Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN ACUTE CORONARY SYNDROME

Disusun sebagai tugas dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah

DISUSUN OLEH:
TENGKU ABDURRAHMAN

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan HidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
Tugas Keperawatan Medikal Bedah yang membahas tentang Asuhan Keperawatan
Acute Coronary Syndrome. Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah, terutama kepada para dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, dapat memperluas ilmu khususnya tentang Asuhan
Keperawatan Acute Coronary Syndrome sehingga dapat diaplikasikan dalam tatanan
pelayanan keperawatan.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna, oleh kerena itu penulis
mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini sehingga penulis dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar kedepannya menjadi lebih baik.
.

Jakarta, April 2015

Kelompok III

DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................................

Kata Pengantar.......................................................................................................

Daftar Isi................................................................................................................

KONSEP DASAR ACUTE CORONARY SYNDROME........................................

1. Definisi......................................................................................................
2. Aspek Epdemilogi....................................................................................
3. Etiologi......................................................................................................
4. Patofisiologi..............................................................................................
5. Klasifikasi.................................................................................................
6. Manifestasi Klinik....................................................................................
7. Pemeriksaan Diagnostik............................................................................
8. Komplikasi...............................................................................................
9. Penatalaksanaan........................................................................................
10. Pengkajian Keperawatan...........................................................................
11. Diagnosis Keperawatan............................................................................
12. Intervensi Keperawatan............................................................................
13. Discharge Planning...................................................................................
14. Evidence based practice terkait perawatan Acute Coronary Sindrome....

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

4
6
8
11
11
12
17
17
21
27
28
32
32
34

ASUHAN KEPERAWATAN ACUTE CORONARY SYNDROME

1. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada pembuluh
darah koroner (Andra, 2006).
Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah
suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark
Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI)
atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi
karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil.
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak
digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh
darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang
terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina),
infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina
pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.
2. Epidemilogi
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini
merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara maju dan berkembang,
termasuk Indonesia. Bahkan World Health Organization (WHO) telah
memprediksikan bahwa dimasa yang akan datang 80% kematian akibat penyakit
kardiovaskular akan terjadi di negara berkembang. Berdasarkan laporan World

Health Statistic tahun 2008, tercatat 17,1 juta orang meninggal di dunia akibat
penyakit kardiovaskular. WHO juga memprediksi pada tahun 2030 lebih dari 23,4
juta orang akan meninggal per-tahunnya akibat penyakit kardiovaskular.
Di Amerika Serikat, lebih dari 13 juta pasien menderita penyakit arteri
koroner dan setiap tahunnya lebih dari 1,1 juta pasien menderita IMA.
Selanjutnya, 150.000 pasien didiagnosa setiap tahunnya dengan UAP. Kematian
karena aterosklerotik arteri koroner terhitung hampir 50 % dari seluruh kematian
jantung, dan 50% dari kematian karena aterosklerotik arteri koroner terjadi secara
tiba-tiba. Takada et al menguji individual dengan infark miokard lama yang
meninggal secara tiba-tiba selama periode 1998-2001. Hasil dari analisis patologi
yang mereka lakukan menyatakan bahwa kematian tiba-tiba yang disebabkan
SKA adalah 55 %, aritmia fatal 24 %, kegagalan pompa jantung 14 %, dan
penyebab lain adalah 6 % kasus. Penemuan-penemuan ini ditandai dengan plak
arteri koroner yang ruptur pada infark lama adalah penyebab utama kematian
jantung secara tiba-tiba dengan infark miokard yang lama. Berdasarkan laporan
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC/NCHS), 879.000 pasien
dengan diagnosa SKA pada tahun 2003 di Amerika Serikat (767.00 IMA dan
112.000 UAP), dan berdasarkan laporan National Heart, Lung, and Blood
Institute/Framingham Heart Study (NHLBI/FHS), penyakit jantung koroner
terdiri lebih dari setengah kejadian kardiovaskuler pada pria dan wanita dibawah
umur 75 tahun. Investigasi data dari 7.733 partisipan di Framingham Heart
Study, Lyoyd-Jones et al mendemonstrasikan bahwa risiko seumur hidup dari
kejadian koroner setelah umur 40 tahun adalah 49% pada pria dan 32% pada
wanita. Studi NHLBI ARIC (Atherosclerotic Risks in Communities) juga
menyatakan bahwa umur rata-rata disesuaikan dengan laju insiden penyakit
jantung koroner per 1000 orang/tahun adalah 12,5 pada pria kulit putih dan 10,6
pada pria kulit hitam, 4,0 pada wanita kulit putih, dan 5,1 pada wanita kulit
hitam.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS)

Kementerian

Kesehatan

tahun

2007

diketahui

bahwa 31,9% kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.


Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu manifestasi klinis Penyakit
Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian.
Sindrom ini bervariasi dari pola angina pektoris tidak stabil hingga terjadinya
infark miokard yang luas (Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute
Coronary Syndrome. 2011. P:162-75). Sindrome Koroner Akut dimulai ketika
plak aterosklerosis di dalam arteri koroner terganggu dan merangsang agregasi
platelet dan pembentukan trombus (Kristen J. Acute Coronary Syndrome. AJN.
May 2009 Vol. 109, No. 5). Atheroslerosis atau plak adalah akumulasi endapan
lemak, kolesterol dan subtansi lainnya di dalam lapisan pembuluh darah akibat
adanya disfungsi endotel, sehingga plak menumpuk di satu titik dan
menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah ini
menyebabkan elastisitas dari endotel semakin rendah, hal ini merupakan faktor
yang menyebabkan plak sewaktu-waktu dapat mengalami ruptur atau pecah.
Ketika plak mengalami ruptur proses trombosis dapat terjadi dimana platelet atau
disebut juga trombosit akan mengalami aktivasi sehingga membentuk bekuan
darah atau trombus.

3. Etiologi
a. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering adalah penurunan perfusi miokard oleh karena
penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak
aterosklerosis yang rupture dan biasanya tidak sampai menyumbat.
Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari
plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan
penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
b. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin
diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner
epikardium

(angina

prinzmetal).

Spasme

ini

disebabkan

oleh

hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat adanya disfungsi


endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.

c. Obstruksi mekanik yang progresif


Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena
spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan
aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner
perkutan (PCI).
d. Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan
dengan infeksi,

yang

mungkin

menyebabkan

penyempitan

arteri,

destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di


dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang
dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat
mengakibatkan SKA.
e. Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi
pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab dapat berupa
penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard,
dan mereka biasanya menderita angina stabil yang kronik.
SKA jenis ini antara lain karena :
1) Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis
2) Berkurangnya aliran darah koroner,
3) Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan
hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak
terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu
penyebab dan saling terkait.
Faktor risiko
Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor
risiko konvensional dan faktor risiko yang baru diketahui berhubungan dengan
proses aterotrombosis (Braunwald, 2007). Faktor risiko yang sudah kita kenal
antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik,
dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi.

Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan
Lipoprotein (Santoso, 2005).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis
yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan
lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik (Valenti, 2007).
Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga
oleh karena adanya efek perlindungan estrogen (Verheugt, 2008).
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan
kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet
tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori . SKA umumnya terjadi pada pasien
dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40
tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah
menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan pasien usia
muda dengan penyakit jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA
mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda (William, 2007).
4. Patofisiologi
a. Ruptur plak
Ruptur plak ateroslerotik merupakan salah satu penyebab terjadinya
SKA, yang diakibatkan oklusi subtotal atau total dari arteri koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik
terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi
plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari
timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang
paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak.

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan


menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh
darah 100% akan terjadi STEMI, sedangkan bila trombus tidak menyumbat
100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi UAP.
b. Trombosis dengan Agregasi Trombosit
Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang
terjadi antar lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak merupakan
bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel
otot polos dan sel busa yang ada dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan darah,
faktor jaringan berintinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih
luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi
ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan
berperan dalam memulai trombosis yang intermiten.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting terhadap terjadinya
SKA. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi
oleh platelet berperan dalam perubahan pada tonus pembuluh darah dan
menyebabkan spasme. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil
dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
d. Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel. Adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos
dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan
iskemia. Disrupsi plak dapat terjadi karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya
fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan

hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya sindrom koroner akut,


khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni :
1) aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
2) stress emosi, terkejut.
3) udara dingin.
Keadaan-keadaan tersebut berhubungan dengan peningkatan aktivitas
simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat,
kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Sehingga
dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan
terapi.
Web of caution ACS
Perubahan kondisi plak
di arteri koroner
Aktivasi Platelet

Pembentukan trombus
Suplay darah & oksigen
< kebutuhan miokard

Gangguan aliran
darah ke alveoli
Gangguan repolarisasi

Gangguan
pertukaran gas
ST segmen elevasi,
muncul Q wave

Intoleransi aktivitas
Pelepasan
enzim liposom

Peningkatan
CPK-MB, LDH

Iskemia jaringan
Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer
Kematian sel miokard

Glikolisis anaerob

Iritabilitas miokard

Produksi asam
laktat
Angina

Nyeri
Penurunan kontraktilitas

Stimulasi sistem
saraf simpatis

Disritmia

Penurunan ejection
fraction

10

Penurunan Curah
jantung
Peningkatan
HR

5. Klasifikasi

Peningkatan
kebutuhan O2

vasokontriksi

Cemas

Berdasarkan Jenisnya, Sindroma Koroner Akut dapat diklasifikasikan


sebagai
Kurang
pengetahuan

berikut:
Jenis
Angina Pectoris
Tidak Stabil
(APTS)

Penjelasan nyeri dada


Temuan EKG
Enzim Jantung
Angina pada waktu
1. Depresi segmen T
Tidak meningkat
istirahat/ aktivitas
2. Inversi gelombang T
ringan, Crescendo
3. Tidak ada gelombang
angina, Hilang dengan
Q
nitrat.
NonST elevasi
Lebih berat dan lama 1. Depresi segmen ST
Meningkat
Miocard Infark (> 30 menit), Tidak
2. Inversi gelombang T
minimal 2 kali
hilang dengan
nilai batas atas
pemberian nitrat. Perlu
normal
opium untuk
menghilangkan nyeri.
ST elevasi
Lebih berat dan lama 1. Hiperakut T
Meningkat
Miocard Infark (> 30 menit), Tidak
2. Elevasi segmen T
minimal 2 kali
hilang dengan
3. Gelombang Q
nilai batas atas
pemberian nitrat. Perlu 4. Inversi gelombang T
normal
opium untuk
menghilangkan nyeri.
Berdasarkan berat/ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA) menurut Braunwald
(1993) adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan
nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada
waktu istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
6. Manifestasi Klinis
Gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti:
rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta
ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri
ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung.

11

Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin
atau maag.
a. Angina Pektoris tak stabil
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya
meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan
serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris
stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih
serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra
infark. Pada sebagian besar pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut
pada plak di sertai trombosis parsial, embolisasi distal trombus dan/ atau
vasospasme. Perubahan morfologik pada jantung adalah arterosklerosis
koroner dan lesi terkaitnya (Kumar, 2007).
b. Infark Miokard dengan ST Elevasi
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI.
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara
(Alwi, 2006).
c. Infark Miokard dengan Non ST Elevasi
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium
dengan ciri seperti di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi persentasi gejala yang sering
di temukan pada penderita NSTEMI. Gejala tidak khas seperti dispnea, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga
terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari
65 tahun
Tapan (2002) menambahkan gejala klinik SKA secara umum meliputi:
a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot
jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .

12

b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina).
Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung
selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah,
leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu
istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum
pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina,
namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.
Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa
di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat
dingin.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG (Electrocardiogram)
1) Angina Pektoris Tak Stabil
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi
risiko pasien UAP. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan
kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu
tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang
nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,05 mm dan gelombang
T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat
disebabkan karena hal lain. Pada UAP, sebanyak 4% mempunyai EKG yang
normal, dan pada NSTEMI, sebanyak 1-6% EKG juga normal.
Tabel 2 Letak Infark Berdasarkan Temuan EKG
Letak infark

EKG

A.Koronaria

Cab A.Koronaria

Anterior
ektensif

I, aVL, V1-6

Kiri, LAM

LAD, LCx

Anteroseptal

V 1-3

Kiri

LAD

Anterolateral

I, aVL, V4-6

Kiri

LCx

Inferior

II, III, aVF

80% kanan, 20%


kiri

PDA

Posterior
murni

V 1-2 (resiprok)

Bervariasi kiri dan LCx, PLA


kanan

13

LAM = left main artery, LAD = left anterior descending, LCX = left
circumflex, PDA = posterior descending artery, PLA = posteriolateral
artery
Diadapsi dari: Zimetbaum PJ, Josephson ME. Use of the electrocardiogram in acute
myocardial infarction. N Engl J Med 2003; 348: 934-935.

2) STEMI
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosa infark miokard gelombang Q sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami UAP atau
NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya, istilah infark
transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya
gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya
menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun
ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi
infark (mural/transmural) sehingga terminologi infark miokard gelombang Q
dan non Q menggantikan infark miokard mural/transmural.
3) NSTEMI
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal
penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Trombolysis in Myocardial
Infarction (TIMI) III Registry; adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV
merupakan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al, menunjukkan peningkatan
risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi
segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T, keduanya
memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.
b. Laboraturium
1) Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga proteinprotein tertentu keluar masuk aliran darah.

14

2) Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB terdetekai


setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali menjadi
normal setelah 24 jam berikutnya.
3) LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard yaitu
setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih dapat
dideteksi sampai dengan 2 minggu. Iso enzim LDH lebih spesifik
dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan klinisnya masih kalah
akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T.
4) Troponin T & I protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot jantung,
terutama Troponin T (TnT), suatu kompleks protein yang terdapat pada
filamen tipis otot jantung. Troponin T akan terdeteksi dalam darah beberapa
jam sampai dengan 14 hari setelah nekrosis miokard. TnT sudah terdeteksi
3-4 jam pasca kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam serum
selama 1-3 minggu.
5) Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari pertama;
peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.
6) SGOT (Serum Glutamic Oxalo-acetic Transaminase)
Terdapat terutama di jantung, otot skelet, otak, hati dan ginjal. Dilepaskan
oleh sel otot miokard yang rusak atau mati. Meningkat dalam 8-36 jam dan
turun kembali menjadi normal setelah 3-4 hari.
Angina Pektoris Tak Stabil
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CKMB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosa SKA. Menurut ESC dan
ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam.
Troponin tetap positif dalam 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan
tingkat kenaikan troponin.
CKMB kurang spesifik untuk diagnosa karena juga diketemukan di
otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosa infark akut dan akan meningkat
dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.

15

Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka


panjang. Marker yang lain seperti aminoid A, interleukin-6 belum secara
rutin dipakai dalam diagnosa SKA.
STEMI
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase CKMB dan cardiac
specifik troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala infark
miokard, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung
pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah
5-10 hari

Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.

Creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal
dalam 3-4 hari.

16

Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada


infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 814 hari.

NSTEMI
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih
disukai, karena lebih spesifik dari pada enzim jantung tradisional seperti
CK dan CKMB. Pada pasien dengan infark miokard, peningkatan awal
troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2
minggu
c. Coronary Angiography
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar X
pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk
menemukan letak sumbatan pada arteri koroner. Kateter dimasukkan melalui
arteri pada lengan atau paha menuju jantung. Prosedur ini dinamakan
kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi koroner Zat
kontras yang terlihat melalui sinar X diinjeksikan melalui ujung kateter pada
aliran darah. Zat kontras itu pemeriksa dapat mempelajari aliran darah yang
melewati pembuluh darah dan jantung.
Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty,
dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadangkadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam arteri untuk
menjaga arteri tetap terbuka.
8. Komplikasi
a. Aritmia
b. Disfungsi ventrikel kiri
c. Hipotensi
d. Syok kardiogenik
e. Kematian mendadak
f. Aneurisma ventrikel
g. Ruptur septum ventrikuler
h. Lain-lain seperti emboli paru dan infark paru, emboli arteri sistemik, stroke
emboli, ruptur jantung, disfungsi dan ruptur m. papilaris
9. Penatalaksanaan

17

Prinsip umum :
a. mengembalikan aliran darah koroner dengan trombolitik/ PTCA primer untuk
b.
c.
d.
e.

menyelamatkan oto jantung dari infark miokard


Membatasi luasnya infark miokard
Mempertahankan fungsi jantung
memperlambat atau menghentikan progresifitas penyakit
Memperbaiki kualitas hidup dengan mengurangi frekuensi serangan

angina
f. Mengurangi atau mencegah infark miokard dan kematian mendadak.
Terapi Awal
Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan
b. Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT
c. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat memperbaiki
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan
beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level
oksigen 23 liter/ menit secara kanul hidung.
d. Nitrogliserin (NTG): Kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia
(< 50 kali/menit), takikardia. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 0,6
mg), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5
menit dilanjutkan dengan drip intravena 510 ug/menit (jangan lebih 200
ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg.
Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan
kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga
mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan
memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih
menjadi pertanyaan).
e. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance;
menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan
darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard
berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 4 mg intravena sambil
memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan. Dapat

18

diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena
atau tramadol 25-50 mg iv.
f. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak
ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase 1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksanA2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
Dosis yang dianjurkan ialah 160325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik
"chewable" dari pada tablet. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan
pada pasien yang mual atau muntah.
g. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine
diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi.
Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal
infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis
dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent
koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis,
tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari)
bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang
baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%,
dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 1016% menjadi 0,25,5%21.
Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia
(meskipun

jarang)

sampai

dengan

dapat

terjadi

purpura

trombotik

trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu
II III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi
dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah
komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas
dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang
diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22.
Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai
antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 4060% inhibisi
dicapai dalam 37 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at

19

Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna


lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah
(IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Terapi lanjutan (Reperfusi) : dilakukan oleh yang berkompeten dan dalam
pengawasan ketat di ICU
a. Trombolitik
Penelitian menunjukan bahwa secara garis besar semua obat trombolitik
bermanfaat. Trombolitik awal (kurang dari 6 jam) dengan strptokinase atau
tissue Plasminogen Activator (t-PA) telah terbukti secara bermakna
menghambat perluasan infark, menurunkan mortalitas dan memperbaiki fungsi
ventrikel kiri. Indikasi :
- Umur < 70 tahun
- Nyeri dada khas infark, lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan
-

pemberian nitrat.
Elevasi ST lebih dari 1 mm sekurang-kurangnya pada 2 sadapan EKG
Saat ini ada beberapa macam obat trombolisis yaitu streptokinase,
urokinase, aktivator plasminogen jaringan yang direkombinasi (r-TPA) dan
anisolated plasminogen activator complex (ASPAC). Yang terdapat di
Indonesia hanya streptokinase dan r-TPA. R-TPA ini bekerja lebih spesifik
pada fibrin dibandingkan streptokinase dan waktu paruhnya lebih pendek.

Kontraindikasi :
- Perdarahan aktif organ dalam
- Perkiraan diseksi aorta
- Resusitasi kardio pulmonal yang berkepanjangan dan traumatik
- Trauma kepala yang baru atau adanya neoplasma intrakranial
- Diabetic hemorrhage retinopathy
- Kehamilan
- TD > 200/120 mmHg
- Telah mendapat streptokinase dalam jangka waktu 12 bulan
b. Antikoagulan dan antiplatelet
Beberapa hari setelah serangan IMA, terdapat peningkatan resiko untuk
terjadi tromboemboli dan reinfark sehingga perlu diberikan obat-obatan
pencegah. Heparin dan Aspirin referfusion trias menunjukkan bahwa heparin
(intravena) diberikan segera setelah trombolitik dapat mempertahankan
potensi dari arteri yang berhubungan dengan infark. Pada infus intravena

20

untuk orang dewasa heparin 20.000-40.000 unit dilarutkan dalam 1 liter


larutan glukosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan dalam 24 jam. Untuk
mempercepat efek, dianjurkan menambahkan 500 unit intravena langsung
sebelumnya. Kecepatan infus berdasarkan pada nilai APTT (Activated Partial
Thromboplastin Time). Komplikasi perdarahan umumnya lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan pemberian secara intermiten.
10. Pengkajian Keperawatan
a. Riwayat
1) Data biografi berupa identitas pasien
2) Keluhan utama : biasanya pasien dengan sindrom koroner akut mengeluh
nyeri dada. Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan
secara cepat dan tepat apakah pasien menderita infark miokard atau tidak.
Diagnosis yang terlambat atau salah, dalam jangka panjang dapat
menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (angina)
merupakan gejala kardinal pasien infark miokard. Dalam hal ini harus
mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri
dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien infark miokard.
Keluhan nyeri dada harus diperjelas dengan melakukan anamnesa sifat
nyeri dada yaitu:
lokasi: substernal, retrosternal, dan perikordial.
sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin
durasi: lebih dari 30 menit atau berapa lama?
onset: tiba tiba, baru pertama kali atau sudah berulang.
3) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan
lemas. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas
pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat
terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia.
Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko

21

kardiovaskular multipel

dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan

diagnosis.
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat penyakit dahulu akan sangat mendukung kelengkapan data kondisi
saat ini. Data ini diperoleh dengan mengkaji apakah klien pernah menderita
nyeri dada, hipertensi, diabetes melitus, atau hiperlipidemia. Tanyakan
mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh pasien pada masa yang lalu
yang masih relevan dengan obat-obatan anti angina seperti nitrat dan
penhambat beta serta obat-obatan antihipertensi. Catat adanya efek samping
yang terjadi dimasa lalu, alergi obat dan reaksi alergi yang timbul.
Seringkali pasien menafsirkan reaksi alergi sebagai efek samping obat.
5) Riwayat penyakit keluarga
Perawat senantiasa harus menanyakan tentang penyakit yang pernah
dialami keluarga, anggota keluarga yang meninggaldan penyebab kematian.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
6) Riwayat Psikososial
Perawat perlu menanyakan kebiasaan sosial dengan menanyakan pola
hidup misalnya minum alkohol atau obat tertentu. Keiasaan merokok
dikaji dengan menanyakan kebiasaan merokok sudah berapa lama,
berapa batang perhari, dan jenis rokok.
Dalam mengajukan pertanyaan pada pasien, hendaknya perhatikan
kondisi klien. Bila pasien dalam keadaan kritis, maka pertanyaan yang
diajukan adalah pertanyaan tertutup atau pertanyaan yang dapat dijawab
dengan gerakan tubuh seperti mengangguk atau menggelengkan kepala.
Perubahan integritas ego yang perlu dikaji dalam hal ini adalah pasien
menolak, menyangkal, cemas, gelisah, marah atau fokus pada diri
sendiri.
Perubahan interaksi sosial yang dialami pasien terjadi karena stress yang
dialami pasien dari berbagai aspek seperti keluarga, pekerjaan, kesulitan
biaya ekonomi atau kesulitan koping dengan stresor yang ada.
7)

Pengkajian Level pertama


Fungsi Fisiologis

22

Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Dalam


hal ini bisa diterapkan konsep model adaptasi Sister Calista Roy yang
mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi
untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua bagian, mode
fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5 kebutuhan dan fungsi
fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri dari 4 bagian yaitu :
a) Oksigenasi
Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu ventilasi,
-

pertukaran gas dan transpor gas.


Sirkulasi Perifer :
Frekuensi nadi, bagaimana irama dan denyutannya, tekanan darah,
-

temperatur ekstremitas, warna kulit, waktu pengisian kapiler (CRT).


Sirkulasi Jantung:
Kecepatan denyut jantung, irama jantung, kelainan bunyi jantung

seperti mur-mur, gallop, keluhan yang dirasakan.


Sistem Pernafasan :
Keluhan- keluhan pasien sesak nafas, nyeri dada, ada atau tidaknya
retraksi dinding dada saat bernafas, ekspansi paru, irama pernafasan,
penggunaan alat bantu pernafasan.

b) Nutrisi
Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk mempertahankan
fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan yang injuri.
eperti keluhan pasien tentang nafsu makan yang menurun, adanya rasa
mual, warna konjungtiva, data antropometri seperti TB dan BB, jumlah
porsi makanan yang dihabiskan, data penunjang seperti Hemoglobin.
c) Eliminasi
Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan ginjal. Keluhan
pasien tentang BAK dan BAB, adanya gangguan yang dirasakan.
d) Aktivitas dan istirahat
Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat yang digunakan
untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan
memulihkan semua komponen-komponen tubuh. Menggambarkan pola
latihan,aktivitas,fungsi

pernafasan

dan

sirkulasi,

latihan/gerak dalam keadaan sehat dan sakit, gerak tubuh.


Subjektif :

23

pentingnya

Rasa lemah, cepat lelah, aktivitas berat timbul sesak (nafas pendek), sulit
tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.
Objektif :
Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak.
e) Proteksi
Sebagai dasar defens tubuh termasuk proses imunitas dan struktur
integumen ( kulit, rambut dan kuku) dimana hal ini penting sebagai
fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan suhu.
f) Sensasi
Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau memungkinkan
seseorang berinteraksi dengan lingkungan . Sensasi nyeri penting
dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan.
g) Cairan dan elektrolit
Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya termasuk air, elektrolit,
asam basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi sistemik. Sebaliknya
inefektif fungsi sistem fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit. Menggambarkan adanya keluhan mual muntah, asupan cairan
tiap hari, adanya edema, keringat pada malam hari, data penunjang
Laboratorium: seperti Ureum, Kreatinin, Na, K, Cl.
h) Fungsi neurologi
Hubungan-hubungan neurologis merupakan bagian integral dari
regulator koping mekanisme seseorang. Mereka mempunyai fungsi
untuk mengendalikan dan mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran
dan proses emosi kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organorgan tubuh. Tingkat kesadaran, status kognitif, koordinasi dan kontrol
gerakan tubuh, fungsi sensorik dan motorik .
i) Fungsi endokrin
Aksi endokrin adalah pengeluaran horman sesuai dengan fungsi
neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi fungsi tubuh.
Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan dalam respon
stress dan merupakan dari regulator koping mekanisme. Adanya riwayat
penyakit keluarga seperti DM, keluhan-keluhan pada sistem endokrin.
8) Mode Konsep diri

24

Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan


spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari
konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara lain persepsi,
aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy terdiri
dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.
a) The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya
berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya.
Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan,
seperti setelah operasi, amputasi atau hilang kemampuan seksualitas.
b) The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri,
moral- etik dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas, hilangnya
kekuatan atau takut merupakan hal yang berat dalam area ini.
9) Mode fungsi peran
Mode fungsi peran mengenal pola pola interaksi sosial seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer,
sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat
memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya .
10) Interdependen
Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta/ kasih
sayang,

perhatian

dan

saling

menghargai.

Interdependensi

yaitu

keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima


sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan
untuk afiliasi dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh
kemampuan

berinisiatif

untuk

melakukan

tindakan

bagi

dirinya.

Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai ekstrim,


yaitu memberi dan menerima.
Pengkajian Level Kedua
1) Stimulus Fokal
Stimuli focal merupakan perubahan perilaku yang dapat diobservasi. Pada
pengkajian ini, pada pasien SKA mengalami penyumbatan koroner akibat
proses aterosklerosis dan pembentukan trombus menyebabkan pasien
mengeluh nyeri dada. Adanya riwayat hypertensi lama yang dialami akan
mencetuskan gangguan pembuluh darah koroner dimana telah terjadi infark
pada otot miokardium.
2) Stimulus Kontekstual

25

Stimuli kontekstual ini berkontribusi terhadap penyebab terjadinya perilaku


atau presipitasi oleh stimulus focal.
3) Stimulus Residual
Pada tahap ini yang mempengaruhi adalah pengalaman masa lalu. Helson
dalam Roy, menjelaskan bahwa beberapa faktor dari pengalaman lalu
relevan dalam menjelaskan bagaimana keadaan saat ini. Sikap, budaya,
karakter adalah faktor residual yang sulit diukur dan memberikan efek pada
situasi sekarang. Pada kasus SKA misalnya adanya riwayat keluarga dan
pasien menderita hipertensi dalam waktu yang sudah cukup lama disertai
riwayat merokok 2-3 bungkus perhari sehingga memudahkan munculnya
masalah gangguan pembuluh darah koroner.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan sindrom koroner akut dilakukan dengan
tekhnik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Sebagian besar pasien cemas
dan tidak bisa tenang (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya SKA. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau
hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intesitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal
yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial
friction rub. Peningkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dalam minggu
pertama pasca STEMI.
1) Tampilan Umum
Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas simpatis
berlebihan. Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang (< 380 C)
bisa timbul setelah 12-24 jam pasca infark.
2) Denyut Nadi dan Tekanan Darah
Sinus takikardi (100-120 x/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya
akan

melambat

dengan

pemberian

analgesic

yang

adekuat.

Denyut jantung yang rendah mengindikasikan adanya sinus tau blok


jantung sebagai komplikasi dari infark. Peningkatan tekanan darah moderat
merupakan akibat dari pelepasan kotekolamin. Sedangkan jika terjadi

26

hipotensi maka hal tersebut merupakan akibat dari aktivitas vagus berlebih,
dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau tanda dari syok kardiogenik.
3) Pemeriksaan jantung
Terdangar bunyi jantung S4 dan S3 , atau mur-mur. Bunyi gesekan perikard
jarang terdengar hingga hari kedua atau ketiga atau lebih lama lagi (hingga
6 minggu) sebagai gambatan dari sindrom Dressler.
4) Pemeriksaan paru
Ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak terdapat
gambaran edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal
itu merupakan komplikasi infark luas, biasanya anterior.
c. Uji Diagnostik
Dengan pemeriksaan EKG, Laboraturium, biomarker kerusakan jantung dan
coronary angiography.
11. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul pada sindrom koroner akut antara
lain :
a. Nyeri dada b.d. ketidakseimbangan suplay darah dan oksigen dengan kebutuhan
miokardium akibat sekunder dari penurunan suplay darah ke miokardium,
peningkatan produksi asam laktat.
b. Aktual/risiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan/penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.
d. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan
utama paru, perubahan membran alveolar-kapiler.
e. Intoleransi aktivitas b.d penurunan perfusi perifer akibat sekunder dari
ketidakseimbangan suplay oksigen dengan kebutuhan miokardium.
f. Cemas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis.
g. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi tentang penyakit/ implikasi
penyakit jantung.
12. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri dada b.d. ketidakseimbangan suplay darah dan oksigen dengan kebutuhan
miokardium akibat sekunder dari penurunan suplay darah ke miokardium,
peningkatan produksi asam laktat.
Tujuan : nyeri dada terkontrol

27

NOC : Pasien dapat mengontrol nyerinya, menunjukkkan menurunnya


ketegangan, rileks, mendemonstrasikan tehnik relaksasi, tanda-tanda vital
dalam batas normal (tekanan darah 120/80 mmhg, nadi 60-100 x/menit,
respirasi 16-20x/menit).
NIC : pantau/catat karakteristik nyeri baik verbal maupun non verbal,
misalnya meringis, menangis, gelisah, mengcengkeram. Catat gambaran
lengkap terhadap nyeri dan lokasinya. Observasi dan lakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital. Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri angina atau
nyeri infark, diskusikan riwayat keluarga. Anjurkan pasien untuk melaporkan
nyeri dengan segera. Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang. Kolaborasi
untuk pemberian oksigenasi. Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan,
antiangina, misal NTG, Analgetik, misal morfin.
b. Aktual/risiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal.
Tujuan : Tanda-tanda penurunan curah jantung tidak terjadi.
NOC : mempertahankan stabilitas haemodinamik (tanda-tanda vital dalam
batas normal), produksi urine adekuat ( 0,5-1.5 cc/kg BB/jam), tidak ada
tanda-tanda disritmia.
NIC : Observasi dan lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (TD, nadi,
respirasi dan suhu). Evaluasi/bandingkan nadi radialis dengan apical. Catat
dan lakukan auskultasi bunyi jantung S3 dan S4. Auskultasi bunyi nafas. Catat
respon melalui aktifitas dan peningkatan istirahat. Berikan makanan porsi kecil
dan gampang dikunyah. Kolaborasi berikan oksigen sesuai kebutuhan. Kaji
ulang serial EKG. Evaluasi foto dada. Pantau laboratorium (elektrolit, enzim
jantung, AGD).
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan/penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.
Tujuan : penurunan perfusi jaringan tidak terjadi.

28

NOC : perfusi adekuat ke jaringan dengan tanda kulit hangat, nadi perifer
kuat, tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 120/80 mmhg, nadi 60-100
x/menit, respirasi 16-20 x/menit, suhu 36-370C), tidak ada edema.
NIC : kaji perubahan tibaa-tiba tingkat kecemasan, gelisah, bingung, pingsan.
Lihat pucat, cianotis, kulit dingin dan lembab. Kaji tanda Homan, edema, dan
eritema. Dorong latihan kak pasif/aktif. Pantau pernafasan dan catat kerja
pernafasan. Kaji fungsi gastrointestinal, apaka ada mual, muntah distensi
abdomen. Catat Intake dan Output dan periksa berat jenis urine. Kolaborasi :
pantau laboratorium, misal AGD, elektrolit, ureum kreatinin. pemberian obatobatan sesuai indikasi, ranitidine (zantac).
d. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan
utama paru, perubahan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : tidak terjadi gangguan pertukaran gas
NOC : pertukaran gas adekuat dengan kriteria hasil pasien
mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat, memelihara kebersihan paru paru dan bebas
dari tanda tanda distress pernafasan, mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan

dyspneu

(mampu

mengeluarkan

sputum,

mampu

bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips), tanda tanda


vital dalam rentang normal, AGD dalam batas normal, status
neurologis dalam batas normal.
NIC : Posisikan

pasien

untuk

memaksimalkan

ventilasi,

Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan, catat


area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan,
Monitor respirasi dan status O2, Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan,
supraclavicular

penggunaan
dan

otot

intercostals,

tambahan,
Monitor

retraksi
pola

otot

nafas

bradipnea, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,


biot, Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus mental, Observasi
sianosis khususnya membrane mukosa, Auskultasi bunyi

29

jantung, jumlah, irama dan denyut jantung, kolaborasi untuk


obat-obatan.
e. Intoleransi aktivitas b.d penurunan perfusi perifer akibat sekunder dari
ketidakseimbangan suplay oksigen dengan kebutuhan miokardium.
Tujuan : peningkatan toleransi aktifitas dapat ditingkatkan/maju.
NOC : dapat mendemonstrasikan peningkatan aktifitas, tanda-tanda vital
dalam batas normal saat aktivitas (TD 120/80 mmhg, nadi 60-100x/menit,
respirasi 16-20x/menit, suhu 36-370 C), saturasi oksigen 95-100%, gambaran
EKG sinus rhytm, kulit hangat dan merah muda, melaporkan tak adanya
angina.
NIC : Tingkatkan istirahat/ batasi aktifitas untuk menurunkan kerja jantung.
Monitor respon oksigen pasien (pulse rate, irama jantung dan RR) untuk
menentukan

tingkatan

aktivitas

yang

dapat

dilakukan.

Batasi

pengunjung/tamu. Anjurkan klien untuk menghindari penekanan abdomen,


contoh mengejan saat defekasi.. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari
tingkat aktifitas, contoh bangu dari kursi, berjalan disekitar tempat tidur. Kaji
ulang tanda/gejala yang menunjukkan tidak toleran terhadap aktifitas.
Kolaborasi dengan tim rehabilitasi.
f. Cemas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis.
Tujuan : rasa cemas berkurang sampai dengan hilang.
NIC : Pasien dapat mengontrol kecemasanya. Menggunakan strategi koping
yang efektif, mendapat informasi cara menurunkan nyeri, klien dapat
mengenal perasaannnya, menyatakan penurunan anxietas/takut. NOC :
Lakukan tindakan dengan tenang, jelaskan semua prosedur termasuk
pengalaman dalam melakukan prosedur untuk memberikan rasa aman.
Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman/situasi. Catat
adanya kegelisahan, menolak/menyangkal program medis Kaji tanda
verbal/non verbal kecemasan yang ada pada klien.. Hindari konfrontasi dengan
klien, libatkan keluarga/orang terdeekat untuk tindakan-tindakan/prosedur
rutin. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman. Dorong kemandirian dan

30

pembuatan keputusan dalam rencana pengobatan. Dorong keputusan/harapan


setelah pulang.
g. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi tentang penyakit/ implikasi
penyakit jantung.
Tujuan : keluarga dan klien dapat mengenal dan mengetahui mengenai
penyakit miokard infark.
NOC : keluarga dank lien dapat mengerti mengenai penyakit jantung sendiri,
menyebutkan tanda dan gejala, merencanakan perubahan pola hidup bila perlu.
NIC

kaji

tingkat

pengetahuan

pasien/orang

terdekat

dan

kemampuan/keinginan untuk belajar. Waspada terhadap tanda penghindaran,


misal merubah subjek, atau perilaku menolak.

Berikan informasi dalam

bentuk belajar yang bervariasi , contoh : pertanyaan jawaban, audio visual,


aktifitas kelompok. Beri penguatan faktor resiko, pembatasan diet/aktifitas,
obat dan gejala yang memerlukan perhatian medis secara cepat. Dorong
mengidentifikasikan /penurunan faktor resiko individu. Kaji ulang program
meningkatkan aktifitas, didik pasien untuk melakukan aktifitas secara
bertahap. Beri tekanan pentingnya menghubungi dokter bila nyeri dada,
perubahan pola angina, atau terjadinya gejala lain.
13. Discharge Planning
a. Beri pendidikan tentang kondisi yang spesifik
b. Berikan instruksi spesifik tentang obat dan efek sampingnya
c. Ajarkan tentang tekhnik memberi makan dan kebutuhan nutrisi
d. Diet rendah kalori dan mudah dicerna
e. Anjurkan pada pasien untuk menghentikan aktifitas selama ada serangan dan
istirahat
f. Kenali gejala-gejala yang ditimbulkan penyakit.
14. Evidence Based
a. Pengaruh Latihan Aerobik pada Kekuatan Tangan dan Dexterity Pasien
dengan Penyakit Arteri Koroner
Untuk menguji pengaruh langsung dari latihan olahraga aerobikpada
kekuatan otot tangan dan ketangkasan. Empat puluh subyek dengan penyakit
jantung koroner digunakan sebagai sampel dan dibagi menjadi dua kelompok

31

sebagai latihan dan kontrol. Kelompok latihan menjalani latihan rehabilitasi


jantung berdasarkan Program. Tangan kekuatan pegangan dan ketangkasan
tangan dinilai hanya kembali dan 5 menit setelah sesi latihan. Pada kelompok
kontrol grip kekuatan dan ketangkasan yang dinilai sebagai awal dan setelah
35 menit. Kekuatan tangan pegangan diukur dengan Jam dinamometer
tangan. Uji Purdue pegboard digunakan untuk mengevaluasi ketangkasan
tangan. Kekuatan cengkeraman kedua tangan meningkat secara signifikan 5
menit setelah sesi latihan aerobik jika dibandingkan dengan pra-latihan atau
penilaian pada kelompok latihan (p <0,05). Ada perbedaan yang signifikan
dalam semua tahapan uji pegboard Purdue antara pra dan pasca-pelatihan (P
<0,001) pada kelompok latihan. Nilai dari Purdue pegboard dexte- Uji di
post pelatihan lebih tinggi dari skor pre-pelatihan (feray Soyupek, 2006).
b. Rehabilitasi jantung ( CR ) adalah set lengkap penelitian oleh tim
multidisiplin terorganisir untuk membantu individu dengan penyakit
kardiovaskular kembali kapasitas fungsional optimal yang diperlukan untuk
memastikan status fisik, mental dan sosial . Sementara CR sebelumnya
digunakan untuk diterapkan hanya dalam bentuk program-program berbasis
olahraga, program CR komprehensif dikombinasikan dengan program
pencegahan sekunder untuk mengurangi faktor risiko koroner telah
dikembangkan saat ini. Pelatihan olahraga dan konseling aktivitas fisik yang
merupakan komponen inti dari CR bermain peran penting dalam program ini.
CR setelah sindrom koroner akut dianjurkan dengan kelas 1 indikasi yang
paling pedoman up - to-date . Hari ini , program CR memiliki tiga tahap
dasar . Dalam artikel ini informasi yang berhubungan dengan seleksi pasien,
evaluasi risiko dan proses rehabilitasi Ulasan berdasarkan bukti saat ini
tentang CR berbasis latihan berikut sindrom koroner akut (Anahtar
Kelimeler, 2015).

32

DAFTAR PUSTAKA
Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Diit atau Konservatif.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews.197
diakses tanggal 23 April 2015
Bare & Smeltzer.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 2,
Jakarta: EGC.
Griffin, Brian P. Dkk. (2004). Manual of Cardiovaskuler Medicine, Second Edition.
Piladelphia. Lippincoott William & Wilkins.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.(2008). Riskesdas. Jakarta
Kristen J. (2005) Acute Coronary Syndrome. AJN. May 2009 Vol. 109, No. 5
Doengoes, Marilynn E, dkk. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3,
Jakarta, EGC.
Lilly LS. (2011). Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome.
2011. P:162-75).
Nursalam. (2001). Proses Dan Dokumentasi Keperawatan Konsep Dan Praktik.
Jakarta: Salemba Medika.

33

Oktavianus dan Sari.(2014). Asuhan Keperawatan Pada Sistem Kardiovaskuler


Biasa. Yogyakarta: Graha Ilmu
Perry & potter. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi 4. Jakarta:EGC
Rilantono, Lyli Ismudiati, dkk. (2001). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tapan, Erik. (2002). Penyakit Degeneratif. Jakarta: Elex Media
Wasid. (2007). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.
Jakarta
Wilkinson, M. Judith. (2006). NANDA, NOC and NIC Linkages, Nursing diagnosis,
outcomes and intervention, edisi ke-dua, Philadelphia: Mosby Elsevier.
Zimetbaum PJ, Josephson ME.(2003). Use of the electrocardiogram in acute
myocardial infarction. N Engl J Med; 348: 934-935

34

35

Anda mungkin juga menyukai