Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Meningoensefalitis


Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu
cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis adalah radang
umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau
protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah
radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur,
ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus
atas

dasar

klinik

namun

keduanya

sering

bersamaan

sehingga

disebut

meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan


toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan
menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai
cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di
samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen
etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa
adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa,
Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang bernanah
araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara
lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok),

Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,


Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa.
2.2.

Etiologi Meningoensefalitis
Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:
Tabel 2.1. Etiologi Penyebab Meningoensefalitis
Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung, titik ludah

atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi.
Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya
gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar terjadi
penularan Mumpsvirus, bila dibandingkan dengan penularan virus Measles atau
Varicella-zoster.
Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan
invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi pada
manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandun
Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak strain
yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya kelinci, tikus, marmot,
anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak melalui saraf olfaktoris, kemudian
menyebar dari sel ke sel sehingga menimbulkan nekrosis neuron yang luas.
Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa
disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO,
Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan
ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit
virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis
epidemika, Mononukleosis infeksiosa.

Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar


yaitu: di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV-1),
virus gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein Barr. Di
Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern
equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di Eropa Tengah dan
Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simpleks-type 2
merupakan penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis
Jepang adalah penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika
dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis
pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan
campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr,
cytomegalovirus, coxsackie B, Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi
sangat rentan dengan virus tertentu yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang lemah
termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi ensefalitis
yang disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus.
Pada umumnya invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen
dari infeksi di paru-paru. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan
selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberculosa ke ruang intrakranial,
baik di permukaan korteks maupun di araknoid dapat dibentuk granuloma yang besar
atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses.
Penyebab karena bakteri yang mencapai cairan serebrospinal akan
memperbanyak diri dengan cepat karena ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada
komplemen, antibodi opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H.
influenzae eksperimental, hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk memulai
infeksi pada CSS. Bakteri Streptococcus dapat menyebabkan meningitis pada semua

kelompok umur, dan pada penderita umur lebih dari 40 tahun merupakan agen
penyebab yang paling sering.

2.3. Anatomi dan fisiologi


2.3.1. Anatomi Otak
Otak bertanggung jawab dalam mengurus organ dan jaringan yang terdapat di
kepala. Otak terdiri atas otak besar atau serebrum (cerebrum), otak kecil atau
cerebelum (cerebellum) dan batang otak (trunkus serebri). Jaringan otak dibungkus
oleh tiga selaput otak (meninges) yang dilindungi oleh tulang tengkorak dan
mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi menunjang otak yang lembek dan
halus sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala.
2.3.2. Histologi Susunan Saraf Pusat
Bila dibuat penampang melintang bagian-bagian dari susunan saraf pusat, akan
terlihat adanya jaringan dengan warna berbeda. Sebagian tampak berwarna putih dan
sebagian lagi berwarna agak gelap (kelabu). Atas dasar itu, susunan saraf pusat dibagi
menjadi substansia grisea yang berwarna kelabu dan substansia alba yang berwarna
putih. Warna kelabu ini disebabkan oleh banyaknya badan sel saraf di bagian tersebut,
sedangkan warna putih ditimbulkan oleh banyaknya serabut saraf yang bermielin, sel
saraf yang terdapat dalam susunan saraf pusat juga dapat dibagi menjadi sel saraf dan
sel penunjang. Sel penunjang merupakan sel jaringan ikat yang tidak berfungsi untuk
menyalurkan impuls. Pada sel saraf serabut dengan diameter besar ditandai dengan
nama serabut alpha atau A, beta atau B untuk yang lebih kecil dan gamma untuk yang
lebih kecil lagi pada ujung-ujung saraf yang membentuk sinaps, ternyata terdapat
gelembung yang menghasilkan macam-macam macam zat kimia. Karena demikian
banyaknya sinaps yang terdapat di otak, secara keseluruhan otak dapat dianggap
sebagai sebuah kelenjar yang sangat besar.

2.3.3. Anatomi Selaput Otak


Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi
struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
a. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter disebut juga selaput otak keras atau pachymeninx. Durameter
dapat dibagi menjadi durameter cranialis yang membungkus otak dan durameter
spinalis yang membungkus medula spinalis. Di samping itu, durameter masih
dapat dibagi lagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan meningeal yang lebih dekat ke
otak (lapisan dalam) dan lapisan endostium yang melekat erat pada tulang
tengkorak.
b. Lapisan Tengah (Araknoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan
otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan di antara durameter dan
araknoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai
getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang
menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan
serebrospinal, bagian ini dapat dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang
disebut lumbal fungsi.
c. Lapisan dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput tipis yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak dan lapisan ini
melekat erat pada permukaan luar otak atau medula spinalis. Ruangan di antara

araknoid dan piameter disebut subaraknoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi
sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang.

2.4. Patofisiologi Meningoensefalitis


Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus dan kelainan kardiopulmonal.
Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang
fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui
tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales.
Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh
darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan
timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil.
Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk
kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear,
sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu.
Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang
subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus
yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks
melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui
inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan

mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Di dalam
tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang
menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah
melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virusvirus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus
menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak
dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada
ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema
otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia.
Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena
parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan
besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air
yang bertemperatur hangat.

28

Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis

toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat
toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit
ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat.
Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul
berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian
tubuh lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus
meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata
misalnya mikrosefalus, dll.

2.5. Gejala Klinis


Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis
dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh

perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tandatanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik. Kualitas
kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang
paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.
Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : compos mentis, incompos mentis
(apatis, delirium, somnolen, sopor, coma).
Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas
marah dan kaku kuduk. Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan
orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan
panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang,
minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang 44%
anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia,
78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa
apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun)
yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan
merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif.
Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti
oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi,
perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada
anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan

panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan
nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas.
Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan
takikardi karena septikimia.
Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia dan
malaise, diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke susunan
saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan
sakit kepala, sakit tenggorok, nyeri otot, dan demam, disertai dengan timbulnya ruam
kulit makulo papular yang tidak disertai gatal terdapat pada wajah, leher, dada dan
badan.
Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala, demam, kejang
disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi Famili
Togavirus (memiliki gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala
sampai terjadinya sindrom demam akut disertai demam berdarah dan gejala-gejala
sistem saraf pusat). Western Equine Virus (WEE) pada umumnya menimbulkan
infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat berupa letargi, kaku
kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang tidak tetap. Gejala berat
pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang sesudah sembuh akan
menimbulkan cacat fisik dan mental yang berat. Gejala yang mungkin tampak dengan
penyebab Japanese B enchephalitis virus adalah panas mendadak, nyeri kepala,
kesadaran yang menurun, fotofobi, gerak tidak terkoordinasi, hiperhidrosis.
Pemeriksaan laboratorium berupa uji serologis misalnya ELISA terhadap bahan atau
cairan serebrospinal menunjukkan adanya IgM. Uji fiksasi komplemen menunjukkan
nilai titer yang meningkat 4 kali lipat. Tanda Kernig positif: Ketika klien dibaringkan
dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan

sempurna. Tanda Brudzinski: tanda ini didapat apabila leher klien difleksikan, maka
hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas yang
berlawanan. Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga
sering mengenai jaringan selaput otak. Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk
manifestasi klinik, yaitu:
2.5.1.

Bentuk asimtomatik

Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya ditegakkan atas


pemeriksaan CSS.
2.5.2. Bentuk abortif
Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk ringan.
Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas atau
gastrointestinal.
2.5.3.

Bentuk fulminan

Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir
dengan kematian. Pada stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala difus yang
hebat, apatis, kaku kuduk, sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam
koma yang dalam.
2.5.4.

Bentuk khas ensefalitis

Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan,
demam, gejala infeksi saluran nafas bagian atas. Kemudian muncul tanda radang
Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah,
sukar tidur. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat terjadi kejang
fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, gangguan bicara, gangguan
mental.
Manifestasi klinis yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans
berupa nyeri kepala akut atau subakut, demam dan kadang kejang tetapi jarang
ditemukan defisit neurologis fokal. Gejala awal pada amuba meningoensefalitis
adalah radang hidung dan sakit tenggorokan yang diikuti oleh demam dan sakit

kepala, muntah, kaku kuduk dan gangguan kesadaran yang dapat diikuti oleh
kematian penderita 1 minggu kemudian.
2.6. Epidemiologi Meningoensefalitis
2.6.1. Distribusi Frekuensi Meningoensefalitis
a. Orang/Manusia
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosa varian
hominis dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah pada anak umur 6
bulan - 5 tahun. Insiden meningoensefalitis mumps lebih banyak ditemui pada lakilaki yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia yang tersering ialah tujuh tahun dan 40%
berusia di atas 15 tahun. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B
encephalitis virus banyak menyerang anak berusia antara 3 tahun dan 15 tahun.
Ensefalitis herpes virus dapat terjadi pada semua umur, paling banyak kurang dari 20
tahun dan lebih dari 40 tahun.
Ensefalitis herpes virus memiliki angka mortalitas 15-20% dengan pengobatan
dan 70-80% tanpa pengobatan. Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi
setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis
virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan
mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi
apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks
atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang
mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. H.
influenzae penyebab yang paling sering di Amerika Serikat, mempunyai insiden
tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5 tahun. Insiden ini jauh lebih tinggi pada
anak-anak

Indian

Navayo

dan

Eskimo Alaska

(masing-masing

173

dan

409/100.000/tahun). Insiden yang tinggi pada populasi ini mungkin juga


menggambarkan status sosio-ekonomi yang rendah, yang beberapa cara tidak
diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap mikroorganisme ini. Insiden dengan

infeksi H. influenzae juga empat kali lebih besar pada orang kulit hitam daripada
orang kulit putih.
b. Tempat
Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang Afrika-Amerika,
penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah pedesaan. Sekitar 20.000 kasus
ensefalitis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan ensefalitis herpes simpleks
menyebabkan sekitar 10% dari kasus ini. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh
Tick born encephalitis dengan CFR di Asia yaitu 20% dan di Eropa (1-5%).
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Ensefalitis Jepang tersebar luas di
Asia Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina, India dan Kepulauan Pasifik Barat.
Infeksi West Nile Virus meningkat di Amerika Serikat dengan kasus pertama
dilaporkan di New York pada tahun 1999. Tahun 2002 ada 4.161 kasus yang
dilaporkan di 41 negara, dan dari catatan 8.500 kasus dilaporkan pada tahun 2003.
Infeksi Plasmodium falciparum tersebar di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara.
Taenia Solium tersebar di Amerika Latin dan Rickettsia di Amerika bagian tenggara.
c. Waktu
Meningoensefalitis arbovirus sebagian besar terjadi selama bulan-bulan
musim panas karena penularan virus terjadi oleh arthropoda seperti nyamuk atau kutu
yang aktif selama waktu itu. Infeksi virus parotitis lebih sering pada akhir musim
dingin dan awal musim semi. Infeksi herpes virus dan virus imunodefisiensi manusia
terjadi sporadis selama setahun. Infeksi dengan mumps virus bersifat endemik
sepanjang tahun. Di daerah 4 musim, puncak periode terjadi pada musim dingin dan
musim semi.
Bakteri dengan penyebab N. meningitidis dan S. pneumoniae yang memuncak
pada bulan-bulan musim dingin, H.influenzae memperlihatkan penyebaran bifasik
yang memuncak pada permulaan musim dingin dan musim semi dan L.

monocytogenes yang terjadi paling sering pada bulan-bulan musim panas. Penjelasan
atas pola musiman ini terletak pada cara penularan organisme; Meningokokus,
Pneumokokus, dan Haemofilus menyebar melalui jalur pernapasan biasa, dan
Listeria didapat akibat kontaminasi melalui makanan atau akibat berkontak dengan
hewan ternak.

2.6.2. Determinan Meningoensefalitis


a. Host/Pejamu
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup
kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif,
aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang
berfungsi sempurna. Neonatus selamanya kekurangan antibodi IgM yang spesifik,
oleh karena ia tidak dapat melintasi plasenta. Maka dari itu, neonatus mudah terkena
infeksi kuman enterik gram negatif. Prematuritas mempermudah infeksi susunan saraf
pusat, demikian juga kelainan kongenital, seperti meningomielokel ataupun sinus
neurodermal. Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks
merupakan manifestasi re-aktivasi dari infeksi yang latent. Virus herpes simpleks
tersebut berdiam di dalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin di ganglion
Gasseri. Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-faktor yaitu
penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet dapat terjadi
secara iatrogenik atau dapat terjadi sewaktu bepergian ke tempat-tempat yang tinggi
letaknya.

Kerentanan terhadap agent penyebab infeksi tidak hanya dipengaruhi oleh


umur dan genetik tetapi juga oleh defisiensi didapat atau kongenital dalam
mekanisme pertahanan hospes. Individu dengan defisiensi IgG atau komplemen,
penderita yang mengalami splenektomi, atau mereka yang asplenia kongenital
menambah insiden septikimia dan meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae
dan H.influenzae tipe B. Penderita dengan anemia sel sikel dan hemoglobinopati akan
berisiko terinfeksi meningitis karena fungsi limpa yang tidak baik dan cacat pada
jalur komplemen. Infeksi meningokokus beresiko pada individu yang menderita
defisiensi komponen terminal sistem komplemen.
Meningoensefalitis mumps terutama menyerang secara akut anak-anak dan
dewasa muda. Angka kejadian yang sukar dipastikan karena infeksi subklinis dari
sistem saraf pusat dilaporkan terjadi lebih dari 65% kasus. Bang dan Bang
menemukan adanya peningkatan sel yang abnormal pada cairan otak dari 62% kasus,
dimana hanya 28% dari penderita memberikan gambaran pembesaran kelenjar.
Parotitis epidemika merupakan penyebab 10-15% kasus aseptik meningitis di
Amerika. Paramyxovirus ini memiliki infeksi yang tinggi pada individu dengan
sistem imun yang rendah. Kematian karena virus gondongan ini jarang, mayoritas
kematian ( >50%) terjadi pada orang yang lebih tua dari 19 tahun.
Biasanya bentuk meningoensefalitis mumps jinak pada anak dan ditandai
dengan demam, muntah, kaku kuduk, letargi, parotitis, sakit kepala, konvulsi, nyeri
perut, diare dan delirium. Faktor pejamu yang merupakan predisposisi infeksi
termasuk keadaan defisiensi imun didapat atau kongenital, hemoglobinopati sabit,
asplenia, dan penyakit hati atau ginjal kronis. Umumnya individu ini memperlihatkan
peningkatan kerentanan terhadap organisme berkapsul seperti S. pneumoniae.

Pemberian imunisasi efektif dini terhadap H. influenzae tipe b telah menurunkan


insidensi meningitis akibat organisme ini sebesar 90%.
b. Agent
Banyak bakteri dengan spektrum etiologi yang berbeda pada usia yang berbeda dan
pada kelompok pasien yang berbeda. Eschericia coli, Streptococcus grup B, Listeria
biasanya terjadi pada Neonatus, Haemophilus influenzae pada umur< 5 tahun,
Neisseria meningitidis (meningitis meningokokus), Streptococcus pnemoniae pada
dewasa, Mycobacterium

tuberculosa

dan

Cryptococcus

pada pasien

yang

immunosuppressed.
Meningoensefalitis mumps disebabkan oleh virus RNA yang termasuk famili
Paramyxoviridae yang merupakan virus RNA. Virus mumps stabil pada Ph 5,8-8 dan
0

tetap hidup bertahun-tahun pada suhu < -20 - 70 C. Virulensi virus mumps akan
0

hilang bila virus ini dipanaskan pada suhu 55 C sampai dengan 60 C, selama 20
menit. Virus mumps dapat diisolasi dari kelenjar air liur, hasil swab dari orificium
ductus Stensen atau dari mulut, darah, kencing, air susu ibu dan cairan otak.
Meningoensefalitis biasanya terjadi setelah 3-10 hari pembesaran kelenjar parotis.
Meskipun demikian pernah dilaporkan bahwa meningoensefalitis dapat terjadi lebih
awal, bahkan dapat terjadi tanpa adanya pembesaran kelenjar.
Di daerah endemik, meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B
encephalitis virus termasuk dalam kelompok virus yang ditularkan oleh serangga atau
arthropoda lainnya, serangga penular di Indonesia adalah nyamuk Culex
tritaeniohynchus. Sebelum tahun 1974, semua strain H. influenzae sensitif terhadap
ampisilin. Pada waktu tersebut, akibat munculnya strain penghasil -laktamase, terapi
akibat organisme ini diperluas hingga meliputi ampisilin dan kloramfenikol sampai
uji kepekaan selesai. Beberapa belahan dunia sekarang melaporkan bahwa insidensi

organisme yang resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol sudah melebihi 50%,
sehingga regimen pengobatan ini sudah tidak dapat digunakan di daerah tersebut.
Menurut statistik dari 214 ensefalitis 54% (115 orang) dari penderita adalah anakanak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus Herpes simpleks (31%), yang
disusul oleh virus ECHO (17%). Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak
diketahui dan ensefalitis para-infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari
semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki.
Enterovirus adalah penyebab signifikan dari meningoensefalitis pada periode
neonatal, tetapi jarang menyebabkan ensefalitis pada bayi yang lebih tua, anak-anak
atau orang dewasa. Penyebab amuba meningoensefalitis adalah amuba terutama
Naegleria fowleri. N.fowleri merupakan organisme termofilik golongan amuba
flagelata yang hidup bebas di air tawar yang panas. Infeksi saraf yang disebabkan
oleh infeksi oportunistik telah dilaporkan menjadi manifestasi utama dari AIDS.
Tabel 2.3. Resiko Infeksi Oportunistik Sistem Saraf Pusat pada Pasien dengan
45
HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4
No.
1.

Jumlah CD4
Jumlah CD4<100

Infeksi Sistem Saraf Pusat


- Toxoplasma gondii
- Cryptococcus neoformans

2.

Jumlah CD4 <50

- Primary Amoeba
Meningoencephalitis, Epstein
Barr virus
- Cytomegalovirus

Toxoplasma gondii memiliki 3 macam bentuk, menyebabkan bermacammacam cara penularan penyakit dan patogenesis yang berbeda-beda. Bentuk takhizoit
adalah bentuk proliferatif yang ditemukan selama infeksi akut. Bentuk bradizoit ada
dalam kista jaringan. Bentuk ookista ditemukan hanya dalam usus kucing. Ookista

menjadi infeksius sesudah mengalami sporulasi yang terjadi dari 1 sampai 21 hari
pasca defekasi. Hanya sekitar 10% individu yang terinfeksi menunjukkan gejalagejala.
c. Lingkungan
Infeksi meningokokus dan H.influenzae berkolerasi dengan kontak antar
individu. Kolonisasi nasofaringeal dari N.meningitidis meningkat jumlahnya jika
banyak anak muda wajib dinas militer dikumpulkan di barak-barak. Amuba
meningoensefalitis dapat bersangkut paut dengan berenang di danau segar yang
mengandung amuba. Infeksi arbovirus terjadi jika ada kontak dengan vektor yang
berupa arthropoda yang telah terinfeksi. Binatang peliharaan sering terinfeksi
Toksoplasma gondii dan mudah menularkan infeksinya kepada manusia di
sekelilingnya.
Meningoensefalitis (tuberkulosa) banyak terdapat pada penduduk dengan
keadaan sosio-ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari,
perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur
berdesakan, higiene yang buruk, dan tidak mendapat fasilitas imunisasi.
2.7. Prognosis Meningoensefalitis
Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan
pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan
penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama perawatan.
Bila meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali.
Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya
50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga tergantung pada
umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit
pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat, serta adanya kondisi

patologik lainnya. Tingkat kematian virus mencakup 40-75% untuk herpes simpleks,
10-20% untuk campak, dan 1% untuk gondok.
Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan gejala sisa jangka
panjang (kurang dari 30% kasus) seperti hidrosefalus, palsi nervus kranials, defisit
visual dan motorik, serta epilepsi. Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30%
penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta patogen,
dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi oleh
bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering adalah tuli, yang
terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cedera
berat seperti hemiparesis atau cedera otak umum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50%
pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari rumah sakit akan
membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implan koklea belum lama ini
memberi harapan bagi anak dengan kehilangan pendengaran.
2.8. Komplikasi
Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus, epilepsi,
gangguan jiwa, buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV,
N.VI, hemiparesis. Komplikasi dari meningitis purulenta adalah efusi subdural, abses
otak, hidrosefalus, paralisis serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik.

2.9. Pencegahan Meningoensefalitis


2.9.1. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor risiko
meningoencefalitis bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan terhadap infeksi dilakukan dengan cara
imunisasi pasif atau aktif. Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui
terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indeks) serta imunisasi aktif.

Imunisasi aktif terhadap H. influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada


penyakit invasif, dengan pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme tersebut.
Imunisasi untuk pencegahan infeksi Haemophilus influenzae (menggunakan vaksin
H.influenzae tipe b) direkomendasikan untuk diberikan secara rutin pada anak berusia
2, 3, dan 4 bulan.
Amuba penyebab meningoensefalitis, yang hidup dalam kolam renang dapat
dimusnahkan dengan memberikan kaporit pada air kolam secara teratur, hindari
berenang pada kolam air tawar yang mempunyai temperatur di atas 25

C.

Meningoensefalitis dengan penyebab Mycobacterium tuberkulosa dapat dicegah


dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi
dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, tidak
2

over crowded (luas lantai > 4,5 m /orang), dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan untuk Virus Japanese B Encephalitis yaitu vaksinasi inaktif
diberikan pada anak-anak, karena kelompok tersebut sensitif terhadap infeksi virus.
Selain itu dilakukan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dan dilakukan prosedur
pengamanan tindakan dan pekerjaan laboratorium.
2.9.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat
masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Deteksi dini anak-anak yang mengalami kelainan neurologis
sangat penting karena adanya kemungkinan untuk mengembangkan potensinya di
kemudian hari melalui program intervensi diri. Untuk mengenal kelainan neurologik,
pemeriksaan neurologik dasar merupakan bagian integral yang tidak dapat
dipisahkan.

a. Diagnosis
a.1.

Pemeriksaan Penunjang

a.1.1. Pemeriksaan Pungsi Pumbal


a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang
keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang
hidup dan mati, jaringan yang mati dan bakteri.
b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal,
biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang
normal.
c. Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan cairan otak
ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula
menurun, klorida menurun. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba
meningoensefalitis yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan
trofozoit amuba.
Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar
glukosa normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak
normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun.
Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda
sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT
scan atau MRI kepala.
a.1.2. Pemeriksaan darah
a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar
glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit
dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah
leukosit. Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu
hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic
Hormon) yang menurun.

b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm dengan sel


mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit
meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.
a.1.3. Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan
kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.
b. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini
dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA
virus.
c. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak
difus.
b. Pengobatan

Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan ensefalitis.


Satu-satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama
10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif terhadap virus
Varicella zoster. Tidak ada manfaat yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon,
atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan yang disebabkan oleh bakteri dapat
diberikan klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari.
Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli,
Steptococcus grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida,
dengan menambahkan ampisilin jika Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus
memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis tuberkulosis diobati dengan
rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan etambutol. Herpetik meningoensefalitis
diobati dengan asiklovir intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya.

Pengobatan amuba meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B


secara intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi
angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati
meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba lainnya.

Anda mungkin juga menyukai