Anda di halaman 1dari 15

Metodologi Penelitian

ANALISA
SPIRAL PENTA ORBIS
Pengaruh Konsumsi Garam terhadap Kejadian
Hipertensi

NAMA : Andi Amalia Yasmin


NIM : C111 14 042
KELAS :B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
Pengaruh Konsumsi Garam terhadap Kejadian Hipertensi
1. Relevansi, Answerable, Spesific
a. Relevansi
Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih mudah meningkat
sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah (Sheps, 2000). Garam
berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini hampir tidak
ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan garam kurang dari 3 gram
sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram perhari, akan
meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2004).
b. Answerable
Penelitian ini dapat dikatakan answerable sebab telah banyak penelitian dan kepustakaan yang
menyajikan materi tentang garam dan hipertensi. Dengan demikian, maka penelitian dapat terjawab.
c. Spesific
Penelitian yang saya lakukan kali ini ada hal yang spesifik, yaitu :
1. Dari berbagai faktor pencetus hipertensi saya memilih konsumsi garam
2. Yang saya teliti merupakan garam yang beryodium

2. Judul
Pengaruh Konsumsi Garam terhadap Kejadian Hipertensi
a. Bagaimana pengaruh konsumsi garam terhadap kejadian hipertensi
b. Dari beberapa faktor determinan penyakit hipertensi, seberapa besar hubungan konsumsi garam
terhadap kejadian hipertensi?

3. Sebab Akibat

Garam Hipertensi

Pengaruh asupan garam (natrium) terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume
plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi
natrium di dalam cairan ekstraseluer meningkat. Untuk menormalkannya, cairan instraseluler ditarik
keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler
tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah. Di samping itu, konsumsi garam dalam jumlah
yang tinggi dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk
mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya adalah
hipertensi (Anggraini dkk, 2008).
Natrium memiliki hubungan yang sebanding dengan timbulnya hipertensi. Semakin banyak jumlah
Natrium di dalam tubuh, maka akan terjadi peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan
darah. Meskipun demikian, reaksi seseorang terhadap jumlah Natrium di dalam tubuh berbeda-
beda.
4. Kerangka Teori

Natrium Retensi Cairan


Garam

Volume Tekanan
Plasma Darah
Curah
Jantung

5. Kerangka Konsep

Garam Hipertensi

Faktor Independen Faktor Dependen

6. Penta Orbis
ORBIS 1 : CONSTRUCT A CONTEPTUAL FRAMEWORK

Hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan kondisi ketika seseorang mengalami kenaikan
tekanan darah baik secara lambat atau mendadak. Diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah
sistol seseorang menetap pada 140 mmHg atau lebih. Nilai tekanan darah yang paling ideal adalah
115/75 mmHg (Agoes , 2011).

Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% penghuni
bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini
kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333
juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia
(Suhadak, 2010).

Menurut WHO dan ISH (International Society of Hypertension)(dalam Nawi dkk, 2006), saat ini
terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap
tahun.7 dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. Berdasarkan
Riskesdas Nasional tahun 2007, hipertensi berada di urutan ketiga penyebab kematian semua umur,
setelah stroke dan TB, dengan proporsi kematian sebesar 6,8%. Adapun prevalensi nasional hipertensi
pada penduduk umur >18 tahun adalah sebesar 31,7% (berdasarkan pengukuran). Prevalensi
hipertensi di Sulawesi Selatan 29,0%, lebih rendah dari angka nasional. Menurut kabupaten,
prevalensi hipertensi tertinggi adalah di Soppeng (40,6%) dan Sidenreng Rappang (23,3%) serta kota
Makassar (23,5%).

Banyak faktor yang berperan untuk terjadinya hipertensi meliputi risiko yang tidak dapat
dikendalikan (mayor) dan faktor risiko yang dapat dikendalikan (minor). Faktor risiko yang tidak
dapat dikendalikan (mayor) seperti keturunan, jenis kelamin, ras dan usia. Sedangkan faktor risiko
yang dapat dikendalikan (minor) yaitu obesitas, kurang olah raga atau aktivitas, merokok, minum
kopi, sensitivitas natrium, kadar kalium rendah, alkoholisme, stress, pekerjaan, pendidikan dan pola
makan (Suhadak, 2010).

Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak
pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari
3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-15 gram perhari,
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya
hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha,
2004).

Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih mudah meningkat
sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah (Sheps, 2000).
Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini
hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan garam kurang
dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram
perhari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2004).

Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan- makanan yang
diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berkebih
atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalan
makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi (Wijayakusuma, 2000).

ORBIS 2: EXPLORE THE DYNAMIC POTENTIAL OF EACH VARIABLE WITHIN


THE CONCEPTUAL FRAMEWORK

1. Hipertensi
A. Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140
mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005).

Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas
normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi
pembuluh darah perifer dan kardiak output (Wexler, 2002)

B. Etiologi
Corwin (2000) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume
sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel
yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi.

Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon
pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai
keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh
penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi (Astawan,2002)
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan
volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau
konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan
aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume
plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume
sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan
sistolik ( Amir,2002)
Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan
rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat
rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada
peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan
demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah
yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan
peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri
mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan
oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi
untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang
melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume
sekuncup.( Hayens, 2003 )

C. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor,
pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah
ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,2001)

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi.
Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh
darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan
renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.
Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan
volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi ( Dekker, 1996
)

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang
pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,
aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa
oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Corwin,2001).

D. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat
pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan
pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala
bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ
yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat
bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan
stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi
(hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma,2000 ).

Crowin (2000: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan
muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina
akibat hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia
karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus,Edema dependen dan pembengkakan
akibat peningkatan tekanan kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala,
keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002).

E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :
Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh
ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya
dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999).
Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi
esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus
hipertensi. (Sheps, 2005).
Berdasarkan bentuk hipertensi,yaitu hipertensi diastolic,campuran,dan sistolik.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti
peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi
campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol.
Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti
peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut. (Gunawan, 2001)

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
a. Tes darah rutin
b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)
c. Kolesteroltotalserum
d. Kolesterol LDL dan HDL serum
e. Trigliserida serum (puasa)
f. Asam urat serum
g. Kreatinin serum
h. Kalium serum
i. Hemoglobin dan hematokrit
j. Urinalisis
k. Elektrokardiogram (Yogiantoro, 2006).

G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes
melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
3. Menghambat laju penyakit ginjal.
Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti penjelasan
dibawah ini.

1. Terapi Non Farmakologis


a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih. Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat
berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting
dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
b. Meningkatkan aktifitas fisik.
Orang yang akt ivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena
itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari
hipertensi.
c. Mengurangi asupan natrium.
Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter.
d. Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol
Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada
setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko
hipertensi.
2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama
jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium
antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau
AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB).

H. Komplikasi
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari
pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis
dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2000).

Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau
bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan
(misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak
sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006).

Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup
oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui
pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan
infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran
listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko
pembentukan bekuan (Corwin, 2000).

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal,
glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron
akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran
glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang,
menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2000).

Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya ke jantung
dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan jaringan lain sering disebut edema.
Cairan didalam paruparu menyebabkan sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki
bengkak atau sering dikatakan edema (Amir, 2002)

Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan
yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke
dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neron-neron disekitarnya kolap dan terjadi
koma serta kematian (Corwin, 2000).

2. Garam
Garam merupakan salah satu komiditi yang difortifikasi dengan yodium dan menjadi salah satu
sumber yodium yang sehari-hari dikonsumsi. Selain itu, dapat juga didefinisikan sebagai suatu
kumpulan senyawa kimia yang bagian utamanya adalah Natrium Klorida (NaCl) dengan zat-zat
pengotor terdiri dari CaSO4, MgSO4, MgCl2 dan lain-lain (Marihati dan Muryati, 2008). Garam
dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu penguapan air laut dengan sinar matahari, penambangan
batuan garam (rock salt) dan dari sumur air garam (brine).

Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum normal adalah 136 sampai
145 mEg / L, Natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut dan
keseimbangan asam basa tubuh serta berperan dalam transfusi saraf dan kontraksi otot (Kaplan,
1999).

Perpindahan air diantara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh kekuatan osmotik.
Osmosis adalah perpindahan air menembus membran semipermiabel ke arah yang mempunyai
konsentrasi partikel tak berdifusinya lebih tinggi. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler dan
kalium dengan zat zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat zat terlarut yang tidak dapat
menembus dan sangat berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran (Kaplan,
1999).

Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi terutama di usus halus.
Mekanisme penngaturan keseimbangan volume pertama tama tergantung pada perubahan volume
sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang
vaskular yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat volume cairan ekstraseluler
umumnya berubah ubah sesuai dengan sirkulasi efektifnya dan berbanding secara proporsional
dengan natrium tubuh total. Natrium diabsorpsi secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke
ginjal, disini natrium disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk
mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang jumlahnya mencapai 90-99 %
dari yang dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormon aldosteron
yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar Na darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk
mengasorpsi Na kembali. Jumlah Na dalam urin tinggi bila konsumsi tinggi dan rendah bila konsumsi
rendah (Kaplan, 1999).

ORBIS 3: CONDUCT THE CORRELATION AND CAUSE EFFECT STUDIES


AMONG THE VARIABLE

Asupan garam dapat menjadi faktor utama dalam meningkatkan tekanan darah. Terdapat bukti- bukti
yang mendukung hubungan sebab akibat antara asupan garam (natrium klorida) dan tekanan darah
pada orang dewasa. Sodium adalah penyebab dari hipertensi esensial, asupan garam yang tinggi akan
menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon natriouretik yang secara tidak langsung akan
meningkatkan tekanan darah. Sodium secara eksperimental menunjukkan kemampuan untuk
menstimulasi mekanisme vasopressor pada susunan saraf pusat.

Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang secara genetik sensitif terhadap natrium, misalnya
seperti: orang Afrika-Amerika, lansia, dan orang hipertensi atau diabetes. Asosiasi jantung Amerika
menganjurkan setiap orang untuk membatasi asupan garam tidak lebih dari 6 gram per hari. Pada
populasi dengan asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih cepat
dengan meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan (Kaplan, 1999).

Hubungan antara retriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum jelas. Namun berdasarkan
studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan tekanan darah ketika asupan garam ditambah (Kaplan,
1999).

Pengaruh asupan garam (natrium) terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume
plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi
natrium di dalam cairan ekstraseluer meningkat. Untuk menormalkannya, cairan instraseluler ditarik
keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler
tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah. Di samping itu, konsumsi garam dalam jumlah
yang tinggi dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk
mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya adalah
hipertensi (Anggraini dkk, 2008).

ORBIS 4: EXPLORE THE SURROUNDING FACTORS

Selain konsumsi garam yang banyak, beberapa faktor dapat menjadi resiko terjadinya Hipertensi:

Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin
tinggi mendapat resiko hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia.
Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh
darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden
penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Julianti, 2005).
Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan
paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur
55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause.

Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi. Dari laporan
sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari
Sumatra Barat menunjukan 18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Di daerah perkotaan Semarang
didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta
didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita (Gunawan, 2001).

Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi hipertensi
cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat
hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi ( Astawan,2002
)

Aktivitas sangat mempengaruhiterjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuan aktvitas akan
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus
bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin
besar tekanan yang dibebankan pada arteri ( Amir, 2002 ).

Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana hubungan
antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat
menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka
kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat
dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota
(Dunitz, 2001).

ORBIS 5: CONFIRM or RE-CONSTRUCT NEW CONSEPTUAL FRAMEWORK

Setelah melakukan analisa berdasarkan tahap-tahap spiral penta orbis hingga orbis ke-empat. Maka
didapatkan bahwa kerangka konsep sebelumnya telah dapat diterima tanpa perlu ditambahkan
kerangka konsep yang baru.

Natrium Retensi Cairan


Garam

Volume Tekanan
Plasma Darah
Curah
Jantung

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2013, A Global Brief on Hypertension. Didownload dari: http://www.who.int.

2. Nadia Irina Darmawan, Eda Surya Darmawan. Analisis Demand dan Supply Konsumsi
Garam Beryodium Tingkat Rumah Tangga. Juni 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional.

3. Cindy Cekti, dkk. 2008. Perbandingan Kejadian dan Faktor Risiko Hipertensi antara
RW 18 Kelurahan Panembahan dan RW 1 Kelurahan Patehan. Volume 24. Berita
Kedokteran Masyarakat.

4. Tobian, Louis. 1979. Dietary Salt (Sodium) and Hypertension. The American Journal
of Clinical Nutrition 32: USA
5. J. Appel, Lawrance. 2009. ASH Position Paper: Dietary Approaches to Lower Blood
Pressure. Vol. 11. The Journal of Clinical Hypertension.

6. Frank M. Sacks. 2001. Effects on BBlood Pressure of Reduced Dietary Sodium and The
Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) Diet. The New England Journal of
Medicine.

7. Empar Lurbe. 2009. Management of high blood pressure in children and adolescents:
recommendations of the European Society of Hypertension. Wolters Kluwer Health.

8. Elvyrah Faisal, dkk. 2012. Faktor Risiko Hipertensi pada Wanita Pekerja dengan Peran
Ganda Kabupaten Bantul Tahun 2011. Vol. 28. Berita Kedokteran Masyarakat.

9. Eva Puspita, dkk. 2014. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi pada Pasien yang Berobat
di Poliklinik Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar. Volume 5. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis.

10. Yufita Yeni, dkk. 2009. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi
pada Wanita Usia Subur di Puskesmas Umbulharjo I Yogyakarta Tahun 2009.

11. Febby Haendra, dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tekanan Darah
Di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan.

12. Izzo, Joseph L., Henry L, Black. 1999. Hypertension Primer 2nd ed: The Essentials of
High Blood Pressure. Pennsylvania: Lippincot Williams & Wilkins

13. Joint National Committee. 1997. The Sixth Report Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure. Bethesda:NIH.

14. Kamso, S. 2000. Nutritional Aspects Of Hypertension In The Indonesia Elderly: A


Community Study In 6 Big Cities. Disertasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.

15. Karyadi et al.2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung Koroner.
Jakarta: Intisari Mediatama.

16. Dhianningtyas, Yunita & Hendrati, Lucia Y. 2006. Risiko Obesitas, kebiasaan
merokok, dan konsumsi garam terhadap kejadian hipertensi pada usia produktif. The
Indonesian Journal of Public Health Vol. 2 No. 3.

17. Hartono A. 2006. Terapi Gizi Dan Diet Edisi 2. Jakarta:EGC

18. Istiqomah, 2010. Kebiasaan Konsumsi Natrium Dan Kalium Sebagai Faktor Risiko
Kejadian Hipertensi Pada Wanita Lanjut.

19. Ibnu, M. 1996. Dasar-Dasar Fisiologi Kardiovaskuler. Jakarta : EGC

20. Kamso, S. 2000. Nutritional Aspects Of Hypertension In The Indonesia Elderly: A


Community Study In 6 Big Cities. Disertasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
21. Nanny, selamiharja. 1999. Hipertensi Terkendali, Strok Tak Terjadi, Dari:
http://indonesia.com/intisari

22. Purniawaty. 2010. Determinan Penyakit Hipertensi Di Provinsi Kalimantan Selatan


Berdasarkan Riskesdas 2007. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Indonesia.

23. Rahajeng, E. 2009. Prevalensi Hipertensi Dan Determinannya. Majalah Kedokteran


Indonesia.

24. Retnowati, Y. 2010. Gambaran Hipertensi Dan Hubungannya Dengan Pola Makan,
Gaya Hidup, Dan Status Gizi Pada Pralansia Dan Lansia Di Posbindu Kelurahan
Bantar Jati Bogor Tahun 2010. Skripsi peminatan gizi kesmas. Fakultas Universitas
Indonesia.

25. Saleh, J, A. 2011.Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Pada Dewasa Pedesaan Di


Kecamatan Rumbia Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2011. Skripsi. Depok: fakultas
kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

26. Saputri, DE. 2010. Hubungan Stress Dengan Hipertensi Pada Penduduk Indonesia
Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas 2007). Tesis. Program Pascasarjana Depok:
Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
th
27. Shils, Maurice E., James A. Olson, 2006. Modern Nutrition in Health and Diseases 8
ed. USA: Williams & Wilkins

28. Siburain, 2004. Gambaran Kejadian Hipertensi Dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Tahun 2001 (Analisis Data Sekunder SKRT 2001). Skripsi peminatan biostatistik dan
Informatika kesehatan. Fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia.

29. Sidabutar dan Prodjosujadi, 1990. Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta : Balai penerbit
FKUI

30. Sinta, A., 2011. Hubungan Asupan Gizi, Konsumsi Suplemen, Aktivitas Fisik, Dan
Riwayat Hipertensi Dengan Hipertensi Pada Orang Dewasa Vegetarian Di Pusdiklat
Buddhis Maithreyawira Jakarta Barat Tahun 2011. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.

31. Soeparman dkk. 1999. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai penerbit FK UI. Jakarta

32. Tanjung, N. D. 2009. Hubungan Antara Gaya Hidup, Asupan Zat Gizi, Pola Minum
Dan Indeks Masa Tubuh Dengan Hipertensi Pada Pralansia Di Posbindu Kelurahan
Rangkepan Jaya Depok Tahun 2009. Skripsi peminatan Gizi kesehatan
masyarakat.Fakultas kesehatan masyarakat. Universitas Indonesia.

33. Utoyo.1996. Dalam Suryati, Atih 2005. faktor-faktor yang berhubungan dengan
terjadinya hipertensi essential di rumah sakit islam jakarta tahun 2005. Journal
Kedokteran dan Kesehatan. Vol.1 No.2.
34. Yuliarti. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Usia Lanjut
Di Posbindu Kota Bogor Tahun 2007. Tesis peminatan gizi Kesehatan masyarakat.
Fakultas kesehatan masyarakat universitas Indonesia.

35. U.S. Department of Health and Human Services. 2003, The Seventh Report of The Joint
National Comittee (JNC) on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. NIH Publication. Didownload dari: http://www.nhlbi.nih.gov

36. WHO. 2005, Chronic Disease and Their Common Risk Factors. Didownload dari:
http://www.who.int.

37. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta. Didownload dari:
http://labdata.litbang.depkes.go.id

38. Mannan, Hasrin, Wahiduddin dan Rismayanti. 2012. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi
Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012. [Artikel
Penelitian]. Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar. Didownload dari: http://repository.unhas.ac.id

39. Marini et.al. 2013, Gambaran Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi pada Penderita
Hipertensi Rawat Jalan di Poli Penyakit Dalam. Didownload dari: http://online-
journal.unja.ac.id

40. Nugraheni, S.A., Meilina Suryandari dan Ronny Aruben. 2008, Pengendalian Faktor
Determinan sebagai Upaya Penatalaksanaan Hipertensi di Tingkat Puskesmas, Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, vol. 11, no. 04, pp. 185-191. Didownload dari:
http://journal.ugm.ac.id

41. Apriany, Rista Emiria. 2012. Asupan Protein, Lemak Jenuh, Natrium, Serat dan IMT
Terkait dengan Tekanan Darah Pasien Hipertensi di RSUD Tugurejo Semarang.
[Artikel Penelitian]. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, Semarang. Didownload dari: http://eprints.undip.ac.id

42. Kapriana, Martalina Tri. 2012. Asupan Tinggi Lemak dan Aktivitas Olahraga Sebagai
Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi Obesitik pada Remaja Awal, [Artikel Penelitian].
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Didownload dari: http://eprints.undip.ac.id

43. Martiani, Ayu. 2012. Faktor Risiko Hipertensi Ditinjau dari Kebiasaan Minum Kopi.
[Artikel Penelitian]. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, Semarang. Didownload dari: http://eprints.undip.ac.id

44. Yudiastuti, Ari. 2008. Gizi dan Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.

45. Jannah, Mifthahul et.al. 2013. Perbedaan Asupan Natrium dan Kalium pada Penderita
Hipertensi dan Normotensi Masyarakat Etnik Minangkabau di Kota Padang, Jurnal
Kesehatan Andalas No. 2, vol. 3. Didownload dari: http://jurnal.fk.unand.ac.id
46. Almatsier, Sunita. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

47. Beck, Mary E. 2000. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk
Perawat & Dokter. Yayasan Essentia Medica (YEM), Yogyakarta.

48. Wardlaw, Gordon M. et.al. 2004. Perspectives in Nutrition, Sixth Edition. McGraw-
Hill, New York.

49. Martati Siringoringo, dkk. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi
Pada Lansia Di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013. Jurnal Fakultas
Kesehatan Masyarakat USU.

50. Feng J. He et al. 2011. Nutrition in Cardiovascular disease: salt in hypertension and
heart failure. European Heart Journal.

Anda mungkin juga menyukai