PENDAHULUAN
Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan
yang membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan
kerusakan permanen pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan
penyebab tersering demam disertai tanda dan gejala kelaian susunan saraf pusat
pada anak. Infeksi sebenarnya dapat disebabkan oleh mikroba apapun, patogen
spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status imun hospes dan epidemiologi
patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh lebih sering
daripada infeksi bakteri, yang lebih sering daripada infeksi jamur dan parasit.
Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar:
yang utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim
(ensefalitis).
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada
meninges atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum
tulang belakang yang terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara
klinis, meningitis bermanifestasi dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala,
kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis (peningkatan jumlah sel darah putih)
dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada durasi gejala, meningitis
dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis.
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi
oleh infeksi bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui
aliran darah dari bagian lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung
(perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak).
Meningitis purulenta (dalam sinonimnya meningitis piogenik atau
meningitis bakterial akut {non-TB}) merupakan salah satu jenis meningitis yang
termasuk dalam kegawatdaruratan medis dengan inflamasi meningen yang
ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan
serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan
BAB II
ISI
2.1. Definisi
Meningitis adalah suatu radang yang mengenai sebagian atau semua
lapisan selaput otak yang membungkus jaringan otak sampai sumsum tulang
belakang yang terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater.
Meningitis purulenta ialah radang selaput otak (arakhnoidea dan piamater)
yang menimbulkan eksudasi berupa pus sehingga cairan otak menjadi keruh,
disebabkan oleh kuman non spesifik dan non virus.
Meningitis Serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang
sering disebabkan oleh kuman spesifik seperti Mycobacterium tuberculosa.
Meningitis Tuberkulosa adalah infeksi mycobacterium tuberculosis yang
mengenai arachnoid, piameter dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel.
Penyakit ini merupakan meningitis yang sifatnya subakut atau kronis dengan
angka kematian dan kecacatan yang cukup tinggi. Meningitis tuberkulosa
merupakan radang selaput otak akibat komplikasi primer, secara histologik
meningitis tuberkulosa merupakan meningoenfefalitis (tuberkulosa) di mana
terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan sarat pusat.
2.2. Etiologi
Pada meningitis purulenta, sebagai kuman penyebab ialah jenis
Pneumokokus, Hemophilus influenza, Staphylokokus, Streptokokus, E. Coli,
Meningokokus dan Salmonella, Listeria, Klebsiela. Di Jakarta penyebab
terbanyak ialah Pneumokokus dan H. Influenza. Di negeri barat penyebab
terbanyak Meningokokus, sedangkan di Jakarta jarang ditemukan.
Etiologi Meningitis Purulenta Akuta Menurut Urutan Frekuensi(1)
Neonatus
Bayi dan anak
Dewasa
E. Coli
H. influenza
Pneumokokus
Streptokokus
Meningokokus
Meningokokus
Stafilokokus
Pneumokokus
Stafilokokus
pneumokokus
E. Coli
Streptokokus
Streptokokus
H. influenza
seperti
virus
atau
mikobakterium.
Penyebab
terseringnya
adalah
adalah
Mycobacterium
bovis,
Mycobacterium
africanum,
Mycobacterium microti.
2.3. Epidemiologi
Meningitis purulenta terutama menyerang anak usia <2 tahun, dengan
puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan. Penyebab utama meningitis pada
anak adalah Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae
(invasive pneumococcal diseases/IPD). Insidens meningitis purulent di negara
maju sudah menurun sebagai akibat keberhasilan imunisasi Hib dan IPD.
Kejadian meningitis purulenta oleh Hib menurun 94%, dan insidensi penyakit
invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak usia 1
tahun menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7
dilaksanakan. Di Indonesia, kasus tersangka meningitis purulenta sekitar
158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain
67/100.000, angka yang tinggi apabila dibandingkan dengan negara maju.
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam
tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya
sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa
meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara
endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus
tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja
menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan
sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,
hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak
diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual.
2.4. Patogenesis, Patofisiologi dan Faktor Resiko
2.4.1 Meningitis Purulenta
Pada meningitis purulenta Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1.
2.
3.
4.
Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui
jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan
lahir.
sel
dan
zat
biokimiawi
tubuh
yang
dikerahkan
untuk
Ketuban
pecah
dini,
partus
lama,
manipulasi
yang
sekali
tidak
ditransfer
melalui
plasenta),
akan
atau
dysgamaglobulinemia,
kekurangan
Hodgkin
menyebabkan
penurunan
produksi
Influenzae
tipe
disusul
oleh
Streptococcus
c.
proteus,
pertahanan
humoral
dan
aktivitas
fagositosis
dalam
cairan
Produk produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi
mediator inflamasi seperti Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF).
Mediator inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, yang selanjutnya mengakibatkan
menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bakterial dapat juga terjadi
syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh
karena proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan
kebocoran vasopressin endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam
keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini menyebabkan hipovolemia, oliguria dan
peningkatan osmolaritas urine meskipun osmolaritas serum menurun, sehingga
timbul gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel dan kejang.
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah
kaudal dan terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke
kaudal ini menyebabkan herniasi dari gyri parahippocampal, cerebellum, atau
keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis menyebabkan terjadinya
gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari batang otak
menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati,
perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat
dan progresif menyebabkan henti nafas dan jantung.
10
11
12
yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat
sering menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik
korteks serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau
karena hipoksia, invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang
fokal dang gangguan fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari
ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan
gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan
tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena
proses infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan
vena di duramater atau arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan
kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat
molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi
subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama,
kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood
brain barrier) menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS
terganggu atau hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.
Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi
dan penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan
vaskulitis; kelainan saraf kranial pada meningitis purulenta disebabkan karena
adanya peradangan lokal pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular
ke saraf cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang ataksia yang ringan,
paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke selaput otak
di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke
mastoid, sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran
tipe konduktif. Kelain saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan
kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri,
sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul
disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan
peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini
13
14
dan peningkatan tekanan intrakanial. Kelainan juga terjadi pada pembuluhpembuluh darah yang berjalan dalam ruang subaraknoid berupa kongesti,
peradangan dan penyumbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis juga
mengakibatkan infrak otak terutama pada bagian korteks, medulla oblongata dan
ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala
akibatnya.
Pada meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak
ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat
menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan
beberapa fokus metastase yang biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun
1951. Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali oleh pembentukan tuberkel di
otak, selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara
hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan
tuberkulosis kronik walaupun jarang. Bila penyebaran hematogen terjadi dalam
jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer
seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu
pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala.
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi
radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang
menyeluruh akan berkembang.
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis
akan menyebabkan spinal block dan paraplegia. Patogenesis terjadinya meningitis
tuberkulosis secara skematis, dapat diamati sebagai berikut:
BTA masuk tubuh
15
Multiplikasi
Penyebaran hematogen
Meningens
Membentuk tuberkel
MENINGITIS TUBERKULOSA
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus.
3. Acute inflammatory caseous meningitis.
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks.
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid.
4. Meningitis proliferatif.
Terlokalisasi, pada selaput otak.
Difus dengan gambaran tidak jelas.
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan
pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon
pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor
yang mempengaruhi.
2.5. Manifestasi Klinis
2.5.1 Manifestasi Klinis Meningitis Purulenta
16
Onset dari meningitis akut memiliki 2 pola awal yang dominan. Yang
paling membahayakan namun tidak memiliki gejala yang begitu jelas adalah yang
timbul mendadak dengan shock yang timbul cepat, purpura, DIC, kematian dan
koma dalam 24 jam. Yang lainnya adalah meningitis akan berlangsung selama
beberapa hari, dengan gejala demam, disertai gejala infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA) maupun traktus gastrointestianal (GIT) , disertai gejala SSP non
spesifik
Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi,
nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung.
Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari
septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodromnya ialah infeksi nasofarings,
oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofarings. Baik
meningokokus, maupun Hemofilus influenza dan Pneumokokus dapat menjadi
kausa dari otitis media. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis
media akibat infeksi kuman-kuman tersebut.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat
diandalkan sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu
dilakukan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
Tanda-tanda patognomonik yang memberikan pengarahan kepada jenis
bakteri yang bersangkutan ditemukan dalam bentuk :
(b) Peteki dan purpura adalah khas untuk infeksi meningokokus,
(c) Eksantema adalah indikatif untuk pneumokokus dan hemofilus
influenza,
(d) Arthritis dan anthralgia sering mengiringi infeksi meningokokus dan
H. Influenza,
(e) Otitis media yang hilang timbul dengan banyak mengeluarkan eksudat
dan menunjuk pada infeksi Pneumokokus,
(f) Hemoragi pada kulit yang cepat timbul dan berkombinasi dengan
keadaan syok adalah indikatif untuk septikemia Meningokokus.
17
18
mekanik
akibat
eksudat
meningen,
menyebabkan
gejala
19
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.
o Konstipasi.
o Apatis.
o Irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan
suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin
saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum
dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai
oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung
serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali
pada bayi.
20
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla
spinalis. Hemiparesis
yang
timbul
disebabkan
karena
infark/
iskemia,
quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang
lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin
menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama).
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial
yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
21
stupor
koma
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
opistotonus
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu
sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung
selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
2.6. Diagnosis
2.7. Diagnosis
2.7.1 Diagnosis Meningitis Purulenta
Diagnosis meningitis purulenta tidak dapat dibuat hanya dengan melihat
gejala dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah,
kaku kuduk dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi
pada meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hampir semua penulis
mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan
pemeriksaan cairan CSF melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien
dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi
pada stadium dini dapat dijumpai cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy
umumnya positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan
yang sebagian besar terdiri dari sel polimorfonukleus. Pada stadium dini
didapatkan jumlah sel hanya ratusan per milimeter kubik dengan hitung jenis
22
lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan demikian,
punksi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang
pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis
Dalam pemeriksaan CSF dapat ditemukan bakteri causa dengan melakukan gram
stain dan kultur, pleositosis neutrofil, peningkatan protein (100-500 mg/dL dengan
normalnya 20-45 mg/dL), penurunan kadar glukosa atau glukosa serum (dibawah
40 mg/dL pada glukosa CSF dan dibawah 50 mg/dL pada glukosa serum dengan
normalnya diatas 50 mg/dL pada glukosa CSF dan >75mg/dL pada glukosa
serum.), dan leukositosis dengan kisaran 10-10.000/mm3, dengan PMN yang
dominan. Normalnya leukosit <5/mm3 dan >75% merupakan limfosit.
Kontraindikasi untuk lumbal pungsi pada pasien meningitis purulenta
adalah adanya peningkatkan TIK (selain penonjolan fontanela) seperti adanya
palsi N. III dan N. VI disertai hilangnya kesadaran, atau hipertensi dengan
bradikardia dan kelainan respirasi; gangguan kardiopulmoner yang membutuhkan
resusitasi segera untuk shock atau ketika pungsi lumbar malah meningkatkan
beban kardiopulmoner. Dan infeksi kulit di lokasi pungsi lumbal akan dilakukan.
Bila lumbal pungsi ditunda, maka terapi antibiotic empiris perlu dilakukan. CT
scan dapat dilakukan untuk mencari adanya abses pada cerebri atau tidak dan
terapi harus tetap dilakukan walaupun terdapat abses. Lumbal pungsi dilakukan
setelah TIK menurun. Kultur darah harus selalu dilakukan pada pasien suspek
meningitis, dan 80-90% kasus kultur darah dapat menunjukan bakteri kausa
2.7.2 Meningitis Serosa
Dari anamnesis:
adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis
yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis
tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat
menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan,
23
ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun
besar menonjol (pada 33,3% kasus)
Dari pemeriksaan fisik:
tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk
biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun . Pemeriksaan
nervi craniales yaitu N III, N IV, N VI, N VII, N VIII, biasanya kelumpuhan
saraf otak dapat sering dijumpai
Uji tuberkulin positif
Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada anak, uji tuberkulin
merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat.
Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga
saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas
lengan bawah bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian
uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
daripembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan
(Indurasi)
klinis
tidak
ada
infeksiMycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan
(Indurasi)
3. Pembengkakan
(Indurasi)
24
Tes
Tekanan LP
Meningitis Bakterial
Meningkat
Meningitis Virus
Biasanya normal
Meningitis TBC
Bervariasi
Warna
Keruh
Jernih
Xanthochromia
Jumlah sel
> 1000/ml
< 100/ml
Bervariasi
Jenis sel
Predominan PMN
Predominan MN
Predominan MN
Protein
Sedikit meningkat
Normal/meningkat
Meningkat
Glukosa
Normal/menurun
Biasanya normal
Rendah
LP
Warna
PURULENTA
Keruh
SEROSA
Jernih
Sel
PMN 1000-10000
MMN 300-500
Protein
100-500 mg%
100-500 mg%
Glukosa
0-40 mg%
Rendah
25
Klorida
650-680
510
Mikroorganisme
Kultur
Khusus/Ziehl-Nielsen
Dapat
juga
kadar protein.
- Kadar glukosa: Kadar glukosa menurun < 40mg% tetapi tidak
26
Imaging) kepala
pada
pasien
meningitis
Pewarnaan
gram
cairan
serebrospinal
berguna
untuk
27
Oftalmoplegia
Hidrosefalus
Arachnoiditis
28
29
Komplikasi dini
komplikasi
pendengaran
samapi
lanjut
tuli,
dapat
disfungsi
terjadi
saraf
gangguan
kranial,
kejang
ini
penyebab
penting
kematian.
otak,
seperti
infark,
merupakan
penyebab
dari
atau
insersi
drain
ventrikular
diperlukan
untuk
30
dengan
penyebaran
mikroorganisem
dari
ruang
tekanan
intracranial
yang
cepat
dan
dapat
secara periodic.
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila
demam tetap ada setelah 72 jam pemberian antibiotic dan
pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetepa
membonjol, gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang
fokal atau umum, timbul kelainan neurologis fokal atau muntahmuntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi kepala
atau pencitraan. Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila
daerah translusen asimetri, pada bayi berumur kurang dari 6
bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada bayi berumur 6
bulan atau lebih daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya
efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a. kering sendiri, bila
jumlahnya sedikit; b.menetap atau bertambah banyak; c.
membentuk membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi
empiema.
Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya
dilakukan tap subdural apabila terdapat penenkanan jaringan
otak, demam menetap, kesadaran menurun tidak membaik,
peningkatan
tekanan
intracranial
menetap,
dan
empiema.
31
ulang
pasien,
memeriksa
elektrolit
serum,
diuretic
(furosemid).
Pada
pasien
berat
dapat
mengalami
komplikasi
tuli
terutama
apabila
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada meningitis purulenta adalah sebagai berikut
- Cairan intravena
- Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit
- Atasi kejang
32
10
tahun
kombinasi
ampisilin
dan
kloramfenikol
atau
ANTIBIOTIK
Neonatus
Ampisilin + gentamisin
Penisilin G
Ampisilin + Gentamisin
Gentamisin
Gentamisin
Ampisilin
Bayi dan anak kecil
Ampisilin + kloramfenikol
Penisilin + kloramfenikol
Streptokokus Pneumoniae
Hemofilus influenza tipe B
Kloramfenikol
Anak dan orang dewasa
Neisseria meningitidis (meningokoki)
Penisilin G
Penatalaksanaan meningitis serosa tuberkulosa:
1. Umum : Penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di Rumah Sakit,
dibagian perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan
setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai. Perawatan penderita
meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguhsungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada
33
Obat-obat lini kedua : terdapat tiga obat antituberkulosa lini kedua untuk
meningitis tuberkulosa yang digunakan sebagai tambahan ataupun
pengganti INH dan rifampisin. Ethambutol, pyrazinamid dan ethionamid
sangat
efektif
penetrasinya
ke
dalam
cairan
serebrospinal
untuk
menghilangkan inflamasi.
-
Obat-obat lini ketiga : lima obat yang paling sering digunakan adalah
aminoglikosida pada terapi tuberkulosis adalah golongan aminoglikosida
yaitu streptomisin, capreomisin, kanamisin, viomisin dan amikatin.
Kesemuanya adalah antibiotik polipeptida dan kesemunya berpotensi
menimbulkan nefrotoksik dan ototoksik. Kelima obat tersebut penetrasinya
sangat jelek kedalam otak atau cairan serebrospinal.
hari
Rifampisin
: 450 600mg/ kgBB / hari
Etambutol
: 65 mg / kgBB / hari
Pirazinamid : 1500 mg / kgBB / hari
Streptomisin : 1 gram
INH
: 300 mg / hari
34
Rifampisin
: 450 mg / hari
Etambuthol
: 1000 mg / hari
Pirazinamid
: 1500 mg / hari
3.
2.11 Prognosis
Pada meningitis purulenta berat ringannya penyakit ini tergantung pada
umur (makin muda makin berat), jenis kuman, berat ringannya infeksi, lama sakit
sebelum diobati, kepekaan kuman terhadap antibiotik (sering jenis kuman tidak
teridentifikasi) dan komplikasi yang timbul.
Prognosis buruk pada usia lebih muda, infeksi berat yang disertai DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation).
Pada meningitis serosa angka kematian pada umumnya 50%. Prognosis buruk
pada bayi dan orang tua. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.
Sama halnya dengan meningitis purulenta, prognosis ditentukan oleh kapan
pengobatan dimulai, pada stadium berapa, serta berapa umur penderita. Anak
dibawah 3 tahun dan dewasa diatas 40 tahun mempunyai prognosis yang buruk
35
36
Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan
memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis
harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg
/ hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid
terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan
piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
37
38
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal
Ethambutol
39
40
Meningitis Purulenta
Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.
Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman
gram negatif.
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke
meningitis. Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh
sebelum antibiotik yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan
penilaian klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda
hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal
berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa
negatif
41
Pediatric
42
juga). Jika
pneumoniae
dicurigai,
vankomisin
harus
ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada bayi prematur
harus mencakup agen antistaphylococcus dan seftazidim, amikasin, atau
meropenem.
Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif,
termasuk streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain
dari E coli, dan jenis H influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang
adekuat dalam likuor cerebrospinal (LCS). Aminoglikosida (misalnya, gentamisin,
tobramycin, amikasin) mempunyai aktivitas yang baik terhadap hampir
kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa
dan Serratia
43
Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low
minimum inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat
dilanjutkan sendiri. Cefotaxime dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang
baik terhadap kebanyakan S.pneumoniae resisten penisilin. Baik vankomisin dan
cefotaxime harus diberikan pada pasien dengan meningitis S. pneumoniae
sebelum hasil uji resistensi antibiotik tersedia.
Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan
secara ekstensif dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran
kadarnya pada LCS, agen ini telah terbukti efektif bila dikombinasikan dengan
antibiotik beta laktam-untuk pengobatan meningitis yang disebabkan oleh
organisme seperti streptococcus grup B dan enterococcus yang sensitif.
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. aeruginosa
mungkin memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin,
vankomisin, atau kombinasi dari seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi
LCS dan keamanan agen antimikroba harus menentukan penggunaan.
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan,
namun pengobatan selama
Streptococcus grup B. Waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS
dengan meningitis oleh bacil gram negatif, dan biasanya diperlukan pengobatan
selama 3-4 minggu .
Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan
klinis atau meningitis yang disebabkan oleh strain S pneumonia yang resisten atau
dengan basil enterik gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil gram
negatif, pemeriksaan CSS selama pengobatan diperlukan untuk memverifikasi
kultur steril.Pemeriksaan ulang terhadap CSS untukpemeriksaan kimia dan kultur
harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan; specimen lebih lanjut
diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun perbaikan klinis.
44
Antibiotic
Admin-
istration weight < 2000g weight >2000g weight < 2000g weight >2000g
Route
Ampicillin
IV, IM
50 mg q12h
50 mg q8h
50 mg q8h
50 mg q6h
Penicillin-G
IV
50,000 U q12h
50,000 U q8h
50,000 U q8h
50,000 U q6h
Oxacillin
IV, IM
50 mg q12h
50 mg q8h
50 mg q8h
50 mg q6h
Ticarcillin
IV, IM
75 mg q12h
75 mg q8h
75 mg q8h
75 mg q6h
Cefotaxime
IV, IM
50 mg q12h
50 mg q8h
50 mg q8h
50 mg q6h
Ceftriaxone
IV, IM
50 mg once
50 mg once daily
50 mg once
75 mg once daily
Penicillins
Cephalosporins
daily
Ceftazidime
IV, IM
daily
50 mg q12h
50 mg q8h
50 mg q8h
50 mg q8h
Admin-
Desired
(mcg/mL)
weight <
Dose for
Dose for
for birth
birth
birth
weight
weight <
weight
45
age 0-7 d
age 0-7 d
age >7 d
age >7 d
(mg/kg /
(mg/kg /
(mg/kg /
(mg/kg /
dose)*
dose)*
dose)*
dose)*
Aminoglycosides
Amikacin
IV, IM
20-30
7.5 q12h
10 q12h
10 q8h
10 q8h
2.5 q12h
2.5 q12h
2.5 q8h
2.5 q8h
2.5 q12h
2.5 q12h
2.5 q8h
2.5 q8h
15 q12h
15 q8h
15 q8h
15 q6h
(peak), < 10
(trough)
Gentamicin
IV, IM
5-10 (peak),
< 2.5
(trough)
Tobramycin
IV, IM
5-10 (peak),
< 2.5
(trough)
Glycopeptide
Vancomycin*
IV, IM
20-40
(peak), < 10
(trough)
46
47
Dose (mg/kg/d) IV
400
Dosing Interval
q6h
Vancomycin
60
2-4 g
q6h
Penicillin G
400,000 U
24 million
q6h
Cefotaxime
200-300
8-10 g
q6h
Ceftriaxone
100
4g
q12h
Ceftazidime
Cefepime*
150
150
6g
2-4 g
q8h
q8h
Imipenem
60
2-4 g
q6h
Meropenem
120
4-6 g
q8h
Rifampin
20
600 mg
q12h
48
dan resistensi.
perbaikan proses
inflamasi, penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit
didapatkan kerusakan otak.
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae
tipe B yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan
insidens gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki
gangguan pendengaran. Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan
deksametason pada kasus meningits oleh H.influenza tipe B
10 20 menit
sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 0,6 mg/kg setiap 6
jam selama 2-4 hari.
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik
ke SSP. Oleh karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang
berdasarkan kasus, resiko dan manfaatnya.
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi
seperti empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus
PENCEGAHAN
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai
jadwal merupakan pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti
istirahat yang cukup, tidak kontak langsung dengan penderita lain juga dapat
49
membantu. Bila hamil, resiko meningitis oleh bakteri Listeria (listeriosis) dapat
dikurangi dengan memasak daging dengan benar, hindari keju yang terbuat dari
susu tanpa pasteurisasi. Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab
meningitis: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus
influenzae type b (Hib)
Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di
America Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune). Vaksin
Meningococcus conjugate, Menactra and Menveo. Vaksin Meningococcus
tidak dapat mencegah semua tipe penyakit, namun dapat memberikan proteksi
orang-orang yang dapat sakit jika tidak diberi vaksin. Vaksin meningococcus
conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 18 tahun dan anak
serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.
Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin
polisakarida dan konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar),
yang diproduksi akhir tahun 2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan
untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun. PCV13 (Prevnar 13), diproduksi awal
tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin pneumococcus sebagai pencegahan
penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa sudah digunakan
sejak tahun 1977. Pneumovax, 23-valent polysaccharide vaccine (PPSV) di
rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau
lebih yang mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit
sel sabit, infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun
yang merokok dan mempunyai asma.
Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang
tinggi melawan meningitis purulenta oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b.
Vaksin Hib dapat mencegah can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi
50
serius lainnya yang disebabkan oleh bakteri Hib. Vaksin ini di rekomendasikan
untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di Amerika Serikat, dan biasa
diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat dikombinasikan dengan
vaksin lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
-
51
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Poerwodibroto,
Soebianto,
Prof,
Dr.
Dalam
srimaid@inco.com
4.
5.
Yosri,
Mohammed,
Penyakit
Meningitis,
dalam
http://www.health.com/my/baby/baby24.html
6.
7.
www.dhs.vic.gov.au/phd.
52
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
53