PENDAHULUAN
I. Pendahuluan
Pityriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
tetapi menurut teori ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah virus
herpes tipe 7, dimulai dengan sebuah lesi herald-patch berbentuk eritema dan
skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan
dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh
dalam waktu 6 minggu (McGraw, 2007).
Istilah pityriasis rosea pertama kali dideskripsikan oleh Robert Willan pada
tahun 1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada tahun 1860, Gilbert
memberi nama Pityriasis rosea yang berarti skuama berwarna merah muda (rosea)
(Sterling, 2004).
Pityriasis rosea memiliki tempat predileksi yaitu bagian tubuh yang
tertutup pakaian, leher dan dagu. Apabila didapatkan pada bagian tubuh terbuka
maka disebut dengan pityriasis rosea inversa (Murtiastutik, 2009). Pityriasis rosea
didapati pada usia antara 10 tahun hingga 43 tahun, tetapi pityriasis rosea juga
pernah ditemukan pada infants dan orang tua (McGraw, 2007).
Diagnosis pityriasis rosea dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
memastikan diagnosis apabila sulit menegakkan diagnosis pityriasis rosea.
Biasanya pityriasis rosea didahului dengan gejala prodromal (lemas, mual, tidak
nafsu akan, demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe), lalu setelah itu
muncul gatal dan lesi dikulit (Lichenstein, 2010).
V. Patofisiologi
Terjadinya pityriasis rosea masih dalam perdebatan, Watanabe et al telah
membuktikan kepercayaan yang sudah lama ada bahwa pityriasis rosea
merupakan
kelainan
kulit
yang
disebabkan
oleh
virus.
Mereka
Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu kemudian akan timbul lesi
sekunder generalisata. Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri
dari lesi dengan bentuk yang sama dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil
(diameter 0,5-1,5 cm) dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan
sejajar dengan costae sehingga memberikan gambaran Christmas tree. Lesi lain
berupa papul-papul kecil berwarna merah yang tidak berdistribusi sejajar dengan
garis kulit dan jumlah bertambah sesuai dengan derajat inflamasi dan tersebar
perifer. Kedua lesi ini timbul secara bersamaan (Blauvelt, 2008).
Gambar 1.5 Diagram Skematik Plak Primer (herald patch) dan distribusi tipikal
plak sekunder sepanjang garis kulit pada trunkus dalam susunan Christmas tree
(Sterling, 2004).
VII. Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa
Penderita datang dengan keluhan gatal sekujur tubuh. Terdapat Heraldpatch sebagai lesi yang pertama. Terdapat juga makula bulat lonjong, pada
beberapa makula terdapat tepi yang meninggi. Beberapa pasien mengeluh demam,
malaise dan nafsu makan berkurang (Murtiastutik, 2009).
b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan dapat berupa makula eritematosa berbentuk bulat lonjong, tepi
meninggi dan lekat pada tepi. Terdapat Herald-patch sebagai lesi pertama. Tempat
predileksi adalah bagian tubuh yang tertutup pakaian, leher dagu, tetapi ada juga
yang dibagian tubuh yang terbuka disebut pityriasis rosea inversa (Murtiastutik,
2009).
7
c. Pemeriksaan Penunjang
Umumnya untuk menegakkan diagnosis pityriasis rosea tidak dibutuhkan
pemeriksaan penunjang, tetapi terkadang kita perlu pemeriksaan penunjang untuk
pityriasis rosea dengan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis pityriasis rosea dengan gejala atipikal. Pada lapisan
epidermis ditemukan adanya parakeratosis fokal, hiperplasia, spongiosis fokal,
eksositosis limfosit, akantosis ringan dan menghilang atau menipisnya lapisan
granuler. Sedangkan pada dermis ditemukan adanya ekstravasasi eritrosit serta
beberapa monosit (McGraw, 2007).
Gambar 1.6 Gambar histologik non spesifik tipikal dari pityriasis rosea,
menunjukkan parakeratosis, hilangnya lapisan granular, akantosis ringan,
spongiosis dan infiltrat limfohistiosit pada dermis superficial (McGraw, 2007).
lebih
sering
muncul
disebut
makula
sifilitika.
(Zawar, 2010).
Sistemik
Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa
gatal. Untuk gejala yang berat dengan serangan akut dapat diberikan
kortikosteroid sistemik (Murtiastutik, 2009). Penggunaan eritromisin
masih diperdebatkan. Eritromisin oral pernah dilaporkan cukup berhasil
pada penderita pityriasis rosea yang diberikan selama 2 minggu
(Sterling, 2004). Dari suatu penelitian menyebutkan bahwa 73% dari 90
penderita pityriasis rosea yang mendapat eritromisin oral mengalami
10
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Penderita
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Suku Bangsa
Alamat
Tanggal Periksa
No. RM
: An. MA
: 14 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Pelajar
: Jawa
: Sumobito
: 22 Juni 2015
: 27 52 92
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Gatal pada sekujur tubuh.
lupa nama obatnya dan keluhan tetap. Orang tua pasien juga mengeluhkan
bahwa sebelumnya ada demam dan nafsu makan menurun.
Riwayat Psikososial
-
Keadaan umum
Kesadaraan
Vital sign
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
Ekstermitas
:
:
:
:
:
:
:
:
Baik
Compos Mentis
Dalam Batas Normal
Dalam Batas Normal
Dalam Batas Normal
Dijabarkan dalam Status Dermatologis
Dijabarkan dalam Status Dermatologis
Dalam Batas Normal
Status Dermatologi
Pada regio thorax, abdomen dan punggung tampak makula eritematosa,
batas jelas, bentuk oval dan pada beberapa macula tepinya meninggi, skuama (-).
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
12
2.5 Resume
Anak laki-laki usia 14 tahun mengeluh gatal-gatal pada sekujur tubuh,
gatal-gatal semenjak 1 minggu yang lalu, gatal kumat-kumatan, sudah diberi obat
minum dan salep, tidak ada perubahan. Pada effloresensi didapatkan makula
eritematosa, batas jelas, bentuk oval dan pada beberapa makula tepinya meninggi,
skuama (-). Keluarga pasien mengeluh nafsu makan pasien menurun dan
sebelumnya ada demam.
2.6 Diagnosis
Pityriasis Rosea
2.7 Diagnosis Banding
2.8 Planning
2.9 Prognosis
Prognosis baik karena penyakit pityriasis rosea sembuh spontan biasanya
dalam waktu antara 4-10 minggu.
13
FOTO KASUS
14
BAB III
PEMBAHASAN
Anak laki-laki usia 14 tahun mengeluh gatal-gatal pada sekujur tubuh,
gatal-gatal semenjak 1 minggu yang lalu, gatal kumat-kumatan, sudah diberi obat
minum dan salep, tidak ada perubahan. Pada effloresensi didapatkan makula
eritematosa, batas jelas, bentuk oval dan pada beberapa makula tepinya meninggi,
skuama (-). Keluarga pasien mengeluh nafsu makan pasien menurun dan
sebelumnya ada demam. Pada pemeriksaan fisik status generalis dalam batas
normal. Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dapat didiagnosis sebagai pityriasis
rosea. Pityriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
tetapi menurut teori ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah virus
herpes tipe 7, dimulai dengan sebuah lesi herald-patch berbentuk eritema dan
skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan
dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh
dalam waktu 6 minggu (McGraw, 2007).
Berdasarkan epidemiologinya pityriasis rosea terjadi pada usia 10-43
tahun, tetapi didapatkan sedikit peningkatan insiden pityriasis rosea pada pasien
yang sedang menurun imunitasnya, seperti ibu hamil dan penderita transplantasi
sumsum tulang (Permata, 2011). Pada laki-laki dan perempuan sama banyaknya
terinfeksi pityriasis rosea (Djuanda, 2009). Pada kasus ini pasien laki-laki berumur
14 tahun sehingga sesuai dengan epidemiologi pada pityriasis rosea. Menurut
15
McGrow-Hill Companies tahun 2007, insiden pityriasis lebih banyak terjadi pada
saat musim semi dan musim gugur. Hal ini kurang sesuai dengan iklim indonesia
yang cenderung beriklim tropis dan tidak memiliki musim semi atau musim
gugur.
Pada pasien tersebut didapatkan keluhannya terdapat pada daerah dada,
punggung dan perut. Pada pityriasis rosea tempat predileksinya adalah daerah
yang tertutup oleh pakaian (dada, perut dan punggung), leher dan dagu
(Murtiastutik, 2009). Pada pasien ini terjadi penurunan nafsu makan yang akan
secara otomatis berpengaruh terhadap kondisi imunitasnya, karena imunitas yang
menurun merupakan faktor resiko terjadinya pityriasis rosea (Permata, 2011).
Pada pasien diberikan terapi sistemik dengan cetirizine 10 mg yang
memiliki mekanisme kerja sebagai antihistamin untuk mengurangi keluhan gatal
pada pasien. Cetirizine diminum 1 kali sehari selama 10 hari. Selain itu pada
pasien diberikan pula dexamethasone 0,5 mg. Dexamethasone merupakan anti
inflamasi sebagai reaksi akut dan gejala yang berat. Salep atau krim mometasone
furoate 0,1 % diberikan pula untuk mengurangi rasa gatal (Blauvelt, 2008).
Pada pityriasis rosea pengobatan bersifat simtomatik karena penyakit ini
dapat sembuh secara spontan selama 4-10 minggu dan kekambuhan jarang terjadi.
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik karena bersifat self limited
disease.
Diagnosis Banding
Diagnosis
Banding
Pityriasis
Rosea
Sifilis
Sekunder
16
Tinea
Korporis
Dermatitis
Numularis
Definisi
Epidemiologi
Penyakit
Penyakit yang
kulit yang
disebabkan
belum
oleh
diketahui
Treponema
penyebabnya,
pallidum,
tetapi
merupakan
menurut teori
lanjutan dari
ada yang
sifilis primer
mengatakan
yang timbul
bahwa
setelah 6 bulan
penyebabnya
timbulnya
adalah virus chancre. Gejala
herpes tipe 7,
klinisnya
dimulai
berupa lesi
dengan
kulit dan lesi
sebuah lesi
mukosa. Lesi
herald-patch
kulitnya non
berbentuk
purpura,
eritema dan
makula, papul,
skuama
pustul atau
halus.
kombinasi,
Kemudian
walaupun
disusul oleh
umumnya
lesi-lesi yang makulopapular
lebih kecil di
lebih sering
badan, lengan
muncul
dan paha atas
yang tersusun
sesuai
dengan
lipatan kulit
Terjadi pada
Insiden di
usia 10-43
Indonesia
tahun
sekitar 0,61%
Lesi kulit
yang
disebabkan
oleh
dermatofit
Trichophyton
rubrum pada
daerah muka,
tangan,
trunkus atau
ekstremitas.
Gejala
klinisnya
adalah gatal,
eritema yang
berbentuk
cincin dengan
pinggir
berskuama
dan
penyembuhan
di bagian
tengah
Dermatitis
yang
umumnya
terjadi pada
dewasa yang
ditandai
dengan plak
berbatas
tegas yang
berbentuk
koin
(numuler)
dan dapat
ditutupi oleh
krusta. Kulit
sekitarnya
normal.
Predileksiny
a di
ekstensor
Terjadi pada
usia 18-25
tahun dan 4050 tahun
Sering terjadi
pada pria,
usia antara
55-65, pada
wanita usia
15-25 tahun
Diduga
staphylococc
us dan
micrococcus
Terdapat
Etiologi
HHV 7 &
HHV 6
Treponema
pallidum
Trichophyton
rubrum
Gejala
Gejala
Anoreksia,
Gatal
17
Klinis
prodormal
(malaise, loss
of appetite,
febris), gatal.
turunnya berat
badan, malaise,
nyeri kepala,
demam tidak
terlalu tinggi
dan atralgia
Pemeriksaan
Kulit
Heraldpatch,
makula bulat
lonjong, tepi
meninggi,
sumbu
panjang
sejajar
pelipatan
kulit
Roseolae
syphilitica,
papulo sirsiner,
korona veneris,
lesi pada mulut
(mucous
patch), snail
track ulcer, lesi
dikepala
rambut,
limfadenopati,
primary
chancre
(makula eritem
yang
berkembang
menjadi papul
dan pecah
sehingga
mengalami
ulserasi di
tengah)
Gambar
18
Eritema yang
berbentuk
cincin dengan
pinggir
berskuama
dan
penyembuhan
di bagian
tengah
papul,
makula dan
vesikula lalu
bergabung
membentuk
seperti mata
uang
Ditandai
dengan plak
berbatas
tegas yang
berbentuk
koin
(numuler)
dan dapat
ditutupi oleh
krusta. Kulit
sekitarnya
normal
BAB IV
KESIMPULAN
Pityriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
tetapi menurut teori ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah virus
herpes tipe 7, dimulai dengan sebuah lesi herald-patch berbentuk eritema dan
skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan
dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh
dalam waktu 6 minggu. Predileksi pityriasis rosea adalah bagian yang tertutup
pakaian, leher-dagu, tetapi apabila didapatkan pada bagian tubuh terbuka disebut
pityriasis rosea inversa. Pityriasis rosea terjadi pada usia antara 10 tahun hingga
43 tahun, tetapi pityriasis rosea juga pernah ditemukan pada infants dan orang tua.
Pityriasis rosea sering ditemukan pada saat musim semi dan musim gugur.
19
DAFTAR PUSTAKA
Blauvelt, Andrew. Pityriasis Rosea In: Dermatology in General Medicine
Fitzpatricks. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008; 362.
Broccolo F, Drago F, Careddu AM, et al. Additional evidence that pityriasis rosea
is associated with reactivation of human herpesvirus-6 and -7. J Invest
Dermatol. 2005; 124:1234-1240.
Djuanda Adhi. Pityriasis Rosea. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. hal 197.
James, William D., Timothy G.B, Dirk M.E. Pityriasis Rosea. In: James WD
Berger TG, Eston DM. Andrews diseases of the skin, 10th ed. WB Saunders
Company, Canada.2006; 207-216.
Lichenstein, A. Pityriasis Rosea. Diunduh dari www. Emedicine.com pada
tanggal 29 Juli 2015.
McGraw-Hill Companies. 2007. Pityriasis Rosea In: Fitzpatrick Dermatology
Atlas.
McPhee, S J, Maxine A P. 2009. Current Medical Diagnosis and Treatment forty
eighth edition. Mc Graw Hill Companies:USA.
20
Murtiastutik Dwi, dkk. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-2 Cetakan
kedua. Surabaya: Dep/SMF Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSUD
dr.Soetomo. 2009. Hal 138.
Permata, Iva. 2011. Pityriasis Rosea. Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanegara.
Sterling, J.C. Viral Infections. In : Rooks textbook of dermatology.7th ed.
2004. 25.79-82.
Zawar, Vijay. 2010. Giant Pityriasis Rosea. Indian Journal Dermatology. AprlJun; 55(2): 192194.
21