Anda di halaman 1dari 30

BAB I

I.1 PENDAHULUAN

Darah adalah jaringan tubuh yang berbeda dengan jaringan tubuh lain, berada dalam
konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup yang dinamakan sebagai pembuluh
darah dan menjalankan fungsi transport serta fungsi hemostasis . Darah adalah medium
transport di dalam tubuh, setiap manusia rata-rata mempunyai kurang lebih 70 ml darah per
kilogram berat badan, atau kurang lebih 3,5 L untuk orang yang memiliki berat badan 50 kg.
Darah memiliki viskositas 3-5 kali lebih besar dibanding kekentalan air, pH darah 7,35-7,45
dapat berwarna cerah (darah arteri) atau gelap (darah vena) sesuai dengan saturasi oksigen
dan kadar hemoglobin Sel darah memiliki rentang waktu yang terbatas, sehingga secara terus
menerus akan dilakukan proses pembentukan sel darah yang disebut poses hemopoiesis.1,2

Hemostasis mengacu pada proses dinamis untuk menjaga fluiditas darah, perbaikan
kerusakan pembuluh darah, dan membatasi kehilangan darah serta menghindari
penyumbatan pembuluh darah (trombosis) dan perfusi organ vital yang tidak adekuat. Baik
perdarahab ekkstrim, berlebihan atau adanya thrombosis menunjukan kerusakan mekanisme
hemostatis. Penyebab umum hemostasis yang tidak teratur adalah defisiensi yang bersifat
herediter atau didapat pada mekanisme pembekuan darah dan efek sekunder dari infeksi
atau kanker. Obat yang digunakan untuk menghambat pembentukan thrombus dan
membatasi terjadinya perdarahan abnormal adalah tatalaksananya. Hemostasis dan
pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang mengakibatkan pengendalian
perdarahan melalui pembekuan trombosit dan fibrin pada lokasi terjadinya cedera.
Rangkaian proses yang diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan dalam hemostasis dan
pembekuan darah adalah: Vasokontriksi sementara dan reaksi trombosit yang terdiri dari
adhesi, reaksi pelepasan, dan agregasi trobosit. 1,2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Proses Pembekuan Darah1

Pada awalnya, platelet berikatan dan menjadi aktif dengan makromolekul pada
daerah subendothelial di pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Platelet yang
berikatan pada makromolekul mengeluarkan substansi yang mengaktifkan platelet lainnya
yang berada disekitarnya, dan melakukan proses perekrutan terhadap lokasi kerusakan.
Setelah teraktivasi, platelet beragregasi untuk membentuk primary hemostatic plug.
Kerusakan pada dinding pembuluh darah juga mengekspos tissue Factor (TF), yang
menginisiasi sistem koagulasi. Platelet yang teraktivasi akan meningkatkan aktivasi pada
koagulasi sistem dengan menyediakan permukaan tempat faktor pembekuan berkumpul dan
melepaskan faktor pembekuan yang tersimpan. Hal ini menghasilkan ledakan thrombin
(factor IIa) generation. Thrombin akan merubah fibrinogen yang larut menjadi fibrin,
mengaktivasi platelet, dan umpan balik untuk “mempromosikan” generasi thrombin
tambahan. Untaian fibrin mengikat agregat trombosit Bersama untuk membentuk bekuan
yang stabil.

II. 2 Faktor Pembekuan Darah2

 Faktor I (Fibrinogen): prekursor fibrin (protein polimer) Fibrinogen adalah protein


globulin berukuran besar yang stabil (berat molekul 341.000). fibrinogen adalah
prekursor fibrin yang meghasilkan bekuan. Ketika fibrinogen bereaksi dengan
trombin, dua peptida memisahkan diri dari molekul fibrinogen, menghasilkan fibrin
monomer. Fibrinogen trombin – fibrin monomer – bekuan fibrin
 Faktor II (Protrombin) : protrombin adalah protein yang stabil (berat molekul
63.000). dengan dipengaruhi oleh kalsium terionisasi, protrombin diubah menjadi
trombin oleh aksi enzimatik tromboplastin dan kedua jalur ekstrinsik dan intrinsik
protrombin memiliki waktu paruh hampir 3 hari dan digunakan selama pembekuan.
 Faktor III (Tromboplastin jaringan): tromboplastin jaringan adalah istilah yang
diberikan untuk setiap substansi nonplasma yang mengandung kompleks lipoprotein
jaringan. Jaringan ini dapat berasal dari otak, paru-paru, endotel pembuluh darah, hati,
plasma, atau ginjal, yang merupakan jenis jaringan yang mampu mengonversi
protrombin menjadi trombin.
 Faktor IV (Kalsium) : Diperlukan untuk pengaktifan protrombin dan pembentukan
fibrin
 Faktor V (Proaccelerin/Plasma akselator globulin): suatu faktor plasma yang
mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin, memiliki waktu paruh 16 jam.
Faktor V digunakan dalam proses pembekuan dan sangat penting untuk tahap
selanjutnya, yaitu pembentukan tromboplastin.
 Faktor VI : Istilah ini tidak digunakan
 Faktor VII (Proconvertin/Akselator konversi protrombin serum): faktor VII beta
globulin. Bukan merupakan komponen penting dari mekanisme yang menghasilakan
tromboplastin dalam jalur intrinsik. Faktor VII berfungsi aktivasi tromboplastin
jaringan dan percepatan pembentukan trombin dan protrombin. Faktor ini dihambat
oleh antagonis vitamin K.
 Faktor VIII (Faktor Antihemolitik): faktor ini adalah reaksi pada fase akut
digunakan selama proses pembekuan dan tidak ditemukan dalam serum. Vaktor VIII
sangat labil, dan berkurang sebanyak 50% dalam waktu 12 jam pada suhu 4oC in vitro.
Vaktor VIII dapat dibagi kedalam berbagai komponen fungsional.
 Faktor IX (Plasma Thromboplastin Component ) : faktor protein yang stabil, yang
digunakan selama pembekuan, merupakan komponen penting dari sistem pembangkit
tromboplastin jalur instrinsik yang dapat mempengaruhi laju pembentukan
tromboplastin.
 Faktor X (Faktor Stuart) : merupakan alfa-globulin, faktor yang relatif stabil.
Bersama dengan faktor V, faktor X bereaksi dengan ion kalsium membentuk jalur
akhir yang umum dimana produk-produk dari kedua jalur ekstrinsik dan instrinsik
yang menghasilkan tromboplastin bergabung untuk membentuk tromboplastin akhir
yang mengubah protrombin menjadi trombin. Aktivitas faktor X tampaknya berkaitan
dengan faktor VII.
 Faktor XI (Tromboplastin Plasma) : beta-globulin. Dapat ditemukan dalam serum
karena hanya sebagian yang digunakan selama proses pembekuan. Faktor ini sangat
penting untuk mekanisme yang menghasilkan tromboplastin dalam jalur intrinsik.
 Faktor XII (Faktor Hageman): faktor yang stabil. Adsorpsi faktor XII dan kininogen
(dengan prekallikrein terikat dan faktor XI). Pada permukaan pembuluh darah yang
cedera akan memulai koagulasi dalam jalur intrinsik. Karena mekanisme umpan balik,
kallikrein (diaktifkan faktor fletcher) memotong sebagian aktivitas XIIa untuk
menghasilkan bentuk yang lebih kinetik efektif XIIa.
 Faktor XIII (Fibrin-Stabilizing faktor/ Faktor yang menstabilkan fibrin) : Faktor
plasma; menimbulkan bekuan fibrin yang lebih kuat dan tidak larut dalam urea.
 Faktor Feltcher (prekalikrein): Faktor pengaktifasi kontak.
Faktor Fitzgerald (Kininogen berat molekul tinggi): Faktor pengaktifasi kontak.

Faktor pembekuan semuanya diproduksi di hati, kecuali faktor VII, faktor XI dan XIII.
Vitamin K (disintesis di usus besar) diperlukan untuk mempertahankan kadar normal dari
faktor-faktor protrombin darah atau sintesis faktor-faktor protrombin (II, VII, IX dan X).

Saat cedera, faktor-faktor kontak (prekalikrein dan kininogen berat molekul tinggi/HMKW (
hieght molecular weight of kininogen) bersama-sama dengan faktor XI dan XII) akan
diaktifkan karena terjadi kontak dengan permukaan jaringan. Setelah terbentuk, faktor-faktor
tersebut juga berperan dalam melarutkan bekuan.

Aktifasi faktor-faktor pembekuan juga dikarenakan enzim memecahkan fragmen bentuk


prekursor yang tidak aktif. Oleh karena itu dinamakan prokoagulan. Tiap faktor yang sudah
diaktifkan, kecuali V, VII, dan XIII serta I (fibrinogen), adalah enzim pemecah protein
(protease serin) sehingga mengaktifkan prokoagulan berikutnya).

II. 3 Kaskade pembekuan darah 1,2

Pembekuan darah memiliki reaksi mendasar yaitu perubahan protein plasma yang larut,
dimana terjadi pembentukan fibrin yang tidak larut dari fibrinogen (Ganong, 2008). Inisiasi
proses koagulasi dapat terjadi melalui salah satu dari dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur
intrinsik. Terlepas dari jalur mana yang merupakan proses awal, dua jalur tersebut akan
menyatu menjadi jalur bersama yang merupakan jalur akhir. Hasil dari proses ini adalah
perubahan faktor koagulasi terlarut yang beredar membentuk bekuan fibrin menyerupai agar-
agar dengan sel darah yang terperangkap, sehingga terbentuk bekuan darah setelah perbaikan
jaringan yang rusak, maka sebagian gumpalan itu akan dimusnahkan oleh sisitem fagositik
mononuclear.
II. 4 Fase-Fase Pembekuan

Pembekuan akan terjadi karena adanya cedera vaskuler dalam kedaan hemostasis.
Diawali dengan vasokontriksi (penyempitan pembuluh vaskuler) yang merupakan respon
langsung terhadap cedera kemudian diikuti oleh adhesi trombosit pada kolagen dinding
pembuluh yang terkena cedera. ADP (adenin difosfat) dilepaskan oleh trombosit yang
menyebabkan mereka mengalami agregasi. Sejumlah kecil trombin juga merangsang agregasi
trombosit yang berguna untuk mempercepat reaksi. Faktor III dari membran trombosit juga
mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuk sumbat trombosit yang kemudian
segera diperkuat oleh protein filamentosa yang dikenal sebagai fibrin. Produksi fibrin dimulai
dengan perubahan faktor X menjadi XA, sebagai bentuk aktif faktor X. Faktor X dapat
diaktifkan melalui dua jalur reaksi.

a. Jalur Ekstrinsik

Jalur ekstrinsik dipicu oleh tromboplastin dan melibatkan faktor VII dan ion kalsium.
Kedua jalur akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan faktor X, V, platelet,
faktor III, protrombin, dan fibrinogen Jalur ekstrinsik merupakan jalur yang diprakarsal oleh
masuknya tomboplastin jaringan kedalam sirkulasi darah. Tromboplastin jaringan berasal dari
fosfolipoprotein dan membran organel dari sel-sel jaringan yang terganggu, fosfolipid
trombosit tidak diperlukan untuk aktivasi pada jalur ekstrinsik karena faktor jaringan
mempunyai pasokan fosfolipid sendiri

Mekanisme pembekuan pada jalur ekstrinsik dipicu oleh pelepasan faktor jaringan atau
tromboplastin jaringan yaitu suatu campuran protein fosfolipid yang mengaktifkan faktor VII.
Tromboplastin jaringan dan faktor VII mengaktifkan aktor IX dan X. Faktor X yang telah
diaktifkan oleh Trombosit, Ca2+ dan faktor V akan mengkatalisis perubahan protrombin
menjadi trombin. Jalur ekstrinsik dihambat oleh inhibitor jalur faktor jaringan (tissue factor
pathway inhibitor) yang membentuk suatu karakter TPL, faktor VIIa, dan faktor IXa.

b. Jalur Intrinsik

Rangkaian lainnya yang mengaktifkan faktor X adalah jalur intrinsik, nama itu
diberikan karena ia menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam sistem vaskuler atau
plasma. Dalam rangkaian ini terdapat reaksi cascade, pengaktifan salah satu prokoagulan akan
mengakibatkan pengaktifan bentuk penerus berikutya. Jalur intrinsik diawali dengan keluarnya
plasma atau kolagen melalui pembuluh yang rusak dan mengenai kulit..

Jalur intrinsik melibatkan aktivasi faktor kontak prekallikrein, HMKW, faktor XII, dan faktor
XI. Faktor-faktor ini berinteraksi pada permukaan untuk mengaktifkan faktor IX menjadi
faktor IXa. Faktor IXa bereaksi dengan faktor VIII, PF3, kalsium untuk menghasilkan faktor
X menjadi Xa. Bersama faktor V, faktor Xa mengaktifkan protrombin (Faktor II) menjadi
trombin. Yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin.

c.JalurBersama
Mekanisme pembekuan darah pada jalur bersama berawal dari pengaktifan aktor X
menjadi faktor Xa akibat dari reaksi pada jalur ekstrinsik dan jalur intrinsic. Baik jalur intrinsik
maupun ekstrinsik akan bertemu pada untuk membentuk jalur bersama, yang akhirnya
membentuk protein plasma protrombin (II) menjadi bentuk aktifnya, trombin (IIa). Faktor XIIa
menyebabkan ikatan peptida dalam jaringan fibrin terpolimerisasi. Reaksi silang ini
menyebabkan fibrin semakin elastis dan kurang rentang terhadap lisis oleh agen fibrinolitik.

Fibrin membentuk penutup yang longgar didaerah luka, yang akan memperkuat sumbat
trombosit dan menutup luka. Setelah dalam waktu yang singkat, gumpalan menjadi lebih kecil
dan lebih padat. Fiamen fibrin berkumpul disekitar agregat trombosit. Trombosit yang menepel
pada fibrin akan menarik serat lebih dekat. Ketika terjadi bekuan dalam tabung reaksi,
terjadinya retraksi bekuan yang dapat diamati, cairan diperas dari bekuan dan menghasilkan
serum.
Gambar 1

II.5 Obat-Obat Pengencer Darah

II. 5. 1 Antikoagulan
Antikoagulan adalah obat yang digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan
jalan menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Antikoagulan diperlukan untuk
mencegah terbentuk serta meluasnya trombus dan emboli, obat golongan ini juga diperlukan
untuk mencegah bekunya darah in vitro pada pemeriksaan laboratorium dan transfusi.
Antikoagulan oral dan heparin menghambat pembentukan fibrin dan digunakan secara
profilaktik untuk mengurangi insiden tromboemboli terutama pada vena. Kedua macam
antikoagulan ini juga bermanfaat untuk pengobatan trombosis arteri karena mempengaruhi
pembentukan fibrin yang diperlukan untuk mempertahankan gumpalan trombosit. Pada
trombus yang sudah terbentuk, antikoagulan hanya mencegah membesarnya trombus dan
mengurangi kemungkinan terjadinya emboli, tetapi tidak memperkecil thrombus.
1. Warfarin 3,4

Merupakan antikoagulan oral antagonis vitamin K. Faktor koagulasi II, VII, IX,X dan
Protein antikoagulan C dan S di sintesis utama di Hati dan secara biologi tidak aktif sampai 9-
13 residu asam glutamate berkarboksilasi untuk membentuk the residu gama-
karboksiglutamat. Reaksi dekarbosi precursor protein ini membutuhkan CO2, O2, penurunan
vitamin K dan di katalisasi oleh glutanyl carboxylase. Karboksilasi secara langsung bergabung
dengan oksidasi epoxide vitamin K.3

Gambar 2. Siklus Vit0amin K dan mekanisme kerja warfarin3

Warfarin terdiri dari R warfarin dan S warfarin, dimana S warfarin lebih aktif. Dengan
memblok reduktase epoxide vitamin K yang di lakukan oleh gen VKORC1 (Vitamin K epoxide
reductase complex subunit 1), warfarin menghambat konversi oksidasi epoxide vitamin K
menjadi bentuk terreduksi, vitamin K hydroquinone. Penghambatan vitamin K ini terjadi
karena penurunan vitamin K menjadi cofactor dari glutamyl carboxylase yang mengkatalisis
proses karboksilasi, dimana menconversi prozymogen menjadi zymogen sehingga dapat
mengikat Ca2+ dan dapat berinteraksi dengan permukaan anion phospolipid. S Warfarin di
metabolism oleh CYP2C9.Polimorphishm genetic umum pada enzim ini dapat mempengaruhi
metabolism warfarin. Polimorf di C1 subunit of vitamin K reductase (VKORC1) juga dapat
mempengaruhi kepekaan inhibisi yang di lakukan warfarin, sehingga memerlukan peningkatan
dosis warfarin. 3
Farmakokinetik :

 Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah pemberian.
 Kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam.
 Waktu paruh : 20-60 jam; rata-rata 40 jam.
 Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, 1M atau IV.
 Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan ginjal.
 Ekskresi: melalui urine dan feses. 3,4

Farmakodinamik :

 99% terikat pada protein plasma terutama albumin.


 Absorbsinya berkurang hila ada makanan di saluran cerna. 3,4

Indikasi :

Untuk profilaksis dan pengobatan komplikasi tromboembolik yang dihubungkan dengan


fibrilasi atrium dan penggantian katup jantung ; serta sebagai profilaksis terjadinya emboli
sistemik setelah infark miokard (FDA approved). Profilaksis TIA atau stroke berulang yang
tidak jelas berasal dari problem jantung. 3,4

Kontraindikasi :

Semua keadaan di mana risiko terjadinya perdarahan lebih besar dari keuntungan yang
diperoleh dari efek anti koagulannya, termasuk pada kehamilan, kecenderungan perdarahan
atau blood dyscrasias dll. 3

Interaksi obat :

Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen, beta bloker,
kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil, hidantoin, glukagon, kuinolon,
sulfonamid, kloramfenikol, simetidin, metronidazol, omeprazol, aminoglikosida, tetrasiklin,
sefalosporin, anti inflamasi non steroid, penisilin, salisilat, asam askorbat, barbiturat,
karbamazepin dll. 3

Efek samping

Perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis kulit dan jaringan lain, alopesia, urtikaria,
dermatitis, demam, mual, diare, kram perut, hipersensitivitas dan priapismus. Untuk usia di
bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Hati- hati bila digunakan pada
orang tua.Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat melewati plasenta sehingga
bisa menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya.Dijumpai pada ASI dalam bentuk
inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui.3,4

Dosis

Dosis inisial dimulai dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari. Obat diminum
pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum sebelum tidur agar dapat dimonitor
efek puncaknya di pagi hari esoknya. Lamanya terapi sangat tergantung pada kasusnya.Secara
umum, terapi anti koagulan harus dilanjutkan sampai bahaya terjadinya emboli dan trombosis
sudah tidak ada. Pemeriksaan waktu protrombin barns dilakukan setiap hari begitu dimulai
dosis inisial sampai tercapainya waktu protrombin yang stabil di batas terapeutik. Setelah
tercapai, interval pemeriksaan waktu protrombin tergantung pada penilaian dokter dan respon
penderita terhadap obat. Interval yang dianjurkan adalah 1-4 minggu.
II. 6 Preoperatif pada terapi antikoagulan

Agen antitrombotik meliputi 5 subkategori obat: unfractionated heparin (UFH), low-


molecular weight heparin (LMWH), inhibitor activated faktor X, direct thrombin inhibitor,
dan kumarin. Agen antitrombotik digunakan untuk mengobati atau mencegah kejadian
trombosis.

UFH, bekerja dengan antitrombin. Kompleks heparin – antitrombin memungkinkan


peningkatan kemampuan heparin 1000-kali lipat untuk menghambat faktor II (protombin) dan
aktivitas faktor X. hasil kerja UFH adalah supresi kaskade koagulasi, seperti yang tercermin
dari pemanjangan APTT dan ACT (activated clotting time). Waktu paruh efek antikoagulan
UFH diperkirakan mencapai 1,5 jam tanpa tergantung dosis yang diberikan. Waktu tunggu
selama 4 jam pasca penghentian terapi UFH mungkin diperlukan untuk mencapai nilai APTT
kurang dari 35 detik, mengindikasikan berkurangnya efek antikoagulan UFH, sebelum
memulai prosedur pembedahan elektif atau melakukan blok neuraksial. Secara alternatif,
protamin sulfat IV dapat diberikan untuk menetralisir efek antikoagulan UFH dengan cepat.
Pada prakteknya, protamin diberikan dalam kisaran 0,7 – 1,3 mg untuk 100 Unit UFH, atau
secara alternatif dosis protamin dapat dititrasi dengan memberikan dosis kecil (25 – 50 mg)
dan pemeriksaan ACT atau APTT diperlukan untuk mengetahui apakah nilainya sudah normal
atau belum.

LMWH dikembangkan untuk menciptakan antitrombotik yang tidak memerlukan


pengawasan untuk insufisiensi renal. Diproduksi dari UFH melalui proses pengurangan ukuran
rantai polisakarida molekul heparin, yang menghasilkan molekul lebih kecil dengan aktivitas
anti faktor X yang poten. Waktu paruh eliminasi beberapa preparat LMWH mencapai 3 – 5
jam sehingga waktu tunggu 24 jam pasca pemberian diperlukan sebelum prosedur bedah elektif
maupun anestesi neuraksial.

Inhibitor aktivasi faktor X, fondaripanux (Arixtra) berinteraksi dengan antitrombin dalam


perannya sebagai anti koagulan. Ketika terikat dengan antitrombin, kompleks fondaripanux –
antitrombin secara selektif meningkatkan kemampuan antitrombin untuk menghambat
pengaktifan faktor X sekitar 300 kali lipat. Waktu paruh eliminasinya 17 – 21 jam. Tidak ada
rekomendasi definitif terhadap obat ini sebelum melakukan anestesi neuraksial, meskipun
dianjurkan menggunakan tehnik insersi dengan jarum atraumatik dan menghindari penggunaan
kateter. Dianjurkan menunda pembedahan elektif selama 4 hari pasca penghentian obat karena
terdapat metabolisme minimal dan rute utama eliminasinya melalui ginjal.

Direct thrombin inhibitor (DTI) meliputi dabigatran (Pradaxa), lepirudin (Refludan),


argatroban, desirudin (Iprivask), dan bivalirudin (Angiomax). Bekerja dengan terikat pada
trombin bebas atau clotnya sehingga menghambat konversi fibrinogen menjadi fibrin. (Gambar
4). Obat ini diberikan untuk mengobati atau mencegah kejadian trombotik, meliputi
penanganan pasien yang menjalani intervensi koroner perkutaneus. Waktu paruh masing –
masing obat juga bervariasi (Tabel 4). Meskipun belum ada anjuran tentang penghentian dan
waktu operasi, penanganan konservatif menganjurkan waktu tunggu selama 5 kali waktu paruh
eliminasi pasca penghentian obat infus kontinyu sebelum dilakukan tindakan bedah elektif
maupun anestesi neuraksial. Tidak ada antidotum untuk DTI. DTI yang tersedia di Amerika
Serikat memiliki waktu paruh sekitar 17 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal, sehingga
penghentian obat ini sekitar 4 – 5 hari diperlukan sebelum melakukan prosedur anestesi
regional maupun neuraksial.
2. Heparin

Heparin adalah polisakarida sulfat dengan berat molekul 3000-30.000 Da (rata-rata


15.000 Da). Heparin menghasilkan efek antikoagulan dengan menonaktifkan trombin dan
faktor Xa. Heparin mengikat AT melalui pentasaccharide yang berafinitas tinggi, yang ada
pada sekitar sepertiga dari molekul heparin. Untuk menghambat trombin, heparin harus
mengikat kedua enzim koagulasi dan AT, sedangkan mengikat enzim tidak diperlukan untuk
menghambat faktor Xa. Molekul heparin dengan rantai kurang dari 18 sakarida kurang panjang
untuk menjembatani trombin dan AT dan oleh karena itu tidak bisa menghambat trombin.
Sebaliknya, fragmen heparin yang sangat kecil berisi urutan pentasaccharide, menghambat
faktor Xa melalui AT. Dengan menonaktifkan trombin, heparin tidak hanya mencegah
pembentukan fibrin tetapi juga menghambat aktivasi trombin-diinduksi trombosit dan faktor
V dan VIII.5

Cara Kerja Heparin

Unfractioned heparin terikat pada antithrombin III endogen (ATIII) melalui urutan
pentasakarida. Kompleks heparin-ATIII berkombinasi dan mengaktifasi thrombin dan
beberapa faktor, terutama Xa. Pada heparin, ATIII memproteolisis thrombin dan faktor Xa
kira-kira 1000 kali lipat. Karena bekerja pada komponen darah yang terbentuk sebelumnya,
heparin memberikan efek antikoagulasi segera setelah pemberian. Kerja heparin dimonitor
oleh uji activated partial thromboplastin time (aPTT).
Clinical Use

Karena sifatnya yang cepat , heparin digunakan sebagai antikoagulan jika dibutuhkan
dengan segera. Penggunaan terseriny antara lain pada DVT , emboli paru, dan infark miokard
akut. Heparin digunakan kombinasi dengan trombolitik untuk revaskularisasi. Karena tidak
menembus barrier plasenta, maka heparin adalah pilihan obat pada ibu hamil yg membutuhkan
antikoagulan.

“rebound” Hiperkoagulabilitas dapat terjadi setelah pengjentian antikoagulan secara tiba-tiba.


Sedangkan penggunaan antikoagulan perioperative meningkatkan resiko perdarahan untuk
beberapa prosedur invasive. Konsekuensi pembentukan hematoma setelah blockade neuraxial
dapat menjadi bencana besar bagi pasien, termasuk paraplegia permanen.

Management anestesi

Management anestesi pada pasien yang menerima pengobatan UFH (unfractioned Heparin)
harus dimulai dengan review pada rekam medis untuk menentukan obat bersamaan yang
mempengaruhi mekanisme pembekuan. Tidak terdapat kontraindikasi terhadap anestesi
regional dengan 5000 unit 2 kali sehari (profilaksis). Resiko perdarahan diturunkan dengan
menunda heparinisasi hingga blok selesai, tetapi dapat meningkat pada pasien yang lemah
karena menerima terapi heparin jangka Panjang.

Penggunaan antikoagulasi heparin intraoperatif pada bedah vascular kombinasi dengan


anestesi neuraxial dapat dilakukan dengan syarat :

 Menghindari teknik neruoaxial pada pasien dengan koagulopati


 Menunda heparinisasi selama 1 jam setelah penggunaan nontraumatic needle
 Menggunakan anestesi local yang memungkinkan evaluasi neurologis
 Monitor ada tidaknya neurodefisit pasien postoperative
 Melepaskan kateter neuroaksial 2-4 jam setelah dosis heparin terakhir
 Menilai status koagulasi, kemudian melanjutkan setelah 1 jam pelepasan kateter
terjadinya blokade neuraxial berdarah / sulit pada pembedahan vaskular dan rencana

heparin intraoperatif dapat meningkatkan risiko perdarahan. Namun, tidak ada data

untuk mendukung pembatalan operasi wajib. Karena itu, keputusan risiko-manfaat harus

dilakukan dengan ahli bedah dan

 Menggunakan antikoagulasi dosis rendah (5000 U) dan menunda penggunaannya

1-2 jam

 Menghindari penggunaan heparin intraoperative 6-12 jam

 Menunda operasi

 Pada dosis terapi, heparin harus diberhentikan setidaknya 4 jam sebelum

melakukan prosedur neuroaxial dana tau pengangkatan kateter neuroaxial

Low Molecule Weight Heparin (LMWH)

Struktur

LMWH merupakan glikosaminoglikan yang terdiri atas rantai-rantai residu selang-


seling dari D-glycosamine dan glycuronic atau iduronic acid. Berbagai jenis LMWH dapat
dibentuk melalui proses degradasi yang berbeda-beda meliputi enoxaparin (eliminasi chemical
β), tinzaparin (eliminasi enzymatic β), dalteparin (nitrous acid depolymerization), dan
ardeparin (oxidative cleavage).5,7

Mekanisme Kerja

Efek antikoagulan UFH dan LMWH melalui aktivasi AT. Susunan pentasakarida
terdistribusi secara acak sepanjang molekul UFH dan LMWH den berinteraksi dengan AT
endogen. LMWH mengandung susunan pentasakarida lebih sedikit daripada UFH.
Pentasakarida berikatan AT memicu perubahan konformasi di dalam molekul AT dan
mempercepat interaksinya dengan thrombin dan Factor-Xa. Perbedaan utama antara UFH dan
LMWH adalah pada mekanisme inhibisi terhadap Factor-Xa dan thrombin. Kebanyakan rantai
UFH mengandung paling sedikit 18 sakarida dan membentuk kompleks ternary dengan AT
dan thrombin. Berbeda dengan UFH, kompleks LMWH dan AT mengikat Factor-Xa dan
mengkatalisis inaktivasinya. Jadi, LMWH memperlihatkan aktivitas lebih tinggi terhadap
Factor-Xa daripada Factor-IIa, dimana UFH menginaktivasi keduanya. Selain itu, UFH dan
LMWH memicu pelepasan penghambat Tissue Factor dari endotelium yang cedera,
meningkatkan efek inhibisinya pada Factor-Xa dan Factor-VIIa dan juga berkontribusi
terhadap aktivitas antikoagulan endogen.8

LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari. LMWH menghasilkan efek
antikoagulan yang lebih dapat diprediksi daripada UFH dan memiliki waktu paruh lebih
panjang serta bioavailabilitas lebih baik, dihubungkan dengan penurunanikatannya pada
protein plasma, endotelium, dan makrofag. Eliminasinya bergantung pada dosis. Dalam hal ini
tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali pada pasien yang mengalami insufisiensi
ginjal dan memiliki berat badan terlalu tinggi atau rendah. Selain itu, LMWH berikatan pada
trombosit lebih sedikit dibandingkan UFH dan memiliki afinitas lebih lemah pada sel endotel
dan von Willebrand factor. Oleh karena itu, LMWH kurang berpengaruh pada trombosit dan
sel endotel sehingga pendarahan yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan UFH.
Walaupun pasien yang diterapi dengan LMWH tidak memerlukan pengawasan, aktivitas
Antifactor-Xa plasma seharusnya diperiksa pada pasien-pasien tertentu (usia tua, hamil,
obesitas, dan dengan penyakit ginjal berat). Aktivitas Antifactor-Xa biasanya diperiksa
menggunakan chromogenic assay yang tersedia secara komersial.8,9

Indikasi dan Kontraindikasi

LMWH mulai diberikan pada saat hemostasis primer terjadi. Pada pasien trauma
LMWH diberikan dalam waktu 36 jam sesudah terjadi trauma. Kontraindikasi langsung
pemberian LMWH meliputi: (1) Perdarahan intrakranial, (2) Perdarahan tidak terkontrol yang
masih berlangsung, (3) Cedera medula spinalis inkomplit yang dihubungkan dengan hematoma
spinal. Berbagai jenis LMWH memiliki perbedaan indikasi yang diterima oleh Food and Drug
Administration (FDA) sebagai profilaksis DVT berdasarkan berbagai bukti klinis yang
mendukung. Enoxaparin diindikasikan paling luas sebagai profilaksis dan terapi DVT.
Tinzaparin diindikasikan sebagai terapi tetapi tidak sebagai profilaksis DVT pada beberapa
kelompok pasien. Dalteparin diindikasikan sebagai profilaksis namun tidak sebagai terapi
DVT.9
Komplikasi

Komplikasi perdarahan dari pemberian LMWH sebagai profilaksis DVT bervariasi dari
penurunan kadar hemoglobin sementara sampai perdarahan yang memerlukan intervensi
(angiografi dan pembedahan). LMWH dikatakan meningkatkan insiden perdarahan mayor
pada saat digunakan sebagai profilaksis DVT. Hal ini didukung oleh penelitian Geerts dan
rekan-rekannya yang melakukan observasi pada pasien yang mendapatkan UFH mengalami
episode perdarahan lebih sedikit dibandingkan LMWH (berturut-turut 0,6% vs 2,9%) namun
tidak signifikan. Perdarahan diperkirakan mayor pada saat hemoglobin turun 2 g/dL atau lebih,
atau transfusi lebih dari 2 unit packed red blood cell (PRC). 11

LMWH dan UFH secara langsung dibandingkan pada tiga publikasi. Green dan rekan-
rekannya menemukan insiden perdarahan non-fatal dari pemberian LMWH dan UFH berturut-
turut 0% dan 9,5%. Mereka juga melaporkan 2 pasien (9%) meninggal karena PE masif pada
kelompok UFH. Keseluruhan insiden (perdarahan atau trombosis) adalah 0% pada kelompok
LMWH dan 34% pada kelompok UFH. Geerts dan rekan- rekannya menemukan rata-rata
perdarahan dari LMWH dan UFH berturut-turut 2,9% dan 0,6%. Mereka tidak menemukan
adanya perdarahan fatal. Pada penelitian Spinal Cord Injury Thromboprophylaxis
Investigators, rata-rata perdarahan untuk pemberian LMWH dan UFH berturut-turut 2,6% dan
5,3%. Dengan menggunakan analisis regresi, mereka mengidentifikasi umur lebih dari 50
tahun, kadar hemoglobin rendah dan pemberian profilaksis antikoagulan jangka pendek
merupakan faktor prediksi mengalami perdarahan mayor. 12

Protamine sulphate secara efektif melawan efek antikoagulan dari UFH, namun hanya
memiliki efek parsial pada LMWH. Diperkirakan 60% (utamanya aktivitas antifactor Xa) dari
efek LMWH dinetralisis oleh protamine sulphate. Pemberian infus protamine sulphate
seharusnya tidak melebihi dosis maksimum yaitu 50 mg. Pemberian dosis ulangan protamine
sulphate seharusnya dipertimbangkan pada saat perdarahan berlanjut dan tidak bergantung
pada hasil antifactor Xa plasma atau kadar aPTT yang memanjang. Fresh Frozen Plasma (FFP)
dan/atau rekombinan Factor VIIa efektif melawan efek antikoagulan LMWH dan seharusnya
diberikan pada pasien yang tidak stabil dengan perdarahan berat atau perdarahan pasca
operasi.8

Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT) merupakan agregasi trombosit yang dimediasi imun
sampai terjadi trombositopenia yang memiliki asosiasi kuat dengan terbentuknya trombosis
arterial dan vena. HIT secara khas terjadi antara hari 4 dan 14 dari terapi heparin. Berpotensi
menimbulkan kejadian fatal, jika tidak terdeteksi dini, meliputi tromboemboli, PE dan
perdarahan. Diagnosis HIT terdiri dari klinis (trombositopenia) dan deteksi serum (antibodi
HIT).12

Management anestesi

LMWH memiliki bioavailabilitas 100 % dan mencapai peak levels 2-4 jam setelah
pemberian. LMWH memiliki waktu paruh 3-4 jam , dan dieliminasi terutama melalui
clearance ginjal, sehingga pada pasien dengan insufisiensi ginjal dosisnya perlu diturunkan.
Level faktor Xa digunakan untuk memonitor efek LMWH. Idealnya, level faktor Xa harus
diperoleh setelah 4 jam pemberian LMWH.

Terdapat peningkatan resiko hematoma dengan penggunaan bersamaan dari obat-


obatan yang mengubah hemostasis. Perubahan koagulasi dapat terjadi dengan
tromboprofilaksis LMWH sebelum operasi , dan direkomendasikan bahwa penemapatan PNB/
neuraxial ditunda 10-12 jam setelah dosis terakhir. Pada pasien yang menerima terapi LMWH,
penundaan 24 jam direkomendasikan untuk memastikan hemostasis yang adekuat pada saat
regional anestesia.

Tidak direkomendasikan untuk melakukan teknik neuroaxial pada pasien yang


menerima LMWH 2 jam sebelem operasi karena penempatan jarum akan terjadi pada aktivitas
puncak koagulan

Antikoagulan Oral

Dalam golongan ini dikenal derivate 4-hidroksikumarin dan derivate indan-1,3-dion.


Perbedaan utama antara kedua derivate tersebut terletak pada dosis, mula kerja, masa kerja,
dan efek sampingnya, sedangkan mekanisme kerjanya sama.

Mekanisme Kerja
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. vitamin K adalah kofaktor yang berperan
dalam aktivasi faktor pembekuan darah II, VII, IX, X yaitu mengu ah residu asam glutamate
menjadi residu asam gama-karboksiglutamat. Untuk berfungsi, vitamin K mengalami siklus
oksidasi dan reduksi di hati. Antikoagulan oral mencegah reduksi vitamin K teroksidasi
sehingga aktivasi faktor pembekuan darah terganggu.

Karena efek antikoagulan oral berdasarkan penghambat produksi faktor pembekuan,


jelas bahwa efeknya baru nyata setelah 12-24 jm, yaitu setelah kadar fakto-faktor tersebut
menurun sampai suatu nilai tertentu. Demikian juga perdarahan akibat takar jalak antikoagulan
oral, tidak dapat diatasi dengan segera oleh vitamin K. Untuk ini diperlukan transfuse darah
segar atau plasma.

Indikasi

Seperti heparin, antikoagulan oral berguna untuk pencegahan dan pengobatan


tromboemboli. Antikoagulan oral digunakan untuk mencegah progresivitas atau kambuhnya
thrombosis vena dalam atau emboli paru setelah terapi awal dengan heparin. Antikoagulan oral
juga efektif untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien yang mengalami operasi tulang
atau gineklogi, infark miokard aku, katup jantung buatan, atau fibrilasi atrium kronik. Untuk
pengobatan thrombosis vena, heparin umumnya dilanjtkan sekurang-kurangnya 4-5 hari
setelah terapi antikoagulan oral dimulai sampai INR ada pada kisaran terapetik selama 2 hari
beruturt-turut.

Kontraindikasi

Antikoagulan oral dikontraindikasikan pada penyakit dengan kecenderungan


perdarahan, diskrasia darah, tukak saluran cerna,divertikuitis, colitis, endokardititis, keguguran
yang mencancap. Selain itu obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka Panjang pada
alkoholisme, hipertensi berat dan tuberculosis aktif.

Dosis

 Natrium Warfarin
Masa protombin harus ditentukan sebelum mulai terapi dan selanjutnya tiap hari sampai
responds stabil. Setelah taraf mantap tercapai masa prothrombin harus tetap diperiksa dengan
interval tertentu secara teratur. Pengobatan umumnya dimulai dengan dosis kecil 5-10 mg/ hari
selanjutnya didasarkan pada masa protombin. Dosis pemeliharaan umunya 5-7 mg hari.

 Dikumarol

Dosis dewasa 200-300 mg pada hari pertama, selanjutnya 25-100 mg/hari tergantung hasil
pemeriksaan waktu protombin. Penyesuaian dosis perlu sering dilakukan selama 7-14 hari
pertama dan masa prothrombin harus ditentukan tiap hari selama masa tersebut. Dosis
pemeliharaannya 25-150 mg /hari.

 Anisindion

Dosis dewasa 300 mg pada hari pertama, 200 mg pada hari kedua dan 100 mg pada hari
ketiga. Dosis pemeliharaan biasanya 25-250 mg / hari.

II. 5. 2 Trombolitik
Obat trombolitik bekerja untuk mempercepat lisis trombus yang membuat oklusi total di
intrakoroner, sehingga memperbaiki flow darah dan mencegah terjadinya kerusakan
miokard. Berbeda dengan antikoagulan yang mencegah terbentuk dan meluasnya
tromboemboli, trombolitik melarutkan thrombus yang sudah terbentuk. Agar efektif,
trombolitik harus diberikan sedini mungkin. Indikasi golongan obat ini adalah untuk infark
miokard akut, thrombosis vena dalam dan emboli paru, tromboemboli arteri, melarutkan
bekuan darah pada katup jantung buatan dan kateter intravena. Obat-obatan trombolitik
yang paling umum digunakan adalah salah satu bentuk aktivator plasminogen jaringan
endogen (t-PA; misalnya alteplase, tenecteplase, dan reteplase) atau protein yang disintesis
oleh streptococci (streptokinase). Semua diberikan secara intravena.Untuk pasien infark
miokard akut agar reperfusi tercapai obat harus diberikan dalam 3-4 jam setelah timbulnya
gejala. Tetapi bila penyumbatanarteri koronaria bersifat subtotal atau terbentuk sirkulasi
kolateral yang baik, trombolitik dapat dimulai lebih lambat. Pemberian obat fibrinolitik pada
IMA STE akut secara dini dapat mengembalikan aliran darah sebesar 70% sampai 80% pada
koroner yang mengalami oklusi dan secara signifikan dapat mengurangi kerusakan jaringan
(ISIS).

1. Streptokinase
Streptokinase berasal dari streptococcus C. Hemolyticus , dan berguna untuk pengobatan
fase dini emboli paru akut dan infark akut. Streptokinase mengaktivasi plasminogen dengan
cara tidak langsung yaitu dengan bergabung terlebih dahulu dengan plasminogen untuk
membentuk kompleks activator. Selanjutnya, kompleks activator tersebut mengkatalis
perubahan plasminogen bebas menjadi plasmin. Sebagian besar orang memiliki antiobdi
terhadap streptokinase sebagai akibat infeksi streptocokus sebelumnya. ini tidak aktif .

2. Tissue Plasminogen activator (t-PA)


t-PA adalah enzim yang secara langsung menkonversi plasminogen menjadi plasmin. ia
memiliki sedikit aktivitas kecuali jika terikat dengan fibrin, yang, secara teori, membuatnya
selektif untuk plasminogen yang telah terikat pada fibrin (yaitu, dalam gumpalan) dan
menghasilkan lebih sedikit bahaya meluasnya
produksi plasmin dan perdarahan spontan .

Trombolitik atau fbrinolitik mengacu pada


proses digesti fribrin oleh plasmin, yaitu
protease spesifik fibrin. Sebagai respons
terhadap kerusakan, sel endotel mengsintesis
dan mengeluarkan tissue plasminogen activator
(t-PA) yang mengconversi plasminogen menjadi
plasmin. Plasmin meremodels thrombus dan
membatasi ekstensinya oleh mekanisme proteolitik digesti fibrin.

Baik kedua plasminogen dan plasmin memiliki protein special yang berikatan terhadap
lysines pada fibrin clot dan memberi clot specificity terhadap proses fibrinolitik. Yang perlu
dicatat adalah clot specificity hanya diamati pada level fisiologis pada t-PA. seperti pada
kaskade koagulasi, terdapat regulasi negative pada fibrinolysis, yaitu sel endotel mengsintesis
dan mengeluarkan plasminogen activator inhibitor (PAI), yang akan menginhibisi t-PA.
selain itu antiplasmin α2 beredar dalam darah pada konsentrasi tinggi dan dalam kondisi
fisiologis akan menginaktifasi plasmin yang tidak berikatan dengan clot.

Antitrombotik
Antitrombotik atau antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi
trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama
sering ditemukan pada system arteri.1

G ambar 1. Aktivasi Platelet2


Aspirin merupakan obat utama. Obat lain dengan aksi berbeda (mis. dipiridamol,
klopidogrel, ticagrelor) dapat memiliki efek aditif, atau digunakan pada pasien yang tidak
toleran terhadap aspirin. Penggunaan obat antiplatelet terutama berkaitan dengan trombosis
arteri dan termasuk:
• infark miokard akut
• pencegahan infark miokard pada pasien dengan risiko tinggi, termasuk riwayat infark
miokard, angina, atau klaudikasio intermiten
• setelah coronary artery bypass grafting
• sindrom koroner tidak stabil (antagonis P2Y₁₂ seperti klopidogrel, prasugrel atau
ticagrelor yang diberikan bersama aspirin)
• setelah angioplasti dan / atau stenting arteri koroner (antagonis glikoprotein IIb/IIIa
intravena, mis. Abciximab, digunakan pada beberapa pasien bersama dengan aspirin)
• serangan iskemik serebral transien ('ministrokes') atau stroke trombotik, untuk
mencegah kekambuhan (dipyridamole bersama dengan aspirin)
• fibrilasi atrium (jika antikoagulasi oral dikontraindikasikan)
Karena keadaan hiperkoagulabel yang diinduksi oleh pembedahan, penarikan awal terapi
antiplatelet untuk pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular meningkatkan risiko infark
miokard pasca operasi dan kematian sekitar 5 hingga 10 kali lipat pada pasien terpasang stent
yang menjalani terapi antiplatelet ganda kontinu. Semakin pendek waktu antara
revaskularisasi dan pembedahan, semakin tinggi risiko kejadian jantung yang merugikan.
Operasi elektif harus ditunda setelah periode ini, sedangkan operasi vital, semiurgent, atau
mendesak harus dilakukan di bawah terapi antiplatelet ganda. Risiko pendarahan bedah
meningkat sekitar 20 persen dengan aspirin atau klopidogrel saja, dan 50 persen dengan
terapi antiplatelet ganda. Tidak ada perbedaan besar dalam risiko perdarahan antara aspirin
dan clopidogrel ketika diberikan monoterapi. Data klinis saat ini menunjukkan bahwa risiko
peristiwa kardiovaskular ketika menghentikan agen antiplatelet sebelum operasi lebih tinggi
daripada risiko perdarahan bedah ketika melanjutkan obat-obatan ini, kecuali selama operasi
di ruang tertutup (misalnya, intrakranial, kamera okuli posterior) atau operasi yang terkait
dengan perdarahan masif dan hemostasis sulit. Setelah operasi, terapi antiplatelet
dilanjutkan dalam 12 hingga 24 jam pertama. Jika klopidogrel harus dihentikan dalam situasi
bedah berisiko tinggi, aspirin harus dilanjutkan tanpa gangguan. Setelah penghentian aspirin
atau klopidogrel, agregasi trombosit kembali ke garis dasar dalam lima hari.4
Gambar 2. Manajemen Preoperatif Pasien dengan Terapi Antiplatelet Menurut Tingkat Risiko
Jantung dan Perdarahan
 Aspirin
Aspirin menghambat sintesis tromboksan A₂ (TXA₂) di dalam trombosit dan
prostasiklin (PGI₂) di pembuluh darah dengan menghambat secara ireversibel enzim
siklooksigenase 1 (COX-1), akan tetapi siklooksigenase dapat dibentuk kembali oleh sel
endotel. Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim
tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA₂, sebagai akibatnya
terjadi pengurangan agregasi trombosit.1 Tidak seperti sel berinti, trombosit tidak dapat
mensintesis protein, jadi setelah pemberian aspirin, sintesis TXA2 tidak pulih sepenuhnya
sampai kohort platelet yang terkena diganti dalam 7-10 hari.2
Sebagai antitrombotik dosis efektif aspirin adalah 80-320 mg per hari. Dosis
lebih tinggi selain meningkatkan toksisitas (terutama perdarahan), juga menjadi kurang
efektif karena selain menghambat TXA₂, prostasiklin juga dapat terhambat. Saat ini tersedia
aspirin tablet salut enterik dengan sediaan 100 mg.1
Pada infark miokard akut, nampaknya aspirin bermanfaat untuk mencegah
kambuhnya miokard infark yang fatal maupun non-fatal. Pada pasien TIA, penggunaan aspirin
jangka panjang juga bermanfaat untuk mengurangi kekambuhan TIA dan stroke karena
penyumbatan dan kematian akibat gangguan pembuluh darah. 1
Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahn saluran
cerna yang biasanya dapat dihindari bila dosis per hari tidak lebih dari 325 mg. Penggunaan
bersama antasi atau antagonis H₂ juga dapat mengurangi efek tersebut. Obat ini dapat
mengganggu hemostasis pada tindakan operasi dan bila diberikan Bersama heparin atau
antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko perdarahan. 1
Aspirin adalah terapi seumur hidup yang tidak boleh diganggu (termasuk untuk
pembedahan) ketika diberikan untuk pencegahan sekunder setelah stroke, sindrom koroner
akut, MI, atau revaskularisasi koroner, terlepas dari waktu sejak peristiwa yang mengarah
pada rekomendasi aspirin. Gangguan aspirin dalam pencegahan primer tidak meningkatkan
risiko perioperatif, kecuali pada pasien dengan diabetes.4 Maka dari itu, aspirin dosis rendah
harus dilanjutkan secara perioperatif bila memungkinkan, khususnya untuk pasien berisiko
tinggi.3
 Pasien yang berisiko tinggi terhadap kejadian (mis. jantung, MI, VTE) jika aspirin
dihentikan:
o ≤ 6 minggu setelah MI, PCI, stent logam telanjang, CABG
o ≤ 6 minggu setelah di atas jika komplikasi
o ≤ 2 minggu setelah stroke
o ≤12 bulan setelah pemasangan stent obat
 Pasien yang berisiko sedang jika aspirin dihentikan:
o ≤ 6-24 minggu setelah MI, PCI, stent logam, CABG, stroke
o ≤ 12 bulan setelah drug eluting stents, stent berisiko tinggi, fraksi ejeksi
rendah, diabetes.
 Pasien yang berisiko rendah terhadap kejadian jika aspirin dihentikan:
o ≥ 6 bulan setelah MI, PCI, BMS, CABG, stroke
o ≥ 12 bulan setelah di atas jika ada komplikasi

 Dipiridamol
Dipiridamol menghambat ambilan dan metabolisme adenosin oleh eritrosit dan sel
endotel pembuluh darah, dengan demikian meningkatkan kadarnya dalam plasma. Adenosin
menghambat fungsi trombosit dengan merangsang adenilat siklase dan merupakan
vasodilator. Dipiridamol juga memperbesar efek antiagregasi prostasiklin. 1
Karena dengan dosis yang diperlukan untuk menghambat agregasi trombosit kira-kira
10%, pasien mengalami flushing dan sakit kepala, maka sering diberikan dosis dipiridamol
yang lebih kecil bersama aspirin atau antikoagulan oral. Dipiridamol sering digunakan
bersama heparin pada pasien dengan katup jantung buatan. Obat ini juga banyak digunakan
bersama aspirin pada pasien infark miokard akut untuk prevensi sekunder dan pada pasien
TIA untuk mencegah stroke. 1
Bioavailabilitas obat ini sangat bervariasi. Lebih dari 90% dipirdamol terikat protein
dan mengalami sirkulasi enterohepatik. Masa paruh eliminasi bervariasi 1-12 jam. 1
Dosis untuk profilaksis jangka panjang pada pasien katup jantung buatan adalah 400
mg/hari bersama dengan warfarin. Untuk mencegah aktivasi trombosit selama operasi by-
pass maka dosisnya 400 mg dimulai 2 hari sebelum operasi. 1
Efek samping yang paling sering yaitu sakit kepala biasanya jarang menimbulkan
masalah dengan dosis yang digunakan dengan antitrombotik. Bila digunakan untuk pasien
angina pektoris, dipiridamol dapat memperberat gejala karena terjadinya fenomena coronary
steal. Efek samping lain adalah pusing, sinkop dan gangguan saluran cerna. 1 Tidak seperti
aspirin, dipiridamol tidak meningkatkan risiko perdarahan. 2

Agonis Reseptor Adenosin (P2Y₁₂)

 Tiklopidin
Tiklodipin menghambat agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP. Inhibisi maksimal
agregasi trombosit baru terlihat setelah 8-11 hari terapi. Berbeda dengan aspirin, tiklodipin
tidak mempengaruhi metabolisme prostalglandin. 1
Dari uji klink secara acak dilaporkan adanya manfaat tiklodipin untuk pencegahan
kejadian vaskular pada pasien TIA, stroke, dan angina pektoris tidak stabil. Tiklodipin
terutama bermanfaat untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi aspirin. 1
Dosis tiklodipin umumnya 250 mg sebanyak 2 kali sehari. Agar mula kerja lebih cepat,
ada yang menggunakan dosis muat 500 mg. Karena tiklodipin mempunya mekanisme kerja
yang berbeda dari aspirin, maka kombinasi kedua obat tersebut diharapkan dapat
memberikan efek aditif atau sinergistik. 1
Efek samping yang paling sering (20%) adalah mual, muntah dan diare. Selain itu,
dapat juga terjadi perdarahan (5%) dan yang paling berbahay leukopenia (1%). Leukopenia
dideteksi dengan pemantauan hitung jenis leukosit selama 3 bulan pengobatan.
Trombositopenia juga dilaporkan sehingga perlu dipantau juga. 1
 Klopidogrel
Klopidogrel menghambat agregasi platelet yang diinduksi ADP oleh penghambatan
ireversibel reseptor P2Y₁₂ yang terhubungkan melalui ikatan disulfida. Klopidogrel diubah
menjadi metabolit sulfhidril aktif oleh enzim CYP di hepar (termasuk CYP2C19). 2 Obat ini
sangat mirip dengan tiklodipin dan nampaknya lebih jarang menyebabkan trombositopenia
dan leukopenia dibandingkan tiklodipin. Klopidogrel merupakan prodrug dengan mula kerja
lambat. 1
Klopidogrel sedikit lebih efektif daripada aspirin sebagai agen tunggal dalam
mengurangi hasil komposit dari stroke iskemik, infark miokard atau kematian vaskular ini
dapat digunakan sebagai pengganti aspirin pada pasien dengan penyakit atheromat
bergejala, tetapi biasanya digunakan untuk pasien yang tidak toleran terhadap aspirin.
Pengobatan dengan klopidogrel untuk indikasi ini diberikan selama 4 minggu. Pretreatment
dengan klopidogrel dan aspirin diikuti dengan terapi jangka panjang juga efektif pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik yang menjalani intervensi koroner perkutan. 2 Untuk
pencegahan berulangnya stroke, kombinasi klopidogrel dengan aspirin nampaknya sama
efektif dengan kombinasi tiklodipin dengan aspirin. 1
Dosis umumnya 75 mg/hari dengan atau tanpa dosis muat 300 mg. Efek sampingnya
adalah dispepsia, diare, ruam dan peningkatan risiko perdarahan.1 Terapi klopidogrel wajib
dilaksanakan selama enam minggu setelah pemasangan bare-metal stents, 3 hingga 6 bulan
setelah infark miokard, dan setidaknya 12 bulan setelah pemasangan drug-eluting stents.4
Perlu diperhatikan bahwa beberapa statin lipofilik, inhibitor pompa proton (kecuali
pantoprazole), dan midazolam bersaing dengan clopidogrel padasitokrom yang sama dan
dapat mengurangi tingkat metabolit aktifnya hingga 30 persen. Terapi klopidogrel diinisiasi
ulang dengan dosis muatan 300 mg, yang mengurangi waktu untuk mencapai penghambatan
trombosit maksimal menjadi 4 hingga 6 jam dan mengurangi risiko hiporesponsivitas dari
persaingan obat lain dengan sitokrom hepar.4
Penghambat Glikoprotein IIb/IIIa
Glikoprotein IIb/IIIa merupakan integrin permukaan trombosit, yang merupakan
reseptor untuk fibrinogen dan faktor von Wildebrang, yang menyebabkan melekatnya
trombosit pada permukaan asing dan antar trombosit, sehinga terjadi agregasi trombosit. 1
 Absiksimab
Obat ini merupakan antibodi monoklonal chimeric mencit/manusia. Absiksimab
bekerja memblokade reseptor glikoprotein IIb/IIIa sehingga menghambat agregasi trombosit.
1

Absiksimab digunakan bersama aspirin dan heparin untuk pasien yang sedang
menjalani angioplasty dan aterektomi. Dosis 0,25 mg/kgBB diberikan secara bolus IV 20 menit
sebelum tindakan, diikuti dengan infus 10 g/menit selama 12 jam. Efek sampingnya antara
lain perdarahan dan trombositopenia. 1
Inhibitor GPIIb/IIIa memberikan efek pada agregasi trombosit dan waktu untuk
agregasi trombosit normal adalah 24-48 jam untuk abciximab dan 4-8 jam untuk eptifibatide
dan tirofiban setelah penghentian. Antagonis GPIIb / IIIa dikontraindikasikan dalam waktu 4
minggu setelah operasi.5
Daftar Pustaka
1. Ritter JM, Flower R, Henderson G, Loke YK, MacEwan D, Rang HP. Rang & Dale’s
Pharmacology. Edisi 9. Elsevier.
2. Rechnes J, Sampson R. Perioperative management of Anticoagulant and Antiplatelet
medication. Royal Berkshire NHS; Nov 2016.
3. Chassot PG, Marcucci C, Delabays A, Spahn DR. Perioperative Antiplatelet Therapy.
American Academy of Family Physicians; 2010.
4. Kumari R, Shaikh S, Hegade G, Marutheesh M. Perioperative considerations and
management of patients receiving anticoagulants. Anesthesia: Essays and
Researches. 2017;11(1):10.
5. Trevor AJ. drugs related with blood clotting. Pharmacology Examination & Board
Review 2015;11:267–321.

Anda mungkin juga menyukai