Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMAKOTERAPI

VENOUS THROMBOEMBOLISM



OLEH : kelompok 2
Eisti Meidia Etika Sari (08111006002)
Dinda Farah Diba (08111006012)
M. Riski Said (08111006022)
Septalia (08111006032)
Dela Arsela (08111006052)
Regina Florencia (08111006062)


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
VENOUS THROMBOEMBOLISM
PENGERTIAN
Trombus merupakan pembekuan darah yang terjadi tidak pada tempatnya dimana
trombosis vena terjadi karena adanya perlambatan aliran/statis darah, kerusakan pada dinding
pembuluh darah, dan adanya peningkatan kecenderungan gumpalan darah (hiperkoagubilitas)
sedangkan embolus merupakan massa berbentuk padat, cair, atau gas intravaskuler yang
terlepas dan dibawa oleh darah ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. 99% adalah trombus
yang terlepas sehingga disebut dengan tromboemboli.
VTE (Venous Thromboembolism ) adalah penyakit pembuluh darah yang dipicu oleh
faktor pembekuan darah yang tidak normal. Sebagian besar tidak diketahui secara klinis dan
sulit didiagnosis. Yang sudah jelas, VTE bisa mengacam nyawa penderitanya.
Pada dasarnya VTE adalah sumbatan aliran darah karena adanya bekuan darah (
trombus ). Embolus yaitu: lepasan bekuan darah itu kemudian melayang-layang di pembuluh
darah. Embolus-embolus itu jadi ancaman ketika dibawa darah jalan-jalan sampai ke paru-
paru. Di paru-paru, embolus menyebabkan terjadinya emboli paru atau pulmonary embolus (
PE ) dalam bahasa medis
Tersumbatnya aliran darah akibat adanya bekuan darah ini dikenal dengan sebutan
trombosis. Jika sumbatan terjadi pada vena bagian dalam, terjadilah DVT (Deep Vein
Thrombosis), yang biasanya mengenai bagian kaki atau tungkai. Kemungkinan kedua adalah
gumpalan darah yang pecah dan serpihannya menyangkut di paru-paru sehingga
menyebabkan emboli paru (Pulmonary Embolism).







Faktor-faktor pembekuan darah :


Faktor I
Fibrinogen: sebuah faktor koagulasi yang tinggi berat molekul protein plasma dan
diubah menjadi fibrin melalui aksi trombin. Kekurangan faktor ini menyebabkan masalah
pembekuan darah afibrinogenemia atau hypofibrinogenemia.
Faktor II
Prothrombin: sebuah faktor koagulasi yang merupakan protein plasma dan diubah
menjadi bentuk aktif trombin (faktor IIa) oleh pembelahan dengan mengaktifkan faktor X
(Xa) di jalur umum dari pembekuan. Fibrinogen trombin kemudian memotong ke bentuk
aktif fibrin. Kekurangan faktor menyebabkan hypoprothrombinemia.
Faktor III
Jaringan Tromboplastin: koagulasi faktor yang berasal dari beberapa sumber yang
berbeda dalam tubuh, seperti otak dan paru-paru; Jaringan Tromboplastin penting dalam
pembentukan prothrombin ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di Jalur koagulasi ekstrinsik.
Disebut juga faktor jaringan.
Faktor IV
Kalsium: sebuah faktor koagulasi diperlukan dalam berbagai fase pembekuan darah.
Faktor V
Proaccelerin: sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan panas, yang
hadir dalam plasma, tetapi tidak dalam serum, dan fungsi baik di intrinsik dan ekstrinsik
koagulasi jalur. Proaccelerin mengkatalisis pembelahan prothrombin trombin yang aktif.
Kekurangan faktor ini, sifat resesif autosomal, mengarah pada kecenderungan berdarah yang
langka yang disebut parahemophilia, dengan berbagai derajat keparahan. Disebut juga
akselerator globulin.
Faktor VI
Sebuah faktor koagulasi sebelumnya dianggap suatu bentuk aktif faktor V, tetapi tidak
lagi dianggap dalam skema hemostasis.

Faktor VII
Proconvertin: sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif stabildan panas dan
berpartisipasi dalam Jalur koagulasi ekstrinsik. Hal ini diaktifkan oleh kontak dengan
kalsium, dan bersama dengan mengaktifkan faktor III itu faktor X. Defisiensi faktor
Proconvertin, yang mungkin herediter (autosomal resesif) atau diperoleh (yang berhubungan
dengan kekurangan vitamin K), hasil dalam kecenderungan perdarahan. Disebut juga serum
prothrombin konversi faktor akselerator dan stabil.
Faktor VIII
Antihemophilic faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan
berpartisipasi dalam jalur intrinsik dari koagulasi, bertindak (dalam konser dengan faktor von
Willebrand) sebagai kofaktor dalam aktivasi faktor X. Defisiensi, sebuah resesif terkait-X
sifat, penyebab hemofilia A. Disebut juga antihemophilic globulin dan faktor antihemophilic
A.
Faktor IX
Tromboplastin Plasma komponen, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif
stabil dan terlibat dalam jalur intrinsik dari pembekuan. Setelah aktivasi, diaktifkan
Defisiensi faktor X. hasil di hemofilia B. Disebut juga faktor Natal dan faktor antihemophilic
B.
Faktor X
Stuart faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif stabil dan
berpartisipasi dalam baik intrinsik dan ekstrinsik jalur koagulasi, menyatukan mereka untuk
memulai jalur umum dari pembekuan. Setelah diaktifkan, membentuk kompleks dengan
kalsium, fosfolipid, dan faktor V, yang disebut prothrombinase; hal ini dapat membelah dan
mengaktifkan prothrombin untuk trombin. Kekurangan faktor ini dapat menyebabkan
gangguan koagulasi sistemik. Disebut juga Prower Stuart-faktor. Bentuk yang diaktifkan
disebut juga thrombokinase.



Faktor XI
Tromboplastin plasma yg di atas, faktor koagulasi yang stabil yang terlibat dalam
jalur intrinsik dari koagulasi; sekali diaktifkan, itu mengaktifkan faktor IX. Lihat juga
kekurangan faktor XI. Disebut juga faktor antihemophilic C.
Faktor XII
Hageman faktor: faktor koagulasi yang stabil yang diaktifkan oleh kontak dengan
kaca atau permukaan asing lainnya dan memulai jalur intrinsik dari koagulasi dengan
mengaktifkan faktor XI. Kekurangan faktor ini menghasilkan kecenderungan trombosis.
Faktor XIII
Fibrin-faktor yang menstabilkan, sebuah faktor koagulasi yang merubah fibrin
monomer untuk polimer sehingga mereka menjadi stabil dan tidak larut dalam urea, fibrin
yang memungkinkan untuk membentuk pembekuan darah. Kekurangan faktor ini
memberikan kecenderungan seseorang hemorrhagic. Disebut juga fibrinase dan
protransglutaminase. Bentuk yang diaktifkan juga disebut transglutaminase.











ETIOLOGI
1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir
sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2. Tindakan operasi
operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan
pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
(2.13)

Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan
operatif, adalah sebagai berikut :
(5)

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada
waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan
post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah
tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena
karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.

Pada
permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya
plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan
koagulasi darah.


4. Infark miokard dan payah jantung
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan
adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang mudah terjadi
pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena
adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah
timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstraseptis oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontraseptis menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor
pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas
fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo plastin-like
activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat.
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke
dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi
terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat
dibandingkan penderita biasa.










KLASIFIKASI
Tersumbatnya aliran darah akibat adanya bekuan darah ini dikenal dengan sebutan
trombosis. Jika sumbatan terjadi pada vena bagian dalam, terjadilah DVT (Deep Vein
Thrombosis), yang biasanya mengenai bagian kaki atau tungkai. Kemungkinan kedua adalah
gumpalan darah yang pecah dan serpihannya menyangkut di paru-paru sehingga
menyebabkan emboli paru (Pulmonary Embolism).

1. Deep vein thrombosis (DVT)








Deep vein thrombosis (DVT) merupakan keadaan terlepasnya thrombus ke paru dan
jantung yang berujung kematian. DVT adalah suatu kondisi dimana trombus terbentuk pada
vena dalam terutama di tungkai bawah dan inguinal. Bekuan darah dapat menghambat darah
dari tungkai bawah ke jantung, yang fatal jika sumbatan di pembuluh darah paru atau jantung.
Arteri memiliki otot tipis di dalam dinding untuk menahan tekanan darah jantung
memompa ke pelosok tubuh. Vena tidak memiliki lapisan otot signifikan dan tidak memompa
darah kembali ke jantung kecuali fisiologi. Darah kembali ke jantung, karena otot-otot besar
tubuh memeras vena-vena ketika otot-otot besar berkontraksi dalam aktivitas normal dari
gerakan tubuh. Aktivitas normal dari gerakan tubuh mengembalikan darah kembali ke
jantung.
Dua jenis pembuluh darah di kaki terdiri dari vena dalam dan vena superfisial. Vena
superfisial terletak tepat di bawah kulit mudah terlihat di permukaan. Darah mengalir dari
vena superfisial ke dalam sistem vena dalam melalui vena perforator kecil. Vena perforator
dan superfisial memiliki katup 1 arah dalam darah mengalir hanya ke arah jantung ketika
pembuluh darah diperas.
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen
vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan
jaringan perivena. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah,
hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias
Virchow.
Pada trombosis vena, sebanyak 95% terjadi pada vena tungkai bawah. Daerah yang
terkena menjadi lunak, bengkak dan merah, sepanjang pembuluh arteri tetap dapat membawa
darah ke daerah yang sakit, tetapi pembuluh vena tidak mampu membuangnya. Perabaan
lunak terjadi karena iskemia pada dinding vena, disamping itu ditemukan juga nyeri iskemik
akibat sirkulasi yang menjadi buruk.

- Tiga hal yang mempengaruhi terjadinya DVT
a. Perlambatan aliran darah,
b. terjadi kerusakan pada dinding aliran darah,
c. terjadi peningkatan kecenderungan gumpalan darah atau hiperkoagulabilitas.
Kasus DVT ini menimpa pembuluh vena di tungkai. Sistem pembuluh darah di
tungkai bawah secara garis besar diklasifikasikan menjadi pembuluh vena
supervisialis dan vena profunda. Kedua vena ini dihubungkan oleh pembuluh vena
terperforasi.
Terdapat katup pada vena penghubung yang memastikan agar darah hanya mengalir
dari vena superfisialis ke vena profunda.
KAKI BENGKAK
Ketika terjadi DVT, timbul kekakuan. Bekuan darah mengenai katup-katup yang ada
di pembuluh vena kaki. Bekuan itu merusak katup hingga bocor. Akibatnya, darah bukannya
mengalir ke atas kembali kejantung, tetapi malah mengalir ke bawah. Tekanan darah yang
tinggi di vena itu berdampak pada kaki, jadi terlihat bengkak dan luka-luka di kulit kaki.
Penyakit pembuluh darah ini sulit terdeteksi. Mirip fenomena gunung es, kira-kira
80% kasus DVT tidak diketahui secara klinis, sedangkan 70% penderita emboli paru atau PE
hanya terdeteksi setelah kematian.


2. Pulmonary Embolism
--- Hubungan antara trombosis vena dalam dan emboli paru
Ketika thrombi vena lepas dari tempatnya, trombi mengalir melalui sistem vena
menuju Vena cava, melewati atrium kanan dan ventrikel kanan, kemudian masuk sirkulasi
arteri paru-paru. Sebuah emboli besar dapat terletak pada bifurkasi dari arteri paru,
membentuk embolus pelana. Lebih umum, adalah oklusi pembuluh paru utama. Banyak
pasien dengan PE besar tidak memiliki bukti ultrasonografi DVT, bekuan darah mungkin
karena sudah terembolisasi ke paru.

Embolisme paru disebabkan oleh bekuan darah dari vena, terutama vena di tungkai
atau panggul. Penyebab yang lebih jarang adalah gelembung udara, lemak, cairan ketuban
atau gumpalan parasit maupun sel tumor. Penyebab yang paling sering adalah bekuan darah
dari vena tungkai, yang disebut trombosis vena dalam. Gumpalan darah cenderung terbentuk
jika darah mengalir lambat atau tidak mengalir sama sekali, yang dapat terjadi di vena kaki
jika seseorang berada dalam satu posisi tertentu dalam waktu yang cukup lama. Jika orang
tersebut bergerak kembali, gumpalan tersebut dapat hancur, tetapi ada juga gumpalan darah
yang menyebabkan penyakit berat bahkan kematian.
Mesenteric venous thrombosis
Mesenteric venous thrombosis mungkin memang agak sulit dilafalkan. Tapi, penyakit
ini cukup penting untuk diketahui karena cukup berbahaya. Mesenteric venous thrombosis
merupakan salah satu jenis iskemia usus. Iskemia usus adalah kondisi yang terjadi ketika
suplai darah ke usus terhambat atau berhenti sepenuhnya. Akibatnya, usus tidak mendapat
pasokan oksigen dan jaringan usus lama kelamaan akan rusak atau mati. Tipe iskemia usus
ini sendiri terjadi karena aliran darah yang keluar dari usus tertutup. Darah yang pasokan
oksigennya sudah diserap usus akan mengalir kembali ke jantung dan paru-paru. Tapi, karena
pembuluh darahnya tertutup, darah tanpa oksigen tidak bisa keluar. Darah yang tidak bisa
keluar akan masuk kembali ke usus. Hasilnya, usus mengalami pembengkakan dan
pendarahan.


---- Kondisi ini disebabkan oleh :
Peradangan akut ataupun kronis di pankreas (pancreatitis).
Infeksi pada perut.
Kanker pada sistem pencernaan.
Penyakit pada usus, seperti ulcerative colitis, penyakit Chron, atau diverticulitis.
Kelainan darah yang membuat darah lebih rentan terhadap penggumpalan, seperti
kurangnya protein tertentu yang diturunkan di keluarga.
Trauma pada perut.
Penggunaan terapi hormon untuk mengatasi menopause.
---- Treatment
Mesenteric venous thrombosis dapat diatasi dan disembuhkan dengan penanganan
yang tepat. Jika usus tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan, penderitanya cukup
mengonsumsi obat untuk mencegah penggumpalan atau pembekuan darah selama tiga hingga
enam bulan. Namun, jika pemeriksaan menunjukkan penderitanya lebih rentan mengalami
penggumpalan darah, obat pengencer darah harus diminum seumur hidup.
Jika usus menunjukkan tanda-tanda kerusakan, meskipun sebagian, penderitanya
kemungkinan harus melakukan operasi. Operasi perlu dilakukan untuk mengangkat jaringan
usus yang rusak. Tapi jangan takut, seperti tipe iskemia lainnya, mesenteric venous
thrombosis juga dapat dicegah. Tidak merokok, konsumsi makanan sehat, dan berolahraga
teratur merupakan jurus jitu pencegah penyakit dan penjaga tubuh untuk tetap sehat.
Selain mesenteric venous thrombosis, iskemia usus meliputi iskemia usus besar, acute
mesenteric artery ischemia, dan chronic mesenteric artery ischemia.








FAKTOR RESIKO
Faktor risiko untuk DVT mencakup pembedahan mayor dari abdomen, pelvis,
ortopedi dan kardiovaskular. Pasien yang menjalani operasi untuk trauma mayor dan luka
bakar memiliki risiko tinggi. Operasi yang berlangsung lebih dari 30 menit memiliki risiko
lebih besar daripada operasi singkat. Di samping itu, faktor-faktor berikut telah dicatat
sebagai predisposisi untuk tromboemboli vena pada pasien bedah:
DVT atau PE sebelumnya
Trombofilia atau hiperviskositas
Kehamilan atau nifas
erapi hormon (penting dengan pil kontrasepsi tetapi lebih ringan dengan HRT lihat
kemudian)
Obesitas
Keganasan
Gagal jantung
Imobilitas
Usia meningkat (penting pada usia > 40 tahun)
Penggunaan turniket tungkai selama pembedahan
Penyakit radang usus
Varises (dalam konteks bedah abdomen atau pelvis mayor).

GEJALA/TANDA
- Laju denyut jantng meningkat
- Nyeri saat bergerak (kaki)
- Pingsan
- Rasa sakit/nyeri
- Kehangatan (kulit)
- Pembengkakan kaki
- Sesak nafas
- Rasa sakit/ nyeri (dada sesak)
- Batuk (berdarah)
- Perubahan warna pada daerah yang terkena
PATOGENESIS
Venous thrombosis atau gumpalan gumpalan darah dalam vena terjadi ketika
seseorang menjadi lumpuh dan otot otot tidak berkontraksi untuk mendorong darah balik ke
jantung. Darah yang tergenang (mandek) ini mulai membentuk gumpalan gumpalan kecil
sepanjang dinding dinding vena. Gumpalan awal ini dapat secara berangsur angsur tumbuh
untuk memacetkan sebagian atau keseluruhan atau merintangi vena dan mencegah darah
kembali ke jantung. Analogi (persamaan) dari proses ini adalah sungai yang menggalir
perlahan. Dengan berjalannya waktu, rumput2 liar dan ganggang mulai berkumpul sepanjang
pinggir2 sungai dimana air mengalir lebih perlahan lagi. Secara berangsur, ketika rumput2
liar mulai tumbuh, mereka mulai menginvasi pusat sungai karena mereka dapat menahan
tekanan dari aliran air yang datang.
Berdasarkan Triad of Virchow, terdapat 3 faktor yang berperan dalam patogenesis
terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan
aliran darah dan perubahan daya beku darah.
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah
merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.
Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis aliran
darah dan hiperkoagulasi
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.
Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah
sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,
melalui
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat Aktifitasi
sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan
dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang
utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti
prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat
mencegah terbentuknya trombin
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan
melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril.
Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang
akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling
melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah
meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah
meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.




TERAPI FARMAKOLOGI TROMBOEMBOLI VENA
1. TERAPI INISIAL
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang
makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan
terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan
terapi inisial dan drug of choice DVT.
Gambar-1. Algoritme diagnosis DVT


HEPARIN
Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen dengan efek yang kompleks dalam
mekanisme antikoagulasi dalam pembuluh darah. Mekanisme kerja heparin sebagai
antikoagulan adalah :
- Menghambat pembentukan trombin dengan cara mengikat Anti Trombin III (AT III)
sehingga membentuk kompleks Heparin-AT III
- Kompleks Heparin-AT III juga akan menghambat Faktor XA dan beberapa faktor
pembekuan darah lainnya
- Heparin dikatakan juga dapat mengikat protein plasma, sel endotel dan makrofag.
Ada 2 jenis Heparin, yaitu :
Unfractionated Heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus
diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan
kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan thrombin.
Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadar
activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan
berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara
1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu
karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel.
Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko
terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan
bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20%
pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin
jika target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0.
Low Molecular Weight heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor
Xa melalui ikatan dengan antitrombin. LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki
beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat
diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali
sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak
menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan.






Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APT

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding
penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat
stroke perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum,
operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada
sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak
dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang
tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver
serta memiliki penyakit penyerta yang berat. LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh
karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH.
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat
sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh
U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua
kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200
IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan
dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux
(Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa
dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi
akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg)
secara subkutan, satu kali perhari.
2. TERAPI JANGKA PANJANG
Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan
dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah
kekambuhan.
Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin
K yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui
hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase. Dosis awal yang diberikan adalah 5
mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target
kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua,
BB rendah dan kondisi malnutrisi .
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala
diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya
diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali
perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya
dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal.
Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi. LMWH
memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan monitoring INR
sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH
juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada
trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka
lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien
karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal.
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lain
onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak
jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring
ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk
menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai
sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor
Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai
terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding
warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan
antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat
antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping
perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut,
selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin.
DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN
Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan
rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH
kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual
case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi
DVT kurang lebih 5%. Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan pemberian
oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa kejadian
DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang
cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan). Terapi antikoagulan
yang inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik.
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor
resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3
bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan
memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien
dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.




Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi.


TERAPI TROMBOLITIK
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi
vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara
sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada
episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic
syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti
urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi
streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang
lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan
alteplase. Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko
perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi
lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat
meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan.
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding
penggunaan heparin. Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko
tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi
kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6
bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis (Patterson, 2010;
Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni,
resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskular, perdarahan
gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase
otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol
(SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg). CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga
dapat meminimalkan terjadinya komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah. Protokol
tindakan trombolisis dapat dilihat pada tabel 3.
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,
penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada
tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara,
penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan
antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus
melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus. Pemasangan stent endovaskular pada
saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi
yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka
komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh
darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik,
aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus. Aspiration thrombectomy
juga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus
dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali
thrombus.

OBAT-OBAT LAINNYA
Antikoagulan Pengikat Ion Kalsium
Natrium Sitrat dalam darah akan mengikat kalsium menjadi kompleks kalsium sitrat.
Bahan ini banyak digunakan dalam darah untuk transfusi karena tidak toksik. Tetapi
dosis yang terlalu tinggi, umpamanya pada transfusi darah sampai 1.400 mL dapat
menyebabkan depresi jantung.
Morfin
Pemberian morfin dengan kadar 10mg dapat mengurangi dyspnea dan ancietas.


Amniofilin
Pemberian amniofilin dengan kadar 250 500mg berguna bila pasien mengalami
bronkospasme.
Isoproternol
Pemberian ini dilakukan secara perlahan melalui intravena dapat menyokong tekanan
darah sistolik kira-kira 100 mmHg.
Oksitosin
Ditambahkan ke dalam infus intravena yang dapat membantu penanganan atonia
uteri.

TERAPI NON FARMAKOLOGI
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan
dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya
post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2
tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya
PTS. Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam
mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara
luas. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan
mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek. Dapat juga dilakukan embolektomi dan
thromboektomi.

Interaksi Obat
Heparin
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap heparin atau komponen lain dalam sediaan. Semua gangguan
perdarahan atau risiko perdarahan : gangguan koagulasi, hemofilia, trombositopenia, penyakit
hati berat, ulkus peptikum, perdarahan intrakranial, aneurisma serebral, karsinoma visceral,
abortus, retinopati perdarahan hemoroid, tuberculosis aktif, endokarditis.
Efek Samping
Sakit dada, vasospasmus, syok hemoragi, demam, sakit kepala, kedinginan,urtikaria,
alopesia, dysesthesia pedis, purpura, ekzema, nekrosis kutan, plak erithemathosus,
hiperkalemia, hiperlipidemia, mual, muntah, konstipasi, hemorage, ditemukan darah pada
urin, epistaksis, hemoragi adrenal, hemoragi retriperitonial, trombositopenia, peningkatan
enzim SGOT, SGPT, ulserasi, nekrosis kutan yang disebabkan oleh injeksi sub kutan,
neuropati perifer, osteoporosis, konjungtivitis, hemoptisis, hemoragi
pulmonari, asma, artritis, rinitis, bronkospasma, reaksi alergi, reaksi anafilaktik.

Interaksi
- Dengan Obat Lain :
Risiko pendarahan berhubungan dengan heparin dapat ditingkatkan dengan antikoagulan oral
(warfarin), trombolitik, dekstran dan obat yang mempengaruhi fungsi platelet (misalnya
aspirin, obat antiinflamasi non steroid, dipiridamo, tiklopidin, klopidogrel, antagonis
IIb/IIIa.Namun heparin masih digunakan bersamaan dengan terapi trombolitik atau pada awal
terapi dengan warfarin untuk memastikan efek antikoagulan dan melindungi kemungkinan
hiperkoagulasi transien. Nitrogliserin iv mungkin menurunkan efek antikoagulan heparin.
- Dengan Makanan : Hindari teh hijau, bawang putih, ginkgo karena akan menambah
aktivitas antiplatelet.

Dapat mempengaruhi :

- Terhadap Ibu Menyusui : Heparin tidak didistribusi ke dalam air susu
- Terhadap Hasil Laboratorium : Meningkatkan tiroksin (S), meningkatkan prothrombin time
(PT), meningkatkan activated partial thromboplastin time (aPPT)

KUMARIN: (Antagonis Vit K)
Interaksinya
Interaksi : Kumarin Efeknya Berkurang
Antasid
Atropin
Barbihirat/fenobarbital
Kloral hidrat
Glikosida gitalis
Griseofulvin
Haloperidol & neuroleptika
Metilxantin
NNR-steroid
Penghambat ovulasi
Tiourasil
Meprobamat
Preparat Vitamin, yang mengandung vit
Interaksi : Efek Kumarin Meningkat dengan
Asam p-Amino salisilat
Anabolika
Antibiotika spektrum luas
Kinin, kinidin
Kolesteramin
Klofibrat
Dietilstrilbestrol
Isoniasid
Metiltiourasil, propiltiourasil
Morfin dan opiat
Fenotiasin
Fenitoin
Reserpin
As. Asetil salisilat
Tiroksin
Triiodtironin
Warfarin
Meningkatkan efek/toksisitas : Asetaminofen, allopurinol, amiodaron, androgen,
antifungi (imidazol), capecitabin, sefalosporin, simetidin, inhibitor COX-2, inhibitor
CYP2C8/9 (sedang/kuat), disulfiram, etoposida, flukonazol, fluorourasil, glukagon, ;
inhibitor HMG CoA reduktase, ifosfamida, leflunomida,antibiotik makrolida, metronidazol,
obat inflamasi non steroid, orlistat, fenitoin, propafenon, propoksifen, inhibitor pompa proton
(omeperazol), kuinidin, antibiotik kuinolon, ropirinol, salisilat, ;sulfinpirazon, derivat
sulfonamida, derivat tetrasiklin, produk tiroid, tigesiklin, treprostinil, antidepresan trisiklik,
vitamin A, E, voriconazol, zafirlukast dan zilueton. ;
Penurunan efek : ;Aminoglutetimida, agen anti thyroid, aprepitant, azatioprin,
barbiturat, bosentan, karbamazepin, inducer CYP2C8/9 (kuat), dikloksasilin, glutetimida,
griseofulvin, hormon kontrasepsi, merkaptopurin, nafsilin, fitonadion,;derivat rifamisin dan
sulfasalazin.
DAFTAR PUSTAKA

A.price, Sylva. Patofisologi.EGC. Jakarta.2005.
Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent Thrombo-
embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.
Departemen Farmakologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Ginsberg J.S. et al : A Venous Thrombosis. KONAS PHTDI Semrang, September 2001.
Thomas J.H et al : Pathogenesis Diagnosed, and Treatment of Thrombosis. The Am J of
Surgery 160:547-551, 1990.

Anda mungkin juga menyukai