Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA KNISLEY TERHADAP

PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMA


(Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas XI di Salah Satu SMA Negeri
di Cimahi)
Oleh:
Nonoy Intan Haety (1)
Endang Mulyana (2)

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemampuan koneksi matematis siswa SMA yang belum
dikembangkan secara optimal. Salah satu model pembelajaran yang berpotensi memenuhi Standar
Proses dan diduga dapat menumbuhkembangkan kemampuan koneksi matematis adalah Model
Pembelajaran Matematika Knisley (MPMK). Berdasarkan uraian tersebut penulis membuat
penelitian kuasi eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi
matematis antara siswa SMA yang memperoleh MPMK dan yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Disain yang digunakan adalah disain kelompok kontrol non-ekuivalen. Dari seluruh
siswa kelas XI di salah satu SMA negeri di Cimahi sebagai populasi, dipilih dua kelas sebagai
sampel. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes koneksi matematis, lembar
observasi, dan jurnal harian siswa. Hasil analisis data penelitian ini menggunakan statistik
inferensial menyatakan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa SMA yang
memperoleh MPMK lebih tinggi daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Kata kunci: Model Pembelajaran Matematika Knisley, Kemampuan Koneksi Matematis.

ABSTRACT
This research is motivated by the mathematical connection ability of high school students who
have not developed optimally. Knisley Model of Mathematical Learning has the potential to
fulfilled the Standar Proses and develop mathematical connection ability. Based on the
description, the author makes the quasi-experimental study aimed to determine the increase of
mathematical connection ability between high school students who obtain Knisley Model and
conventional learning. The study used the non-equivalent control group design. Of all the students
on grade XI at one senior high school in Cimahi as population, two classes selected as sample.
The study used three instruments: mathematical connection test, observation sheets, and daily
journal. This research found that the experiment students who obtain Knisley Model have higher
increase of mathematical connection ability than those of control ones.
Keywords: Knisley Model of Mathematical Learning, Mathematical Connection Ability.

NCTM (2000: 29), salah satu kemampuan


matematis yang perlu dikuasai dan
dikembangkan adalah kemampuan koneksi
matematis. Menurut Kusuma (Fauzi, 2011:
42), koneksi matematis merupakan bagian
dari kemampuan berpikir matematis tingkat

PENDAHULUAN
Mengacu kepada tujuan pembelajaran
matematika dalam Standar Isi (Badan
Standar Nasional Pendidikan, 2006: 146)
dan standar pembelajaran matematika dari
1

2
tinggi, dapat diartikan sebagai keterkaitan
antara konsep-konsep matematika secara
internal
yaitu
berhubungan
dengan
matematika itu sendiri ataupun keterkaitan
secara eksternal yaitu matematika dengan
bidang lain, baik bidang studi lain maupun
dengan kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, kemampuan koneksi matematis
adalah kemampuan mengaitkan konsepkonsep matematika secara internal (dalam
matematika itu sendiri) maupun eksternal
(konsep matematika dengan bidang lain).
Menurut NCTM (2000: 64), melalui
pembelajaran yang menekankan keterkaitan
antar gagasan dalam matematika, siswa
tidak hanya belajar matematika, tapi mereka
juga belajar tentang kegunaan matematika.
Ketika siswa mampu mengaitkan antar
gagasan dalam matematika, pemahaman
mereka menjadi lebih mendalam dan lebih
tahan lama.
Kemampuan
koneksi
matematis
penting untuk dikuasai, namun masalah
yang terjadi adalah kemampuan koneksi
matematis siswa SMA masih rendah. Hasil
survei Programme for International Student
Assesment atau PISA pada tahun 2009
(Organisation for Economic Cooperation
and Development atau OECD, 2010)
menunjukkan bahwa persentase siswa
sekolah menengah di Indonesia yang
mampu menyelesaikan soal-soal yang
membutuhkan proses koneksi matematis
hanya 5,4%. Ini berarti sekitar 95% siswa
belum mampu mengaitkan beberapa
representasi yang berbeda dari suatu konsep
matematika serta menggunakan simbol dan
konsep matematika untuk menyelesaikan
masalah dalam bidang studi lain atau
masalah kehidupan sehari-hari. Hasil
penelitian Lestari (2011: 68) pun
menyatakan bahwa kualitas peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa
setingkat SMA tidak terlalu tinggi. Fakta-

fakta penelitian ini mengisyaratkan bahwa


kemampuan koneksi matematis siswa
belum dikembangkan secara optimal.
Kemampuan koneksi matematis siswa
yang belum berkembang optimal sehingga
mempengaruhi hasil belajar matematikanya
tentu tidak sepenuhnya disebabkan oleh
faktor internal siswa. Hasil belajar siswa
dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam
membuat perencanaan penyajian materi
yang kemudian disajikan dalam suatu
model pembelajaran. Hal ini mengacu
kepada pendapat An, Kulm, dan Wu
(Mulyana, 2009: 6) yang mengemukakan,
teachers and teaching are found to be one
of the factors majors related to students
achievement in TIMSS and others studies.
Salah satu model pembelajaran yang
berpotensi memenuhi Standar Proses adalah
model pembelajaran yang dikembangkan
oleh Jeff Knisley (2003). Model
pembelajaran matematika Knisley (MPMK)
adalah model pembelajaran matematika
yang dikembangkan atas teori gaya belajar
Kolb yang ditafsirkan menjadi empat
tahapan belajar matematika. Adapun tahaptahap pembelajaran itu adalah sebagai
berikut (Mulyana, 2009: 6):
1. KonkretReflektif: Guru menjelaskan
konsep secara figuratif dalam konteks
yang familiar berdasarkan istilah-istilah
yang terkait dengan konsep yang telah
diketahui siswa.
2. KonkretAktif: Guru memberikan tugas
dan dorongan agar siswa melakukan
eksplorasi, percobaan, mengukur, atau
membandingkan
sehingga
dapat
membedakan konsep baru ini dengan
konsep-konsep yang telah diketahuinya.
3. AbstrakReflektif: Siswa membuat atau
memilih pernyataan yang terkait dengan
konsep baru, memberi contoh kontra
untuk menyangkal pernyataan yang
salah, dan membuktikan pernyataan
yang benar bersama-sama dengan guru.

3
4. AbstrakAktif:
Siswa
melakukan
practice (latihan) menggunakan konsep
baru untuk memecahkan masalah dan
mengembangkan strategi.
Siswa diajak untuk mengingat
kembali konsep yang telah dipelajari yang
berkaitan dengan konsep yang akan
dipelajari pada tahap konkret-reflektif,
kemudian pada tahap konkret-aktif siswa
diberi soal penerapan konsep baru secara
sederhana dan diberi tugas eksplorasi sifatsifat konsep baru tersebut (Mulyana, 2009:
142). Pada tahap abstrak-reflektif siswa
mencari alasan logis
yang dapat
menjelaskan dugaan tentang kaitan antar
konsep matematika yang telah dibuatnya
pada dua tahap pertama. Tahap abstrakaktif memfasilitasi siswa untuk mengaitkan
penggunaan konsep matematika dengan
masalah dalam bidang studi lain atau
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian,
MPMK memberikan ruang kepada siswa
untuk memahami suatu konsep matematika
dan melihat keterkaitan konsep tersebut
secara internal dan eksternal. Ini berarti
MPMK
diduga
berpotensi
untuk
menumbuhkembangkan
kemampuan
koneksi matematis.
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Apakah peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa SMA
yang
memperoleh
pembelajaran
matematika Knisley lebih tinggi daripada
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional?.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kuasi
eksperimen karena penulis tidak memilih
siswa secara acak untuk menjadi kelas
eksperimen dan kontrol, tetapi penulis
menggunakan kelas yang ada di sekolah

tempat penelitian. Disain penelitian yang


digunakan adalah disain kelompok kontrol
non-ekuivalen (the non-equivalent control
group design) yang melibatkan dua
kelompok, ada pretes, perlakuan yang
berbeda, kemudian ada postes. Disain
kelompok kontrol non-ekuivalen dapat
digambarkan dalam diagram sebagai
berikut (Ruseffendi, 2010: 53):
O
X1
O
----------------------O
X2
O
Keterangan:
X1 : Model pembelajaran matematika
Knisley
X2 : Pembelajaran konvensional dengan
menggunakan metode ekspositori
O
: Pretes dan postes
Populasi penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas XI di salah satu SMA negeri di
Cimahi dengan seluruh karakteristiknya.
Alasan pemilihan populasi tersebut adalah
masih sedikit penelitian, khususnya
penelitian pendidikan matematika yang
dilakukan di SMA tersebut. Dari seluruh
kelas XI SMA tersebut, wakil kepala
sekolah bidang kurikulum memberikan dua
kelas kepada penulis untuk dijadikan
sampel
penelitian.
Dari
seluruh
karakteristik yang dimiliki siswa kelas XI
SMA tersebut, yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah tentang kemampuan
koneksi matematis siswa.
Data dari sampel dikumpulkan lalu
dianalisis untuk dibuat kesimpulan tentang
karakteristik populasinya, sehingga sampel
harus representatif dalam arti segala
karakteristik populasi tercermin pula dalam
sampel yang diambil (Sudjana, 2005: 6).
Pengelompokan siswa kelas XI di sekolah
tempat penelitian dilakukan dengan
pengelompokan secara ekuivalen. Melalui
pengelompokan secara ekuivalen ini
diperoleh kelas-kelas yang kemampuan

4
akademisnya homogen dengan proporsi
jumlah siswa putra dan putri yang
seimbang. Dengan demikian, dua kelas
sebagai sampel penelitian ini dapat
mewakili seluruh karakteristik populasi.
Instrumen yang digunakan dalam
peneltian ini terdiri dari instrumen tes dan
non-tes. Instrumen tes yaitu tes koneksi
matematis disusun oleh penulis untuk
mengukur kemampuan koneksi matematis
siswa. Instrumen non-tes yaitu lembar
observasi dan jurnal harian siswa. Lembar
observasi digunakan untuk mengamati
optimalisasi
penerapan
pembelajaran
matematika Knisley. Jurnal harian siswa
digunakan untuk mengetahui respon siswa
kelas eksperimen terhadap pembelajaran
matematika Knisley.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran
Matematika Knisley
Berikut adalah deskripsi setiap tahap
pembelajaran matematika Knisley yang
dilaksanakan di kelas eksperimen.
Tahap KonkretReflektif
Guru berperan sebagai pencerita pada
tahap konkretreflektif, maksudnya yaitu
guru menceritakan suatu masalah yang
mengarah pada konsep Kaidah Pencacahan
dan Peluang dalam bentuk tugas yang akan
dikerjakan oleh siswa. Tugas Kaidah
Pencacahan dan Peluang pada tahap
konkretreflektif dibuat dalam konteks
yang familiar bagi siswa. Selama
mengerjakan tugas konkretreflektif siswa
beraktivitas sebagai allegorizer, maksudnya
yaitu siswa mempelajari konsep baru
tentang Kaidah Pencacahan dan Peluang
berdasarkan konsep yang telah dimilikinya
dari pengalaman belajar sebelumnya.
Tahap KonkretAktif

Pada tahap konkretaktif disebutkan


bahwa peran siswa lebih dominan daripada
guru. Siswa beraktivitas sebagai integrator,
maksudnya
yaitu
siswa
mencoba
menambahkan konsep baru tentang Kaidah
Pencacahan dan Peluang melalui eksplorasi
karakteristik konsep baru tersebut, sehingga
siswa dapat mengetahui kaitan dan
perbedaan konsep baru itu dengan konsep
yang telah diketahuinya. Eksplorasi
karakteristik konsep baru dilakukan siswa
selama mengerjakan tugas konkret-aktif.
Peran guru sebagai pembimbing dan
motivator dilakukan di awal ketika siswa
berusaha memahami tugas konkretaktif.
Tahap AbstrakReflektif
Pada tahap abstrakreflektif, guru
berperan sebagai sumber informasi dengan
mengenalkan suatu konsep tentang Kaidah
Pencacahan dan Peluang yang tersirat
dalam tugas konkretreflektif dan konkret
aktif. Selama siswa memperhatikan
penjelasan guru, siswa beraktivitas sebagai
analyzer,
maksudnya
yaitu
siswa
menganalisis konsep yang dikenalkan oleh
guru
dengan
memperhatikan
representasinya dalam tugas konkret
reflektif dan konkretaktif. Setelah
menganalisis konsep baru yang tersirat
tersebut, kemudian dibawah bimbingan
guru siswa mencoba merumuskan konsep
baru tersebut.
Tahap AbstrakAktif
Pada tahap abstrakaktif disebutkan
bahwa peran siswa lebih dominan daripada
guru.
Siswa
beraktivitas
sebagai
synthesizer, maksudnya siswa telah
mengetahui ciri unik dari suatu konsep
Kaidah Pencacahan dan Peluang sehingga
dapat membuat prosedur penggunaan
konsep tersebut dalam memecahkan
masalah. Guru berperan sebagai pelatih
yang memberikan masalah dalam bentuk
tugas.

5
Masalah yang diberikan dalam tugas
abstrakaktif dapat berupa masalah internal
(masalah dalam matematika) maupun
masalah eksternal (masalah dalam bidang
studi lain atau dalam kehidupan seharihari). Tugas abstrakaktif ini berupa soal
yang dimodifikasi sehingga tidak secara
langsung terlihat penggunaan konsepnya.
Setelah siswa mengerjakan tugas
abtrakaktif,
dilakukan
pembahasan.
Teknik membahasnya yaitu dengan
memilih siswa untuk mengerjakan di papan
tulis kemudian dibahas bersama-sama.
Pengerjaan
tugas
abtrakaktif
memungkinkan siswa untuk menggunakan
prosedur
yang
berbeda,
sehingga
pembahasan menjadi lebih menarik.
Berdasarkan lembar observasi dan
rekaman video pembelajaran, kegiatan
pendahuluan dan penutup selama empat
kali pertemuan dilakukan dengan baik oleh
guru. Keterlaksanaan aktivitas guru pada
kegiatan inti pembelajaran matematika
Knisley dari pertemuan 1 sampai pertemuan
4 belum mencapai 100%. Pada tahap
abstrakaktif di pertemuan 4, guru tidak
memilih siswa untuk mengemukakan
caranya mengerjakan tugas abstrakaktif.
Hal ini karena waktu pembelajaran yang
hampir habis, sehingga pembahasan
dilakukan bersama-sama satu kelas. Secara
keseluruhan dari pertemuan 1 sampai
pertemuan 4, aktivitas siswa pada kegiatan
inti pembelajaran matematika Knisley
terlaksana dengan baik.
Berdasarkan
jurnal,
secara
keseluruhan dari pertemuan 1 sampai 4,
sebagian besar siswa merespon positif
terhadap pembelajaran matematika Knisley
yang diawali pemberian tugas yang
mengarah pada suatu konsep sehingga
siswa tertantang untuk berpikir terlebih
dahulu sebelum penjelasan konsepnya.
Respon negatif yang muncul di antaranya

adalah beberapa siswa merasa pembelajaran


kurang efektif dan merasa bosan harus
mengerjakan tugas-tugas pembelajaran.
Siswa memberikan respon negatif terhadap
pembelajaran matematika Knisley pada
pertemuan 1, 2, dan 3 hanya sebagian kecil.
Pada pertemuan 4 siswa yang memberikan
respon negatif hampir setengahnya. Hal ini
karena pembelajaran pada pertemuan 4
melebihi alokasi waktu 90 menit sehingga
siswa merasa jenuh dalam mengerjakan
tugas-tugas selama pembelajaran tersebut.
2. Kemampuan Koneksi Matematis
Pretes diberikan kepada kelas
eksperimen dan kontrol pada awal
penelitian untuk mengetahui kemampuan
awal koneksi matematis siswa sebelum
pembelajaran. Berdasarkan analisis data
skor pretes secara deskriptif diperoleh ratarata skor pretes kelas eksperimen dan
kontrol masing-masing adalah 25,93 dan
29,86. Hal ini menunjukkan bahwa pada
saat pretes, rata-rata skor siswa kelas
eksperimen masih 52% dari SMI (SMI =
50) sedangkan di kelas kontrol rata-rata
skor siswanya mencapai 60% dari SMI.
Simpangan baku skor pretes kelas
eksperimen dan kontrol masing-masing
adalah 6,984 dan 6,004. Simpangan baku
skor pretes kelas eksperimen lebih besar
daripada
kelas
kontrol.
Hal
ini
menunjukkan bahwa skor pretes siswa di
kelas eksperimen lebih menyebar dari rataratanya
jika
dibandingkan
dengan
penyebaran skor pretes siswa di kelas
kontrol.
Penarikan
kesimpulan
tentang
kemampuan awal koneksi matematis kelas
eksperimen dan kontrol berdasarkan
pengujian hipotesis yaitu uji kesamaan dua
rata-rata data skor pretes. Berdasarkan hasil
uji kesamaan dua rata-rata data skor pretes
menggunakan uji Mann Whitney pada

6
software SPSS 20.0 diperoleh bahwa
kemampuan awal koneksi matematis kelas
eksperimen dan kontrol berbeda.
Karena kemampuan awal koneksi
matematis kelas eksperimen dan kontrol
berbeda maka analisis data skor postes
dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian
kemampuan koneksi matematis siswa kelas
eksperimen
dan
kontrol
setelah
pembelajaran. Rata-rata skor postes kelas
eksperimen dan kontrol masing-masing
adalah 40,41 dan 35,59. Hal ini
menunjukkan bahwa pada saat postes, ratarata skor siswa kelas eksperimen mencapai
80% dari SMI sedangkan di kelas kontrol
rata-rata skor siswanya mencapai 72% dari
SMI. Berdasarkan hasil uji perbedaan dua
rata-rata data skor postes menggunakan uji
Mann Whitney pada software SPSS 20.0
diperoleh bahwa pencapaian kemampuan
koneksi matematis kelas eksperimen yang
memperoleh pembelajaran matematika
Knisley lebih tinggi daripada kelas kontrol
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional.
Kemampuan awal koneksi matematis
kelas eksperimen dan kontrol berbeda,
pencapaian kemampuan koneksi matematis
kelas eksperimen lebih tinggi daripada
kelas kontrol, maka untuk mengetahui
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis digunakan data skor gain
ternormalisasi. Gain ternormalisasi setiap
siswa diperoleh dengan menggunakan
rumus menurut Hake (2002: 3) yaitu:
=

%
% %
=
%
100 %

dimana % dan % adalah


persentase pretes dan postes setiap siswa.
Berdasarkan analisis data skor gain
ternormalisasi secara deskriptif diperoleh
rata-rata skor gain ternormalisasi kelas
eksperimen dan kontrol masing-masing

adalah 0,5921 dan 0,2555. Simpangan baku


skor gain ternormalisasi kelas eksperimen
dan kontrol masing-masing adalah 0,27123
dan 0,36562. Simpangan baku skor gain
ternormalisasi kelas kontrol lebih besar
daripada kelas eksperimen. Hal ini
menunjukkan
bahwa
skor
gain
ternormalisasi siswa di kelas kontrol lebih
menyebar
dari
rata-ratanya
jika
dibandingkan dengan penyebaran skor gain
ternormalisasi siswa di kelas eksperimen.
Penarikan
kesimpulan
tentang
peningkatan
kemampuan
koneksi
matematis kelas eksperimen dan kontrol
berdasarkan pengujian hipotesis yaitu uji
perbedaan dua rata-rata data skor gain
ternormalisasi.
Data
skor
gain
ternormalisasi memenuhi asumsi normalitas
dan asumsi homogenitas, maka uji
perbedaan dua rata-rata menggunakan
Independent Sample t-Test atau uji-t pada
software SPSS 20.0 dengan asumsi kedua
varians
homogen
(equal
variances
assumed). Hasil uji perbedaan dua rata-rata
data skor gain ternormalisasi menggunakan
uji-t pada software SPSS 20.0 diperoleh
bahwa peningkatan kemampuan koneksi
matematis
kelas
eksperimen
yang
memperoleh pembelajaran matematika
Knisley lebih tinggi daripada kelas kontrol
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional.
Kualitas peningkatan kemampuan
koneksi matematis untuk kelas eksperimen
dan kontrol diketahui melalui interpretasi
gain ternormalisasi rata-rata () untuk
masing-masing kelas. Gain ternormalisasi
rata-rata diperoleh dengan menggunakan
rumus menurut Hake (2002: 3) yaitu:
=

%
%

%%
100%

dimana % dan %
adalah persentase rata-rata pretes dan postes
kelas eksperimen dan kontrol.

7
Gain ternormalisasi rata-rata ()
kelas eksperimen dan kontrol masingmasing adalah 0,60 dan 0,28. Ini berarti,
secara keseluruhan siswa kelas eksperimen
mengalami
peningkatan
kemampuan
koneksi matematis yang tergolong kualitas
sedang, sedangkan siswa kelas kontrol
mengalami
peningkatan
kemampuan
koneksi matematis yang tergolong kualitas
rendah.
Hasil analisis data menggunakan
statistik inferensial tersebut menunjukan
bahwa pembelajaran matematika Knisley
dapat
memfasilitasi
siswa
untuk
meningkatkan
kemampuan
koneksi
matematis khususnya untuk pokok bahasan
Kaidah Pencacahan dan Peluang. Tahap
pertama sampai tahap ketiga pembelajaran
matematika Knisley memberikan ruang
bagi siswa untuk menambahkan konsep
baru tentang Kaidah Pencacahan dan
Peluang ke dalam struktur pengetahuannya.
Internalisasi konsep baru ke dalam struktur
pengetahuan
siswa
melalui
proses
membandingkan
untuk
membedakan
konsep baru tersebut dengan konsep yang
telah diketahuinya. Hal ini membuat siswa
dapat memahami keterkaitan dan perbedaan
konsep baru tersebut dengan konsep yang
telah dipelajari sebelumnya. Selanjutnya,
tahap keempat memfasilitasi siswa untuk
mengaitkan
penggunaan
konsep
matematika tentang Kaidah Pencacahan dan
Peluang dengan masalah dalam bidang
studi lain atau kehidupan sehari-hari.
Pada penelitian ini diduga terdapat
varibel luar yang berpengaruh yaitu faktor
waktu pengetesan. Pelaksanaan postes di
kelas kontrol lebih dahulu daripada di kelas
eksperimen, sehingga lebih tingginya skor
postes siswa kelas ekperimen dibandingkan
kelas kontrol diduga tidak murni hanya
karena perlakuan pembelajaran. Namun
selama penelitian penulis mengamati siswa

di sekolah tempat penelitian memiliki


kesadaran untuk bertindak dengan disiplin
dan jujur. Dengan demikian, dapat
diasumsikan tidak terjadi kebocoran soal
postes. Jadi, penelitian memberikan hasil
yang berarti pada taraf nyata 5% atau
dengan kata lain penulis 95% yakin telah
membuat kesimpulan yang benar.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dalam
penelitian ini menggunakan statistik
inferensial diperoleh bahwa peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa SMA
yang
memperoleh
pembelajaran
matematika Knisley lebih tinggi daripada
yang
memperoleh
pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan hasil penelitian dan
kesimpulan yang diperoleh, maka dapat
dikemukan beberapa saran yaitu (1) bagi
guru
bidang
studi
matematika,
pembelajaran matematika Knisley dapat
dijadikan salah satu model pembelajaran
alternatif dalam menyampaikan materi yang
menekankan keterkaitan antar konsep; (2)
untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk
mengkaji pengaruh model pembelajaran
matematika Knisley terhadap kemampuan
matematis siswa dibandingkan dengan
model pembelajaran lain yang juga
bernuansa konstruktivisme.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan.
(2006).
Standar
Isi:
Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar
SMA/MA. Jakarta: BSNP.
Fauzi,
M.A.
(2011).
Peningkatan
Kemampuan Koneksi Matematis dan
Kemandirian Belajar Siswa dengan
Pendekatan
Pembelajaran

8
Metakognitif di Sekolah Menengah
Pertama. Disertasi Doktor pada
FPMIPA UPI.
Hake,

R.R. (2002). Relationship of


Individual
Student
Normalized
Learning Gains in Mechanics with
Gender, High-School Physics, and
Pretest Scores on Mathematics and
Spatial Visualization. Dalam Physics
Education Research Conference;
Boise, Idaho (August 2002) [Online].
Tersedia:
http://www.physics.indiana.edu/~hak
e/PERC2002h-Hake.pdf [09 Oktober
2013]

Knisley, J. (2003). A Four-Stage Model of


Mathematical
Learning.
Dalam
Mathematics Educator [Online], vol
12 (1), 10 halaman. Tersedia:
http://math.coe.uga.edu/TME/issues/v
12n1/v12n1.Knisley.pdf
[16 November 2012]
Lestari,
P.
(2011).
Peningkatan
Kemampuan Koneksi Matematis
Siswa SMK Melalui Pendekatan
Pembelajaran Kontekstual. Dalam
Prosiding
Seminar
Nasional
Pendidikan
Matematika
STKIP
Siliwangi Bandung [Online], vol 1,
hal
64-72.
Tersedia:

http://publikasi.stkipsiliwangi.ac.id/fil
es/2012/09/Prosiding-SeminarNasional-Pendidikan-Matematika.pdf
[19 Juni 2013]
Mulyana, E. (2009). Pengaruh Model
Pembelajaran Matematika Knisley
terhadap Peningkatan Pemahaman
dan Disposisi Matematika Siswa
Sekolah Menengah Atas Program
Ilmu Pengetahuan Alam. Disertasi
Doktor pada FPMIPA UPI.
National Council of Teachers of
Mathematics
(NCTM).
(2000).
Principles and Standards for School
Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Organisation for Economic Cooperation
and Development (OECD). (2010).
PISA 2009 Results: What Students
Know and Can Do Student
Performance
in
Reading,
Mathematics and Science (Volume I).
Paris: OECD Publishing.
Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar
Penelitian Pendidikan dan Bidang
Non-Eksakta Lainnya. Bandung:
Tarsito.
Sudjana. (2005).
Bandung:

Metoda

Statistika.
Tarsito.

Anda mungkin juga menyukai