Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2017

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KOAGULOPATI

DISUSUN OLEH:

ANDI AZIZAH NOOR

111 2016 2086

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017
A. DEFINISI
Koagulopati adalah kelainan darah yang menyebabkan darah terlalu cepat
(hiperkoagulabilitas) yang cenderung menyebabkan thrombosis atau terlalu lambat
mengalami koagulasi (hipokoagulabilitas) yang cenderung menyebabkan
perdarahan. Kondisi ini sangat penting untuk diperhatikan selama perioperatif oleh
dokter anestesi karena sangat berkaitan dengan persiapan preoperasi dan pasca
operasi serta pemilihan teknik anestesi.

B. ETIOLOGI

Kalau dilihat dari etiologinya koagulopati dibagi menjadi koagulopati


didapat (acquired coagulopathy) dan koagulopati congenital (congenital
coagulopathy). Koagulopati didapat bisa terjadi dikarenakan pengobatan
antikoagulan dengan heparin, warfarin atau thrombin inhibitor seperti bivalirudin.
Pemakaian suplemen yang mengandung bawang (garlic), gingko, ginseng juga
bisa menyebabkan koagulopati.

Koagulopati didapat yang tidak berkaitan dengan pengobatan antikoagulan


yang penting diantaranya adalah koagulopati yang berkaitan dengan penyakit hati
kronik, dimana pada kondisi seperti ini bisa terjadi defisiensi semua protein faktor
koagulasi (terutama factor I, II, V, VII, IX, X). Penyakit hati kronik juga
menyebabkan hipertensi porta yang berkaitan dengan varises esophagus dan
splenomegali (dengan trombosit sequestrasi). Vitamin K adalah vitamin yang larut
dalam lemak yang diperlukan dalam pembentukan protein faktor koagulasi yang
dihasilkan dihepar (factor II, VII, IX, dan X). Defisiensi vitamin K disebabkan
karena intake yang buruk dan malabsorbsi, kondisi seperti ini sering muncul
bersamaan dengan penyakit hati kronik terutama sirosis bilier. Koagulopati didapat
bisa juga terjadi pada kasus sepsis yang mengalami DIC (Disseminated
intravascular coagulation), perdarahan yang banyak, pemberian tranfusi yang
massif, kondisi hipotermia dan asidosis. Serta pemakain HESS dengan dosis lebih
dari 20 cc/KgBB. Koagulopati congenital disebabkan adanya kelainan congenital
dari proses koagulasi seperti Hemofilia A ( defisiensi factor VIII) dan hemophilia
B (defisiensi factor IX) yang tidak terlalu sering dijumpai

C. MEKANISME HEMOSTASIS NORMAL


Mekanisme hemostasis dan pembekuan darah melibatkan suatu rangkaian
proses yang cepat. Proses-proses ini mencakup peran dari 4 komponen yakni 1)
pembuluh darah, 2) platelet, dan 3) faktor pembekuan. Proses tersebut secara garis
besar dibagi menjadi empat tahap yakni 1) vasokonstriksi, 2) pembentukan plug
trombosit, 3) pembentukan bekuan darah, dan 4) penguraian bekuan darah.
Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut:
1. Vasokonstriksi
Jika pembuluh darah terpotong, trombosit pada sisi yang rusak melepas
serotonin dan tromboksan A2 (prostaglandin), yang menyebabkan otot polos
dinding pembuluh darah berkonstriksi. Hal ini pada awalnya akan mengurangi
darah yang hilang.

2. Plug trombosit
Trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut
kolagen dinding pembuluh darah yang rusak, membentuk plug trombosit.
Trombosit melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga
mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Jika kerusakan
pembuluh darah sedikit, maka plug trombosit mampu menghentikan
perdarahan. Jika kerusakannya besar, maka plug trombosit dapat mengurangi
perdarahan, sampai proses pembekuan terbentuk.
3. Pembentukan bekuan darah
Mekanisme ekstrinsik pembekuan darah dimulai dari faktor eksternal
pembuluh darah itu sendiri. Tromboplastin (membran lipoprotein) yang
dilepas oleh sel-sel jaringan yang rusak mengaktivasi protrombin (protein
plasma) dengan bantuan ion kalsium membentuk trombin. Trombin mengubah
fibrinogen yang dapat larut, menjadi fibrin yang tidak dapat larut. Benang-
benang fibrin membentuk bekuan, atau jaring-jaring fibrin, yang menangkap
sel darah merah dan trombosit serta menutup aliran darah yang melalui
pembuluh yang rusak.
Mekanisme intrinsik untuk pembekuan darah berlangsung dalam cara
yang lebih sederhana daripada cara yang dijelaskan di atas. Mekanisme ini
melibatkan 13 faktor pembekuan yang hanya ditemukan dalam plasma darah.
Setiap faktor protein (ditunjukkan dengan angka romawi) berada dalam
kondisi tidak aktif; jika salah satu diaktivasi, maka aktivitas enzimatiknya
akan mengkativasi faktor selanjutnya dalam rangkaian, dengan demikan akan
terjadi suatu rangkaian reaksi (cascade of reaction) untuk membentuk bekuan.

Tabel 1. Faktor-faktor pembekuan darah


Faktor No. Nama Asal dan Fungsi
I Fibrinogen Protein plasma yang disintesis dalam hati; diubah
menjadi fibrin.
II Protrombin Protein plasma yang disintesis dalam hati; diubah
menjadi trombin.
III Tromboplastin Lipoprotein yang dilepas jaringan rusak; mengaktivasi
faktor VII untuk pembentukan trombin.
IV Ion kalsium Ion anorganik dalam plasma, didapat dari makanan dan
tulang; diperlukan dalam seluruh tahap pembekuan
darah.
V Proakselerin Protein plasma yang disintesis dalam hati; diperlukan
(faktor labil) untuk mekanisme ekstrinsik dan intrinsik.
VI (Nomor tidak Fungsinya dipercaya sama dengan fungsi faktor V
dipakai lagi)
VII Prokonvertin Protein plasma(globulin) yang disintesis dalam hati;
(sel akselerator diperlukan dalam mekanisme intrinsik.
konversi serum
protrombin)
VIII Faktor Protein plasma (enzim) yang disintesis dalam hati
antihemolitik (memerlukan vitamin K); berfungsi dalam mekanisme
ekstrinsik.
IX Plasma Protein plasma yang disintesis dalam hati (memerlukan
tromboplastin vitamin K); berfungsi dalam mekanisme intrinsik.
(faktor
Christmas)
X Faktor Stuart- Protein plasma yang disintesis dalam hati (memerlukan
Power vitamin K); berfungsi dalam mekanisme ekstrinsik dan
intrinsik.
XI Antesenden Protein plasma yang disintesis dalam hati; berfungsi
tromboplastin dalam mekanisme intrinsik.
plasma
XII Faktor Protein plasma yang disintesis dalam hati; berfungsi
Hageman dalam mekanisme intrinsik
XIII Faktor Protein yang ditemukan dalam plasma dan trombosit;
penstabil hubungan silang filamen-filamen fibrin.
fibrin
Gambar 1. Bentuk Y kaskade koagulasi

Pengaktifan pembentukan bekuan berlangsung melalui dua jalur terpisah,


yang disebut jalur intinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik menjadi aktif apabila
protein plasma berikatan dengan subendotel yang terpajan akibat kerusakan
pembuluh darah. Trombosit dan protein yang disebut faktor von Willebrand
(vWf) berikatan dengan subendotel yang terpajan tersebut, dan trombosit
kemudian mengikat fibrinogen. Jalur ekstrinsik diaktifkan oleh faktor jaringan
(TF atau faktor III) yang merupakan suatu protein yang terikat-membran yang
terpajan pada permukaan sel stelah trauma. Trauma juga mengaktifkan
perubahan faktor VII menjadi VIIa, dan faktor jaringan serta faktor VIIa
membentuk suatu kompleks yang memutuskan faktor X menjadi faktor Xa.
Jalur intrinsik dan ekstrinsik bertemu pada pengaktifan proteolitik faktor X
menjadi Xa. Faktor XII, XI, IX, VII, X, dan trombin adalah protease serin.
Akibatnya trombin memutuskan fibrinogen menjadi fibrin, dan terbentuk
bekuan lunak awal. Faktor XIIIa adalah suatu transglutamanidase. Faktor
VIII dan V adalah kofaktor yang masing-masing membentuk kompleks dengan
permukaan endotel dan faktor Ixa dan Xa. Reaksi yang diberi tanda PL, Ca
berlangsung melalui kofaktor yang terikat ke fosfolipid (PL) di permukaan sel
dalam suatu kompleks koordinasi-Ca2+.
Pembekuan darah terdiri dari suatu urutan atau jenjang reaksi zimogen
diubah menjadi protease dan kofaktor aktif melalui pemutusan satu atau lebih
ikatan peptida mereka. Jenjang pembekuan darah. Pengaktifan pembekuan
darah terjadi melalui jenjang proenzim yang secara berurutan mengaktifkan
satu sama lain melalui pemutusan proteolitik. Misalnya, faktor IXa, yang
merupakan suatu protease serin, mengaktifkan faktor IX, yang juga merupakan
suatu protease serin, dengan memutuskan faktor IX menjadi faktor IXa.
Pengaktifan yang cepat dan percepatan yang sangat besar dari kecepatan
pembentukan bekuan terjadi karena, di setiap tahapan jenjang, 1 molekul enzim
membentuk banyak molekul enzim aktif yang mengkatalisis tahapan jenjang
selanjutnya. Jenjang ini berakhir pada pemutusan protrombin menjadi trombin,
yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan faktor XIII menjadi faktor XIIIa.
Fibrin berkumpul untuk membentuk bekuan lunak, yang kemudian
mengalami ikatan silang oleh faktor XIIIa. Faktor XIIIa adalah
transglutaminidase yang menghasilkan ikatan peptida antara bagian glutamil
dari glutamin pada satu monomer fibrin dan residu lisin pada monomer lainnya.
Jalinan serat fibrin ini menangkap gumpalan trombosit dan sel lain, membentuk
trombus atau bekuan darah yang menyumbat kebocoran jaringan vaskular.
Dalam beberapa langkah kunci dalam jenjang pembekuan darah, protease
terikat ke kompleks yang melekat ke permukaan trombosit yang telah
berkumpul di tempat cedera. Faktor VII, IX, X, dan protrombin memiliki
sebuah ranah dimana 1 atau lebih residu glutamat mengalami karboksilasi
menjadi -karboksilaglutamat. Ca2+ membentuk kompleks koordinasi dengan
fosfolipid membran trombosit yang bermuatan negatif dan -karboksilat faktor
pembekuan darah. Kofaktor protein misalnya faktor jaringan, faktor VIII dan
faktor V terbenam sebagian di membran dan berfungsi sebagai jaring untuk
menyusun kompleks enzim-kofaktor di permukaan trombosit. Misalnya, faktor
VIIIa di membran membentuk kompleks dengan faktor IXa, yang melekat ke
membran melalui khelasi Ca2+.

4. Penguraian bekuan darah


Segera setelah terbentuk, bekuan akan beretraksi (menyusut) akibat kerja
protein kontraktil dalam trombosit. Jaring-jaring fibrin dikontraksi untuk
menarik permukaan yang terpotong agar saling mendekat dan untuk
menyediakan kerangka kerja untuk perbaikan jaringan. Bersamaan dengan
retraksi bekuan, suatu cairan yang disebut serum keluar dari bekuan.
Serumadalah plasma darah tanpa fibrinogen dan tanpa faktor lain yang terlibat
dalam mekanisme pembekuan. Secara detail, penguraian bekuan darah
dijelaskan dalam paragraf selanjutnya.
Apabila bagian jaringan vaskular yang rusak telah diperbaiki, bekuan
darah tidak lagi dibutuhkan dan dilisiskan oleh plasmin, suatu protease serin
yang mampu memutuskan fibrin dalam bekuan darah. Plasmin dibentuk dari
prekusor inaktifnya, plasminogen, oleh aktivator plasminogen jaringan (TPA).
Aktivator plasminogen jaringan mengikat plasminogen dan fibrin, sehingga
plasmin dibebaskan secara langsung pada bekuan.
Faktor VIII, adalah suatu kofaktor protein, atau protein modulator, dan
bukan suatu enzim. Di dalam darah faktor VIII bersirkulasi dalam bentuk
berikatan dengan faktor von wllebrand (vWf). Sewaktu trombin memutuskan
dan mengaktifkan faktor VIII, faktor von Willebrand terlepas dan berikatan
dengan permukaan endotel yang robek tempat faktor ini mengaktifkan agregasi
trombosit. Faktor VIIIa membentuk suatu kompleks dengan faktor IXa dan
Ca2+ -fosfolipid (PL, Ca), yang menempati tempat pembentukan bekuan ke
pembuluh yang cedera. Hemofilia A, atau hemofilia klasik, adalah defisiensi
faktor VIII.

D. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi kelainan hemostasis bisa berupa perdarahan ke dalam kulit atau


jaringan dan juga dapat dengan gejala darah keluar dari tubuh. Perdarahan ke
dalam kulit atau jaringan, dapat terlihat sebagai ptekia, ekimosis, purpura,
hematoma dan hemartrosis. Sedangkan perdarahan yang disertai keluarnya darah
dari tubuh bisa berupa epistaksis, perdarahan gusi, hemoptisi, hematemesis,
melena, hematuri, metroragia.
Ada kalanya kelainan hemostasis primer maupun sekunder tidak
memperlihatkan gejala klinis perdarahan, sehingga sering seorang penderita baru
diketahui mengidap kelainan hemostasis setelah tubuh komplikasi perdarahan
akibat trauma atau suatu tindakan atau setelah suatu pemeriksaan penyaring
hemostasis. Pada umumnya gejala klinik, perdarahan erat hubungannya dengan
jenis dan derajat kelainan uji biologik hemostasis. Misalnya petekie terjadi karena
kelainan trombosit atau pembuluh darah, sedangkan hemtoma terjadi karen faktor
koagulasi.

E. DIAGNOSIS BANDING

Riwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik sangat penting, sebab banyak


kondisi yang berbeda dapat memiliki hasil pemeriksaan laboratorium yang hampir
sama. Sebagai contoh, tahap akhir pada gagal hati dan penyakit intravaskular
diseminata dimana keduanya memiliki gejala trombositopenia dan perubahan yang
hampir sama pada tes koagulasi, namun penanganan dan prognosis keduanya
sangat berbeda. Pemeriksaan apus darah tepi adalah sebuah pemeriksaan yang
penting dalam banyak kasus untuk memastikan rendahnya jumlah dari perhitungan
platelet dan ada atau tidaknya kriteria diagnostik lain seperti perpecahan dari sel
darah merah, kelaianan pada morfologi platelet, atau bukti dari adanya displasia
atau defisiensi hematinik.
Jika penyebab dasarnya sudah dipastikan tidak merespon terhadap agen
terapeutik yang bertujuan untuk memodifikasi respon koagulasi (contoh:
pengobatan dengan antagonis vitamin K, heparinoid, atau penghambat faktor
langsung Xa atau IIa), dokter perlu mengevaluasi perjalanan dari pendarahan
tersebut yang mungkin dapat ditemukan adanya peteki dan pendarahan mukosa
pada kelaianan platelet, kebocoran yang merata pada permukaan yang de-
epitelisasi, dan pendarahan yang cepat dari pembuluh darah besar yang rusak.
Diagnosis laboratorium meliputi pengukuran kadar factor yang sesuai :
factor VIII untuk hemophilia A atau factor IX untuk hemophilia B. karena factor
factor VIII dan IX merupakan bagian jalur intrinsic koagulasi, maka PTT
memanjang, sedangkan PT, yang tidak melalui jalur intrinsic tetap normal. Waktu
perdarahan, pemeriksaan fungsi trombosit biasanya normal, tetapi dapat terjadi
perdarahan, pemeriksaan fungsi trombosit biasanya normal, tetapi dapat terjadi
perdarahan yang lambat karena stabilisasi fibrin yang tidak adekuat. Jumlah
trombosit normal.

F. PENATALAKSANAAN

Prinsip pertama penanganan koagulopati pada perawatan intensif adalah


jangan mengkoreksi hasil abnormal pada pemeriksaan laboratorium dengan
produk darah kecuali jika terdapat adanya masalah pendarahan klinis atau
dibutuhkannya prosedur operasi ataupun keduanya.
Perdarahan hebat
Kurangnya bukti yang baik disebabkan karena digunakannya komponen
darah untuk menangani pendarahan utamanya. Pada beberapa dekade silam, saat
komponen darah diberikan pada pasien perawatan internsif, manfaatnya tidak
pernah dikaji pada uji klinis acak. Belakangan, sudah mulai terdapat pembatasan
penggunaan komponen darah oleh karena kekhawatiran adanya infeksi yang
ditularkan melalui transfusi (HIV, hepatitis, dan varian baru dari penyakit
CreutzfeldtJakob) dan keterbatasan dalam suplai darah.
Tidak terdapat uji klinis acak, uji terkontrol, studi retrospektif dari korban
militer sehingga kemudian dilakukan studi serupa pada korban sipil yang
menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dengan transfusi 1U plasma beku
segar berisi sel darah merah. Hal tersebut telah menyebabkan pemberian yang
lebih awal dari peningkatan jumlah unit dari plasma beku segar. Namun, studi ini
dikritik, terutama untuk kelemahan metodologis yang mencakup bias survival
(contoh: pasien yang tidak bertahan hidup tidak ditransfusi dengan plasma segar
beku) dan heterogenitas antara studi.
Meskipun kurangnya bukti bahwa pendarahan paska operasi dan pendarahan
gastrointestinal atau obstetrik berhubungan dengan perubahan hemostatik yang
terjadi serupa pada koagulopati traumatic akut, penggunaan awal dari transfusi
plasma segar beku dengan sel darah merah yang berasio 1:1 atau 1:2 telah dipakai
luas. Peningkatan dari pemakaian plasma ini bukanlah tidak beresiko karena
terdapat peningkatan cedera paru akut akibat transfusi yang merupakan resiko
terjadinya sindrom gangguan pernafasan akut (acute respiratory distress syndrome
/ ARDS). Sebuah studi pada pasien trauma yang memerlukan sebuah transfusi
yang tidak masif (<10U dari packed red cell dalam 12 jam), pemberian lebih dari
6 Unit plasma beku segar, dibandingan dengan tidak dilakukan transfusi telah
dihubungkan dengan peningkatan faktor 12 pada angka ARDS dan peningkatan
pada faktor 6 pada sindrom kegagalan multiple organ.
Ratio transfusi antara plasma segar beku dengan sel darah merah pada
penanganan pendarahan hebat masih belum diketahui dengan jelas. Pertanyaan ini
masih dievaluasi dalam pragmatis Amerika Utara (North American Pragmatic),
yaitu sebuah studi acak tentang ratio optimal dari platelet dan plasma (uji
klinis.gov number, NCT01545232). Penelitian multisenter acak ini
membandingkan efek dari berbagai ratio dari produk darah yang diberikan pada
pasien trauma yang diperkirakan akan memerlukan transfusi dalam jumlah banyak
(>10U packed red cells dalam 24 jam) yang diperkirkan akan meninggal antara 24
jam hingga 30 hari. Untuk sementara, terdapat perbedaan antara amerika utara dan
Eropa dalam pemakaian komponen darah untuk menunjang hemostasis. Walaupun
di Amerika Utara terdapat peningkatan pemakaian plasma segar beku pada pasien
dengan pendarahan hebat, beberapa praktisi Eropa tidak menggunakan plasma
segar beku karena mereka lebih mengandalkan pemakaian dari konsentrat faktor
pembekuan pada basis dari elastometry rotasional-intervensi terarah dengan
konsentrat kompleks dari prothrombin, faktor XIII dan fibrinogen. Sebaliknya,
praktisi lainnya meyakini bahwa penanganan pada pendarahan hebat harus dimulai
dengan pemberian fibrinogen dengan asam tranexamic, sebuah derivate sintetik
dari asam amino lysine yang berperan sebagai agen anti fibrinolitik dengan
menghambat plasminogen secara kompetitif dengan sel darah merah dan
pemakaian cairan IV sebagai terapi dasar yang diperlukan.
Fibrinogen adalah sebuah molekul pembentuk fibrin yang merupakan ligan
untuk agregasi platelet, dan pada pasien yang mengalami pendarahan hebat, fibrin
sangat dibutuhkan dibandingkan dengan protein hemostatik lainnya. Pada pasien
dengan pendarahan hebat, kebutuhan akan fibrin ini menunjukkan adanya
peningkatan pemakaian, kehilangan, dan pengenceran darah, serta adanya
fibrinogenolysis. Oleh karena itu, walaupun tidak ditemukan adanya bukti-bukti
pada uji acak yang terkontrol, panduan penanganan pada pendarahan traumatic
menjelaskan bahwa tingkat pemicu dari suplemen fibrinogen seharusnya berkisar
antara 1,5 hingga 2,0 g / L dibandingkan dengan 1,0 g/L.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti apakah dengan pemberian
awal suplementasi fibrinogen dan konsentrat dari prothrombin kompleks ataukah
dengan pemakaian dari plasma segar beku yang dapat memberikan perbaikan
klinis pada pasien dengan pendarahan hebat. Uji acak terkontrol yang berikutnya
sebaiknya membahas tentang manfaat dan keamanannya secara keseluruhan,
termasuk tentang angka insiden terjadinya tromboembolism vena yang didapatkan
dari perawatan rumah sakit (hospital-acquired venous thromboembolism).
Penggunaan dari rekombinan faktor VIIa telah terbukti menurunkan angka
pemakaian sel darah merah pada pendarahan tapi tidak menurunkan angka
mortalitas sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Data dari uji placebo
terkontrol menunjukkan bahwa penggunaan dari rekombinan faktor VIIa
meningkatkan resiko terjadinya thrombosis arterial secara signifikan .
Asam tranexamic sebaiknya diberikan pada semua pasien dengan
pendarahan hebat akibat trauma. Rekomendasi ini didukung oleh adanya uji acak
yang terkontrol oleh Clinical Randomization of an Antofibrinolytic in Significant
Hemorrhage (CRASH-2), yang dimana 20,000 pasien trauma dengan pendarahan
atau dengan resiko terjadinya pendarahan hebat diberikan asam tranexamic secara
acak atau placebo. Pasien yang diberikan asam tranexamic dalam 3 jam setelah
terjadinya cedera menunjukkan adanya penurunan angka kematian akibat
pendarahan sebanyak 1/3 dari jumlah total pasiennya. Setelah dilakukan analisis
kedua dari data-data yang ada, investigator dari CRASH-2 merekomendasikan
agar diberikannya asam tranexamic sesegera mungkin setelah terjadinya cedera
karena hal tersebut akan berhenti memberikan manfaat. Tampaknya hal tersebut
berhubungan dengan peningkatan mortalitas jika diberikannya lebih dari 3 jam
setelah cedera terjadi.
Bukti-bukti kuat tentang pemberian asam tranexamic dapat menurunkan
angka kebutuhan dari transfuse darah pada operasi ternyata sudah ada sejak lama,
walaupun efek dari asam tranexamic pada kejadian thromboemboli dan mortalitas
pada pasien-pasien tersebut masih belum pasti.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Hall.2010.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta:EGC.


2. Hartanto, Huriawati(Ed).dkk.2010.Patofisoogi.Jakarta:EGC.
3. Kosasi E.N., A.N. Kosasih.2015.Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Klinik.Tangerang:Karisma
4. Kumar, Robins, Cortran.2010.Buku Ajar Patologi.Jakarta:EGC.
5. Manjoer, Arief(Ed).2012.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta:Fakultas
Kedokteran UI.
6. Saputra, Lyndon(Ed).2014.Kapita Selekta Kedokteran
Klinik.Tangerang:Binapura Aksara.

Anda mungkin juga menyukai