LO 1.2 Etiologi
Autoimunitas
Secara normal, sistem imun tidak bekerja untuk melawan antigen individu sendiri.
Fenomena ini disebut self-tolerance, yaitu kita mentoleransi antigen kita sendiri.
Terkadang terjadi kegagalan pada self-tolerance, yang mengakibatkan reaksi melawan
sel tubuh dan jaringan sendiri dan ini disebut autoimunitas.
Reaksi melawan mikroba
Terdiri dari banyak tipe reaksi melawan antigen mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit. Dalam beberapa kasus, reaksi muncul berlebihan atau antigen mikroba tetap
ada. Jika antibody dibentuk melawan antigen tersebut, maka antibody akan mengikat
antigen mikroba dan membentuk kompleks imun, yang dapat mengendap apda
jaringan dan memicu inflamasi. Sel T merespon melawan mikroba yang akan
meningkatkan inflamasi hingga parah, terkadang dengan adanya formasi granuloma
yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan di tuberculosis dan penyakit infeksi
lainnya.
Reaksi melawan antigen di lingkungan
Sebagian besar individu sehat tidak bereaksi secara kuat untuk melawan zat yang
umum pada lingkungan ( contoh : serbuk, bulu binatang, debu), tetapi hampir 20%
dari populasi alergi terhadap zat tersebut. Alergi adalah penyakit yang disebabkan
oleh berlebihannya respon imun terhadap beberapa beberapa jenis yang tidak
infeksius yang sebaliknya tidak berbahaya.
LO 1.3 Klasifikasi
LO 2.2 Mekansime
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase
lambat,
Batuk mengi
Sesak nafas
Peningkatan respon
(hiperaktivitas)
saluran
nafas
terhadap
berbagai
rangsangan
Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali hal
ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat (misalnya bias
lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis. Dalam beberapa
menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik
merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas.
Salian itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku
perut dan diare.
Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan
penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit. Reaksi
local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur
pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Kerentanan
terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan istilah atopi
digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi tersebut.
Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma) seringkali mempunyai
riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti secara
jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom
5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.
kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan
saluran nafas.
b. Reaksi sistemik anafilaksisi
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam
beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs
Tipe 1 atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam
nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai
mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacangkacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan
anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.
Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak
memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid
dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid,
taksol, penisilin, dan pelemas otot.
Reaksi Alergi
Jenis Alergi
Alergen Umum
Gambaran
Anafilaksis
Urtikaris akut
Sengatan serangga
Bentol, merah
Rinitis alergi
Asma
Makanan
Kerang, susu, telur, ikan, bahan Urtikaria yang gatal dan potensial
asal gandum
menjadi anafilaksis
Ekzem atopi
2. Mediator sekunder
-
Mediator Lipid
a. Leukotrien B4, bersifat sangat kemotaktik terhadap netrofil, monosit, dan
eosinofil
b. Leukotrien C4,D4, dan E4, meningkatkan ermeabilitas vaskuler dan
menyebabkan kontraksi otot polos bronchial
c. Prostaglandin D2 menyebabkan bronkospasme berat, vasodilatasi dan
sekresi mucus
d. Platelet-activating factor menyebabkan agregasi trombosit, pelepasan
histamin
LO 2.5 Terapi
bertanggung jawab adalah antibody yang khas dengan afinitas yang tinggi dapat
mengaktivasi komplemen dan mengikat Fc reseptor untuk melakukan fagositosis.
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen.
Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi
transfusi, karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yagn
menimbulka kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi
imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan komplemen
sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.
LO4.2 Mekansime
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks
imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi
masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau
sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan.
1. Komleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga
makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak
jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
Agregasi trombosit
Aktivasi makrofag
Influks neutrofil
Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran kompleks
imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut terjadi karena
histamin yang dilepas oleh sel mast.
LO 4.3 Manifestasi klinis
terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidka bersifar sistemis. Kerusakan organ
juga dapat terjadu menyertai reaksi sel T
terhadap
reaksi
mikroba.
Inflamasi
granulomatous yang terjadi mengakibatkan
kerusakan jaringan pada tempat infeksi.
LO 5.2 Mekansime
Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T, kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+
CTLs. Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel
T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap
antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan
mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag
dan sel sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan
dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat
sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada
kerusakan jaringan.
LO 5.3 Manifestasi klinis
Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan
yang tidak berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat
rambut (contoh reaksi DTH).
Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan
Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan),
akan menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat
suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M.
tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi.
Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung
membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan
biasanya tidak sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis
LO 5.5 Terapi
Pengobatan penyakit yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel
T adalah mengurangi inflamasi dengan menggunakan kortikosteroid, antagonis sitokin (anti
TNF) dan untuk menghambat respon sel T digunakan obat immunosupresif seperti
siklosporin. Antagonis terhadap TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien artristis
rheumatoid dan imflammatory bowel disease.
LI 6 Memahami dan menjelaskan antihistamin dan kortikosteroid
LO 6.1 Farmakokinetik
AH 1
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
AH 2
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode
pascamakan. Ranitidn mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
Kortikosteroid
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan
lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
LO 6.2 Farmakodinamik
AH 1
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot
polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan
AH 2
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
Kortikosteroid
-
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
LO 6.3 Indikasi
AH 1
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.
AH 2
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat
penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.
LO 6.4 Kontraindikasi
Kortikosteroid
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang
mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada
keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari
atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak
peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular
lainnya.
AH 1
Efek samping yang berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu
makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah
pada tangan.
AH 2
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor AH2, seperti nyeri
kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.
Kortikosteroid
Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit,hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu:
Kemasalahatan menurut manusia, dan
Kemaslahatan menurut syariat.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar terluka di perang
Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota Madinah, lalu bersabda,
Obatilah dia.
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,Wahai Rasulullah, apakah ada kebaikan
dalam ilmu kedokteran? Rasullah menjawab, Ya,
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita sakit di
zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, Panggilkan dokter. Lalu Hilal
bertanya, Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu untuknya? Ya, jawab
beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda, Panggilkan
dokter! kemudian ada yang bertanya, Bahkan engkau mengatakan hal itu, wahai
Rasulullah? Ya, jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan kita untuk
berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah untuk kita. Kita
juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah bersabda, Seorang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. (HR
Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah dari Usamah bin
Syuraik menuturkan,Aku berada bersama Nabi lalu datanglah sekelompok orang Badui dan
bertanya,Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berobat? Rasulullah menjawab, Ya, wahai
hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit kecuali Allah
menciptakan obatnya, kecuali satu macam penyakit. Mereka bertanya,Apa itu? Rasulullah
menjawab,Penyakit tua.(HR Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan
(2038))
Nabi bersabda,Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya maka ia
akan sembuh dengan izin Allah. (HR Muslim: I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu, Tidaklah Allah menurunkan panyakit kecuali
menurunkan obatnya.(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta hukumhukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.
Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih besar
dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219
2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya.
Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim
selain kerugian. (Al-Isra:82)
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Di dalam tubuh terdapat segumpal darah, jika ia baik
maka seluruh tubuh akan menjadi baik.(HR Bukhari: I/153 (53) dalam Fathul Bari)
Mafsadah
Al-mafsadah, yaitu sesuatu yang banyak keburukkannya.
Daftar Pustaka
Akib, A.A.P., Munasir, Z., dan Kurniati, N. 2010. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Edisi
Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia:Jakarta.
Kumar, V., Abbas, A., Fausto, N. and Mitchell, R.N., 2007. Robbins Basic Pathology 8th
Edition. Elsevier:Philadelphia.
Rani, Aziz. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia