Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Inisial Nama

: Ny. EM

Usia

: 38 tahun

Jenis Kelamin

: Wanita

Agama

: Islam

Status Pernikahan

: Menikah

Kebangsaan

: Indonesia

No. Rekam Medis

: RSUS.00-65-07-37

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Tidak bisa BAB sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh tidak bisa BAB sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan tersebut disertai juga dengan keluhan berupa
perasaan penuh pada perut, perut yang terlihat semakin besar, dan
juga disertai rasa nyeri pada seluruh bagian perut, namun perut
terasa paling nyeri di bagian kiri bawah. Menurut pasien tidak ada
faktor yang memperingan atau memperburuk keluhannya. Pasien
sempat berobat ke puskesmas dan hanya diberi obat lambung.
Setelah itu pasien mengaku sempat dapat kentut dan BAB, namun
pasien hanya BAB sekali dalam 2 hari dengan jumlah kotoran
kurang dari gelas Aqua dengan konsistensi cair. Pasien mengaku
sehari-hari ia biasanya BAB 1x sehari dengan konsistensi kotoran
tidak cair atau keras dan berwarna kecoklatan. 2 hari SMRS,
pasien mengaku tidak dapat kentut dan BAB sama sekali dan

pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. 1 malam SMRS,


pasien mengaku merasa mual dan muntah lebih dari 10 kali dengan
isi muntahan berupa makanan dan cairan. Ini merupakan pertama
kalinya pasien mengalami keluhan seperti ini, namun pasien
mengaku sejak dulu sudah sering mengalami nyeri perut berulang
yang dianggap sebagai sakit maag biasa karena kondisi pasien
membaik apabila diberi obat lambung. Pasien tidak mengalami
demam sebelumnya, tidak pernah mengeluhkan keluhan sesak
nafas, pusing berulang tanpa alasan jelas, atau sakit tulang, dan
pasien juga tidak pernah menjalani riwayat operasi sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi tidak terkontrol.
Riwayat nyeri perut berulang yang dianggap sebagai sakit maag
biasa
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa
Pasien tidak pernah mengalami trauma atau benturan yang keras
pada daerah perut

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien tidak mengetahui riwayat penyakit keluarganya. Di
lingkungan keluarga hanya pasien yang mengalami keluhan
tersebut.

Riwayat Medikasi
Pasien sebelumnya sempat berobat ke Puskesmas dan hanya
diberi obat untuk lambung.
Pasien sempat berobat alternatif. Disana pasien mengaku dipijat
tangan dan kakinya.

Riwayat Alergi dan Kebiasaan


Tidak ada riwayat alergi obat. Pasien sehari-hari mempunyai
kebiasaan makan makanan yang dimasak sendiri dan jarang
mengkonsumsi makanan kalengan atau olahan lainnya. Selain itu

apabila pasien tidak dapat BAB, ia biasanya mengkonsumsi buah


pepaya untuk membantu melancarkan sembelitnya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah
Laju Nadi
Laju Nafas
Suhu
Saturasi O2
Berat Badan
Tinggi Badan
Indeks Massa Tubuh

: Sakit sedang
: Compos mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
: 170/100 mmHg
: 106x/menit
: 20x/menit
: 36.6C
: 98%
: 57 kg
: 155 cm
: 23.75

b. STATUS LOKALIS
Kepala
: Dalam batas normal
Wajah
: Dalam batas normal
Mata
: Dalam batas normal
Hidung
: Dalam batas normal
Mulut
: Dalam batas normal
Leher
: Dalam batas normal
Dada
: Dalam batas normal

Abdomen
Inspeksi

: Perut cembung dan tegang, distensi (+),

pelebaran pembuluh darah (-), jaundice (-)


Auskultasi
: Bising usus
Perkusi
: Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi
: Nyeri tekan (+) dengan punctum

RT

maksimum at regio LLQ, defans muskular (-), massa (-)


: TSA normal, permukaan mukosa licin, massa (-), ampulla

tidak kolaps/menjepit, nyeri tekan (-). Pada sarung tangan: darah (-),
feses (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab Darah

TEST
Haemoglobin
Hematocrit
RBC
WBC
Basophil
Eosinophil
Band Neutrophil
Segment Neu.
Lymphocyte
Monocyte
Platelet Count
ESR
MCV
MCH
MCHC
PT Control
PT Patient
INR
APTT Control
APTT Patient
SGOT (AST)
SGPT (ALT)
Ureum
Creatinine
eGFR
Blood Random Glu.
Sodium (Na)
Potasium (K)
Chloride (Cl)

RESULT
14.44 g/dL
46.53%
6.72 10^6/L
14.16 10^3/L
1%
0%
3%
76%
17%
3%
455.20 10^3/L
4 mm/hours
69.30 pg
21.50 pg
31.02 g/dL
11.70 seconds
9.70 seconds
0.94
33.60 seconds
31.00 seconds
15 U/L
16 U/L
17.0 mg/dL
0.66 mg/dL
106.5 mL/mnt/1.73m^2
103.0 mg/dL
139 mmol/L
4.6 mmol/L
106 mmol/L

RANGE
11.70 11.50
35.00 47.00
3.80 5.20
3.60 11.00
01
13
26
50 70
25 40
28
150.00 440.00
0 20
80.00 100.00
26.00 34.00
32.00 36.00
9.3 12.5
9.4 11.3
27.1 36.7
31.00 47.00
5 34
0 55
<50.00
0.5 1.1
>= 60
< 200.0
137 145
3.6 5.0
98 - 107

Radiologi
Thorax AP/PA

Kedua sinus costophrenicus dan diafragma normal


Cor
: <50%
Aorta
: Baik
Hilus, pleura, dan mediastinum baik.
Pulmo : Corakan broncho vaskular paru normal. Tak

tampak infiltrat pada kedua parenkim paru.


Tulang-tulang dada baik, dextroscoliosis vert. thoracalis
Kesan: cor dan pulmo tidak tampak kelainan
Abdomen 3 posisi

Tampak gambaran multiple air fluid level pada LLD


Usus-usus tampak berdilatasi dengan dinding menebal pada
abdomen atas
Udara usus minimal di distal
Udara bebas intraperitoneal (-)
Kesan: Suspect awal ileus obstruktif

E. RESUME
Pasien Ny. EM, wanita, usia 38 tahun, datang dengan keluhan tidak
bisa BAB sejak 1 minggu SMRS, yang disertai dengan keluhan
adanya rasa penuh dan nyeri pada perut, dengan punctum maksimum
at regio LLQ, serta perut yang terlihat semakin membesar, dan juga
tidak bisa buang gas. Pasien sempat berobat ke puskesmas dan diberi
obat lambung, kemudian 3 hari setelah keluhan utama timbul
pasien sempat BAB 1 kali dengan konsistensi cair dengan volume
kurang dari gelas Aqua dalam 2 hari. 2 hari SMRS, pasien tidak
bisa buang gas dan BAB sama sekali dan perut semakin besar. 1
malam SMRS, pasien mengalami mual dan muntah-muntah
sebanyak lebih dari 10 kali dengan isi muntahan berupa makanan
dan cairan.
Pasien memiliki riwayat nyeri perut berulang, namun tidak ada
penurunan berat badan yang mendadak, tidak ada perubahan
kebiasaan BAB, tidak ada riwayat operasi sebelumnya, ini
merupakan pertama kalinya pasien mengeluh sakit seperti ini.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut cembung, distensi (+),


bising usus meningkat, nyeri tekan (+) dengan punctum maksimum
at regio LLQ, massa (-), defans muskular (-). Pada pemeriksaan RT
ditemukan TSA normal, permukaan mukosa licin, massa (-), ampulla
tidak kolaps/menjepit, nyeri tekan (-). Pada sarung tangan: darah (-),
feses (-).
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya peningkatan
eritrosit, leukosit, trombosit, dan penurunan MCV, MCH, serta
MCHC. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan gambaran multiple
air fluid level di LLD, usus-usus tampak berdilatasi, udara usus
minimal di distal, dan tidak ditemukan adanya udara bebas di
intraperitoneal (kesan: suspek awal ileus obstruksi).

F. DIAGNOSIS
Ileus obstruksi total ec suspek hernia interna dd/ tumor kolon sinsitra

G. TATA LAKSANA
Dipasang IV line, kateter, dan NGT pada pasien saat pertama kali
diterima di IGD RSU Siloam dari NGT keluar cairan berwarna
kehijauan dengan volume 50 cc. Dari kateter keluar urin berwarna

kuning sebanyak 200 cc.


Diberikan cairan berupa RL 500 ml/8 jam
Diberikan Gliserin 30 cc per rektal sebanyak 3 kali dalam waktu 1.5
jam pasien tidak mengalami perbaikan, kotoran yang keluar hanya
berupa cairan dan sedikit ampas dengan jumlah kurang dari 1 gelas

Aqua.
Diberikan obat Ranitidine 50 mg IV dan Ceftriaxone 1 gr dalam NaCl

0.9% 100 ml, dan juga diberikan Metronidazole 500 mg IV.


Persiapan operasi cito laparatomi eksplorasi (disiapkan darah PRC
500 ml).
Dilakukan tindakan operasi laparatomi eksplorasi dengan
hemikolektomi kiri dan kolostomi. Setelah abdomen dibuka,

ditemukan adanya distensi usus (ileus-kolon desendens) sampai


dengan batas tumor. Tumor terbatas di kolon desendens distal (T 2)
dan ditemukan multiple KGB mesentral. Bagian dari kolon
desendens kemudian di kirim ke klinik patologi.
Diagnosa paska operasi menjadi: ileus obstruksi total ec tumor
kolon desendens distal T2N2Mx.
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi anatomi (18/05/2015)
menunjukkan hasil:
Makroskopik: jaringan usus yang sudah di belah 10x4x4
cm, tampak massa tumor, putih, kenyal, padat, 4x3x1 cm,
pada lemak terdapat 5 KGB, diameter 0.3-0.5 cm.
Sebagian cetak. (a) ujung sayatan, (b) tumor, (c) KGB.
Mikroskopik: (a) kedua ujung sayatan menunjukkan
gambaran yang sama tersusun atas mukosa dilapisi epitel
kolumner dengan stroma sembab hiperemis berserbukan
sel-sel radang limfosit, histiosit. Tidak tampak tanda
ganas. (b) Menunjukkan sediaan tersusun atas mukosa
dilapisi epitel kolumner, tampak kelompok sel-sel dengan
inti pleomorfik, hiperkromatik, kromatin kasar, nucleoli
prominen, mitosis abnormal dapat ditemukan yang
membentuk struktur kelenjar menginfiltrasi sampai ke
lapisan serosa disertai sebukan sel-sel radang limfosit,
histiosit, leukosit PMN. (c) Pada 5 KGB menunjukkan
gambaran yang sama tersusun atas proliteran folikel
limfoid besar kecil dengan sentrum germinativum masih
jelas disertai sebukan sel-sel radang limfosit, histiosit.
Tidak tampak tanda ganas. Kesimpulan: (a) kedua ujung
sayatan

bebas

tumor, (b)

adenocarcinoma

well

differentiated colon (Dukes B2), (c) tidak tampak


metastasis pada KGB.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Obstruksi usus merupakan suatu gangguan pasase yang dapat
disebabkan oleh adanya sumbatan pada usus halus atau pun usus besar baik
sebagian ataupun seluruhnya. Obstruksi usus atau yang dikenal juga sebagai
ileus obstruksi umumnya disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti
adhesi, neoplasma, hernia, Crohns disease, volvulus, intususepsi, adanya
benda asing, diverticulitis, hematoma, atau akibat adanya gangguan kongenital.
B. ANATOMI
Sistem digestif terbagi menjadi dua kelompok besar berupa traktus
gastrointestinal dan organ digestif asesoris. Keduanya merupakan sebuah
saluran yang memanjang dari mulut hingga ke anus, melalui rongga toraks dan
abdominopelvis. Organ-organ traktus gastrointestinal mencakup mulut,
sebagian besar faring, esophagus, lambung, usus halus, dan usus besar.
Sedangkan organ digestif asesoris mencakup gigi, lidah, kelenjar ludah, liver,
empedu, dan pankreas. Panjang traktus digestivus berkisar antara 5-7 meter.
Pada karya tulis ini, pembahasan akan dipersempit pada organ ileus (usus halus
dan usus besar), yang bersinggungan langsung dengan masalah ileus obstruksi.
Usus halus merupakan suatu struktur tubular yang memanjang dari
pylorus hingga ke sekum. Panjang usus halus pada manusia yang masih hidup
berkisar antara 4-6 meter. Usus halus terbagi menjadi tiga segmen yaitu
duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum merupakan segmen paling

proksimal yang terletak di daerah retroperitoneum yang secara langsung


bersinggungan dengan kepala dan batas inferior dari bagian tubuh pankreas.
Pylorus memisahkan lambung dengan duodenum, dan batas antara jejunum
dengan duodenum dipisahkan oleh ligamentun Treitz. Jejunum dan ileum
terletak di dalam rongga peritoneum dan dilekatkan ke retroperitoneum oleh
broad-based mesentery. Pada jejunum dan ileum tidak terdapat batas anatomis
yang jelas, namun 40% daerah proksimal dari segmen jejunoileal disebut
sebagai jejunum dan 60% daerah distalnya disebut sebagai ileum. Ileum
dipisahkan dari sekum oleh katup ileosekal.
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa internal yang dikenal
sebagai plica circulares atau valvulae conniventes. Lipatan-lipatan ini dapat
dilihat pada gambaran radiologis dan berguna untuk membantu memisahkan
batas antara usus halus dengan kolon. Lipatan-lipatan ini juga tampak lebih
prominan di daerah proksimal intestin daripada di daerah distal usus halus.
Selain itu, pada mukosa usus halus juga dapat ditemukan adanya agregasi dari
folikel limfoid yang terletak pada ileum, yang disebut sebagai Peyers patches.
Sebagian besar duodenum diperdarahi oleh cabang dari arteri celiac dan arteri
mesenterik superior. Bagian distal duodenum, jejunum, dan ileum diperdarahi
oleh arteri mesenterik superior. Aliran darah balik kemudian akan melalui vena
mesenterik superior. Drainase limfe berlangsung melalui pembuluh limfatik
yang berjalan paralel dengan pembuluh darah yang memperdarahi usus halus
tersebut. Usus halus diinervasi oleh sistem saraf parasimpatetik dan simpatetik
dari nervus vagus dan splanchnic.

10

Setelah usus halus, ada usus besar yang terletak memanjang dari
katup ileosekal sampai ke anus. Usus besar ini kemudian berdasarkan anatomi
dan fungsinya dibagi menjadi kolon, rektum, dan anal kanal. Dinding dari
kolon dan rektum terdiri atas 5 lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa, otot
sirkuler interna, otot longitudinal eksterna, dan serosa. Pada kolon, otot
longitudinal ekseterna dibedakan menjadi teniae coli yang mengarah menuju
ke bagian proksimal dari appendiks, dan distal terhadap rektum. Pada bagian
distal rektum, lapisan otot polos interna akan bergabung dan membentuk
sfingter ani interna. Kolon dimulai dari tempat bertemunya ileum terminal dan
sekum kemudian memanjang (3-5 kaki) ke rektum. Kolon kemudian terbagi
menjadi 4 yaitu, kolon asendens, kolon transversum, kolon desendens, dan
kolon sigmoid. Persimpangan rektosigmoid berada pada daerah promontori
sacrum dan pada daerah inilah ketiga teniae coli kemudian menyatu dan
membentuk lapisan otot polos longitudinal eksterna pada rektum. Sekum
merupakan daerah terlebar dari kolon yang normalnya berukuran 7.5-8.5 cm
dan memiliki dinding dengan lapisan otot yang paling tipis, sehingga sekum
sangat rentan untuk mengalami perforasi, tetapi jarang untuk mengalami
obstruksi.
Kolon asendens terletak di daerah retroperitoneum dan fleksura
hepatika kemudian memberi batas transisi dari kolon asendens menjadi kolon
transversum. Kolon transversum yang terletak di intraperitoneal relative mobile

11

namun masih tetap dilekatkan oleh ligamentum gastrokolik dan koloni


mesenteri. Fleksura splenic dan limpa (ligamentum lienokolik) menandai
transisi dari kolon transversum menjadi kolon desendens. Kolon desendens
sendiri merupakan bagian dari usus besar yang relatif terfiksir pada daerah
retroperitoneum. Kolon sigmoid merupakan bagian tersempit dari usus besar
dan sangat mobile, terletak pada kuadran kiri bawah. Namun akibat tingkat
mobilitas kolon sigmoid yang tinggi, sebagian daerah kolon sigmoid dapat
bergeser ke arah kuadran kanan bawah. Hal ini menjelaskan mengapa volvulus
paling sering terjadi pada kolon sigmoid dan mengapa penyakit-penyakit
tertentu, seperti diverticulitis dapat menimbulkan keluhan sakit pada kuadran
kanan bawah. Selain itu, ukuran kolon sigmoid yang sempit juga
menjadikannya sebagai salah satu segmen dari usus besar yang paling rentan
mengalami obstruksi.

C. EPIDEMIOLOGI
Kasus ileus obstruksi dapat dibedakan menjadi obstruksi usus besar
dan obstruksi usus halus (termasuk duodenum). Selain itu, berdasarkan
sumbatannya, ileus obstruksi dibedakan menjadi ileus obstruksi parsial dan

12

ileus obstruksi total. Ileus obstruksi parsial terjadi apabila lumen usus
mengalami penyempitan, namun sebagian isi usus masih dapat lewat ke arah
distal. Sedangkan ileus obstruksi total terjadi apabila seluruh lumen usus
mengalami sumbatan sehingga tidak ada isi usus yang dapat lewat ke arah
distal. Pada kasus ileus obstruksi total, resiko terjadinya gangguan vaskular
atau strangulasi akan meningkat sehingga pada kondisi ini, pasien
membutuhkan penanganan operatif sesegera mungkin.
Berdasarkan data yang tercatat, 15% kasus ileus obstruksi yang
terjadi pada orang dewasa di AS, seringkali disebabkan oleh adanya sumbatan
pada usus besar dan angka kejadiannya semakin meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Sumbatan dapat terjadi akibat adanya kelainan patologis
aktual yang terjadi pada dinding usus besar seperti keganasan dan striktur, atau
akibat masalah mekanikal seperti volvulus, hernia inkarserata, intususepsi, atau
karena faktor intraluminal seperti impaksi benda asing atau feses. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ada 3 penyebab utama terjadinya obstruksi usus
besar yaitu akibat adanua keganasan (adenokarsinoma 65%), diverticulitis
(20%), dan volvulus (5%).
Sedangkan obstruksi usus halus umumnya disebabkan oleh
masalah mekanikal dan secara anatomis dapat dibedakan menjadi sumbatan
intraluminal (seperti akibat adanya benda asing, batu empedu, atau meconium),
intramural (seperti akibat adanya tumor, striktur yang terjadi akibat proses
inflamasi yang berhubungan dengan Crohns disease), dan ekstrinsik (seperti
akibat adanya adhesi, hernia, atau karsinomatosis). Dari semua masalah
tersebut, obstruksi usus halus 75% disebabkan oleh adhesi intra abdominal
yang dapat disebabkan karena adanya prosedur operasi yang pernah dijalani
sebelumnya.

D. ETIOLOGI
Obstruksi usus halus memiliki banyak penyebabnya, namun seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, maka obstruksi usus halus secara anatomi
dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu, sumbatan intraluminal,
sumbatan intramural, dan sumbatan ekstrinsik. Sumbatan intraluminal dapat
disebabkan oleh karena adanya benda asing, batu empedu, atau meconium.

13

Sumbatan intramural seringkali disebabkan oleh adanya tumor atau striktur


yang terjadi akibat adanya inflamasi pada Crohns disease. Sedangkan pada
sumbatan faktor ekstrinsik seringkali disebabkan oleh adanya adhesi, hernia
atau karsinomatosis.
Dari semua penyebab yang mungkin dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi usus halus, 75% diantaranya disebabkan oleh adhesi usus
yang biasanya berhubungan dengan adanya riwayat operasi abdomen pada
masa yang lalu. Menurut data yang tercatat, kasus obstruksi usus halus
mengalami peningkatan dalam 30 tahun terakhir dan peningkatan tersebut
berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah tindakan laparotomi atau
laparoskopi. Dikatakan bahwa operasi pada regio abdomen bawah dan pelvis
lebih beresiko untuk mengalami obstruksi usus halus pada kemudian hari
dibandingkan dengan tindakan operasi pada daerah abdomen atas, dan 10%
diantaranya berkaitan dengan tindakan operasi kolorektal. Resiko terjadinya
adhesi meningkat pada beberapa tahun awal paska operasi, namun dapat timbul
juga pada belasan atau puluhan tahun berikutnya. Adhesi akibat masalah
kongenital umumnya jarang ditemukan pada anak.
Penyebab paling sering berikutnya yang dapat menyebabkan
obstruksi usus halus adalah hernia. Obstruksi usus halus akibat hernia
seringkali ditemukan pada pasien yang tidak memiliki riwayat operasi
sebelumnya. Oleh karena itu, pemeriksaan untuk mencari adanya kemungkinan
terjadinya hernia, baik interna maupun eksterna, harus dilakukan secara
seksama untuk memastikan penyebab terjadinya obstruksi usus halus.
Neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi dari dalam
lumen usus, dan gejala obstruksi yang timbul biasanya lambat dan seringkali
dibarengi dengan adanya anemia kronik, serta lebih sering ditemukan pada
pasien usia dewasa. Selain itu, tumor yang berasal dari luar usus (misalnya
tumor ginekologis atau gastrointestinal kolon dan ovarium) juga dapat
menyebabkan penekanan dari luar sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya obstruksi. Adhesi, hernia, dan tumor merupakan penyebab obstruksi
usus halus yang paling sering ditemukan, namun pada beberapa kasus, dapat
juga disebabkan oleh penyebab lain, seperti adanya parasit (cacing
askariasis), batu empedu (gallstone ileus), adanya benda asing, atau infeksi. Di

14

Indonesia, obstruksi usus halus akibat adanya parasit pada intralumen cukup
tinggi, mengingat masih banyak daerah dengan tingkat sanitasi yang kurang.
Obstruksi usus akibat parasit cenderung lebih sering ditemukan pada anak
ketimbang dewaasa.
Pada usus besar, data mencatat ada 3 penyebab obstruksi yang
paling sering terjadi yaitu adenokarsinoma, diverticulitis, dan volvulus.
Adenokarsinoma merupakan penyebab kanker kolorektal yang paling sering
ditemukan pada sistem gastrointestinal. Kanker kolorektal ini paling sering
terjadi pada orang dewasa yang berusia di atas 50 tahun (90%), namun tidak
menutup kemungkinan bagi orang dewasa yang berusia di bawah 50 tahun
untuk mengalami kondisi ini. Berdasarkan data yang ada, 80% kanker
kolorektal terjadi secara acak, namun 20% disebabkan oleh faktor keturunan.
Selain itu, pola makan dan kebiasaan sehari-hari juga berkontribusi dalam
mengakibatkan terjadinya kanker kolorektal.
Penyebab obstruksi usus besar lainnya adalah diverticulits, yang
berdasarkan data dapat ditemukan pada 10% - 25% pasien dengan
diverticulosis. Diverticulitis merupakan kondisi dimana pasien memiliki
diverticulum dan kemudian terjadi infeksi dan inflamasi pada diverticulum
tersebut. Infeksi peridivertikular dan perikolik dapat disebabkan oleh terjadinya
perforasi diverticulum sehingga menyebabkan kontaminasi, inflamasi, dan
infeksi. Diverticulitis dibagi menjadi 2 yaitu uncomplicated dan complicated.
Uncomplicated diverticulitis biasanya ditandai dengan nyeri pada kuadran kiri
bawah dan umumnya bisa sembuh tanpa intervensi pembedahan. Sedangkan
complicated diverticulitis, biasanya telah memiliki abses, menyebabkan
obstruksi, dan tidak jarang dapat ditemukan difus peritonitis. Pada kasus
complicated diverticulitis, penanganan berupa intervensi pembedahan yang
segera selalu dilakukan, terutama pada kasus dengan abses yang tidak dibisa
dilakukan drainase perkutaneus, pasien yang mengalami perburukan kondisi,
atau pasien yang mengalami peritonitis.
Penyebab lain dari obstruksi usus besar adalah volvulus. Volvulus
terjadi apabila air-filled segment dari kolon mengalami pemuntiran pada
mesenterinya. Pemuntiran ini 90% terjadi pada kolon sigmoid, namun dapat
juga terjadi pada sekum atau kolon transversum (<20%). Volvulus ini sendiri

15

dapat sembuh secara spontan, namum pada umumnya volvulus pada akhirnya
akan menyebabkan obstruksi dan lama kelamaan akan bertambah parah
sehingga usus dapat mengalami strangulasi, iskemik, dan perforasi.

E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya obstruksi usus halus dan usus besar secara
umum tidak berbeda meskipun penyebab dan lokasi obstruksi bisa berbedabeda seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pada saat terjadi obstruksi, gas
dan cairan akan terakumulasi di dalam lumen intestinal pada bagian proksimal
dari tempat terjadinya obstruksi. Dengan adanya oklusi tersebut, aktivitas usus
akan meningkat dengan tujuan untuk mengeluarkan sumbatan yang ada di
dalam lumen usus tersebut, sehingga pada pasien akan timbul nyeri kolik
abdomen dan diare (pada pasien-pasien tertentu, diare dapat terjadi meskipun
obstruksi total telah terjadi). Gas dan cairan yang terakumulasi ini berasal dari
lumen usus sendiri, dimana saat terjadi oklusi lumen usus akan terus menerus
mengeluarkan sekresi gastrointestinal (epithelial intestin akan mensekresikan
air) sehingga lama kelamaan usus akan mengalami distensi dan tekanan
intraluminal serta intramural dari usus juga akan mengalami peningkatan. Pada
tahap ini, motilitas usus dapat mengalami penurunan.
Selain itu, secara fisiologis pada usus terdapat flora normal yang
steril yang hidup disana. Pada kondisi obstruksi, flora normal tersebut
kemudian akan terkolonisasi dan berubah sehingga dapat menyebabkan infeksi
dan translokasi ke kelenjar getah bening sekitarnya. Dengan kondisi obstruksi
yang terjadi terus menerus ini, suatu saat tekanan intramural dapat menjadi
sangat tinggi dan pada akhirnya akan mengganggu perfusi mikrovaskular usus,
yang pada akhirnya akan menyebabkan iskemia dan bahkan nekrosis. Pada
kondisi ini dapat dikatakan bahwa pasien telah mengalami strangulasi. Ketika
usus mengalami obstruksi parsial, dimana hanya sebagian dari lumen usus
yang mengalami oklusi, gas yang terakumulasi di dalam lumen usus masih
dapat dikeluarkan, sehingga proses patofisiologis akan berjalan lebih lambat
dan kemungkinan pasien untuk mengalami strangulasi lebih kecil dibandingkan
pada pasien dengan obstruksi usus yang total. Closed-loop obstruction

16

merupakan salah satu bentuk obstruksi usus yang juga sangat berbahaya,
karena pada obstruksi jenis ini segmen dari usus mengalami obstruksi di daerah
distal dan proksimal (volvulus). Pada kondisi ini gas dan cairan yang
terakumulasi tidak dapat dikeluarkan dan berpindah sehingga tekanan luminal
akan mengalami peningkatan secara cepat dan proses strangulasi pun akan
sangat cepat terjadi.

F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan
keluhan ileus obstruksi adalah nyeri kolik abdomen, mual, muntah, dan
obstipasi. Pada obstruksi letak tinggi (daerah proksimal) keluhan muntah lebih
prominen dibandingkan dengan obstruksi letak rendah (daerah distal).
Karakteristik dari muntahan ini pun penting untuk dilihat karena dapat
menggambarkan tingkat keparahan obstruksi yang terjadi (obstruksi total dan
parah apabila isi muntahan berbau dan berupa feses, menandakan adanya
bacterial overgrowth). Keluhan lainnya adalah kesulitan dalam buang gas
(flatus) atau buang air besar. Apabila pasien masih dapat flatus dan buang air
besar antara 6 12 jam setelah keluhan muncul maka dapat dikatakan bahwa
obstruksi yang terjadi pada pasien tersebut adalah obstruksi parsial. Pada
pemeriksaa fisik pasien ileus obstruksi dapat ditemukan tanda distensi
abdomen, dimana tanda ini merupakan tanda yang khas pada obstruksi usus,
terutama pada daerah distal dari ileum. Selain itu, dapat juga ditemukan
peningkatan bunyi bising usus pada fase awal ileus obstruksi. Namun seiring
dengan perjalanan penyakit, bunyi bising usus lama kelamaan akan mengalami
penurunan atau menghilang sama sekali.
Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya akan ditemukan tandatanda deplesi volume intravascular dan gangguan elektrolit. Selain itu pada
pasien juga tidak jarang akan ditemukan leukostiosis ringan. Ada pula gejala
lain yang dapat ditemukan yaitu berupa takikardia, nyeri abdomen yang
terlokalisasi, demam, leukositosis, dan asidosis. Berdasarkan manifestasi klinis

17

yang ada, maka diharapkan agar klinisi dapat mengetahui kondisi pasien
dengan baik sehingga dapat diputuskan apakah pasien telah mengalami
strangulasi atau tidak, dan rencana terapi dapat diberikan sesuai dengan
kebutuhan pasien.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien dengan kasus ileus obstruksi pemeriksaan penunjang
yang biasa dilakukan adalah berupa pemeriksaan laboratorium darah rutin dan
foto polos abdomen 3 posisi. Selain itu dapat juga ditambahkan pemeriksaan
foto polos toraks sebagai pemeriksaan penunjang sebelum dilakukannya
operasi. Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat dicari apakah ada tandatanda infeksi atau anemia pada pasien. Selain itu pemeriksaan darah juga dapat
menjadi alat ukur untuk melihat derajat gangguan keseimbangan elektrolit
yang dialami pasien. Pada foto polos abdomen 3 posisi yang dilihat adalah
penyebaran udara usus, dilatasi dinding usus, dan gambaran khas ileus
obstruksi (bila ada) berupa gambaran step-ladder. 3 posisi yang dilakukan pada
saat foto polos abdomen dilakukan adalah posisi berdiri (erect), terlentang
(supine), atau miring ke arah kiri (left lateral decubitus). Namun untuk alasan
kenyamanan, posisi LLD ini sudah jarang dilakukan. Alasan lain adalah karena
dengan posisi berdiri dan terlentang saja seringkali sudah dapat terlihat adanya
gambaran khas pada kasus ileus obstruksi.1,6,8
H. TATA LAKSANA
Penatalaksanaan awal untuk kasus ileus obstruksi adalah berupa
resusitasi cairan mengingat pasien dengan obtruksi usus biasanya mengalami
deplesi volume intravascular akibat kurangnya asupan nutrisi per oral, muntah,
dan sekuestrasi cairan di lumen usus. Cairan yang dipilih berupa cairan isotonic
yang diberikan melalui intravena dan juga harus dipasang kateter untuk melihat
produksi urin yang dihasilkan oleh pasien. Pemberian antibiotik spectrum luas

18

juga dapat diberikan untuk menanggulangi kemungkinan adanya translokasi


bakteri akibat obstruksi usus yang terjadi. Selain itu, untuk mengevakuasi gas
dan cairan yang terakumulasi, maka pemasangan NGT harus dilakukan.
Pemasangan NGT ini selain bertujuan untuk mengevakuasi cairan dan gas,
dapat juga bertujuan untuk mengurangi keluhan mual, muntah, resiko aspirasi,
serta kembung yang dirasakan pasien. Penanganan awal tersebut biasanya
berguna dan selalu direkomendasikan untuk pasien dengan ileus obstruksi
parsial, obstruksi yang terjadi pada masa awal sesudah operasi, obstruksi
intenstin akibat Crohns disease, dan karsinomatosis.
Pada ileus obstruksi parsial, progesi menuju ke arah strangulasi
biasanya jarang terjadi, sehingga dengan terapi non-operatif pun dapat
menunjukkan presentasi keberhasilan yang cukup tinggi (65% - 81%). Namun
pada 5% - 15% pasien yang telah diberi penangan awal non-operatif,
menunjukkan tidak adanya perbaikan gejala dalam 48 jam. Oleh karena itu,
maka diputuskan bahwa pasien yang telah diberi penanganan awal non-operatif
selam 48 jam tetapi tidak mengalami perbaikan, maka tindakan operasi harus
dilakukan. Sebaliknya, pada kasus ileus obstruksi total, terapi standard yang
diberikan adalah berupa operasi. Tindakan operasi pada pasien ileus obstruksi
total bertujuan untuk meminimalkan resiko terjadinya strangulasi usus yang
dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Teknik operasi
yang dipilih pun nantinya akan disesuaikan dengan keadaan pasien pada saat
ditindak. Misalnya pasien ileus obstruksi akibat adhesi maka operasi dilakukan
untuk melepaskan adhesi yang terjadi pada usus, pasien ileus obstruksi akibat
tumor maka operasi reseksi dilakukan untuk membuang massa tumor yang
mengakibatkan terjadinya obstruksi tersebut, dan apabila ileus obstruksi terjadi
akibat hernia, maka hernia yang ada pada pasien kemudian akan direduksi dan
diperbaiki.

19

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta


tindakan operasi yang telah dilakukan pada pasien, maka didapatkan diagnosis
berupa ileus obstruksi total dengan penyebabnya adalah tumor di kolon desendens
distal dengan staging tumor T2N2M0. Diagnosa kerja tersebut dapat dibuat karena
dari anamnesis dan pemeriksaa-pemeriksaan yang telah dilakukan sesuai dengan
keluhan, manifestasi klinis, dan etiologi yang terdapat pada penyakit ileus
obstruksi. Pasien sendiri saat pertama kali tiba di IGD RSU Siloam secara khas
telah menunjukkan gejala cardinal ileus obstruksi yaitu berupa keluhan tidak bisa
buang air besar dan flatus, adanya distensi abdomen, nyeri kolik abdomen, serta
keluhan mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik pun didapat adanya
peningkatan bunyi bising usus, meskipun pada pemeriksaan rectal touch tidak
ditemukan adanya massa, namun pada saat dioperasi ditemukan adanya massa
pada kolon desendens bagian distal. Dengan berpatokan pada temuan-temuan
tersebut, maka diagnosa kerja yang pasti dapat ditegakkan berupa ileus obstruksi
total et causa tumor kolon desendens.

DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz S, Brunicardi F. Schwartz's principles of surgery. New York:


McGraw-Hill Medical; 2011.
2. McCance K, Parkinson C. Study guide for Pathophysiology, the biologic basis
for disease in adults and children, sixth edition. St. Louis, Mo.: Mosby; 2010.
3. Tortora G, Nielsen M. Principles of human anatomy. Hoboken, NJ: J. Wiley;
2009.
4. Doherty G. Current diagnosis & treatment. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill; 2010.
5. McKean S. Principles and practice of hospital medicine. New York: McGrawHill Medical; 2012.
6. Emedicine.medscape.com. Large-Bowel Obstruction: Practice Essentials,
Background, Pathophysiology [Internet]. 2015 [cited 16 June 2015]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/774045-overview#showall
7. Dartmouth.edu. Chapter 36: The rectum and anal canal [Internet]. 2015 [cited
16
June
2015].
Available
from:
https://www.dartmouth.edu/~humananatomy/part_6/chapter_36.html
8. Jones J. Large bowel obstruction | Radiology Reference Article |
Radiopaedia.org [Internet]. Radiopaedia.org. 2015 [cited 16 June 2015]. Available
from: http://radiopaedia.org/articles/large-bowel-obstruction

Anda mungkin juga menyukai