Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada
sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang
merupakan komponen hemoglobin mamalia. Pada masa transisi setalh lahir,
hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukoronidasi bilirubin
tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi
bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir,
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang
normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara
berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada
jangka panjang akan menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian,
setiap bayi yang mengalami kuning harus dibedakan apakah ikterus yang
terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor
apakah

mempunyai

kecenderungan

untuk

berkembang

menjadi

hiperbilirubinemia yang berat.1


Selain hiperbilirubinemia, anemia juga merupakan masalah yang
sering ditemui pada bayi baru lahir. Anemia pada bayi baru lahir yang tidak
ditatalaksana dengan tepat dan adekuat akan memberikan komplikasi terhadap
bayi tersebut. Pada bayi baru lahir dengan anemia akut dapat terjadi kolaps
kardiovaskuler sampai dengan gagal napas. Anemia juga dianggap berperan
dalam timbulnya berbagai gejala termasuk asupan makan yang buruk dan
kenaikan berat badan yang tidak adekuat.1

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui manajemen bayi baru lahir.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penegakan diagnosis dan penanganan bayi baru lahir
dengan ikterus.
b. Mengetahui penegakan diagnosis dan penanganan bayi baru lahir
dengan anemia hemolitik.
c. Mengetahui penegakan diagnosis dan penanganan bayi baru lahir
dengan inkompatibilitas Rh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikterus Neonatorum
Ikterus merupakan suatu kondisi yang sering ditemui pada bayi baru
lahir. Lebih dari 50% bayi baru lahir normal dan 80% bayi lahir preterm
mengalami kondisi ikterik.2
Ikterus merupakan gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada
kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme,
yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia sendiri
adalah keadaan di mana kadar bilirubin dalam darah lebih dari atau sama
dengan 13 mg/dL.3
Ikterus yang dialami oleh neonatus ada yang merupakan ikterus
fisiologis dan ada yang merupakan ikterus patologis. Ikterus fisiologis terjadi
karena adanya peningkatan produksi bilirubin. Peningkatan produksi bilirubin
ini disebabkan oleh adanya peningkatan hancurnya eritrosit fetal yang
berumur pendek. Selain itu, kapasitas ekskresi hepar pada bayi baru lahir
masih rendah karena rendahnya konsentrasi protein ligandin dalam hepatosit
dan karena rendahnya aktivitas glukoronil transferase. Glukoronil transferase
adalah enzim yang mengikat bilirubin (yang belum terkonjugasi) dengan asam
glukoronat, sehingga bilirubin bisa larut dalam air (yang sudah terkonjugasi).
Konjugasi bilirubin dari yang tidak larut air menjadi larut air adalah proses
yang penting agar bilirubin dapat di ekskresikan dalam empedu. 4 Selain itu,
siklus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim beta
glukoronidase di usus dan belum ada nutrien.3

Selain ikterus fisiologis, terdapat pula ikterus patologis. Tanda-tanda


ikterus patologis di antaranya:
-

muncul pada 24 jam pertama kehidupan,


tidak hilang setelah hari ke-14 pada bayi cukup bulan atau setelah hari ke21 pada bayi kurang bulan,
disertai demam,
ikterus dalam (telapak tangan dan kaki tampak sangat kuning),
bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan lebih dari atau sama dengan
13 mg/dL atau untuk bayi kurang bulan lebih dari atau sama dengan 10

mg/dL,
peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg/dL dalam 24 jam,
kadar bilirubin direk lebih dari 2 mg/dL,
terdapat faktor risiko.2,3
Penyebab munculnya ikterus patologis di antaranya:

hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,


defisiensi G6PD, sferositosis herediter, dan pengaruh obat,
infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi
intrauteri,
sifilis kongenital,
penyakit hepar seperti hepatitis atau atresia bilier,
hipotiroidisme,
polisitemia,
ekstravasasi sel darah merah, sefalhematoma, kontusio, trauma lahir,
ibu diabetes,
asidosis,
hipoksia/asfiksia,
sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan siklus
enterohepatikus.2,3

B. Inkompatibilitas Rh
Faktor Rh (atau Rhesus) adalah suatu surface antigen pada sel darah
merah yang dinamakan dari nama monyet di mana faktor ini pertama
ditemukan. Inkompatibilitas Rh atau Rh disease sendiri merupakan suatu
kondisi

ketika

seorang

wanita

dengan

golongan

darah

Rh-negatif
4

mendapatkan paparan terhadap darah dengan golongan Rh-positif. Hal ini


memunculkan pembentukan antibodi Rh.4
Prevalensi golongan darah Rh-negatif sangat tergantung pada etnis,
dengan etnis kaukasia yang memiliki prevalensi tertinggi (15-20%) dan etnis
Asia dan Indian Amerika memiliki prevalensi terendah (kurang dari 5%).
Sekitar 10% kehamilan pada wanita kaukasia memiliki inkompatibilitas Rh.4,5
Inkompatibilitas Rh dapat terjadi dengan dua mekanisme utama.
Mekanisme pertama, dan paling sering terjadi, adalah ketika seorang ibu
dengan Rh-negatif mengandung bayi dengan Rh-positif. Mekanisme ini
dinamakan pula dengan alloimunisasi maternal atau isoimunisasi. Karena
adanya prosedur obstetrik invasif (amniocentesis, chorionic villus sampling
(CVS), percutaneous umbilical blood sampling, manual plasenta), perdarahan
fetomaternal

(antepartum,

intrapartum),

abortus

(terapetik,

spontan),

kehamilan ektopik, abruption placenta, trauma abdomen, atau bahkan


persalinan normal saja, ibu menjadi terpapar terhadap sel darah bayinya.
Karena paparan ini, terbentuklah antibodi pada ibu terhadap antigen Rh.
Mekanisme kedua, dan lebih jarang terjadi, adala ketika seorang dengan Rhnegatif menerima transfusi darah dengan Rh-positif.4,5
Setelah antibodi immunoglobulin G (IgG) Rh pada ibu terbentuk, IgG
tersebut bisa masuk ke dalam sirkulasi fetus yang kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi dengan antigen Rh yang terdapat pada eritrosit
fetus dan akhirnya akan hancur. Oleh karena itu, muncullah berbagai macam
gejala pada fetus, mulai dari anemia hemolitik ringan hingga berat dan
hiperbilirubinemia. Pada kasus yang berat, hemolisis bisa menyebabkan
terjadinya hematopoiesis ekstramedular dan reticuloendothelial clearance
terhadap eritrosit fetal (lalu muncullah hepatosplenomegali). Kondisi ini juga
bisa menyebabkan gagal jantung dan efusi perikardium (hydrops fetalis).
Antigen Rh yang paling imunogenik adalah antigen D, sehingga antigen D ini
paling sering terlibat dalam inkompatibilitas Rh.4,5,6

Setelah tersensitisasi dengan mekanisme yang sudah dijelaskan di atas,


dibutuhkan waktu hingga satu bulan untuk antibodi Rh dalam sirkulasi ibu
untuk masuk dalam sirkulasi bayi. Dalam 90% kasus, proses sensitisasi ini
terjadi saat persalinan. Oleh karena itu, sebagian besar anak pertama dengan
golongan darah Rh-positif tidak mengalami kondisi inkompatibilitas Rh ini
karena waktu yang cukup singkat. Risiko dan keparahan sensitisasi meningkat
pada tiap kehamilan dengan fetus Rh-positif. Pada wanita Rh-negatif ini,
kehamilan kedua dengan fetus Rh-positif sering menyebabkan anemia ringan
pada bayinya, sementara kehamilan-kehamilan selanjutnya menyebabkan
akibat yang lebih serius, termasuk IUFD karena anemia hemolitik yang berat.4
Dalam tatalaksana inkompatibilitas Rh, ada tatalaksana antenatal dan
tatalaksana postnatal. Tatalaksana antenatal adalah skrining Rhesus pada ibu
dan antenatal care rutin saat kehamilan. Selain itu, pemberian profilaksis
immunoglobulin antenatal atau Routine Antenatal Anti-D Prophylaxis
(RAADP) pada wanita dengan Rh-negatif untuk mencegah sensitisasi dan
mencegah hemolytic disease of the newborn (HDN). Pemberian RAADP
terbukti cost-effective.7
RAADP dilakukan untuk menetralisasi antigen RhD-positif yang
mungkin telah masuk ke dalam sirkulasi ibu selama kehamilan. Jika antigen
ini dinetralisasi, darah ibu tidak akan memproduksi antibodi. RAADP
dilakukan pada trimester ketiga kehamilan jika golongan darah ibu adalah Rhnegatif dan belum pernah tersensitisasi dengan antigen RhD, meski pernah
menerima injeksi immunoglobulin anti-D sebelumnya karena proteksi yang
diberikan immunoglobulin anti-D tidak untuk seumur hidup. Jadi, pada setiap
kehamilan, ibu harus diberikan suntikan ini. Terapi ini tidak memberikan efek
apa-apa jika ibu sudah tersensitisasi. Ada dua cara pemberian RAADP
pranatal:
-

terapi dosis tunggal: pemberian immunoglobulin dilakukan pada minggu


28-30 kehamilan

terapi dua dosis: pemberian immunoglobulin dilakukan dua kali, yaitu


pada minggu 28 dan minggu 34
Kedua terapi memiliki keefektifan yang sama. 8 Pemberian RAADP

juga dapat diberikan 72 jam setelah bayi dilahirkan, setelah keguguran, setelah
abortus, setelah pengehentian kehamilan ektopik, setelah amniosentesis, dan
setelah trauma abdomen dalam semester kedua atau ketiga untuk memberikan
profilaksis bagi kehamilan selanjutnya.9
Selain tatalaksana antenatal, ada pula tatalaksana postnatal bagi bayi.
Tatalaksana ini mencakup:
1. Tatalaksana hiperbilirubinemia dan pencegahan kernikterus
Hiperbilirubinemia pada inkompatibilitas Rh dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia berat, ensefalopati bilirubin akut, dan ensefalopati bilirubin
kronis (kernikterus).
a. Fototerapi
Salah satu indikasi fototerapi pada neonatus adalah ikterus karena
hemolisis.6 Berikut adalah tabel panduan tatalaksana ikterus dengan
fototerapi dan transfusi tukar.2

Usia

Hari 1
Hari 2
Hari 3

Fototerapi
Bayi sehat Bayi

35 preterm <
minggu
35 minggu
atau adanya
faktor
risiko
Semua
ikterus
yang
tampak
15 mg/dL
10 mg/dL
18 mg/dL
15 mg/dL

Transfusi tukar
Bayi sehat Bayi preterm < 35

35 minggu atau adanya


minggu
faktor risiko

15 mg/dL

10 mg/dL

25 mg/dL
25 mg/dL

15 mg/dL
20 mg/dL

Komplikasi fototerapi yang perlu diperhatikan di antaranya adalah


kerusakan retina, kelainan kulit (hiperpigmentasi, ruam, eritema, luka
bakar), dehidrasi, diare, hipertermi, dan bronze baby syndrome.1
b. Transfusi tukar
Transfusi tukar dapat mencegah kernikterus dengan menghilangkan
bilirubin dari sirkulasi. Pada kasus inkompatibilitas Rh, transfusi tukar
juga bermanfaat untuk menghilangkan antibodi dari ibu, sehingga
mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.6
c. Administrasi immunoglobulin intravena
Penggunaan 0,5-1,0 g/kg intravenous immunoglobulins (IVIg)
pada bayi dengan inkompatibilitas Rh dilakukan jika fototerapi gagal
dalam menurunkan

kebutuhan

untuk transfusi

tukar. Bagaimana

mekanisme kerja IVIg pada inkompatibilitas Rh masih belum begitu jelas.


IVIg

mungkin

dapat

meningkatkan

katabolisme

IgG,

sehingga

memperpendek waktu paruh antibodi (termasuk antibodi anti-Rh). IVIg


juga dapat memblokade reseptor IgG pada makrofag, sehingga
menurunkan perusakan eritrosit yang terlapisi anti-Rh pada sirkulasi.
Hipotesis ketiga adalah adanya antibodi anti-idiotipik karena IVIg
menetralisasi antibodi anti-Rh.6 El Habashy, et al. dalam artikelnya
menyatakan bahwa IVIg dosis tinggi mampu menurunkan kebutuhan
untuk transfusi tukar dan memperpendek durasi fototerapi dan rawat inap

pada neonatus dengan penyakit hemolitik isoimun. 10 Al-Alaiyan, et al.


menyimpulkan bahwa IVIg memiliki efek pada timbulnya late anemia dini
dan memperpendek durasi late anemia dibandingkan dengan bayi yang
tidak menerima IVIg, tetapi kebutuhan transfusi tukar dan durasi fototerapi
tidak terpengaruh.11
d. Metalloporfirin
Metalloporfirin (atau dikenal pula dengan heme oxygenase
inhibitors)

telah

hiperbilirubinemia

digunakan
yang

untuk

tidak

mencegah

terkonjugasi.

dan

menerapi

Dengan

mencegah

pembentukan bilirubin, metalloporfirin berpotensi menurunkan kadar


bilirubin tidak terkonjugasi, sehingga menurunkan kebutuhan untuk
fototerapi dan rawat inap. Namun, penggunaan metalloporfirin masih
belum direkomendasikan. Cochrane review menyatakan dibutuhkan
adanya RCT untuk membandingkan terapi metalloporfirin dengan plasebo
dan melaporkan keluaran penting seperti hiperbilirubineamia berat,
kernikterus

neonatorum,

transfusi

tukar,

dan

gangguan

neurodevelopmental jangka panjang.6


e. Hidrasi
Fototerapi meningkatkan insensible water loss melalui kulit dan
meningkatkan kebutuhan cairan. Selain itu, byproducts dari fototerapi
dikeluarkan melalui urin. Bagi bayi yang diberikan ASI dengan dehidrasi,
suplementasi cairan dengan milk-based formula menghambat sirkulasi
enterohepatikus bilirubin dan meningkatkan efikasi fototerapi.6
3. Tatalaksana anemia
Manajemen umum bayi baru lahir dengan anemia akut meliputi
menjaga kehangatan, monitor tanda vital, dan penilaian dan penghitungan
intake dan luaran. Pemasangan jalur infus diperlukan untuk penggantian
cairan dan untuk kepentingan pengambilan sampel darah mungkin diperlukan
jalur vena atau arteri umbilical. Setelah dilakukan stabilisasi awal, selanjutnya
dilakukan tatalaksana untuk mencegah/mengurangi terjadinya perdaharah
lanjut.1
Transfusi tukar, selain menurunkan bilirubin dalam darah, juga mampu
mengoreksi anemia yang ada. Pada kasus inkompatibilitas Rh, darah yang

digunakan adalah golongan O Rh-negatif dengan titer anti-A dan anti-B yang
rendah. Pada bayi dengan inkompatibilitas Rh yang berat (seperti hydrops
fetalis), darah harus tersedia sebelum kelahiran.1
Transfusi tukar merupakan tindakan invasif dengan berbagai risiko
komplikasi, di antaranya:
infeksi dari prosedur ataupun dari darah yang ditransfusikan, seperti
bacteremia (biasanya disebabkan oleh jenis Staphylococcus), hepatitis,
-

infeksi CMV, malaria, dan AIDS;


komplikasi vaskuler, seperti bekuan atau emboli, spasme arteri,
thrombosis, infark organ mayor;
gangguan faktor pembekuan (koagulopati) karena trombositopenia atau
menurunnya kadar faktor pembekuan;
gangguan elektrolit, seperti hyperkalemia,

hypernatremia,

dan

hipokalsemia;
asidosis metabolik, bisa muncul sekunder karena darah donor sudah tidak
segar;
alkalosis metabolik karena terlambatnya pembersihan sitrat dari hati;
enterokolitis nekrotikans;
gangguan kardiovaskuler, seperti aritmia atau henti jantung;
graft-versus-host disease.1
Selain transfusi tukar, terdapat pula metode pemberian eritropoietin,

asam folat, dan zat besi. Namun, pemberian ketiga zat tersebut masih tidak
direkomendasikan.6
4. Tatalaksana morbiditas lain
a. Hydrops fetalis
Anemia fetalis berat pada inkompatibilitas Rh dapat menyebabkan
hydrops fetalis. Neonatus dengan inkompatibilitas Rh dan hydrops fetalis
mengalami edema subkutan generalisata dan terkumpulnya cairan di
pericardium, pleura, dan peritoneum. Bayi dengan hydrops fetalis
mentoleransi persalinan dengan buruk dan kondisinya jelek saat lahir.
Intubasi sering diperlukan dan mungkin akan sulit karena adanya edema.
Ventilasi tekanan tinggi dapat diperlukan pada ventilasi mekanis karena
adanya edema pulmo dan hypoplasia pulmo. Drainase ascites dan efusi
pleura segera di ruang persalinan dapat menjadi prosedur life saving. Jika
hipertensi pulmoner menyebabkan hipoksemia berat, opsi terapi lain harus
dipikirkan, seperti ventilasi mekanis dengan ventilasi frekuensi tinggi,
10

inhalasi nitrit oksida, atau extra corporeal membrane oxygenation.


Insufisiensi sirkulasi sering muncul dan membutuhkan inotropik yang
cukup. Karena neonatus dengan hydrops fetalis sering menunjukkan
tanda-tanda gagal jantung, koreksi anemia lebih baik dengan transfusi
tukar daripada dengan transfusi sederhana dengan pemberian diuretic.6
b. Trombositopenia
Beberapa literatur menyatakan adanya hubungan antara rendahnya
jumlah trombosit dengan hydrops fetalis pada kehamilan dengan
alloimunisasi RhD berat. Trombositopenia fetal memiliki konsekuensi
yang berat, termasuk perdarahan intrakranial.6

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, R., Sarosa, G.I., Usman, A. 2008. Buku Ajar
Neonatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta.
2. WHO. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children, 2nd ed.
3. Health Technology Assessment Indonesia. 2004. Tatalaksana Ikterus
Neonatorum.
4. Salem, L., Singer, K.R., Sayah, A.J., Talavera, F., Pierce Jr, J.G., Halamka,
J.D.,

Dyne,

P.L.

2014.

Rh

Incompatibility.

http://emedicine.medscape.com/article/797150-overview

Diakses

dari

pada tanggal 20

Maret 2015.
5. El Din, S.M.N., Ramy, A.R.M.A, Ali, M.S. Correlation between the RhD
genotyping and RhD serotyping in isoimmunized pregnancies. The Egyptian
Journal of Medical Human Genetics (2011) 12, 127-133.
6. Smits-Wintjens, V.E.H.J., Walther, F.J., Lopriore, E. Rhesus hemolytic disease
of the newborn: postnatal management, associated morbidity and long-term
outcome. Semin Fetal Neonatal Med 2008; 13:265-271.
7. Pilgrim H, Lloyd-Jones M, Rees A. Routine antenatal anti-D prophylaxis for
RhD-negative women: a systematic review and economic evaluation. Health
Technol

Assess 2009;13(10).

Diakses

dari

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0014969 pada tanggal 20 Maret


2015.
8. http://www.nhs.uk/Conditions/Rhesus-disease/Pages/Prevention.aspx. Diakses
pada tanggal 24 Maret 2015.
9. Brosur HyperRho S/D oleh PT Dipa Pharmalab Intersains.
10. El Habashy, S.A., Toaima, D.N., Gad, G.I., El Nazer, M.G. High dose
intravenous immunoglobulin in Rh and ABO hemolytic disease of Egyptian
neonates. Egypt J Pediatr Allergy Immunol 2014: 12(1):21-26.
11. Al-Alaiyan, S., Ahmad, H.A., Al-Hazzani, F., AlHasan, M., Dawoud, M.,
Khadawardi, E., Al-Midani, E. Effects of intravenous human immunoglobulin
on late hyporegenerative anemia secondary to rhesus hemolytic disease of the
newborn. International Journal of Pediatrics and Adolescent Medicine (2014)
1, 73-77.

12

13

Anda mungkin juga menyukai