Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Fisiologi sirkulasi digiti
Kecepatan aliran darah melalui vascular bed tergantung pada gradien
tekanan yang melewati vascular bed dan resistensi/tahanan terhadap
aliran yang melaluinya. Gradien tekanan yang dihasilkan bergantung pada
panjang dan jari-jari pembuluh darah, serta viskositas darah. Adanya
variasi dari kelima parameter tersebut menyebabkan perubahan laju aliran
darah (Birnstingl, 1971).
Aliran darah jari normalnya lebih berkaitan dengan regulasi suhu
dibandingkan kebutuhan metabolik lokal, dan sangat bertanggung-jawab
terhadap suhu lokal dan laju aliran darah (Burton, 1939 dalam Birnstingl,
1971). Mekanisme aliran darah lokal yang bervariasi terdapat pada
anastomosis arteri-vena, terutama pada sejumlah bagian jari tangan dan
jari kaki, yaitu nail beds dan pulpa phalangeal distal, dimana pada kedua
bagian ini laju aliran darah paling dipengaruhi (Birnstingl, 1971).
Aliran darah digiti dikontrol oleh saraf pusat yang bekerja melalui :
1. Sabut saraf simpatis vasokonstriktor
2. Respon lokal dalam otot polos dinding pembuluh darah
Pada penyakit Raynaud yang sebenarnya, atau vasospasme
fungsional, adanya konstriksi arteriol dan venule. Kadang-kadang, venule
dan kapiler dapat berdilatasi, melalui paralisis anoksia lokal yang
menimbulkan warna kebiruan. Ketika spasme berhenti, tahap refleks
vasodilatasi muncul disebabkan karena akumulasi substansi dilatator
dalam jaringan (Birnstingl, 1971).
Pada obstruksi organik, blokade biasanya terjadi pada arteriol atau
arteri digiti. Hilangnya tekanan transmural dalam arteri terhadap blokade
menimbulkan kontraksi pasif dinding pembuluh darah, sehingga
menurunkan aliran darah. Terlebih lagi, reduksi dalam pembuluh darah ini
menghasilkan berkurangnya aliran sebanyak empat kali lipat, menurut
hukum Poiseuille. Faktor pasif lainnya yaitu viskositas darah, yang
meningkat pada laju aliran darah yang rendah. Hasil akhir dari berbagai
2

pengaruh ini yaitu aliran darah menjadi bergantung pada suatu keadaan
ketidaksetimbangan yang tidak stabil, dimana tekanan pembuluh darah
intra-arterial distal menurun ke titik kritis tekanan terhadap obstruksi yang
terjadi, menyebabkan aliran darah berhenti mendadak (Roddie dan
Shepherd, 1957 dalam Birnstingl, 1971). Hal ini khususnya terjadi ketika
tonus vasomotor tinggi, sebagai contoh selama paparan terhadap suhu
dingin atau ketika pembuluh darah terkompresi oleh genggaman tangan,
dan menjelaskan hilang-timbulnya (intermitensi) episode iskemik, yang
disebut fenomena Raynaud akibat blokade organik permanen. Namun
karena perubahan struktural melibatkan arteri dari jari-jari yang berbeda,
iskemik jarang terjadi secara simetris (Birnstingl, 1971).
Efek denervasi simpatis
Aliran darah di tangan awalnya meningkat disebabkan hilangnya
aktivitas vasokonstriktor pusat. Puncak aliran terjadi sekitar dua hari
setellah simpatektomi, dengan peningkatan aliran darah sebanyak lima
hingga 12 kali. Hal ini diikuti dengan reduksi aliran darah secara bertahap
hingga beberapa minggu, aliran darah yang tersisa berada di tingkat
preoperatif (Barcroft, 1952 dalam Birnstingl, 1971). Menurunnya aliran
terjadi bila seksio preganglionik ataupun postganglionik telah dilakukan
dan disebabkan karena penyembuhan tonus intrinsik otot dinding
pembuluh darah. Ketika simpatektomi selesai, refleks pemanasan maupun
pendinginan tubuh tidak menimbulkan efek terhadap laju aliran darah di
tangan. Meskipun begitu, setelah satu atau dua tahun, respon
vasokonstriktor kembali untuk mendinginkan tangan, yang muncul kembali
sebagai sifat arteriol digiti itu sendiri (Birnstingl, 1971).
2.2 Raynauds Syndrome
2.2.1 Definisi
Raynauds phenomenon dicirikan oleh adanya iskemia digital
episodik, yang secara klinis dimanifestasikan oleh adanya perkembangan
berurutan dari digitalis yang memucat, cyanosis, dan rubor pada jari-jari
tangan dan kaki setelah adanya paparan dingin dan diikuti oleh

rewarming. Stres emosional juga dapat menyebabkan Raynauds


phenomenon. Perubahan warna yang terjadi biasanya berbatas tegas dan
hanya terbatas pada jari-jari tangan dan kaki. Biasanya satu atau lebih
digiti akan tampak putih ketika pasien terpapar lingkungan dingin atau
menyentuh objek dingin. Blanching (pucat), atau pallor, menunjukkan fase
iskemik dari fenomena dan merupakan hasil dari vasospasme arteri
digitalis. Selama fase iskemik, kapiler dan venule berdilatasi, dan sianosis
yang berasal dari deoxygenated blood tampak pada pembuluh-pembuluh
darah ini. Sensasi dingin atau mati rasa atau paresthesia dari digiti sering
terjadi pada fase pallor dan sianosis (Creager, 2008).
Dengan adanya rewarming, vasospasme digitalis berakhir, dan
darah yang mengalir ke arteriol dan kapiler yang berdilatasi akan
meningkat. Reactive hyperemia ini menyebabkan warna merah cerah
pada digiti. Selain rubor dan hangat, pasien juga mengalami sensasi nyeri,
throbbing selama fase hiperemik. Meskipun respons warna trifasik khas
pada Raynauds phenomenon, beberapa pasien mungkin hanya
mengeluhkan pallor dan sianosis; yang lain mungkin hanya mengalami
sianosis saja (Creager, 2008).
2.2.2 Klasifikasi
Raynauds phenomenon secara luas dibagi menjadi dua kategori:
jenis idiopatik, disebut Raynauds disease, dan jenis sekunder (Raynauds
syndrome), yang berhubungan dengan penyakit lain atau penyebab
vasospasme yang telah diketahui (Creager, 2008).

Gambar 2.1. Klasifikasi Raynauds phenomenon (Creager, 2008)


2.2.3 Etiologi
Lebih dari 50% pasien dengan Raynauds phenomenon memiliki
Raynauds disease. Raynauds disease lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria, dan biasanya berusia antara 20 sampai 40 tahun.
Jari-jari tangan lebih sering terkena dibandingkan jari-jari kaki (Creager,
2008).
Pada Raynauds phenomenon sekunder, Raynauds phenomenon
terjadi pada 80-90% pasien dengan sistemik sklerosis (skleroderma). Hal
ini dapat menjadi satu-satunya gejala skleroderma selama bertahuntahun. Pada kelainan ini, abnormalitas pada pembuluh darah digitalis
memegang peranan penting. Ischemic fingertip ulcer dapat berkembang
dan mengarah ke gangrene dan autoamputasi. Sekitar 20% pasien
dengan systemic lupus erythematosus (SLE) memiliki Raynauds
phenomenon. Kadang-kadang, iskemia digitalis persisten dapat
berkembang dan menyebabkan ulcer atau gangrene. Pada kebanyakan
kasus yang berat, pembuluh-pembuluh darah kecil tersumbat oleh
endarteritis proliferatif. Raynauds phenomenon terjadi sekitar 30% pada
pasien dengan dermatomyositis atau polymyositis (Creager, 2008).
Atherosclerosis pada ekstremitas merupakan penyebab Raynauds
phenomenon yang sering pada pria >50 tahun. Thromboangiitis obliterans
seharusnya dipertimbangkan sebagai penyebab Raynauds phenomenon

pada pria muda, terutama perokok. Kadang-kadang, Raynauds


phenomenon juga dapat mengikuti oklusi akut arteri sedang dan besar
oleh adanya trombus atau embolus. Pada pasien dengan thoracic outlet
compression syndrome, Raynauds phenomenon dapat timbul sebagai
akibat penurunan tekanan intravaskular, stimulasi serat simpatetik pleksus
brakialis, atau kombinasi keduanya. Raynauds phenomenon juga
berhubungan dengan berbagai dyscrasia darah dan hipertensi pulmonary
primer (Creager, 2008).

Gambar 2.2. Etiologi Raynauds phenomenon (Sharathkumar, 2011)


2.2.4 Patofisiologi
Raynaud awalnya mengemukakan bahwa iskemia digitalis episodik
yang diinduksi dingin ini disebabkan oleh vasokonstriksi refleks simpatetik
yang berlebihan. Teori ini didukung oleh fakta bahwa -adrenergic
blocking drug dan simpatektomi menurunkan frekuensi dan keparahan
Raynauds phenomenon pada beberapa pasien. Hipotesis alternatif

adalah peningkatan responsivitas vaskular digitalis terhadap dingin atau


stimuli simpatetik normal. Hal lain yang juga mungkin adalah superimpose
vasokonstriksi refleks simpatetik normal pada penyakit vaskular digitalis
lokal atau adanya peningkatan aktivitas neuroefektor adrenergik (Creager,
2008).
2.2.5 Diagnosa Klinis
Gejala. Raynauds phenomenon muncul kerika terjadi pendinginan
pada tangan atau kadang oleh emosi. Terjadi mati rasa dan tingling
pada jari-jari, yang menjadi putih lilin atau sedikit sianosis. Saat
episode ini hilang, yang sering dipercepat dengan menggosok atau
menggoyangkan jari, jari-jari ini menjadi lebih sianosis dan pada
tahap ini terasa nyeri. Raynauds disease terjadi 10 kali lebih umum
pada wanita dan simetris, serta tidak mengenai ibu jari (Birnstingl,
1971).
Lesi Trophic. Adanya ulserasi terminal atau patch dari dry pulp
necrosis pada jari mengindikasikan iskemia lokal berat dan
merupakan bukti adanya kehilangan struktural dari feeding artery
(Birnstingl, 1971).
Riwayat. Pada Raynauds disease, pasien biasanya wanita muda
yang mengeluhkan dingin pada jari-jari, yang bertambah berat
antara 18 dan 25. Onset lanjut menunjukkan adanya penyakit
kolagen (Birnstingl, 1971).
Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan pada wajah pasien dapat
membantu dalam eksklusi scleroderma sistemik, dengan mulut
kecil dan rapat, serta kulit wajah dan leher yang tidak elastis dan
sedikit

edematous.

Warna

kulit

perlu

dinilai,

dan

tangan

dielevasikan ke atas kepala pasien untuk melihat apakah terjadi


perubahan warna postural: pada tangan yang iskemik karena
obstruksi arteri subklavikula, akan tampak pucat (Birnstingl, 1971).
Radiologi. Foto polos X-rays pada tangan dapat membantu
menyingkirkan diagnosa rheumatoid arthritis. Pada Raynauds
disease, arteri digitalis paten dan akan tampak normal pada

arteriography. Pada kelainan kolagen, arteriography tidak begitu


berguna

untuk

skleroderma

diagnosis

sistemik

awal,

mudah

meskipun

pasien

menunjukkan

dengan

vasospasme,

pembuluh-pembuluh darah akan berkontraksi menjadi benang


halus selama pemeriksaan (Birnstingl, 1971).
Tes Laboratorium. Hemoglobin, WBC (White Blood Cell) dan
platelet count, pemeriksaan hapusan darah dan ESR (Erythrocyte
Sedimentation Rate) harus terus dipantau. Peningkatan sedang
dari ESR umum terjadi pada kelainan kolagen, sementara
sedimentasi yang sangat cepat dapat mengindikasikan adanya
haemagglutination (Birnstingl, 1971).
2.2.6 Management
1. Terapi suportif
Perubahan gaya hidup efektif dapat membantu pada pasien
dengan

penyakit ringan. Menghentikan

kebiasaan

merokok,

menghentikan penggunaan obat-obatan yang berhubungan dengan


RP (Raynauds phenomenon), maupun merubah pekerjaan juga
dapat membantu. Pil kontraseptif seharusnya dihentikan bila
diketahui ada hubungan dengan perkembangan RP (Belch, 1996).
Ketakutan terhadap penyakit juga dapat memperburuk
gejala

dan

penghiburan

kadang

diperlukan.

Saran

untuk

mempertahankan kehangatan dan proteksi dari dingin sangat


penting, antara lain dapat dengan menggunakan sarung tangan
dan kaos kaki penghangat (electrically heated gloves and socks)
(Belch, 1996).
Perawatan luka yang baik pada ulcer digitalis juga harus
dilakukan. Jika ada ulkus yang lembab, harus dilakukan swab dan
dikirim untuk pemeriksaan kultur (Belch, 1996).
2. Simpatektomi
Simpatektomi operatif pada ekstremitas atas memiliki
relapse rate yang tinggi dan respons yang buruk pada RS
(Raynauds

Syndrome).

Karena

itu,

terapi

ini

tidak

lagi

direkomendasikan untuk RP (Raynauds phenomenon) pada


ekstremitas atas. Di sisi lain, simpatektomi masih memainkan peran
8

penting pada terapi RP yang mengenai ekstremitas bawah di mana


hasilnya dapat menguntungkan (Belch, 1996).
3. Terapi Obat
Penggunaan vasodilator pada RP (Raynauds phenomenon)
masih kontroversial karena banyak studi yang menunjukkan tidak
terkontrol. Tetapi, masih ada beberapa senyawa yang dapat
memberikan

keuntungan,

antara

lain

inositol,

nicotinate,

naftidrofuryl, dan oxpentifylline, yang efeknya baru akan tampak


setelah 2 sampai 3 bulan terapi. Pada pasien yang lebih berat,
pengobatan ini tidak memberikan keuntungan (Belch, 1996).
Banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari
penggunaan calcium channel antagonist pada RP dan nifedipine
sekarang telah menjadi gold standard terapi Raynauds. Meskipun
demikian, penggunaannya dibatasi oleh efek samping vasodilator
yang susceptible pada pasien RP. Hal ini meliputi kemerahan pada
wajah, palpitasi, sakit kepala dan, pada jangka panjang, ankle
swelling. Jika pengobatannya perlu dihentikan karena efek samping
ini, calcium antagonist lain seperti diltiazem dan amilodipine dapat
dicoba (Belch, 1996).
Salah satu pendekatan yang paling efektif pada RS
(Raynauds Syndrome) yang berhubungan dengan sklerosis
sistemik adalah pengembangan terapi prostaglandin, yaitu dengan
PGE1 dan PGI2. Iloprost adalah analog PGI2 yang memberikan
keuntungan pada terapi RP, di mana iloprost lebih stabil
dibandingkan PGE1 dan PGI2 (Belch, 1996).

Gambar 2.3. Flow chart management Raynauds phenomenon


(Belch, 1996)
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik
2.3.1 Pengertian
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalahmasalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1
atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan, dimana
Pemberian oksigen tekanan tinggi untuk pengobatan yang dilaksanakan
dalam ruang udara bertekanan tinggi (RUBT) (Riyadi, 2013).
Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik,
yaitu :
1. Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume.
2. Hukum Henry

10

Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan sebanding dengan


tekanan parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan.
3. Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah
tekanan parsial dari masing masing bagian gas.
Tergantung dari fisiologi dan patofisiologi tiap individu, efek oksigen
bertekanan tinggi dapat bervariasi, yaitu : supresi produksi -toxin pada
gas gangrene, peningkatan aktivitas leukosit, penurunan perlekatan sel
putih pada dinding kapiler, vasokonstriksi pada pembuluh darah normal,
perbaikan pertumbuhan fibroblas dan produksi kolagen, stimulasi produksi
enzim peroksida dismutase, penyimpanan ATP pada membran sel dengan
reduksi pada edema sekunder, supresi respon imun tertentu, peningkatan
aktivitas osteoklas, peningkatan proliferasi kapiler, dan sebagainya
(Baromedical, 2014).
2.3.2 Manfaat terapi
-

Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan

tubuh, bahkan pada aliran darah yang berkurang


Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk

meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang


Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti

Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren)


Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) antara
lain bakteri E. coli dan Pseudomonassp. yang umumnya

ditemukan pada luka-luka mengganas.


Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk

bertahan hidup.
Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam

menjadi 20 menit pada penyakit keracunan gas CO


Dapat mempercepat proses penyembuhan pada pengobatan

medis konvensional
Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu

11

Memperbaiki fungsi ereksi pada pria penderita diabetes


(laporan para ahli hiperbarik di Amerika Serikat pada tahun

1960)
Meningkatkan sensitivitas sel terhadap radiasi
Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan

kolagen yang menjaga elastisitas kulit


Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah
hidup meningkat, tidur lebih enak dan pulas

Dengan berbagai mekanisme tersebut, terapi hiperbarik dapat


digunakan sebagai terapi kondisi akut hingga penyakit degeneratif kronis
seperti arteriosklerosis, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, ulkus
diabetik, cerebral palsy, trauma otak, multiple sclerosis, dsb (Riyadi,
2013).
2.3.3 Indikasi terapi
Kelainan atau penyakut yang merupakan indikasi terapi oksigen
hiperbarik diklasifikasikan menurut kategorisasi yang dibuat oleh The
Committee of Hyperbaric Oxygenation of the Undersea and Hyperbaric
Medical Society ialah sebagai berikut (Riyadi, 2013) :
Emboli
Keracunan gas CO dan asap rokok
Clostridial myonecrosis (gas gangrene)
Trauma
Dekompresi
Anemia karena kehilangan darah
Necrotizing soft tissue infections (or subcutaneous tissue,
muscle or fascia)
Osteomyelitis

Compromised skin grafts and flaps


Luka bakar
2.3.4 Kontraindikasi terapi
a. Absolut
: Pneumothorax yang belum dirawat
12

b. Relatif

:
ISPA
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi.
Dapat ditolong dengan penggunaan dekongestan atau
melakukan miringotomi bilateral

Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA dapat diberikan dekongestan atau
dilakukan miringotomi bilateral.

Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi
oksigen. Bilamana perlu penderita dapat diberikan antikonvulsan sebelumnya.

Emfisema dengan retensi CO2


Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih
dari normal akan menyebabkan penderita secara spontan
berhenti bernafas akibat rangsangan hipoksik. Pada
penderita dengan penyakit paru yang disertai retensi CO2,
terapi oksigen hiperbarik dapat dikerjakan bila penderita
diintubasi atau memakai ventilator.

Panas tinggi yang tidak terkontrol


Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen.
Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan pemberian obat
antipiretik juga dapat dengan pemberian anti konvulsan.

Riwayat penumothorax spontan


Penderita yang mengalami pneumothorax spontan
dalam RUBT tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di
dalam RUBT kamar ganda dapat dilakukan pertolonganpertolongan yang memadai. Sebab itu bagi penderita yang
mempunyai riwayat pneumothorax spontan harus dilakukan
persiapan-persiapan untuk mengatasi hal tersebut.

Riwayat operasi dada

13

Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang


timbul saat dekompresi. Setiap operasi dada harus diteliti
kasus demi kasus untuk menentukan langkah-langkah yang
harus diambil. Tetapi jelas dekompresi harus dilakukan
secara lambat.

Riwayat operasi telinga


Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau
topangan plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi,
mungkin suatu kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik
sebab perubahan tekanan dapat mengganggu implan
terseut konsultasi dengan spesialis THT perlu dilakukan.

Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara


radiologis
Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat.
Menurut pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit
tidak menimbulkan masalah

Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus
akan lebih hebat bila binatang tersebut diberi oksigen
hiperbarik. Dengan alasan ini dianjurkan agar penderita
yang terkena salesma (common cold) menunda
pengobatan dengan oksigen hiperbarik sampai gejala akut
menghilang apabila tidak memerlukan pengobaran sehera
dengan oksigen hiperbarik

Spherosis kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan
pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan
hemolisis yang berat. Bila memang pengobatan hiperbarik
mutlak diperlukan, keadaan ini tidak boleh jadi penghalang
sehingga harus dipersiapkan langkah-langkah yang perlu
untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.

Riwayat neuritis optik


14

Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik


terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen
hiperbarik. Namun kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi
jika ada penderita dengan riwayat neuritis optik diperkirakan
mengalami gangguan penglihatan yang berhubungan
dengan retina, bagaimanapun kecilnya pemberian oksigen
hiperbarik harus segera dihentikan dan perlu konsultasi
dengan ahli mata.
2.3.5 Komplikasi terapi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak melebihi
3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit , terapi
oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah:

Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk
menyamakan tekanan di kedua sisi membran timpani akibat
tuba eustachius tertutup. Barotrauma telinga tengah dan sinus
dapat dicegah dengan teknik ekuilisasi, dan otitis media dapat
dicegah dengan pseudoephidrine. Barotrauma telinga dalam
sangat jarang, tapi jika membran timpani ruptur dapat
menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus dan
vertigo.

Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada
terapi ini. komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru
karena perubahan tekanan tapi jarang terjadi.

Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat
penekanan saraf.

Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas
selama lima menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi
15

untuk setiap 30 menit oksigen . Hal ini memungkinkan


antioksidan untuk menetralisir radikal oksigen bebas yang
terbentuk selama terapi.

Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya
kadar O2.

Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi nerhubungan
dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bati
prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.

Katarak
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan
pandangan berkabut.

Transient-miopia reversibel

Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO


berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari
lensa (Riyadi, 2013).
2.4 Hubungan Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Raynauds Syndrome
Raynauds syndrome adalah gangguan sirkulasi darah di jari tangan
dan kaki (kadang juga pada telinga dan hidung meskipun kurang umum).
Hal ini menyebabkan kolaps pada arteri kecil akibat terpapar oleh suhu
yang dingin, stress emosional, atau agen-agen vasokonstriktif seperti obat
atau merokok (www.baromedical.ca, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Copeman dan Ashfield,
dengan pemberian HBOT Raynauds syndrome dirasa membaik dan
hasilnya, yakni peningkatan kehangatan dan sirkulasi jaringan bertahan
lebih lama (Copemand 1967, Ashfield 1969). Manfaat HBOT terhadap
Raynauds syndrome antara lain adalah meningkatkan sirkulasi lokal,
oksigenasi dan metabolism sel, meningkatkan kontrol saraf pembuluh
darah (mekanisme tidak diketahui) sehingga serangan menjadi kurang
sering, meningkatkan toleransi suhu dingin dan serangan Raynaud,
16

mengurangi mati rasa dan kesemutan, mengurangi kemungkinan


thrombosis dengan mengurangi kekentalan darah, mengurangi efek
iskemia (aliran darah rendah) dengan meningkatkan transportasi oksigen,
mengurangi kejadian ulkus atau gangrene (www.baromedical.ca, 2014).
Pada tekanan yang lebih besar dari normal, tubuh mampu
memasukkan oksigen lebih ke dalam sel darah, plasma darah, cairan
serebrospinal dan cairan tubuh lainnya. Peningkatan absorbs oksigen
secara signifikan membantu kemampuan tubuh untuk penyembuhannya
sendiri (www.hyperbaricmedicalcenter.com. 2012).
Komponen paling penting HBOT adalah meningkatkan jumlah oksigen
terlarut dalam plasma dan jaringan. Menempatkan pasien di ruang
hiperbarik tidak memiliki efek fisiologis lain yang dikenal. Namun, ada
beberapa reaksi tubuh terhadap peningkatan oksigen, dan efek dari
oksigen tekanan tinggi mirip dengan efek obat tertentu (misalnya, dapat
memblok peroksidasi lipid atau menyebabkan neovaskularisasi) (Kindwall,
1992).
Ketika ada restriksi (oklusi) dalam aliran darah karena operasi,
penyakit, atau cedera, sel-sel darah merah memblokir pembuluh darah
dan tidak dapat mentransfer oksigen ke sel-sel di sisi lain dari oklusi. Hal
ini menyebabkan pembengkakan dan kekurangan oksigen, menyebabkan
hipoksia ketika hal ini terjadi jaringan mulai rusak
(www.

hy

perbar

ic

medic

alc

enter.c

om

,
2012).
Aliran
darah
yang
terhambat oleh restriksi

17

Menghirup oksigen 100% di bawah tekanan menyebabkan oksigen


untuk berdifusi ke dalam plasma darah. Plasma kaya oksigen ini mampu
perjalanan melewati daerah restriksi, menyebarkan oksigen hingga 4 kali
lebih jauh ke dalam jaringan. Lingkungan bertekanan membantu
mengurangi pembengkakan dan ketidaknyamanan, sambil memberikan
tubuh dengan setidaknya 10 kali pasokan normal oksigen untuk
membantu memperbaiki jaringan yang rusak akibat oklusi asli atau kondisi
hipoksia berikutnya (www.hyperbaricmedicalcenter, 2012).

Oksigenasi hiperbarik
HBOT juga memediasi peningkatan nitrit okside (NO) (Boykin, Baylis
2007). NO menyebabkan efek vasodilatasi langsung maupun tidak
langsung dengan cara menghambat agen vasokonstriktor seperti
angiotensin II (www.cvphysiology.com, 2008). Sehingga diameter
pembuluh darah akan lebih besar.

18

Anda mungkin juga menyukai