Anda di halaman 1dari 12

PERDARAHAN SUB ARACHNOID

PENDAHULUAN
Perdarahan Sub Arachnoid (PSA) adalah suatu ekstravasai darah ke ruang subarachnoid dan
selaput arachnoid. PSA primer terjadi bila sumber perdarahan (aneurisma) terletak pada
rongga subarakhnoid dan PSA sekunder adalah bila perdarahan terjadi pada substansi otak
dengan kemungkinan hematoma bocor kedalam CSS melalui robekan ventrikel atau melalui
permukaan otak.
Secara garis besar perdarahan intracranial digambarkan sebagai berikut :
1. Aneurisma terletak pada rongga subarakhnoid dan berdarah ke CSS atau jaringan otak
sekitarnya.
2. Angioma serebral (AVM)
3. Perdarahan primer (hipertensif).
2 dan 3 masing-masing berdarah didalam jaringan otak. Bekuan darah mungkin pecah ke
CSS ventrikel atau ke permukaan otak.
PSA adalah kejadian mendadak. Adanya darah pada ruang subarakhnoid menimbulkan gejala
dan tanda meningisme hingga pasien tampil dengan gambaran meningitis onset akut.
Gejalanya adalah nyeri kepala, nyeri leher dan punggung, muntah, fotopobia dan iritabilitas.
Sedang tanda-tandanya adalah kaku kuduk, tanda Kernig positif dan pasien terbaring diam
serta menghindari gerakan dan gangguan sekitar.
EPIDEMIOLOGI
Di amerika serikat frekuensinya dicatat sebanyak 6-16 kasus dari 100.000 orang. Insiden ini
frekuensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan puncaknya pada usia 50
tahun. Kira-kira 80% kasus PSA terjadi pada orang tua ( 40-65 tahun ), 15% terjadi pada usia
20-40 tahun dan hanya 5% terjadi pada orang berusia < 20 tahun. Kejadian PSA pada anakanak < 10 tahun sangat jarang, hanya sekitar 0,5% dari semua kasus PSA.
Kejadian PSA pada wanita lebih sering jika dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sekitar 3 : 2
dan meningkat pada wanita hamil trimester ketiga. Rupture aneurisma merupakan penyebab
utama kematian pada ibu hamil, dengan frekuensi 8-20% kematian ibu selama kehamilan
ETIOLOGI
PSA non traumatic umumnya disebabkan oleh ekstravasai darah dari pembuluh darah ke
permukaan otak. Pada umumnya disebabkan oleh cerebral aneurisma atau arteriovenous
malformation (AVM) yang bocor.
Penyebab cerebral aneurisma tidak diketahui secara pasti tapi diduga berhubungan dengan
kongenital atau acquired.
Kelainan congenital pada otot atau jaringan elastik dari arteri media menunjukkan micro
aneurisma ( <> 5mm ) pada sekitar 5% penderita.
Faktor acquired yang diduga dapat menyebabkan aneurisma adalah :
Atherosclerosis.
Hipertensi.

Stress Hemodinamik
Beberapa hal yang diduga merupakan penyebab Perdarahan Sub Arachnoid adalah :
Fusiform dan mycotic aneurisma
Fibrinomuscular dysplasia.
Blood discrasias.
Infeksi dan neoplasma.
Trauma kepala.
Amyloid angiopathy.
Vasculitis.
Idiopathic PSA
Faktor Resiko
Walaupun faktor resiko PSA telah di evaluasi secara ekstensif, tetapi hanya sedikit bukti yang
dapat ditemukan. Merokok merupakan faktor resiko yang utama, seperti halnya peminum
alkohol yang berat. Data mengenai hubungan antara hipertensi dengan PSA masih
diperdebatkan.
Beberapa hal berikut adalah faktor resiko yang penting untuk PSA :
Pemakai kontrasepsi oral
Pasien yang dalam perawatan / terapi hormone
Hiperkolesterolemia
Aktivitas yang berat
PATOFISIOLOGI
Aneurisma biasanya terjadi pada arteri cerebral dari circle of willis. Pada awalnya aneurisma
ditandai dengan penonjolan kantung kecil melalui cacat yang ada di dalam arteri. Cacat ini
akan semakin meluas akibat tekanan hidrostatik dari pulsasi dan turbulensi aliran darah.
Semakin lama aneurisma ini akan mempunyai suatu jaringan tipis. Kemungkinan pecahnya
aneurisma berhubungan dengan tegangan pada dinding aneurisma. Tegangan ditentukan oleh
radius dari aneurisma dan gradien tekanan pada dinding aneurisma. Misalnya : aneurisma
dengan garis tengah < 5mm mempunyai resiko 20% untuk pecah sedangkan 6-8 mm
mempunyai resiko 40% untuk pecah. Pada aneurisme yang pecah darah akan mengalami
ekstravasasi ke ruang sub arachnoid dan dengan cepat menyebar sampai ke Cerebrospinal
Fluid ( CSF ) dan spinal cord. Darah yang dilepaskan dengan tekanan yang tinggi ini secara
langsung akan menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitar. Ekstravasasi menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial ( ICP ) secara global dan menyebabkan meningeal iritation.
Arteria intrakranial berbeda dengan dibagian lain tubuh dimana ia tidak memiliki lamina
elastika internal. Juga selubung otot tidak sempurna pada daerah dimana percabangan penting
terbentuk. Ini keadaan yang normal yang mempertinggi dugaan bahwa aneurisma akan timbul
didaerah kelemahan kongenital pada dinding arteria.
Lokasi terpenting adalah:
Sekitar arteria komunikating anterior.
Arteria karotid internal pada hubungannya dengan arteria komunikating posterior atau pada
ujungnya.
Cabang-cabang utama arteria serebral media.
Sirkulasi posterior pada akhir dari arteria basiler atau pada asal arteria serebral posterior
inferior dari arteria vertebral.
Hipertensi sistemik dan ateroma merupakan katalis untuk terjadinya aneurisma yang bisa

sakuler dan dapat pula multilokuler. Diameter kurang dari 4 mm jarang ruptur, namun bila ia
tumbuh membesar akan berakibat kerusakan endotelial baik karena arus turbulen didalamnya
ataupun akibat trombus mural, merupakan predisposisi untuk ruptur.
Penyebab yang jarang dari aneurisma serebral adalah:
Endokarditis bakterial subakut ( aneurisma mikotik ).
Cedera penetrating otak.
30% pasien dengan perdarahan akibat aneurisma, pada pemeriksaan menunjukkan aneurisma
multipel.
GEJALA KLINIS
Gejala dan tanda PSA sering salah diagnosa dengan sakit kepala klasik akibat trauma.
Riwayat dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang utama untuk dapat menegakkan diagnosa
PSA.
1. Sakit kepala
Sakit kapala merupakan suatu tanda awal dari terjadinya ruptur aneurisma. Selain sakit
kepala ada juga mual, muntah, photophobia, rasa tidak enak badan dan sakit di leher. Gejalagejala ini seringkali diabaikan oleh dokter.
2. Mass efect
Pada umumnya berdasarkan lokasi dari aneurisma
Arteri carotid interna : bersifat focal, retro orbita headaches dan kelumpuhan saraf
oculomotor.
Midle cerebral arteri : kelumpuhan kontralateral dari tangan dan wajah, aphasia, gangguan
penglihatan kontralateral.
Arteri communicating anterior : bilateral parese pada kaki dan babinski sign (+) pada kedua
kaki.
Apex arteri basillar ; vertical gaze, paresis dan coma.
Arteri vertebral intracranial/arteri cerebral posterior inferior : vertigo
3. Emboli
Transient Ischemic Attack dapat terjadi karena emboli dan trombus intra aneurisma. Gejala
dan tanda pecahnya aneurisma ke dalam rongga sub arachnoid dalai sebagai berikut :
Sakit kepala yang amat sangat dan timbul secara mendadak, bisa juga sampai menimbulkan
amnesia.
Mual/muntah.
Gejala-gejala meningeal iritation mis : nuchal rigidity, sakit punggung ( back pain ) dan
sakit pada kedua tungkai.
Gangguan penglihatan dan photophobia.
Kehilangan kesadaran ( pada 45% kasus ).
Penurunan kesadaran ( pada 10% kasus ).
4. Pada pemeriksaan fisik bisa juga normal, tapi kadang-kadang dijumpai beberapa hal
berikut ini, antara lain :
Penurunan neurologis focal mis : hemipharesis, aphasia, hemineglect, cranial nerve palsy
dan amnesia ( pada 25% kasus ).
Defisit neurologis.
Perdarahan retina dan papil oedema.
Peningkatan tekanan darah ( pada 50% kasus ).
Suhu meningkat, biasanya pada hari ke 4.
Tachicardia, biasanya terjadi beberapa hari setelah PSA.

Kelainan neurologis lain yang bisa dijumpai:


1. Perubahan kesadaran
Semua perdarahan spontan intrakranial berakibat peninggian tekanan intrakranial yang cukup
untuk sementara menghentikan sirkulasi serebral hingga pasien kehilangan kesadarannya.
Periode ini mungkin berakhir dalam beberapa menit namun beberapa pasien mungkin tetap
tidak sadar atau stupor pada saat masuk rumah sakit. Adanya darah disekitar arteria
perforating pada dasar otak berakibat spasme dan bersama dengan hematoma yang cukup
besar untuk mendistorsikan batang otak merupakan alasan lain terjadinya kehilangan
kesadaran dini tersebut.
2. Tanda-tanda neurologis fokal
Bila perdarahan inisial menimbulkan hematoma didalam jaringan otak, pasien mungkin
tampil dengan tanda-tanda neurologis fokal sesuai posisi hematomanya disamping adanya
meningisme tersebut. Adanya kelainan seperti hemiplegia, disfasia dll. Yang jelas timbul
sejak saat terjadinya perdarahan memperkuat kemungkinan bahwa hematoma adalah suatu
bagian dari gambaran patologi.
Kriteria suatu PSA menurut Hunt and Hess :
Grade I : Asimtomatis atau nyeri kepala minimal dan rigiditas nukhal ringan
Grade II : Nyeri kepala sedang hingga berat, rigiditas nukhal, tidak ada defisit
: neurologis selain palsi saraf kranial.
Grade III : Drowsi, konfusi, atau defisit fokal ringan.
Grade IV : Stupor, hemiparesis sedang hingga berat, mungkin dengan rigiditas
: deserebrasi dini dan gangguan vegetatif.
Grade V : Coma dan/atau decerebral rigidity.
Kriteria suatu PSA menurut WFNS :
Grade I : GCS 15, defisit motor (-).
Grade II : GCS 13-14, defisit motor (-).
Grade III : GCS 13-14, defisit motor dini (+).
Grade IV : GCS 7-12, defisit motor bisa (+/-).
Grade V : GCS 3-6, defisit motorbisa (+/-).
Kriteria suatu PSA menurut Fischer Scale ( berdasarkan hasil CT-Scan ) :
Group I : Tidak ada ditemukan darah.
Group II : Ada hamburan darah di rongga sub arachnoid, tapi tidak ditemukan
: gumpalan / lapisan darah > 1 mm.
Group III : ditemukan gumpalan / lapisan darah > 1 mm.
Group IV : ditemukan gumpalan darah tapi sudah berdifusi ke intracerebral atau
: intraventricular.
Diagnosis klinis akan penyebab perdarahan secara kasar dapat diperkirakan berdasarkan usia
pasien beserta gambaran kliniknya.
Pasien berusia dibawah 21 tahun, perdarahan mungkin akibat suatu malformasi arteriovenosa (AVM) terutama bila dijumpai tanda-tanda hematoma intraserebral.
Pasien usia antara 35 dan 65 tahun, dengan atau tanpa gambaran hematoma atau hipertensi,
mungkin adalah suatu aneurisma serebral yang ruptur.
Pasien berusia diatas 50 tahun dengan riwayat hipertensi, datang dengan peninggian tekanan

darah yang ekstrem, gangguan kesadaran serta kelainan neurologis fokal ( seperti hemiparesis
) lebih sering memiliki perdarahan intraserebral primer.
Hanya pemeriksaan neuroradiologi seperti angiografi akan memastikan penyebab perdarahan
dan karenanya semua pasien dibawah usia 65 tahun dengan keadaan klinis memungkinkan,
harus dibawa ke unit radiologi.
PENGELOLAAN
Pengelolaan memerlukan integrasi diagnosis klinis dan pengelolaan di UGD, penilaian
pencitraan neurologis segera, pertimbangan jenis operasi dan anestesi khusus dan perawatan
intensif.
Kunci penting dari langkah pertama di UGD adalah memikirkan kemudian memastikan
diagnosis dari PSA sambil mempertahankan tanda-tanda vital. Tanda khas PSA adalah nyeri
kepala dengan karakteristik yang mendadak, tidak biasa dialami sebelumnya dan sering
unilateral dan disertai nyeri atau kaku kuduk. Kemungkinan lain, pasien datang dengan
obtundasi atau koma, dengan atau tanpa defisit neurologis. Pada kasus-kasus demikian, PSA
harus disangka dan CT-scan adalah tindakan penting berikutnya.
Pengelolaan di UGD juga memperbaiki keadaan umum serta tanda-tanda vital, airway,
breathing dan circulation. Pasien koma diintubasi dengan hiperventilasi ringan untuk
memastikan perlindungan jalan nafas dan oksigenisasi adekuat selama tindakan diagnostik
dan terapeutik awal dan juga untuk mengurangi efek peninggian TIK.
Usaha-usaha untuk menurunkan TIK adalah :
Osmotik agents ( mis : manitol ) dapat menurunkan TIK secara drastis (40-50% setelah 30
menit pemberian )
Loop diuresis ( mis : furosemid )
Steroid intravenous ( tapi penggunaannya masih diperdebatkan )
Hanya pasien yang memperlihatkan tanda penekanan batang otak (abnormalitas pupiler) yang
diberikan mannitol. Kateter ventrikuler dipasang pada pasien koma dalam usaha memantau
TIK dan mengalirkan CSS bila perlu.
Tekanan darah harus dikontrol dalam usaha meminimalkan risiko akan perdarahan ulang dini.
Lebih disukai obat intravena yang reversibel dengan cepat seperti nitro-prusida sodium.
Tujuannya adalah mencegah hipertensi sistolik yang berat dan untuk menstabilkan tekanan
darah sistolik dibawah 150 mmHg. b-blockers intravenous dengan waktu paruh yang singkat
dapat dititrasi dengan mudah dan tidak meningkatkan TIK. Penggunaan nitrat ( nitrogliserin )
dihindari karena dapat meningkatkan TIK, demikian juga dengan hydralazin dan Calcium
Channel Blocker dapat meningkatkan TIK meskipun onsetnya sedikit lebih lambat juka
dibandingkan dengan nitrat. Hipotensi dicegah agar tidak mengurangi aliran darah serebral
(CBF) ketingkat yang berbahaya. Karena adanya risiko hipertensi yang diinduksi oleh
bangkitan, semua pasien diberikan anti-konvulsan..
Setelah pasien distabilkan di UGD dan diagnosis PSA sudah ditegakkan, angiogram serebral
segera dilakukan pada kebanyakan kasus tanpa menunggu-nunggu lagi. Angiografi karotid
dan vertebral dilakukan untuk mengetahui lokasi perdarahan dan untuk menilai adanya
aneurisma berganda. Penting untuk memantau pasien secara ketat selama angiografi, dengan
perhatian khusus terhadap tekanan darah, TIK (bila ventrikulostomi terpasang) dan keadaan
neurologis.
Setelah menyelesaikan angiogram, operasi dilakukan dalam 24 jam. Pada pasien PSA dengan
grade mild-moderate ( Hunt & Hess/WFNS grade 1-3 ) tindakan pembedahan dianjurkan,
karena resiko dan komplikasi dari PSA lebih berbahaya jika dibandingkan dengan resiko
pembedahan itu sendiri.

Indikasi lain untuk pembedahan adalah :


Aneurisma yang besar.
Wide-neck aneurisma.
Mass effect atau hematoma yang berkaitan dengan aneurisma.
Aneurisma yang kumat.
Pemilihan waktu yang tepat untuk tindakan bedah telah menjadi topik yang sering
dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Pembedahan yang dilakukan secara dini mempunyai keuntungan sebagai berikut ini:
Dapat mencegah terjadinya rebleeding.
Mencegah terjadinya gumpalan darah di sub arachnoid.
Mencegah terjadinya komplikasi ischemic dan komplikasi medis lainnya.
Mengurangi lama opname/perawatan inap di Rumah Sakit.
Kerugian pembedahan yang dilakukan secara dini :
Timbulnya edema jaringan otak oleh karena bisa terjadi kesalahan teknis pada saat
pembedahan.
Resiko intraoperatif, yaitu aneurisma yang mudah pecah.
Angka kematian yang tinggi pada saat pembedahan.
Kebijaksanaan berikut dipakai bila pasien dengan PSA diduga karena aneurisma serebral
yang ruptur datang keunit neurosurgeri.
1. Pasien dengan good risk layak untuk operasi segera bila aneurismanya sudah dideteksi.
Angiografi karenanya dilakukan sesegera mungkin.!!
2. Pasien dengan poor risk, obtundan atau koma setelah perdarahan, mula-mula dikelola
konservatif. Antifibrinolitik diberikan bersama dengan steroid dan manitol untuk mengurangi
tekanan intrakranial bila diduga meninggi. Banyak pasien adalah hipertensif namun usaha
yang berlebihan untuk menurunkan tekanan darah pada tahap ini bisa memperburuk keadaan
neurologis karena aliran darah serebralnya berkurang. Tindakan ini dilanjutkan hingga
keadaan membaik, dengan harapan tidak terjadi perdarahan ulang dari aneurisma. Bila
perbaikan cukup untuk dilakukannya operasi dengan aman, angiografi dibuat mendahului
operasi.
Pengelolaan anestetik selama operasi harus mengutamakan pemeliharaan tekanan darah
arterial normal dengan mencegah hipotensi atau hipertensi yang nyata, hiperventilasi ringan
bersama infus mannitol dan pengaliran ventrikuler untuk memungkinkan relaksasi otak.
Kateter arteria pulmoner rutin dipasang untuk memantau hemodinamik. Proteksi otak dengan
barbiturat bisa diberikan disaat diseksi aneurisma, digunakan untuk melindungi otak disaat
oklusi arterial temporer diperlukan. Hipotensi dalam, yang pernah dilakukan untuk
mengurangi resiko rupturnya aneurisma saat diseksi, sudah ditinggalkan demi mencegah agar
otak yang sudah terganggu tidak mengalami iskemia global.
Setelah aneurisma diklip, hasil operasi dipastikan dengan angiografi intra bedah. Selama
pemulihan dari anestesi, tekanan darah dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit
hipertensi untuk memastikan perfusi serebral yang adekuat.
Pengelolaan pasca bedah termasuk pemberian nimodipin ( 60mg lewat mulut atau NGT tiap 4
jam ) dan infus koloid ( albumin 5%, 250ml tiap 6-12 jam ) untuk mencegah iskemia serebral
tertunda. Pemberian cairan dititrasi hingga mempertahankan tekanan vena sentral atau

tekanan arteria pulmoner optimal. Drainasi ventrikuler dilanjutkan untuk mempertahankan


TIK kurang dari 15mmHg dan untuk mengeluarkan hasil hancuran darah.
Pemantauan intensif dipusatkan pada pemeriksaan neurologis frekuen, pemantauan TIK dan
penilaian atas vasospasme dengan Doppler transkranial serta dengan pemeriksaan ADS/aliran
darah serebral ( CBF/cerebral blood flow ). Begitu tanda pertama defisit neurologis atau
adanya gangguan ADS akibat vasospasme, terapi hipervolemik-hemodilusi-hipertensif
(tripel-H) segera dimulai. Kateter arteria pulmoner (PA) segera dipasang bila belum
terpasang. Bila tindakan ini gagal memulihkan defisit neurologi atau berkurangnya ADS,
angiografi ulang segera dilakukan. Bila terjadi vasospasme arterial berat, angioplasti dilatasi
dengan balon harus segera dipertimbangkan. Pemantauan terus dilanjutkan hingga drainasi
ventrikuler tidak lagi diperlukan dan hingga keadaan neurologis, hasil Doppler transkranial
dan nilai ADS sudah stabil.
Pasien tetap dirumah sakit hingga hari ke 8-10 sejak perdarahan. Pasien dipulangkan bila
secara medis dan neurologis sudah stabil dan bila Doppler trans-kranial tidak lagi
menunjukkan adanya vasospasme. Bila spasme masih ada, pasien tetap dirumah sakit hingga
resolusi.
Pengelolaan Perdarahan Subarakhnoid (UCLA,'93)
Unit Gawat Darurat.
1. Kontrol atas hipertensi.
2. Intubasi (bila koma).
3. CT scan segera.
4. Pungsi lumbar bila hasil CT scan negatif.
5. Ventrikulostomi (akut hidrosefalus simtomatis).
B. Angiografi.
1. Dilakukan sesegera mungkin setelah masuk UGD.
2. Pengamatan klinis ketat.
3. Pemeriksaan empat pembuluh.
Operasi.
1. Dilakukan dalam 24 jam pada kebanyakan kasus.
2. Bedah tunda ( untuk 10-12 hari ) bila lebih dari hari sejak perdarahan serta tampilnya vasospasme yang nyata.
Perawatan Intensif.
1. Nimodipin.
2. Antikonvulsan.
3. Ekspansi volume dengan koloid.
4. Pengamatan klinis.
5. Pengamatan fisiologis.
Tekanan darah.
Tekanan arteri pulmoner atau tekanan vena sentral.
TIK ( bila ventrikulostomi terpasang ).
Doppler transkranial.
Aliran Darah Serebral.
6. Hipervolemi, hemodilusi, hipertensi untuk vaso-spasme.
7. Angioplasti transluminal untuk vasospasme yang refraktor terhadap obat-obatan.

PUNGSI LUMBAR
Pungsi lumbar dilakukan bila diduga suatu PSA. CSS akan berwarna darah segera setelah
perdarahan namun kemudian sel darah merah menghilang dan warna cairan menjadi
xantokhromik ( kuning ) karena penghancuran pigmen hemoglobin. Pungsi lumbar hanya
dilakukan bila hasil CT scan negatif.
Pungsi lumbar dikontraindikasikan bila diduga adanya hematom yang ukurannya cukup
untuk meninggikan tekanan intrakranial dimana pengurangan CSS mendadak akan
mempresipitasi terjadinya coning.
PEMERIKSAAN NEURORADIOLOGIS UNTUK PSA
Tomografi terkomputer (CT Scan)
Hematoma intraserebral tampak sangat jelas dan pada 90% kasus etiologinya dapat
diperkirakan secara tepat berdasarkan lokasi anatomisnya. Adanya koleksi darah pada
sisterna subarakhnoid, didasar otak bisa dideteksi pada hari-hari pertama setelah perdarahan.
CT scan juga memperlihatkan faktor-faktor komplikasi lain seperti hidrosefalus dan pada
kasus yang jarang terjadi, perdarahan yang berasal dari tumor yang tak diduga sebelumnya.
Malformasi arterio-venosa mungkin juga mengandung bercak-bercak kalsium yang dapat
disaksikan pada CT scan dan memperlihatkan penguatan setelah penyuntikan zat kontras.
PSA dengan Ruptur Aneurisma Intracranial
Angiografi
Kelainan anatomi yang pasti yang bertanggungjawab atas perdarahan hanya dapat diketahui
dengan angiografi. Riwayat klinis dan tanda-tanda neurologis serta hasil CT scan menentukan
pembuluh serebral didaerah mana terjadinya perdarahan, yang mana merupakan daerah yang
pertama-tama diselidiki. Angiografi setelah suatu PSA mempunyai sedikit risiko tertentu,
tergantung keadaan pasien saat pemeriksaan.
Gambaran Rupture Aneurisma pada Angiografi
Diagnosis klinis dan radiologis kemudian dapat dibuat sebagai salah satu dari berikut:
Ruptur aneurisma serebral
PSA tanpa kelainan vaskuler yang dapat dideteksi
Perdarahan dari malformasi arterio-venous
Perdarahan intraserebral primer (hipertensif).
KOMPILIKASI NEUROLOGIS PERDARAHAN SUBARACHNOID
Komplikasi neurologis setelah PSA aneurismal adalah berdasar frekuensi dan arti penting
relatifnya:
Vaso-spasme.
Perdarahan ulang.
Hidrosefalus.
Peninggian TIK dan bangkitan.
Vasospasme adalah sebab terpenting dari outcome yang buruk pada pasien yang datang dalam
keadaan baik.

1. SPASME ARTERIAL (VASOSPASME)


Vasospasme ( spasme arterial serebral ) adalah penyebab tersering dari morbiditas dan
mortalitas pasien yang datang ke Rumah Sakit dengan PSA. Penelitian mutakhir
menunjukkan bahwa vasospasme berhubungan dengan ketebalan klot periarterial setelah
rupturnya aneurisma. Ternyata terbukti bahwa vasospasme tidak terjadi segera setelah
rupturnya aneurisma, namun tampil pada hari ke 4 hingga ke 10 setelah perdarahan. Beratnya
vasospasme mencapai puncaknya selama minggu kedua setelah PSA dan berkurang selama
minggu ketiga ( Neil Martin, 1993 ).
Setelah 24 - 48 jam pasien memperlihatkan perburukan tingkat kesadaran secara gradual serta
adanya tanda-tanda neurologis fokal. Terjadi peningkatan meningisme dengan memburuknya
nyeri kepala serta kaku kuduk yang ekstrim.
Vasospasme arteria serebral utama merupakan risiko yang penting pada pasien dengan PSA.
Walau terkadang vasospasme yang simtomatis adalah reversibel, sekitar 50% mati atau tetap
dengan infarksi serebral parah. Vasospasme tidak pernah terjadi sebelum hari ke 4 setelah
perdarahan dengan puncak insidens antara hari ke 7 dan ke 14 setelah perdarahan, terkadang
ditemukan hingga hari ke 21 setelah PSA.
Pengamatan Klinis.
Nyeri kepala adalah gejala dini vasospasme, namun tanda klinis khas adalah terjadinya
perburukan kesadaran secara progresif atau adanya defisit neurologis fokal dalam beberapa
menit atau jam. Tanda lain seperti demam, takhikardia dan hipertensi mungkin timbul, namun
karena relatif tidak spesifik. Tanda-tanda ini mempunyai nilai terbatas atas diagnosis
vasospasme.
Karena defisit neurologis yang berhubungan dengan penyempitan arterial sering tak jelas,
perubahan ringan dari tingkat kesadaran atau drift pronator yang ringan atau afasia,
pemeriksaan neurologis yang teliti dan berulang adalah sangat penting. Bila defisit iskemik
oleh vasospasme ditemukan pada tahap ini, tindakan yang tepat sering menghasilkan resolusi
yang sempurna. Bila tindakan terlambat hingga defisit neurologis berat, mungkin terjadi
infarksi yang irreversibel.
2. PERDARAHAN ULANG
Perdarahan ulang aneurisma tetap merupakan penyebab terpenting atas kematian dan
kecacatan pada pasien yang hidup setelah perdarahan pertama. Terjadi sekitar 20% kasus
selama 2 minggu pertama sejak perdarahan inisial dari aneurisma bila aneurisma tetap tidak
ditindak. Masa dengan risiko tertinggi perdarahan ulang adalah 24 jam pertama setelah
perdarahan inisial, dimana resiko sebesar 4%. Lalu risiko berkurang hingga 1-2% sehari.
Mortalitas perdarahan ulang mencapai 70%. Beberapa langkah terapi dilakukan untuk
mengurangi risiko perdarahan ulang. Segera setelah pasien datang, penting untuk menentukan
bahwa hipertensi arterial yang berat harus dicegah.
Beberapa kasus memerlukan obat anti-hipertensif yang diberikan secara hati-hati. Umumnya
digunakan nifedipin untuk hipertensi sedang dan sodium nitroprusida untuk hipertensi yang
lebih berat atau yang refraktor. Penting untuk tidak overtreat otak yang sudah cedera oleh
PSA mungkin rawan akan hipotensi karena gangguan autoregulasi. Sasaran secara umum
adalah mengurangi tekanan arterial sistolik hingga kurang dari 150 mmHg, walau sedikit
lebih tinggi bisa dianjurkan untuk pasien dengan hipertensi arterial
Usaha-usaha untuk mencegah Perdarahan Ulang ( Rebleeding ) :
Bed Rest dengan suasana dan lingkungan yang tenang.
Analgetik : biasanya digunakan yang short acting mis : Fentanyl.

Sedative : golongan benzodiazepin yang short acting mis : midazolam.


Afibrinolitik.
Operasi Aneurisma dini.
Mempunyai keuntungan mencegah perdarahan ulang, mungkin mengurangi beratnya
vasospasme dengan membuang klot periarterial yang tampaknya merupakan penyebab
spasme.
Namun peneliti klinik masa lalu menyatakan bahwa operasi segera berkaitan dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena masalah tehnis, karena otak yang bengkak dan
aneurisma yang baru ruptur adalah fragil. Operasi tunda ( 10-14 hari setelah perdarahan )
menguntungkan karena otak kurang bengkak dan mungkin lebih toleran terhadap manipulasi
operasi berakibat morbiditas operasi yang lebih rendah. Namun banyak pasien mati atau
menjadi cacat karena efek perdarahan ulang atau vasospasme serebral yang terjadi saat
menunggu operasi tunda.
3. HIDROSEFALUS
Masuknya darah ke ruang subarakhnoid akibat perdarahan dibawa oleh CSS ketempat
absorbsi, villi arakhnoid sepanjang sinus sagital. Mereka menjadi tersumbat oleh sel darah
merah hingga menyebabkan gangguan absorbsi serta pembesaran ventrikel akibat tekanan
balik. Ini jarang menimbulkan masalah serius namun bila diduga menghambat perbaikan
pasien, pungsi lumbar serial harus dilakukan hingga keadaan tersebut membaik.
Riwayat pernah terjadinya PSA adalah faktor yang penting dalam menentukan penyebab
hidrosefalus komunikating kronis pada penderita dengan riwayat dementia, inkontinensia
urine dan ataksia langkah. Pasien dengan hidrosefalus komunikating dengan riwayat etiologi
yang jelas paling sering mendapatkan hasil yang baik setelah tindakan pintas (shunting).
4. EPILEPSI
Perdarahan dapat menyebabkan serangan epilepsi GM dan hal ini kadang-kadang
membingungkan diagnosis inisial. Epilepsi yang timbul kemudian lebih sering berkaitan
dengan hematoma dilobus temporal akibat rupturnya aneurisma arteria serebral media.
Bangkitan yang berhubungan dengan PSA terjadi pada 10-25% kasus. Terapi antikonvulsan
karenanya penting pada tahap akut untuk mencegah timbulnya bangkitan dan hipertensi
arterial yang sering terjadi bersamaan. Umumnya digunakan fenitoin (Dilantin) dengan dosis
pembebanan ( loading ) sekitar 1000mg (18 mg/kg pada dewasa) diikuti dosis pemeliharaan
sekitar 300-400 mg/hari ( dosis diatur sesuai kadar dan aktifitas bangkitan ). Fenobarbital bisa
menggantikan fenitoin bila diinginkan pasien dengan efek sedatif. Bila tidak terjadi
bangkitan, tidak jelas berapa lama terapi antikonvulsan diberikan setelah perbaikan dari PSA.
Biasanya untuk 3 - 6 bulan dan diturunkan dosisnya secara berangsur pada pasien yang tak
pernah mengalami bangkitan.
KOMPLIKASI MEDIS DARI PSA
Sebagai tambahan atas komplikasi neurologis pasca PSA yang sudah diketahui dengan baik,
beberapa masalah medis mungkin terjadi dan mengakibatlan morbiditas serius dan bahkan
kematian. Yang tersering adalah aritmia dan iskemia kardiak, edema paru-paru, pneumonia
dan sindroma distres pernafasan pada dewasa ( ARDS ), anemia, perdarahan gastrointestinal,
sekresi hormon antidiuretik tidak memadai ( SIADH ). Hal tersebut harus didiagnosis dini
dan ditindak agresif.

Komplikasi Medis PSA Aneurismal ( Kassell )


Kardiovaskuler
Hipertensi
Aritmia
Hipotensi
Gagal Kardiak
Tromboflebitis
Infark Miokard
Angina
2. Pulmoner
Pneumonia
Atelektasis
ARDS
Edema Pulmoner
Asma
Embolisma Pulmoner
3. Lain-lain
Anemia
Perdarahan Gastrointestinal
SIADH
Diabetes Mellitus
Gagal Hepatik
Gagal Renal
Hepatitis
FOLLOW UP
Pasien yang mengalami defisit neurologi memerlukan parawatan, sekalipun telah keluar dari
Rumah Sakir. PSA sering menimbulkan gejala non spesifik yang hampir sama dengan
Syndroma Postconcussion, antara lain sebagai berikut :
Sakit kepala dan sering pening.
Gangguan penglihatan.
Konsentrasi berkurang.
Memori jangka pendek terganggu.
Mudah emosi/emosi labil.
Gangguan tidur ( insomnia ).
Fatique.
Gangguan postural yang spesifi meliputi :
Rahang menjadi kaku.
Sakit pada otot-otot temporalis.
Gangguan penciuman.
Local neuralgia.
Infeksi/peradangan.
Beberapa pasien rawat jalan mungkin memerlukan therapi steroid dan/atau antikonvulsan.
Terapi midazolam oral biasanya dilanjutkan 3-4 minggu setelah PSA.

PROGNOSIS
Menurut Hunt & Hess, angka keberhasilan adalah :
70 % pada grade I
60 % pada grade II
50 % pada grade III
20 % pada grade IV
10 % pada grade V
Kebanyakan yang bertahan hidup akan mengalami defisit neurologi permanen. Morbiditas
dan mortalitas ditentukan oleh umur dan komplikasi

Anda mungkin juga menyukai