Anda di halaman 1dari 9

UREMIA

1. Definisi
Urea dibentuk di dalam hati dari metabolisme protein (asam amino). Senyawa
tersebut berasal terutama dari penguaraian protein yang berasal dari pakan. Pada individu
yang mempunyai asupan protein tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar urea
dalam darah di atas rentang normal. Urea dapat berdifusi bebas masuk ke dalam cairan
intrasel dan ekstrasel. Senyawa ini kemudian akan mengalami pemekatan di urin untuk
diekskresikan. Kadar urea dalam darah mencerminkan keseimbangan antara produksi dan
ekskresi urea. Rendahnya kadar urea dalam darah pada umumnya tidak dianggap suatu
kelainan karena dapat merupakan tanda rendahnya kadar protein dalam pakan. Namun,
apabila kadar urea darah sangat rendah, hal ini dapat mengindikasikan penyakit hati
berat. Kadar urea dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur walaupun tanpa
terjadi penyakit ginjal.
Kadar urea dalam tubuh berkaitan dengan protein (katabolisme protein). Protein
yang berasala dari pakan akan mengalami perombakan di saluran pencernaan
(duodenum) menjadi molekul sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil
perombakan protein juga menghsilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N),
yaitu amonia (NH3). Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan protein
yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai komponen pembangun. Sedangkan amonia
merupakan senyawa toksik yang bersifat basa (bersifat kaustik) dan akan mengalami
proses detoksifikasi di hati menjadi senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus
urea. Selain itu, urea juga disintesis di hati melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi
asam amino. Pada siklus urea, kelompok asam amino (amonia dan L-aspartat) akan
diubah menjadi urea. Produksi urea di hati diatur oleh N-acetylglutamate. Urea kemudian
mempunyai sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal sebagai
komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.
Menurut West (1979), urea atau carbamide merupakan senyawa kristalin dengan
rumus kimia CO(NH2)2 yang sangat solubel atau mudah larut dalam air dan alkohol. Urea
merupakan senyawa sisa metabolisme yang dibuang melalui urine. Urea dibentuk di hati

dan dibawa melalui darah ke ginjal. Jumlah urea yang diekskresikan bervariasi sesuai
dengan jumlah urea dalam darah. Urea akan diubah secara cepat menjadi amonium
karbonat setelah ekskresi dan ketika berkontak dengan udara dan mikroorganisme.
Peningkatan kadar urea disebut dengan uremia. Penyebab dari uremia dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu prerenal, renal, dan postrenal. Uremia prerenal disebabkan oleh
gagalnya mekanisme sebelum filtrasi glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi
penurunan aliran darah ke ginjal (shock, dehidrasi, dan kehilangan darah) dan
peningkatan katabolisme protein. Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (gagal ginjal
kronis/chronic renal failure atau juga pada kejadian gagal ginjal akut/acute renal
failure apabila fungsi ginjal menurun dengan cepat) yang dapat menyebabkan gangguan
ekskresi urea sehingga urea akan tertahan di dalam darah, hal ini akan menyebabkan
intoksikasi oleh urea dalam konsentrasi tinggi yang disebut dengan uremia. Sedangkan
uremia postrenal terjadi oleh obstruksi saluran urinari di bawah ureter (vesica urinaria
atau urethra) yang dapat menghambat ekskresi urin. Obstruksi tersebut dapat berupa
batu/kristaluria, tumor, serta peradangan.
Selain itu, beberapa jenis obat-obatan juga dapat mempengaruhi peningkatan urea
dan penurunan urea dalam darah. Obat yang dapat meningkatkan kadar urea darah adalah
obat nefrotoksik, diuretikum (hidroklortiazid, asam etakrinat, furosemid, dan triamteren),
antibiotik (basitrasin, sefaloridin pada dosis besar, gentamisin, kanamisin, kloramfenikol,
metisilin, neomisin, dan vankomisin), obat antihipertensi (metildopa dan guanetidin),
sulfonamide, propanolol, morfin, litium karbonat, serta salisilat. Sedangkan jenis obat
yang dapat menurunkan kadar urea dalam darah adalah fenotiazin.
Ureum sebenarnya adalah zat yang tidak toksik, tetapi apabila konsentrasinya
sangat tinggi akan menimbulkan bekuan ureum dan menimbulkan bau nafas yang
mengandung amonia (NH3). Kadar ureum yang berlebihan akan diubah oleh bakteri
menjadi amonia, dan senyawa ini merupakan senyawa toksik bagi tubuh daripada ureum.
Efek ureum yang tinggi dalam darah (uremia) adalah terhadap trombosit, trombosit tidak
dapat lagi membentuk bekuan sehingga tidak terjadi agregasi trombosit. Akibatnya akan
timbul perdarahan dari hidung, diare berdarah, atau bisa juga perdarahan di bawah kulit.
Penyebab perdarahan adalah trombopatia uremika.

Menurut Vanholder dan Smet (1999), sindrom uremik merupakan penurunan


fungsi biokimia dan fisiologis yang berkaitan dengan gagal jantung. Kondisi ini akan
menyebabkan penurunan daya pembersihan ureum oleh ginjal sehingga menyebabkan
retensi ureum. Retensi atau tertahannya ureum tersebut dapat menyebabkan perubahan
terhadap fungsi biokimia dan fisiologis. Beberapa komponen yang terdapat ketika terjadi
retensi ureum adalah senyawa inorganik, urea, oxalic acid, hormon paratiroid (PTH), dan
2-microglobulin yang berperan sebagai toksin uremik.

Lesio yang ditemukan pada uremia adalah :


a. Oedema pulmonum
Oedema pulmonum merupakan salah satu lesio dari uremia renal. Ginjal yang rusak
menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, sehingga akan merangsang apparatus
juxtaglomerular mensekresikan renin. Renin yang beredar sistemik di dalam pembuluh darah
akan mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensinogen, menjadi angiotensin I dan
kemudian berubah menjadi Angiotensin II. Angiotensin II ini akan menyebabkan vasokonstriksi
buluh darah. Akibatnya tekanan darah arteri meningkat dan beban jantung akan meningkat pula.
Kondisi tersebut menyebabkan jantung mengalami kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertrofi ini menyebabkan lumen ventrikel kiri menjadi sempit sehingga volume darah yang
dipompa menjadi lebih sedikit dari seharusnya. Keadaan ini dapat menyebabkan pembendungan
darah di paru-paru dan apabila terjadi secara terus-menerus dan berlebihan, maka terjadi udema
pulmonum karena terjadi peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru.
b. Ulkus pada mukosa
Ulkus pada mukosa merupakan salah satu lesio dari uremia baik prerenal, renal, ataupu
postrenal. Ulkus terjadi apabila tubuh mengalami asidosis yang akan mengiritasi mukosa.
Asidosis ini disebabkan oleh gangguan ekskresi ion H + pada gagal ginjal. Menurut Carlton dan
McGavin (1995), mekanisme perusakan pertahanan mukosa diawali dari difusi ion-ion hidrogen.
Ulkus biasanya terjadi pada mukosa organ pencernaan (stomatitis ulcerativa et hemorrhagica dan
gastritis ulcerativa et hemorrhagica), urogenital, dan respirasi. Stomatitis dan gastritis ulcerativa

et hemorrhagica disebabkan oleh nekrosa yang terjadi akibat dari ureum yang beredar di dalam
sirkulasi (uremia/ureum yang tinggi akan diubah menjadi amonia oleh bakteri atau berkontak
dengan udara sehingga lebih toksik terhadap vaskula), serta disebabkan oleh trombopatia
uremika, yang merupakan efek ureum yang tinggi dalam darah terhadap trombosit sehingga
trombosit tidak dapat lagi membentuk bekuan/trombosis, sehingga tidak terjadi agregasi
trombosit, dan akan mengakibatkan terjadinya perdarahan).
Menurut Vanholder dan Smet (1999), banyaknya senyawa yang ikut tertahan ketika
terjadi sindrom uremik yang bersifat toksik dapat memasuki intestinal dan akan menyebabkan
perubahan komposisi flora normal usus atau perubahan absorpsi nutrisi di usus, sehingga hal ini
akan menyebabkan perubahan konsentrasi serum.
c. Kelainan pada sistem kardiovaskuler
Kelainan pada sistem kardiovaskuler meliputi perikarditis, efusi perikarditis, deposisi
kalsium dan fosfat, serta tekanan oleh uremia terhadap kontarktilitas myokard. Kondisi ini
biasanya berkaitan dengan gagal ginjal kronis. Selain itu, lesio akibat uremia pada sistem
kardiovaskuler adalah hipertrofi pada ventrikel kiri yang berkaitan dengan penebalan dinding
ventrikel, kekakuan arteri, atherosklerosis, dan kalsifikasi arteri koronaria. Keadaan ini akan
memicu terjadinya gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif adalah suatu sindroma yang
disebabkan oleh berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh,
disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena.
Menurut Amann dan Ritz (1997), pada keadaan uremia kronis akan terlihat
abnormalitis yang terjadi pada jantung, yang meliputi hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis
myocardial interstisialis, penurunan perfusi myocardial, abnormalitas metabolisme myocardial.
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi oleh adanya hipertensi karena gagal ginjal. Ginjal yang rusak
menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, sehingga akan merangsang apparatus
juxtaglomerular mensekresikan renin. Renin yang beredar sistemik di dalam pembuluh darah
akan mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensinogen, menjadi angiotensin I dan
kemudian berubah menjadi Angiotensin II. Angiotensin II ini akan menyebabkan vasokonstriksi
buluh darah dan akan menyebabkan hipertensi yang dapat meningkatkan kerja jantung kiri
(ventrikel kiri).

d. Mineralisasi jaringan lunak


Kondisi ini disebabkan oleh perubahan metabolisme kalsium-fosfor (mekanisme ion) pada
ginjal. Fungsi glomerulus menurun pada gagal ginjal, terjadi retensi fosfat sehingga kadar
kalsium darah menurun, pengaktifan vitamin D3 di ginjal terganggu, vitamin D3 yang diperlukan
usus untuk absorbsi kalsium sehingga terjadi hipokalsemia. Keadaan hipokalsemia akan
merangsang kelenjar hiperparatiroid untuk mensekresi PTH yang berperan dalam meresorpsi
kalsium dari tulang dan memfasilitasi penyerapan kalsium di usus. Hal ini terjadi untuk
mempertahankan kalsium plasma dalam batas normal. Namun, dalam kondisi ini terjadi resorpsi
kalsium yang berlebihan sehingga kalsium akan dideposisi di jaringan lunak, misalnya paru-paru
(mineralisasi metastatik).
Menurut Vanholder dan smet (1999), beberapa senyawa yang terdapat pada kejaian
sindrom uremik dapat mengganggu fungsi biokimia tubuh, yaitu pengaktifan reseptor PTH yang
akan merespon terhadap 1,25(OH)2 vitamin D3. Pengaktifan reseptor PTH terhadap
1,25(OH)2 vitamin D3 akan memfasilitasi absorpsi kalsium sehingga plasma kalsium akan
mengalami peningkatan, dalam kondisi ini terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan kalsium
ke plasma darah dengan penggunaan kalsium, sehingga kalsium plasma yang tinggi akan
mengalami deposisi di jaringan lunak.
e. Hiperplasia paratiroid
Kondisi ini mengikuti kejadian berkurangnya plasma kalsium (gangguan metabolisme
kalsium-fosfor) pada kondisi gagal ginjal sehingga terjadi peningkatan kerja kelenjar paratiroid
untuk meresorpsi kalsium dari tulang.
f. Osteodistrofi fibrosa
Terjadi akibat perubahan metabolisme kalsium-fosfor (mekanisme ion) pada ginjal.
Fungsi glomerulus menurun, terjadi retensi fosfat sehingga kadar kalsium darah menurun,
pengaktifan vitamin D3 di ginjal terganggu, vitamin D3 yang diperlukan usus untuk absorbsi
kalsium sehingga terjadi hipokalsemia. Keadaan hipokalsemia akan menginisiasi kelenjar
paratiroid menghasilkan PTH yang berperan dalam meresorpsi kalsium dari tulang sehingga
jaringan tulang akan digantikan oleh jaringan ikat fibrosa.

g. Uremic encephalopathy
Menurut Lohr (2009), uremic encephalopathy adalah gangguan otak yang disebabkan
oleh gagal ginjal kronis. Pada manusia, manifestasi dari kelainan ini meliputi gejala klinis ringan
(kelemahan dan kelelahan) sampai gejala yang parah (seizure dan koma). Keparahan dari uremic
encephalopathy tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal. Uremic encephalopathy
mempunyai patofisiologi yang kompleks dan terdapat kaitan dengan toksin yang terjadi pada
gagal ginjal. hormon paratiroid (PTH) juga dapat menyebabkan uremic encephalopathy.
Hiperparatiroidisme dapat terjadi pada keadaan gagal ginjal, sehingga pada kondisi ini
akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium pada korteks cerebri. Mekanisme khusus dari
gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh PTH masih belum jelas. Namun, terdapat
kemungkinan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi kalsium di sel-sel otak yang merupakan
hasil dari peningkatan kadar kalsium dalam plasma dari kerja PTH yang berlebihan.
Teori lain tehadap penyebab uremic encephalopathy menyatakan bahwa uremic
encephalopathy disebabkan oleh ketidakseimbangan nurotransmiter asam amino dalam otak.
Selama fase awal uremic encephalopathy, cairan cerebrospinal (CSF) dapat digunakan untuk
menentukan terjadinya peningkatan level glisin, level glutamin, serta penurunan GABA.
Perubahan yang terjadi pada metabolisme dopamin dan serotonin di otak dapat mengawali dan
menyebakan gejala klinis. Peningkatan uremia akan menghasilkan akumulasi komponen
guanidino yang dapat menyebabkan aktivasi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartate eksitatori
serta akan menghambat reseptor GABA yang dapat mengakibatkan terjadinya myoklonus dan
seizure.
Menurut Bucurescu (2008), uremia yang menggambarkan gangguan ginjal (insufisiensi
ginjal) dan gangguan multiorgan dihasilkan oleh akumulasi metabolit protein, asam amino, serta
gangguan proses katabolisme di ginjal, proses metabolik, dan proses endokrin. Tidak ada
metabolit tunggal yang menyebabkan uremia. Uremic encephalopathy merupakan salah satu
manifestasi dari gagal ginjal. Patofisiologi dari uremic encephalopathy adalah akumulasi
senyawa organik seperti metabolit protein dan asam amino yang merusak neuron, antara lain
dapat berupa urea, senyawa guanidine, asam urat, asam hippuric, beberapa macam asam amino,
polipeptida, polyamine, phenol dan konjugat phenol, asam phenols dan asam indolic, acetoin,

asam glukoronat, karnitin, myoinositol, sulfat, fosfat. Selain itu juga akibat dari peningkatan
level senyawa guanidine, yang meliputi guanidinosuccinic acid, methylguanidine, guanidine, dan
kreatinin. Senyawa guanidino endogenus bersifat neurotoksik.
Abnormalitas yang berkaitan dengan keadaan uremic encephalopathy meliputi asidosis,
hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hipermagnesemia, overhidrasi, dan dehidrasi.
Tidak ada abnormalitas tunggal yang dapat menunjukkan lesio pada kejadian uremic
encephalopathy. Peningkatan level glisin, asam amino yang berasal dari phenylalanin, tryptophan
bebas, dan penurunan level gama-aminobutyric acid (GABA) pada cairan cerebrospinal akan
bertanggung jawab terhadap penyakit. Uremic encephalitis juga dipengaruhi oleh faktor
hormonal, yang meliputi hormon paratiroid (PTH), insulin, growth hormon, glukagon,
thyrotropin hormon, prolactin, luteinizing hormone, dan gastrin. Pada anjing normal, tingginya
level PTH akan menyebabkan perubahan CNS karena PTH dapat menyebabkan pemasukan
kalsium ke dalam neuron yang kemudian akan menyebabkan perubahan.
Menurut Moe dan Sparague (1994), patofisiologi uremic encephalopathy belum
diketahui secara baik dan kemungkinan terjadi oleh adanya toksin uremic. Pada kondisi ini,
hormon PTH mempunyai kemungkinan besar terhadap munculnya gejala klinis. Namun, toksintoksin lain penyebab uremic encephalopathy yang dipengaruhi oleh gagal ginjal juga
bertanggung jawab terhadap terjadinya patogenesis gangguan neurologi.
h. Anemia
Anemia ini berkaitan dengan produksi erythropoitin oleh ginjal yang terganggu. Apabila
terjadi kerusakan ginjal maka produksi eythropoitin akan berkurang atau bahkan terhenti sama
sekali, pada hal erythropoitin 90% diproduksi di ginjal dan sisanya di hati 10% sehingga proses
erythropoesis akan terhambat.
i. Coagulopathy
Kondisi gagal ginjal tahap akhir dapat terjadi perdarahan diatesis. Patogenesa dari
perdarahan diatesis uremik berkaitan dengan disfungsi multiple terhadap platelet. Jumlah platelet
akan menurun perlahan, sementara perombakan platelet terjadi peningkatan. Penurunan adhesi
platelet terhadap dinding subendothel vascular disebabkan oleh GPIb dan perubahan konformasi

yang akan merubah reseptor GPIIb/IIIa. Perubahan adhesi platelet dan agregasi disebabkan oleh
toksin uremik, peningkatan produksi NO oleh platelet, peningkatan produksi PGI(2) oleh
platelet, calcium dan cAMP oleh platelet.
j. Malnutrisi
Malnutrisi biasanya terjadi akibat gagal ginjal dan dimanifestasikan oleh terjadinya
anoreksia, penurunan bobot badan, penurunan massa otot, level kolesterol yang rendah, kadar
BUN (urea nitrogen dalam darah) yang rendah dan peningkatan level kreatinin, kadar serum
transferin yang rendah, dan hipoalbuminemia.
k. Asidosis metabolik
Menurut Price dan Wilson (2003), pada gagal ginjal terjadi gangguan kemampuan ginjal
untuk mengekskresikan H+ mengakibatkan asidosis metabolik disertai penurunan kadar
bikarbonat (HCO3-) dan pH plasma. Kadar bikarbonat akan menurun karena digunakan untuk
mendapatkan H+. Ekskresi ion ammonium (NH4+) merupakan mekanisme utama ginjal dalam
usahanya mengeluarkan H+ dan pembentukan kembali HCO3- baru dan bukan hanya reabsorpsi
HCO3-. Pada gagal ginjal ekskresi NH4+ akan berkurang secara total karena berkurangnya jumlah
nefron yang fungsional. Ekskresi fosfat merupakan mekanisme lain untuk mengekskresi H +.
Kecepatan ekskresi fosfat ditentukan oleh kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan
fosfat, dan bukan untuk mempertahankan asam basa. Pada gagal ginjal, fosfat akan cenderung
tertahan dalam tubuh karena berkurangnya nefron yang fungsional sehingga terjadi
hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menyebabkan hipokalsemia sehingga tubuh akan
merespon dengan mensekresi PTH dalam jumlah besar.
Selain itu, asidosis metabolik juga dapat menimbulkan hiperkalemia karena terjadi
pergeseran K+ dari dalam sel ke cairan ekstraseluler. Efek hiperkalemia terhadap tubuh adalah
dapat menyebabkan gangguan pada hantaran listrik jantung.

DAFTAR PUSTAKA

Alper AB dan Shenava RG. 2010. Uremia. http://www.emedicine.medscape.com/nephrology


[23 Maret 2010].
Amann K dan Ritz E. 1997. Cardiac disease in chronic uremia:
pathophysiology.Adv Ren Replace Ther. 4(3): 212-24.
Bucurescu G. 2008. Uremic
Encephalopathy. http://www.emedicine.medscape.com/nephrology [24 Maret
2010].
Carlton WW dan McGavin MD. 1995. Thomsons Special Veterinary Pathology 2nd Ed.
Mosby-Year Book, Inc. St. Louis. Missouri.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis 3rd Ed. Bailliere Tindall. London.
Lohr JW. 2009. Encephalopathy, Uremic. http://www.emedicine.medscape.com/nephrology [24
Maret 2010].
Moe SM dan Sprague SM. 1994. Uremic encephalopathy. Clin Nephrol. 42(4): 251-6.
Price SA dan Wilson LM. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Penerjemah: Pendit BU et al. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
West GP. 1979. Blacks Veterinary Dictionary 13th Ed. English Language Book Society And
Adam & Charles Black. London.
Vanholder R dan Smet RD. 1999. Review pathopysiologic effects of uremic retention
solution. J Am Soc Nephrol. 10: 1815-1823.

Anda mungkin juga menyukai