminopenisilin dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam, karboksipenisilin,
sefalosporin, atau fluoroquinolone.
Jika dengan pemberian antibiotika itu keadaan klinis membaik, pemberian
parenteral diteruskan sampai 1 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian per
oral selama 2 minggu berikutnya. Akan tetapi jika dalam waktu 48-72 jam setelah
pemberian antibiotika keadaan klinis tidak menunjukkan perbaikan, mungkin kuman
tidak sensitif terhadap antibiotika yang diberikan.

Prognosis

Prognosis pielonefritis baik ( penyembuhan 100% ) bila memperlihatkan


penyembuhanklinik maupun bakteriologi terhadap antibiotika. Bila faktor-faktor
predisposisi tidak diketahui atau berat dan sulit dikoreksi, kira-kira 40% dari pasien
menjadi kronik.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://medicinembbs.blogspot.com/2011/08/ultrasound-of-kidneys.html
2. http://www.nature.com/nrurol/journal/v6/n5/fig_tab/nrurol.2009.51_ft.html
3. http://sely-biru.blogspot.com/2010/02/askep-pielonefritis-infeksi-ginjal.html
4. http://www.scribd.com/doc/85299899/JURNAL-BLOK-20
5. Fulop, Tibor. 2010.acute pyelonephritis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/245559-overview
6. Purnomo, Basuki B. 2009. Dasar-dasar urologi edisi kedua. FK Univ. Brawijaya.
Malang. Malang

Anda mungkin juga menyukai