Anda di halaman 1dari 132

TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PADI

ORGANIK
(Studi Kasus di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,
Kabupaten Sidrap, Propinsi Sulawesi Selatan)

OLEH :
A. KURNIAH INGRIANI
G 311 04 058

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
1

TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI


PADI ORGANIK
(Studi Kasus di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Provinsi Sulawesi Selatan)
Oleh :

A. KURNIAH INGRIANI
G 311 04 058
Skripsi ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjan Pertanian
Pada
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin
Makassar
2010
Disetujui Oleh,

Ir. H. Anwar Sulili, M.Si


Dosen Pembimbing

Ir. Hj. Rachmatiah B. Idrus, MS


Dosen Pembimbing

Mengetahui,
Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Ir. Muslim Salam, M.Ec


NIP. 19680616-199203-1-002

PANITIA UJIAN SARJANA


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

JUDUL

TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI


PADI ORGANIK
(Studi Kasus di Kelurahan Manisa, Kecamatan
Baranti, Kabupaten Sidrap, Propinsi Sulawesi
Selatan)

NAMA

A. KURNIAH INGRIANI

STAMBUK

G 311 04 058
TIM PENGUJI
Ir. H. Anwar Sulili, M.Si
Pembimbing
Ir. Hj. Rachmatiah B. Idrus, MS
Pembimbing
Ir. A. Amrullah Majjika, M.Si
Panitia Ujian
Ir. H. Nazaruddin LO, MS
Penguji
Ir. Tamzil ibrahim, M.Si
Penguji

Tanggal Ujian : .................. 2010

RINGKASAN
A. KURNIAH INGRIANI (G 311 04 058). Tingkat Adopsi Petani
Terhadap Teknologi Padi Organik. (Studi Kasus di Kelurahan Manisa,
Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, Propinsi Sulawesi Selatan),
dibawah bimbingan Ir. H. Anwar Sulili, M.Si. dan Ir. Hj. Rachmatiah B.
Idrus, MS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi petani
terhadap teknologi padi organik di daerah penelitian. Penelitian ini
dilaksanakan di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap
pada bulan Maret sampai Mei 2009. Daerah ini dipilh secra sengaja
dengan pertimbangan bahwa di daerah ini terdapat populasi petani
organik.
Adapun hipotesis penelitian ini adalah : 1) Tingkat adopsi petani
terhadap teknologi padi organik tergolong rendah. 2) Faktor-faktor yang
meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah
tanggungan keluarga, luas lahan, sifat kekosmopolitan, dan frekuensi
petani mengikuti penyuluhan memiliki hubungan dengan tingkat adopsi
petani terhadap teknologi padi organik.
Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang dari 4
kelompok tani dengan menggunakan metode acak sederhana (Simple
Random Sampling). Analisis data menggunakan skala nilai rata-rata untuk
membuktikan hipotesis pertama dan analisis statistik Chi-Kuadrat untuk
membuktikan hipotesis kedua.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi
teknologi padi organik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,
Kabupaten Sidrap tergolong rendah. Faktor-faktor yang memiliki

hubungan nyata dengan tingkat adopsi petani yakni faktor Usia,


Tingkat Pendidikan, Sifat Kekosmopolitan, dan Frekuensi Petani
Mengikuti Penyuluhan berhubungan nyata dengan tingkat adopsi.

RIWAYAT HIDUP
A. KURNIAH INGRIANI, lahir di Maros pada tanggal 12 November
1986. Merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Drs.
A. Mallarangang, M.Si dengan Siti Ruhayah, S.H
Memulai pendidikan formal di Taman Kanak-kanak Al Ikhsan
Kabupaten Maros dan tamat pada tahun 1992. Selanjutnya meneruskan
pendidikan SD. Negeri No.60 Maros dan tamat pada tahun 1998.
Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Unggulan Maros dan tamat
pada tahun 2001. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke SMA
Negeri 1 Maros dan tamat pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis
diterima sebagai Mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Hasanuddin melalui jalur SPMB dan memilih sub
program studi Agribisnis.
Selama

menempuh

pendidikan

di

Unhas

Penulis

memiliki

pengalaman berorganisasi yaitu sebagai Badan Pengurus Harian (BPH)


MISEKTA periode 2006/2007, serta aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan
MISEKTA dan seminar lokal maupun nasional.

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil alamin izinkanlah
hamba-Mu memanjatkan puji syukur kepada-Mu, Dzat Yang Maha Kuasa,
berkat rahmat dan hidayahmu-Mu jualah sehingga penulis dapat
menyelesaikan Laporan hasil penelitian akhir ( Skripsi ) dengan judul
Tingkat Adopsi Petani terhadap Teknologi Padi Organik. Penulis
menyusun penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Hasanuddin.
Skripsi ini menguraikan tentang bagaimana tahapan-tahapan
adopsi padi organik yang telah di lakukan oleh petani, dan melihat
hubungan

antara

berbagai

faktor

internal

dan

eksternal

yang

mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap padi organik di Kelurahan


Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten sidrap, Propinsi Sulawesi
Selatan.
Kesempurnaan hanya milik Allah semata. Oleh karena itu, hanya
kepada Allah kita memohon bimbingan dan petunjuk serta kemudahan.
Demi kebaikan bersama, penulis berharap masukan kritik dan saran yang
membangun. Semoga hasil karya ini dapat diterima dan bermanfaat bagi
semua kalangan yang membutuhkan.
Makassar,

Mei 2010

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak


akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari beberapa
pihak baik moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ingin menghaturkan penghargaan dan banyak terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ir. H. Anwar Sulili, M.Si dan Ir. Hj. Rachmatiah B. Idrus, MS selaku
dosen pembimbing yang dengan tulus meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan dan arahan sejak pelaksanaan praktek lapang
hingga selesainya tugas akhir ini.
2. Ir. H. Nazaruddin LO, MS dan Ir. Tamzil Ibrahim, M.Si selaku dosen
penguji yang telah memberikan kritik dan saran guna penyempurnaan
penyusunan tugas akhir ini.
3. Ir. A. Amrullah majjika, M.Si selaku panitia ujian sarjana dan Ir. Rusli
Mohammad Rukka, M.Si, dan Ir. Nurbaya Busthanul, M.Si., selaku
panitia seminar yang memberikan pengetahuan dalam penyusunan
tugas akhir.
4. Prof. Dr. Ir. Muslim Salam, M.Ec, selaku Ketua Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberikan pengetahuan dan
bimbingan selama penulis menempuh pendidikan.

5. Dr. Ir. Akhsan, MS selaku penasehat akademik yang telah


memberikan arahan selama penulis menempuh pendidikan.
6. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Pertanian, khususnya pada
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis.
7. Seluruh staff tata usaha Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan staff
akademik Fakultas Pertanian yang telah banyak membantu penulis
selama menempuh pendidikan..
8. Kepada Kakanda Rustam Abe, Adinda Fitri dan Sahabat-sahabatku
Ghita M Parawansa, SP., Dewi Safriani, SP., Aan Syntarial,SP.,
Fietra Ramdayana, SP., Suhardi Baharuddin yang dengan ikhlas
selalu menemani setiap langkah penulis, memberikan semangat dan
dukungan tiada henti-hentinya yang begitu sangat berarti.
9. Teman-teman RT 04 yang telah memberikan dukungan serta
pengalaman-pengalaman berharga. Semoga kebersamaan ini tidak
begitu saja sirna tanpa arti.
10. Warga MISEKTA (Mahasiswa Peminat Sosial Ekonomi Pertanian)
yang tidak dapat dituliskan satu per satu.
11. Teman-teman KKN Bone (Posko Manciri) serta warga yang telah
menerima dan membantu kami selama KKN.

Terima kasih yang tulus dan teramat sangat istimewa penulis


haturkan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Drs. A. Mallarangang,
M.Si dengan Siti Ruhayah, S.H. Sembah sujud penulis bagi Ayahanda
dan Ibunda yang begitu ikhlas membimbing, mendidik dan memberikan
kasih sayang dan doa yang tiada pernah terhenti. Serta saudarasaudaraku yang paling kusayangi, dan keluarga besarku yang selalu
menjadi semangatku. Tak lupa kepada Edy Setiawan, S.Pd atas segala
bantuan, kesabaran, pengertian, dan motivasi yang besar kepada penulis
sehingga pada akhirnya tugas akhir ini dapat terselesaikan.
Demikianlah semoga segala pihak yang secara langsung maupun
tidak langsung telah membantu penulis diberikan kebahagiaan dan rahmat
oleh Allah SWT, Amin.
Makassar,

Penulis

2010

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................

ii

SUSUNAN PANITIA UJIAN SARJANA...............................................

iii

RINGKASAN ........................................................................................

iv

RIWAYAT HIDUP .................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................

vi

UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................

vii

DAFTAR ISI ..........................................................................................

DAFTAR TABEL ..................................................................................

xiii

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

xviii

I. PENDAHULUAN .............................................................................

1.1. Latar Belakang ........................................................................

1.2. Rumusan Masalah...................................................................

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................

II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................

2.1. Komoditi Padi ..........................................................................

2.2. Pertanian Organik dan Padi Organik .......................................

2.2.1. Pertanian Organik................................................................

2.2.2. Padi Organik ........................................................................

11

2.3. Teknologi Padi Organik ...........................................................

14

2.4. Penyuluhan Pertanian .............................................................

22

2.5. Adopsi Teknologi Pertanian ....................................................

25

2.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Padi Organik ......

28

2.7. Produksi...................................................................................

32

2.8. Kerangka Pemikiran ................................................................

33

2.9. Hipotesis ..................................................................................

38

III. METODE PENELITIAN ...................................................................

39

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................

39

3.2. Penentuan Populasi dan Sampel ............................................

39

3.3. Jenis dan Sumber Data ...........................................................

40

3.4. Analisis Data............................................................................

40

3.5. Konsep Operasional ................................................................

43

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN......................................

46

4.1. Keadaan Umum Lokasi ...........................................................

46

4.2. Keadaan Penduduk .................................................................

48

4.3. Sarana dan Prasarana ............................................................

52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................

54

5.1. Identitas Responden................................................................

54

5.2. Tingkat Adopsi Petani..............................................................

66

5.3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Petani


terhadap Teknologi Padi Organik ............................................

84

5.3. Faktor-faktor yang Berhungan Nyata dengan Tingkat Adopsi


Petani Terhadap Teknologi Padi Organik................................

86

5.4. Faktor-faktor yang Berhungan Tidak Nyata dengan Tingkat


Adopsi Petani Terhadap Teknologi Padi Organik....................

92

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................

96

6.1. Kesimpulan ...............................................................................

96

6.2. Saran ........................................................................................

96

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

98

LAMPIRAN ...........................................................................................

101

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah dunia pertanian mengalami lompatan yang sangat berarti,
dari pertanian tradisional menuju pertanian modern. Para petani dan
masyarakat umum terpana dengan kemajuan yang berhasil dicapai oleh
pertanian modern. Hal ini ditandai dengan dimulainya revolusi di bidang
pertanian atau revolusi hijau. Revolusi hijau dilatarbelakangi oleh
pencegahan terhadap krisis pangan dengan alasan untuk membalikkan
keadaan dari sebuah negara agraris pengimpor beras terbesar di dunia
menjadi negeri dengan status swasembada.
Mesin-mesin revolusi hijau bekerja cepat melalui intensifikasi,
diversifikasi hingga mekanisasi pertanian. Saat itulah kita mengenal
teknologi pertanian yang memanfaatkan benih-benih unggul hibrida yang
secara perlahan-lahan menggeser benih-benih unggul local yang diklaim
memiliki produktifitas tinggi, varietas unggul tahan wereng (VUTW) yang
berhasil dibudidayakan dengan intensitas penggunaan pupuk dan
pestisida kimia yang lagi-lagi secara perlahan menggeser intensitas
penggunaan pupuk kandang, pupuk alami dan pestisida nabati yang
sebelumnya menjadi tradisi dan ciri pertanian lokal (Anonim,2008).
Namun ternyata disadari bahwa dengan penguasaan teknologi
pertanian yang demikian ternyata menimbulkan berbagai masalah besar
yakni pencemaran dan pengrusakan terhadap lingkungan sehingga alam
1

yang menjadi tempat tinggal manusia sudah dilupakan dan diabaikan


kelestariannya. Akibat pengaplikasian pestisida kimia tersebut, organisme
berjasa penghuni tanah yang sebenarnya bukan target penyemprotan
akhirnya mati. Media tempat hidup organisme tersebut tercemar oleh
racun kimia yang tetap bertahan hingga bertahun-tahun setelah
penyemprotan. Inilah yang menyebabkan tanah cenderung makin tidak
subur, bahkan berdampak negatif pula pada kesehatan manusia.
Belajar dari dampak negatif penggunaan pestisida kimia dan pupuk
buatan pabrik saat munculnya revolusi hijau, manusia pun kemudian
berusaha mencari teknik bertanam secara aman, baik untuk lingkungan
maupun manusia. Hal inilah yang mendasari lahirnya teknik bertanam
secara organik atau pertanian organik (Agus Andoko,2009).
Pertanian organik yang berasal dari lahan konvensional (lahan
yang intensif penggunaan asupan kimia sintetis) perlu masa peralihan.
Peralihan dari pertanian yang dikelola secara konvensional ke pertanian
organik seharusnya tidak hanya memperbaiki ekosistem lahan, namun
juga menjamin kelangsungan hidup (secara ekonomi) lahan tersebut.
Karena itu, penyesuaian, kesempatan dan resiko yang dituntut untuk
peralihan itu saling berkaitan dan harus diperhatikan.
Peralihan ke pertanian organik memerlukan pola pikir yang baru
pula. Seluruh anggota keluarga yang terlibat dalam pengelolaan lahan
harus siap dalam melakukan perubahan-perubahan dalam banyak aspek.

Yang pertama dan terpenting adalah cara pandang petani itu sendiri
terhadap pertanian organik.
Saat ini

petani sudah banyak beralih kembali

pembudidayaan padi organik.

kepada

Ada beberapa alasan sehingga mereka

mengembangkannya, diantaranya rasanya yang lebih enak, harganya


yang lebih mahal dan dari segi kesehatan lebih sehat karena bebas dari
bahan kimia. Namun demikian, karena padi organik merupakan inovasi,
maka tentu tidak serta merta diterima atau diadopsi oleh masyarakat,
karena

adopsi

memiliki

proses

yang

panjang

mulai

dari

tahap

kesadaran,minat, penilaian, mencoba, kemudian akhirnya menerimanya


dan mengaplikasikannya dalam jangka panjang.
Upaya untuk memberikan wawasan kepada masyarakat sampai
akhirnya menerima inovasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
sehingga tingkat adopsi masyarakat berbeda-beda.
Salah satu tugas agen penyuluhan pada tahapan adopsi adalah
menyediakan informasi dan memberikan pandangan atau wawasan
mengenai masalah yang dihadapi oleh petani di lapangan.. Sebagai
contoh, petani mungkin belum mengenal padi organik sebagai salah satu
solusi untuk meningkatkan produksi beras dengan hasil produk yang lebih
ramah lingkungan. Agen penyuluhan dapat memberikan bantuan berupa
pemberian informasi memadai yang bersifat teknis mengenai padi organik,
sehingga petani sampai pada tahapan adopsi teknologi padi organik.

Sehubungan dengan hal tersebut, Sulawesi selatan merupakan


daerah potensil di bidang pertanian dan merupakan salah satu lumbung
pangan beras di Indonesia dengan penduduk 7.629.138 Jiwa, sedangkan
penduduk yang mata pencaharian sebagai petani sebanyak 1.469.418
jiwa (BPS Sul-Sel 2006).
Sulawesi Selatan setiap tahunnya menghasilkan 2.305.469 ton
beras. Dari jumlah itu, untuk konsumsi lokal hanya 884.375 ton dan
1.421.094 ton sisanya merupakan cadangan yang didistribusikan bagian
timur lainnya bahkan telah diekspor sampai ke Malaysia, Filipina dan
Papua Nugini. (www.sulsel.go.id)
Kabupaten Sidrap sebagai lumbung padi bagi Sulawesi Selatan
yang memiliki luas wilayah 1.883,25 km2 dengan luas areal persawahan
46.294,86 Ha mampu memasok 50.000 ton beras bagi produk beras
nasional. Hal ini ditunjang dengan keadaan alam yang potensial didukung
oleh masyarakat yang sebagian besar merupakan petani memungkinkan
kabupaten ini mampu memasok pangan secara nasional.
Teknologi padi organik juga sudah mulai diusahakan oleh
masyarakat tani Kabupaten Sidrap khususnya di Kelurahan Manisa,
Kecamatan Baranti, namun masih belum berkembang secara luas,
meskipun telah ada beberapa permintaan beras organik di kabupaten ini.
Tentu saja, banyak faktor yang mempengaruhi adopsi masyarakat
terhadap padi organik, sehingga tingkatan adopsinya berbeda-beda.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berkeinginan untuk


melakukan penelitian dengan judul Tingkat Adopsi Petani Terhadap
Teknologi Padi Organik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,
Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
Lokasi

ini

dipilih

karena

merupakan

salah

satu

sentra

pengembangan padi organik di Kabupaten Sidrap.


1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana tingkat adopsi petani terhadap teknologi padi organik?
2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi
petani terhadap teknologi padi organik?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah,
maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui:
1. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi padi organik.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi petani
terhadap teknologi padi organik.
1.3.2. Kegunaan
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan pertimbangan dan informasi bagi pemerintah dan


instansi terkait dalam melakukan proses-proses penyuluhan
kepada para petani.
2.

Sebagai

bahan

informasi

pengembangan ilmu pengetahuan.

bagi

mahasiswa

terhadap

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komoditi Padi


Padi termasuk golongan tanaman setahun atau semusim. Bentuk
batangnya bulat dan berongga, daunnya memanjang seperti pita yang
terdiri pada ruas-ruas batang dan mempunyai sebuah malai yang terdapat
pada ujung batang Bagian-bagian tanaman dalam garis besarnya dapat
dibagi dalam 2 bagian besar, yaitu: bagian vegetatif, yang meliputi: akar,
batang dan daun, dan bagian Generatif, yang meliputi : malai yang terdiri
bulir-bulir daun dan bunga. (Affandi,1977).
Padi merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang dapat
tumbuh di sembarang tempat dan tidak terlalu banyak menuntut
persyaratan lingkungan yang ideal. Namun demikian untuk dapat tumbuh
dan berproduksi dengan baik, tanaman ini memerlukan syarat-syarat yang
harus dipenuhi. Syarat itu antara lain meliputi sifat fisik tanah dan sifat
kimia tanah. Sifat fisik tanah yaitu sifat-sifat tanah yang mempengaruhi
pertumbuhan padi seperti tekstur, struktur keadaan dan komposisi serta
air. Sedangkan sifat kimia tanah menggambarkan kekayaan tanah akan
unsur-unsur hara yang dibutuhkan dan dapat diserap oleh tanaman yang
dibudidayakan (Basri, 1994).

Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan


makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk
Indonesia. Meskipun sebagai makanan pokok padi dapat digantikan/
disubtitusi oleh bahan makanan lainnya, namun padi memiliki nilai
tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat dengan
mudah digantikan oleh bahan makanan yang lain (AAK, 1990).
Adapun klasifikasi dari botani tanaman padi sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Subdivisio

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledonae

Famili

: Poaceae

Genus

: Oryza

Species

: Oryza spp

Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan


Gramineae, yang mana ditandai dengan batang yang tersusun dari
beberapa ruas. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanamantanamannya anak-beranak. Bibit yang hanya sebatang saja ditanamkan
dalam waktu yang sangat singkat telah membentuk satu dapuran, dimana
terdapat 20-30 atau lebih anakan/tunas-tunas baru (Siregar, 1980).

Sugeng (1992) menjelaskan bahwa di Indonesia saat ini dikenal


ada lebih dari seribu jenis padi. Jumlah yang sangat banyak itu antara lain

disebabkan adanya perkawinan silang dari beberapa jenis padi dalam


rangka usaha peningkatan hasil.
Secara garis besar, tanaman padi dapat dibedakan dalam 2
macam yaitu :
1. Padi beras, yaitu tanaman padi yang dijadikan beras dan
dikonsumsi sebagai makan pokok.
2. Padi ketan, yaitu tanaman padi yang dijadikan beras tetapi tidak
dikonsumsi sebagai makanan pokok melainkan diolah menjadi
berbagai macam makanan ringan.
2.2. Pertanian Organik dan Padi Organik
2.2.1. Pertanian Organik
Pertanian organik merupakan jawaban atas dampak revolusi hijau
yang digalakkan pada era tahun 60-an yang telah menyebabkan
kesuburan tanah menjadi berkurang dan kerusakan lingkungan akibat
pemakaian pupuk dan pestisida kimiawi yang tak terkendali.
Di Indonesia pertanian organik baru dikenal awal tahun 1990-an.
Padahal sebenarnya pertanian organik di Indonesia bukan lagi hal baru.
Sudah sejak lama para leluhur kita bercocok tanam secara alami tanpa
menggunakan pupuk buatan pabrik dan pestisida kimia. Berbicara
pertanian organik di Indonesia tidak terlepas dari nama Pastor Agatho
Elsener, sebagai perintis pertanian organik. Seperti di mancanegara,
munculnya pertanian organik di Indonesia pun didorong oleh kesadaran
manusia untuk mengonsumsi produk pertanian bebas residu pestisida dan

untuk menjaga kelestarian lingkungan. Di Indonesia, pertanian organik


semakin menemukan momentumnya seiring munculnya krisis ekonomi
tahun 1997 yang melambungkan harga saprotan (sarana produksi
pertanian) seperti pupuk kimia dan pestisida kimia (Andoko, 2009).
Menurut Utami dan Handayani (2003), sistem pertanian yang
berbasis bahan high input energy (bahan fosil) seperti pupuk kimia dan
pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan akhirnya menurunkan
produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang. Di sisi lain konsep
pertanian organik menitikberatkan pada keterpaduan dalam menjamin
daur hara yang optimum (Johannsen et al, 2005).
Pertanian yang intensif dapat merusak kesuburan tanah dan tidak
berkesinambungan

sebaliknya

praktek

pertanian

organik

dapat

menghasilkan pangan secara berkesinambungan sehingga membantu


masyarakat untuk menghasilkan bahan pangan murah dan juga
mengandung hanya sedikit bahan pencemar. Sehingga mengurangi risiko
keracunan makanan. Di samping itu sistem pertanian organik lebih
mengutamakan

pencegahan

daripada

pemberantasan

hama

dan

penyakit, sehingga dapat mengurangi penggunaan pestisida yang dapat


merusak lingkungan, biaya produksinya lebih murah, tidak merusak
kesuburan tanah dan kesinambungan ketersediaan bahan organik, serta
tidak merugikan makhluk hidup lain. Sistem pertanian organik juga dapat
memperbaiki sifat kimia tanah dengan peningkatan P tersedia, N total, K

tersedia, kandungan karbon, asam humat, asam fulfat dan menjaga


kestabilan pH tanah (Utami dan Handayani, 2003).
2.2.2. Padi Organik
Padi organik merupakan padi yang dibudidayakan secara organik
atau tanpa pengaplikasian pupuk kimia dan pestisida kimia. Oleh karena
tanpa bahan kimia, padi organik tersebut pun terbebas dari residu pupuk
kimia dan pestisida kimia yang sangat berbahaya bagi manusia
(Andoko,2009).
IRRI (2007) menyebutkan bahwa padi organik adalah padi yang
disahkan oleh suatu badan independen, ditanam dan diolah menurut
standar yang telah ditetapkan. Pada umumnya padi organik harus
memenuhi persyaratan berikut:
1. Tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia sepanjang budi daya
dan pengolahannya.
2. Kesuburan tanah dipelihara secara alami, antara lain melalui
penanaman tanaman penutup (cover crop) dan penggunaan pupuk
kandang yang dikomposkan serta sisa tanaman.
3. Tanaman dirotasikan untuk menghindari penanaman komoditas
yang sama secara terus-menerus.
4. Pemanfaatan bahan nonkimia, seperti musuh alami untuk menekan
serangan hama dan penyakit tanaman serta penyebaran jerami
untuk menekan gulma (Muttakin,2005).

Menurut Santosa (2005) secara umum manfaat dari budidaya padi


organik sebagai berikut:
1. Hemat air (tidak digenang), kebutuhan air hanya 20-30% dari
kebutuhan air untuk cara konvensional.
2. Memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan
keseimbangan ekologi tanah.
3. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli
di lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pestisida
kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.
4. Membuka lapangan kerja di pedesaan, mengurangi pengangguran
dan meningkatkan pendapatan keluarga petani.
5. Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta
tidak mengandung residu kimia.
6. Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang.
Meskipun produksi padi organik sama dengan non-organik, secara
ekonomi beras organik lebih menguntungkan karena harga beras organik
di pasaran lebih tinggi, apalagi ditunjang dengan semakin banyaknya
orang yang peduli akan kebutuhan pangan yang terbebas dari pestisida
kimiawi.

Pertanian

organik

semakin

berkembang

sejalan

dengan

timbulnya kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan


dan kebutuhan akan bahan makanan yang relatif sehat (Rahmawati,
2005).

Tidak semua varietas padi cocok untuk dibudidayakan secara


organik. Padi hibrida kurang cocok ditanam secara organik karena
diperoleh melalui proses pemuliaan di laboratorium serta hanya dapat
tumbuh dan berproduksi secara optimal bila disertai dengan aplikasi
pupuk kimia dalam jumlah banyak sehingga hal ini menimbulakan
ketergantungan petani terhadap pemanfaatan pupuk dan pestisida kimia.
Varietas padi yang cocok ditanam secara organik hanyalah jenis
atau varietas alami. Padi varietas alami yang dapat dipilih untuk ditanam
secara organik antara lain adalah rojolele, mentik, pandan, dan lestari.
Agar produksi optimal, jenis padi tidak menuntut penggunaan pupuk kimia
(Andoko, 2009).
Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam memproduksi
padi organik adalah sebagai berikut:
1. Menentukan pasar potensial (harga dan ukuran) untuk produk yang
diusulkan.
2. Menentukan apakah input yang diperlukan cukup tersedia untuk
membuat usaha tersebut bersifat ekonomis.
3. Menentukan apakah dapat diproduksi produk yang mencukupi
untuk terus memenuhi permintaan pasar secara tepat waktu dan
dengan kualitas yang diminta.
4. Menentukan

kebutuhan

fasilitas,

pembiayaan, biaya dan laba potensial.

persyaratan

modal

dan

5. Menganalisis kebutuhan dan biaya infrastruktur dalam memastikan


pengadaan produk yang kontinyu dan tepat waktu.
6. Mekanisme sertifikasi diperlukan (Anonim, 2008)
2.3. Teknologi Padi Organik
Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan
bertanam padi secara konvensional. Perbedaannya hanyalah pada
pemilihan varietas dan penggunaan pupuk dasar.
Pertanian organik biasanya diawali dengan pemilihan bibit atau
benih

tanaman

non-hibrida.

Selain

untuk

mempertahankan

keanekaragaman hayati, bibit non-hibrida sendiri secara teknis memang


memungkinkan untuk ditanam secara organik. Ini dikarenakan bibit nonhibrida dapat hidup dan berproduksi optimal pada kondisi yang alami.
Sementara

bibit

atau

benih

hibrida

biasanya

dikondisikan

untuk

dibudidayakan secara non-organik, seperti harus menggunakan pupuk


kimia

atau

pemberantasannya

hanya

dengan

pestisida

kimia

(Andoko,2009)

Adapun teknologi budi daya padi organik sebagai berikut :


1. Pemilihan Varietas
Varietas padi yang cocok ditanam secara organik yaitu varietas
alami. Agar berproduksi optimal, jenis padi ini tidak menuntut
penggunaan pupuk kimia. Memang dampak pertanian modern yang
hanya menggunakan varietas unggul atau hibrida adalah merosotnya

keanekaragaman hayati varietas alami. Untunglah dari berbagai survei


diperoleh bahwa masih ada beberapa tempat di Indonesia yang sawah
petaninya ditanami padi varietas alami. Oleh karena itu, untuk
keperluan penanaman padi organik tidak terlalu sulit mendapatkan
benihnya.
Padi varietas alami yang dapat dipilih untuk ditanam secara
organik antara lain adalah rojolele, mentik, pandan, dan lestari, Di
Indonesia, padi rojolele merupakan padi berkualitas terbaik untuk
dikonsumsi sehingga harganya pun paling mahal.
2. Persemaian
Langkah awalnya adalah melakukan seleksi benih. Benih
bermutu merupakan syarat untuk mendapatkan hasil panen yang
maksimal. Umumnya benih dikatakan bermutu bila jenisnya murni,
bernas, kering, sehat, bebas dari penyakit, dan bebas dari campuran
biji rerumputan yang tidak dikehendaki. Benih yang baik pun harus
tinggi daya kecambahnya. Kebutuhan akan benih maksimal hanya 30
kg/ha., dengan asumsi jarak tanam 25 cm x 25 cm, sehingga asumsi
daya tumbuh sekitar 90%.
Bedengan

persemaian

dibuat

dengan

ukuran

panjang

bedengan 500-600 cm atau menurut kebutuhan, akan tetapi perlu


diupayakan agar bedengan tersebut tidak terlalu panjang. Lebar
bedengan 100-150 cm dan tinggi bedengan 20-30 cm. Selanjutnya
tanah dihaluskan dengan cara pencangkulan ulang menjadi bagian-

bagian yang lebih kecil dan selanjutnya diinjak-injak sampai lumer.


Bersamaan dengan penghalusan ini, lahan sawah dapat ditambahkan
dengan pupuk kandang sebanyak 40 kg atau sesuai yang dibutuhkan
dengan cara ditebar merata. Selanjutnya pupuk kandang tersebut
diinjak-injak kembali agar menyatu dengan tanah. Di antara kedua
bedengan yang berdekatan dibuat selokan dengan ukuran lebar 30-40
cm.
Benih yang akan disemaikan terlebih dahulu direndam dalam
air dengan maksud yaitu untuk menyeleksi benih yang kurang baik.
Benih yang terapung dan

melayang harus dibuang. Perendaman

dilakukan agar terjadi proses fisiologis yaitu proses terjadinya


perubahan di dalam benih yang akhimya benih cepat berkecambah.
Benih direndam dalam air selama 24 jam. Kemudian diperam selama
48 jam, agar di dalam pemeraman tersebut benih berkecambah. Benih
yang telah berkecambah dengan panjang kurang lebih 1 mm telah siap
untuk ditebar di bedengan dengan syarat benih tersebar rata dan
kerapatan benih harus sama.

Pengurangan air pada persemaian dimaksudkan agar benih


yang disebar dapat merata dan mudah melekat di tanah sehingga akar
mudah masuk ke dalam tanah, benih tidak busuk akibat genangan air,
memudahkan benih bernafas/mengambil oksigen langsung dari udara

sehingga proses perkecambahan lebih cepat, serta benih mendapat


sinar matahari secara langsung.
3. Pengolahan Lahan
Pengolahan

tanah

bertujuan

mengubah

keadaan

tanah

pertanian dengan alat tertentu hingga memperoleh susunan tanah


(struktur tanah) yang dikehendaki oleh tanaman. Pengolahan tanah
sawah terdiri dari beberapa tahap yaitu pembersihan, pencangkulan,
pembajakan, dan penggaruan.
Pembersihan dilakukan di selokan-selokan dan jerami yang ada
perlu dibabat untuk pembuatan kompos. Pencangkulan dilakukan
untuk perbaikan pematang dan petak sawah yang sukar dibajak.
Pembajakan berguna memecah tanah menjadi bongkahan-bongkahan
tanah, membalikkan tanah beserta tumbuhan rumput (jerami) sehingga
akhirnya membusuk.
Penggaruan

berguna

meratakan

dan

menghancurkan

gumpalan-gumpalan tanah menjadi butiran tanah yang lunak dan halus


(koloid). Di dalam koloid ini terikat bermacam-macam unsure hara
yang penting bagi tanaman seperti nitrogen (N), fosfor (P), Kalium (K),
Sulfur (S), Magnesium (Mg), Besi (Fe), dan kalsium (Ca). Bila
pengolahan tanah sawah makin sempurna akibatnya, unsur hara yang
terikat akan makin banyak hingga tanah makin subur.
4. Penanaman

Umur bibit berpengaruh terhadap produktivitas. Umur bibit


terbaik untuk dipindahkan adalah 18-25 hari (tergantung jenis padinya,
genjah/dalam); bibit berdaun 5-7 helai; batang bagian bawah besar,
dan kuat; pertumbuhan bibit seragam (pada jenis padi yang sama) dan
bibit tidak terserang hama dan penyakit dapat segera dipindahkan ke
lahan yang telah disiapkan. Jarak tanam yang paling banyak
digunakan petani di Indonesia adalah 25 cm x 25 xm dan 30 cm x 30
cm. Pemakaian bibit tiap lubang antara 3-4 batang, tetapi bibit yang
ditanam terlalu dalam/dangkal menyebabkan pertumbuhan tanaman
kurang baik, kedalaman tanaman yang baik 3-4 cm. Penanaman bibit
padi diawali dengan menggaris tanah/menggunakan tali pengukur
untuk menentukan jarak tanam. Setelah pengukuran jarak tanam
selesai dilakukan penanaman padi secara serentak.
5. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman padi terdiri dari penyulaman dan
penyiangan, pengairan serta pemupukan. Yang harus diperhatikan
dalam penyulaman (penggantian bibit yang rusak), yaitu bibit yang
digunakan harus jenis yang sama, bibit yang digunakan merupakan
sisa bibit yang terdahulu, penyulaman tidak boleh melampaui 10 hari
setelah tanam, dan selain tanaman pokok (tanaman pengganggu)
supaya dihilangkan. Penyiangan dilakukan dengan cara pencabutan
gulma. Dalam satu musim tanam, dilakukan tiga kali penyiangan.

Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman berumur sekitar 4


minggu, kedua umur 35 hari, dan ketiga umur 55 hari.
Pengairan di sawah dapat dibedakan atas pengairan secara
terus menerus dan pengairan secara periodik. Pemupukan tujuannya
adalah untuk mencukupi kebutuhan makanan yang berperan sangat
penting bagi tanaman baik dalam proses pertumbuhan/produksi, pupuk
yang sering digunakan oleh petani berupa pupuk alam (organik) dan
pupuk buatan (anorganik).
Pupuk organik yang digunakan sebagai pupuk dasar berupa
pupuk kandang atau kompos sebanyak 5 ton/ha. Terkadang untuk
memperoleh pupuk kandang sebanyak 5 ton agak sulit. Sebagai
gantinya dapat digunakan pupuk fermentasi atau bokashi yang
penggunaannya lebih hemat jika dibandingkan dengan pupuk kandang
atau kompos, cukup 1,5-2 ton/ha. Setelah itu dilakukan pemupukan
susulan. Pemupukan susulan tahap pertama dilakukan saat tanaman
berumur 15 hari sebanyak 1 ton/ha pupuk kandang atau 0,5 ton/ha
pupuk fermentasi. Pemupukan susulan tahap kedua pada saat
tanaman berumur 25-60 hari yaitu menyemprotkan sebanyak 1 liter
pupuk organik cair dilarutkan dalam 17 liter air yang kandungan unsur
N-nya tinggi. Pemupukan susulan tahap ketiga yaitu setelah tanaman
berumur 60 hari dengan menyemprotkan pupuk organik cair yang
mengandung unsur P dan K tinggi. Dosisnya 2-3 sendok makan pupuk

organik yang dicampur dalam 15 liter air. Pupuk tersebut disemprotkan


ke tanaman dengan frekuensi seminggu sekali.
Pada pertanian anorganik, dosis pemupukan dengan pupuk
kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Lain dengan
penggunaan pupuk organik, dosisnya justru cenderung semakin
menurun (Andoko,2009).
6. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pada budi daya padi organik pengendalian hama dan penyakit
dapat dilakukan dengan menggunakan varietas yang tahan dan dapat
pula dilakukan secara terpadu antara teknik budi daya, biologis, fisik
(perangkap atau umpan), dan kimia (pestisida organik).
7. Panen
Sekitar sepuluh hari sebelum panen, sawah harus dikeringkan
agar masaknya padi berlangsung serentak. Selain itu, keringnya
sawah akan lebih memudahkan pemanenan.
Pemanenan padi harus dilakukan pada saat yang tepat. Panen
yang terlalu cepat dapat menyebabkan kualitas butir gabah menjadi
rendah, yaitu banyak butir hijau atau butir berkapur. Bila hal ini terjadi,
nantinya akan diperoleh beras yang mudah hancur saat digiling.
Sebaliknya, panen yang terlambat dapat menurunkan produksi karena
banyak butir gabah yang sudah dimakan burung atau tikus.
Panen padi dapat dihitung berdasar umur tanaman, kadar air
gabah, atau hari setelah berbunga. Dengan metode ini padi dipanen

pada saat malai berumur 30-35 hari setelah berbunga (HSB). Tandatandanya ialah 95% malai tampak kuning dan kadar air gabah berkisar
antara

21-26%.

Cara

panen

dengan

menggunakan

ani-ani

menyebabkan kehilangan hasil paling tinggi dibandingkan dengan


sabit. Panen dengan ani-ani menyebabkan banyak malai tertinggal di
lapangan, karena pemanen menjadi lebih selektif (Suparyono dan
Agus Setyono, 1993).
8. Pasca Panen
Setelah

dipanen,

gabah

harus

segera

dirontokkan

dari

malainya. Tempat perontokan dapat langsung dilakukan di lahan atau


di halaman rumah setelah diangkut ke rumah. Perontokan ini dapat
dilakukan dengan perontok bermesin ataupun dengan menggunakan
tenaga manusia. Bila menggunakan mesin, perontokan dilakukan
dengan menyentuhkan malai padi ke gerigi alat yang berputar.
Sementara perontokan dengan tenaga manusia dilakukan dengan cara
batang padi dipukul-pukul ke kayu hingga gabah berjatuhan. Untuk
mengantisipasi agar gabah tidak terbuang saat perontokan maka
tempat perontokan harus diberi alas dari anyaman bambu atau
menggunakan terpal, hingga seluruh gabah dapat tertampung.

Agar tahan lama disimpan dan dapat digiling menjadi beras


maka gabah harus dikeringkan. Pengeringan gabah umumnya
dilakukan di bawah sinar matahari. Pengeringan bertujuan untuk

menurunkan kadar air sampai suatu tingkat tertentu. Pada saat cuaca
cerah, penjemuran padi dilakukan selama satu sampai dua hari
dengan pembalikan 4-7 kali. Gabah yang dijemur di tempat yang
dilengkapi dengan alas amparan semen memiliki kualitas lebih baik
dibanding dengan yang dijemur dengan alas penjemuran lembaran
plastik dan karung goni (Suparyono dan Agus Setyono, 1993: 95).
2.4. Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk
mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat. Penyuluhan
juga merupakan pengembangan individu dan suatu bentuk kerjasama
untuk

meningkatkan

kesejahteraan

dan

kebahagiaan

masyarakat.

Sasaran penyuluhan adalah segenap warga masyarakat (pria, wanita,


anak-anak) untuk menjawab kebutuhan dan keinginannya. Penyuluhan
juga mengajar masyarakat tentang apa yang diinginkan dan bagaimana
cara mencapai keinginan-keinginan itu (Ensminger,1962).

Penyuluhan dalam arti umum merupakan suatu ilmu sosial yang


mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu dan masyarakat
agar dengan terwujudnya perubahan tersebut dapat tercapai apa yang
diharapkan sesuai dengan pola atau rencananya. Penyuluhan dengan
demikian merupakan suatu sistem pendidikan yang bersifat non-formal
atau sistem pendidikan di luar sistem persekolahan yang biasa, diamana
orang ditunjukkan cara-cara mencapai sesuatu dengan memuaskan

sambil orang itu tetap mengerjakannya sendiri, jadi belajar dengan


mengerjakan sendiri. Arti dari pendidikan itu sendiri adalah suatu usaha
atau kegiatan agar dapat mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan
keterampilan) manusia yang sedang dididik sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh pendidiknya menurut pola atau rencana yang telah
ditentukan (Kartasapoetra, 1994: 2).
Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan
komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya
memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar
(A.W. Van Den Ban & H.S. Hawkins, 2006).
A.W. Van Den Ban & H.S. Hawkins, (2006) menjelaskan bahwa
Agen penyuluhan juga harus dapat menganalisis situasi yang sedang
berkembang agar mereka selalu siap untuk memberikan peringatan
kepada petani secara tepat waktu mengenai hal-hal yang tidak diinginkan
yang mungkin terjadi. Ketidakpuasan petani juga dapat diubah menjadi
masalah konkret untuk bisa dipecahkan.
Penyuluhan tidak dapat berjalan efektif apabila tidak memenuhi
kelima syarat berikut :
1. Pasar dan hasil-hasil pertanian;
2. Teknologi pertanian yang terus-menerus berubah;
3. Tersedianya input dan alat pertanian di tingkat lokal;

4. Insentif produksi yang menguntungkan petani untuk memproduksi


lebih banyak, tidak hanya menguntungkan tuan tanah dan
tengkulak saja; dan
5. Sarana transportasi dari desa ke desa (Mosher, 1993).
Penyuluhan dapat dianggap berhasil kalau:
1. Pengetahuan petani mengenai sesuatu yang berguna bertambah
2. Ada penerimaan (adopsi) petani terhadap hal-hal yang dianjurkan
penyuluh
3. Petani bersedia bekerjasama dengan penyuluh.
4. Petani bersedia memberi suatu balas jasa kepada penyuluh.
5. Penyuluh dapat mengubah sikap petani yang merugikan.
6. Pengetahuan praktis yang ada pada penyuluh bertambah.
7. Penyuluh dapat memberitahukan sesuatu yang berguna di luar
tujuan proyek tertentu.
8. Ada

perkembangan

keinginan

kedua

belah

pihak

untuk

mempertahankan hubungan (Mubyarto, 1995).


2.5. Adopsi Teknologi Pertanian
Adopsi teknologi merupakan suatu proses mental dan perubahan
perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan petani
sejak mengenal sampai memutuskan untuk menerapkannya. Sedangkan
proses difusi teknologi tidak berbeda jauh dengan proses adopsi, nanum
dalam difusi sumber informasinya berasal dari dalam sistem masyarakat

tani itu sendiri, sedangkan adopsi sumber informasinya berasal dari luar
sistem masyarakat tani (Roger dan Shomaker, 1981).
Adopsi ialah suatu proses dimulai dengan keluarnya ide-ide dari
satu pihak sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat sebagai pihak
kedua. Sedang inovasi merupakan suatu yang baru yang disampaikan
kepada masyarakat, lebih baik dan lebih menguntungkan daripada hal-hal
sebelumnya ada. Hal-hal baru yang disampaikan kepada petani berupa
ilmu dan teknologi. Dengan demikian dalam penyuluhan dikenal adanya
proses adopsi. Seseorang menerima suatu hal yang baru atau ide melalui
tahapan-tahapan. Tahapan ini dikenal sebagai Tahapan Proses Adopsi.
Secara bertahap dimulai dari :
a) Tahapan

Kesadaran Atau Tahap Mengetahui. Dengan adanya

penyuluhan, masyarakat tani sadar tentang adanya suatu yang baru,


mulai terbuka terhadap perkembangan dunia luar, sadar apa yang
sudah ada dan apa yang belum.
b) Tahap Minat Atau tahap Memperhatikan. Lama kelamaan sesudah
menyadari akan kekurangan, masyarakat tani akan mulai menaruh
minat akan hal yang baru diketahuinya. Tahap ini ditandai dengan
mencari

keterangan-keterangan

tentang

hal-hal

yang

baru

diketahuinya, apa itu, bagaimana dan apa kemungkinannya jika


dilaksanakan sendiri.
c) Tahap Penilaian. Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh, mulai
timbul rasa menimbang-nimbang untuk kemungkinan melaksanakan

sendiri. Apakah mampu, apakah menguntungkan dan apakah sesuai


dengan jenis kegiatan yang sudah biasa dilaksanakan atau tidak.
Masyarakat tani akan menilai kebenaran dan kebaikan dari apa yang
dianjurkan dan disuluhkan kepadanya.
d) Tahap Mencoba. Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru
besar dan jika ternyata hasil dari penilaiannya positif, maka dimulai
usaha untuk mencoba- coba
Masyarakat

tani

dengan

hal baru yang sudah diketahuinya.

menggunakan

sedikit

areal

lahannya

mencoba-coba mengembangkan padi organik dengan metode yang


lebih baik, dan dilihat dulu bagaimana hasilnya.
e) Tahap Adopsi. Pada tahap ini sebagai tahap akhir, masyarakat tani
sudah mulai mempraktekkan hal-hal yang baru tesebut dengan
keyakinan akan berhasil. Areal penanaman padi organik diperluas
tidak lagi hanya memanfaatkan sebagian kecil lahan, bahkan mungkin
seluruh areal yang dimilikinya ditanami dengan padi organik, karena
mereka yakin akan mendapatkan tingkat keberhasilan tumbuh
tanaman yang tinggi, apalagi saat pengusahaan tanaman tersebut,
harganya cukup menjanjikan dipasaran. Hingga pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan petani (Anonim, 2007).
Tahapan-tahapan adopsi ini penting untuk mempelajari agar
diketahui dalam tahap mana petani berada, sehingga dapat ditentukan
bagaimana cara penyuluhannya. Untuk mengetahui dalam tahap mana
petani berada, agen penyuluh sebelum melaksanakan tugasnya dapat

mengadakan

mengadaan acara kunjungan rumah, sebagai kegiatan

untuk memperkenalkan diri. Sambil berkenalan, dengan teknik berbicara


yang baik, penyuluh dapat mengumpulkan data. Dari sikap petani akan
diperoleh tanggapan tentang bagaimana respon mereka tehadap
kemajuan petani pada umumnya, bagaimana tanggapan mereka terhadap
hal-hal yang baru masuk ke dalam desanya. Dengan bekerja sama
dengan para pemuka kelompok tani atau para tokoh masyarakat desa,
penyuluh dapat menentukan petani-petani mana yang harus terlebih
dahulu dihubungi. Secara perhitungan rata-rata dari suatu wilayah atau
satu desa, penyuluh dapat menentukan pada tahap mana mereka masingmasing berbeda. (Anonim, 2007).

2.6. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Adopsi Padi Organik


Beberapa hal penting yang mempengaruhi adopsi inovasi adalah:
a. Usia
Beberapa hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif
antara usia petani dengan pengambilan keputusan untuk mengadopsi
suatu inovasi. Usia petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan
berpikir. Pada umumnya bagi petani yang berusia muda dan sehat
memiliki daya fisik yang lebih besar, lebih dinamis berani menanggung
resiko dibanding dengan petani yang berusia lebih tua. Petani yang
berusia muda lebih mudah menerima hal baru yang dianjurkan/diajarkan.

b. Luas lahan
Lahan pertanian diartikan sebagai tanah yang disiapkan untuk
diusahakan usahatani misalnya sawah, tegal dan pekarangan. Sedangkan
tanah pertanian adalah tanah yang belum tentu diusahakan dengan usaha
pertanian. Dengan demikian tanah pertanian selalu lebih luas daripada
lahan pertanian (Soekartawi, 2003 : 5).
Luas penguasaan lahan pertanian merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam proses produksi ataupun usahatani dan usaha pertanian.
Dalam usahatani misalnya pemilikan atau penguasaan lahan sempit
sudah pasti kurang efisien dibanding lahan yang lebih luas.

Semakin sempit lahan usaha, semakin tidak efisien usahatani yang


dilakukan. Kecuali bila suatu usahatani dijalankan dengan tertib dan
administrasi yang baik serta teknologi yang tepat. Tingkat efisiensi
sebenarnya terletak pada penerapan teknologi. Karena pada luasan yang
lebih sempit, penerapan teknologi cenderung berlebihan, dan menjadikan
usaha tidak efisien. Petani kurang perhitungan terutama dalam pemberian
masukan seperti pupuk misalnya. Padahal sebenarnya pada lahan sempit
justru seharusnya efisiensi usaha lebih mudah diterapkan, karena
mudahnya pengawasan dan penggunaan masukan, kebutuhan tenaga
kerja sedikit serta modal yang diperlukan juga lebih sedikit dan lebih
mudah diperoleh. Tetapi kenyataan di lapangan justru hal yang pertama

yang lebih banyak dijumpai. Maka diperlukan manajemen yang baik


terhadap penggunaan input berdasarkan luas lahan petani (Daniel, 2004).
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan berhubungan dengan kemampuan petani dalam
menerima inovasi dan memiliki cara berpikir yang lebih matang. Semakin
tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani, maka kemampuan
dalam menerima inovasi baru akan semakin tinggi pula, dan sebaliknya
apabila tingkat pendidikan petani rendah maka kemampuan petani
menerima inovasi atau hal baru juga akan rendah (Cohen dan Uphoff,
1986)

d. Jumlah tanggungan keluarga


Tanggungan keluarga adalah semua orang yang tinggal bersama
petani dalam sebuah rumah tangga, maupun yang tinggal diluar dan
masih ditanggung atau dibiayai, dimana petani tersebut bertindak sebagai
kepala keluarga, diukur dengan membandingkan antara petani yang
banyak tanggungannya dengan yang sedikit tanggungan keluarga
(Anonim, 2007).
e. Pengalaman Berusahatani
Pengalaman berusahatani dapat menentukan berhasil tidaknya
petani dalam mengelola usahataninya. Sebab dari pengalaman itulah
dapat menjadi guru dan petunjuk dalam melakukan kegiatan selanjutnya.

Dari pengalaman berusahatani memungkinkan petani dapat mengubah


metodenya sehingga usahataninya menjadi lebih produktif (Fadholi,
1989).
f. Status Petani
Status petani merupakan keadaan atau posisi yang menerangkan
petani sesuai usahataninya.status petani yang digolongkan sebagai
berikut

(Patong, 1986) :

1. Petani Pemilik
Petani pemilik adalah glongan petani yang langsung mengusahakan
dan menggarap tanah miliknya sendiri. Semua faktor produksi, baik
berupa tanah, paralatan dan sarana produksi yang digunakan adalah
milik petani sendiri.

2. Petani Pemilik Penyakap


Petani pemilik penyakap adalah petani yang mengusahakan tanah
milik sendiri dan milik orang lain dengan sistem bagi hasil.
3. Petani Penyewa
Petani penyewa adalah golongan petani yang mengusahakan tanah
milik orang lain dengan cara menyewa.
4. Petani Penyakap
Petani penyakap adalah petani yang menyakap tanah milik orang lain
dengan sistem bagi hasil, dimana resiko ditanggung oleh pemilik tanah
dan penyakap.

g. Sifat Kekosmopolitan
Kekosmopolitan mengandung pengertian keterbukaan terhadap
informasi dari luar. Keterbukaan terhadap informasi yang berarti bagi
pengembangan usahataninya, memunginkan penambahan pengetahuan,
perubahan sikap dan peningkatan keterampilan yang akhirnya dapat
mempengaruhi kemampuan dalam berusaha mengatasi masalah pada
usahatani yang dikelolanya, melalui efisiensi usahatani. Sehubungan
dengan aktivitas dari berbagai sumber informasi, kegiatan tersebut akan
menyebabkan individu membentuk persepsi yang dimulai dengan
pemilihan menyusunnya menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya
menginterpretasikannya dalam bentuk perilaku atau tindakan. Dengan
demikian kekosmopolitan merupakan satu proses awal yang mampu
menggerakkan daya pikir seseorang untuk memahami hasil hubungan
yang terjadi dan untuk selanjutnya dicerna serta diwujudkan dalam bentuk
perubahan perilaku yang baik (Hilakore, 2004)
h. Intensitas Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan pertanian melibatkan dua kelompok yang
aktif. Di satu pihak adalah kelompok penyuluh dan yang kedua adalah
kelompok yang disuluh. Penyuluh adalah kelompok yang diharapkan
mampu membawa sasaran penyuluhan pertanian kepada cita-cita yang
telah digariskan. Sedangkan yang disuluh adalah kelompok yang
diharapkan mampu menerima paket penyuluhan pertanian (Sastratmadja,
1993).

Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat dan bukannya


bekerja untuk masyrakat. Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu
atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis
dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta
memelihara partisipasi masyarakat. Keberhasilan penyuluhan dapat
diukur dari intesitas penyuluhan dan frekuensi petani dalam mengikuti
penyuluhan (Adicondro, 1990).
Intensitas penyuluhan adalah banyaknya kegiatan penyuluhan
pertanian yang telah diikuti oleh petani dalam rangka menambah
pengetahuan serta metode dan informasi tentang inovasi teknologi yang
sedang berkembang. Semakin sering mengikuti penyuluhan semakin
banyak metode dan informasi yang didapatkannya (Wulandari, 2008).
2.7. Produksi
Produksi dapat didefenisikan sebagai hasil dari suatu proses atau
aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan (input).
Dengan demikian, kegiatan produksi tersebut adalah mengkombinasikan
berbagai input untuk menghasilkan output (Agung,1994)
Produksi merupakan suatu proses penggunaan unsur-unsur
produksi dengan maksud untuk menciptakan faedah dalam memenuhi
kebutuhan manusia. Berdasarkan definisi diatas dapat dikemukakan
bahwa produksi akan sangat ditentukan oleh adanya kombinasi dari
empat unsur produksi yaitu alam/tanah, modal, tenaga kerja dan
pengelolaan. Alam dan tenaga kerja dipandang sebagai unsur ahli dalam

proses produksi sedangkan modal dan pengelolaan merupakan suatu


unsur dari pengerganisasian unsur-unsur alam, tenaga kerja dan modal
serta pengelolaan itu sendiri (Djojohadikusumo, 1990).
Seorang

pengusaha

atau

seorang

petani

dalam

usaha

pertaniannya, selalu berpikir bagaimana ia mengalokasikan input seefisien


mungkin untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal. Cara pemikiran
yang demikian adalah wajar, mengingat petani melakukan konsep
bagaimana cara memaksimumkan keuntungan dengan mengeluarkan
biaya yang minimum . Peningkatan keuntungan dapat dicapai oleh petani
dengan melakukan usahataninya secara efisien.
2.8. Kerangka Pemikiran
Padi organik telah mendapat perhatian untuk dibudidayakan
kembali setelah setelah bertahun-tahun petani tergantung pada bibit
hibrida dan pestisida kimiawi yang merupakan imbas dari revolusi hijau.
Sadar akan dampak buruk yang ditimbulkan dari revolusi hijau petani pun
akhirnya berusaha mengembalikan sistem bercocok tanam padi organik
yang lebih ramah lingkungan. Padi organik merupakan suatu inovasi di
bidang pertanian yang layak dikembangkan karena memiliki keunggulan
dari segi rasa, dan aspek kesehatan. Dari segi rasa, beras organik lebih
empuk dan tidak cepat basi yakni 24 jam jika dibandingkan dengan beras
lain yang mampu bertahan selama 12 jam. Meskipun harganya sedikit
lebih mahal, akan tetapi jika ditinjau dari aspek kesehatan beras organik
lebih aman dikonsumsi untuk jangka panjang karena beras organik tidak

mengandung

toxin

atau

unsur

yang

bersifat

racun

dan

dapat

penting

yang

membahayakan kesehatan manusia.


Inovasi

padi

organik

merupakan

informasi

memperkenalkan jenis padi yang bersifat ramah lingkungan, dan tidak


memanfaatkan pupuk dan pestisida kimia yang dapat merusak struktur
tanah serta memiliki dampak negatif dari aspek kesehatan. Informasi ini
diperkenalkan kepada masyarakat tani melalui media dan penyuluhan
yang bertujuan untuk mengajak dan mengubah pola pikir para petani
untuk tidak bergantung pada pemanfaatan

pupuk dan pestisida kimia

yang harganya relatif mahal.


Petani mengadopsi teknologi padi organik dipengaruhi oleh
beberapa. faktor meliputi usia, pendidikan, pengalaman berusahatani,
jumlah

tanggungan

keluarga,

status

petani,

luas

lahan,

sifat

kekosmopolitan, serta keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan.


Semakin tua usia petani, maka tingkat adopsinya terhadap
penyuluhan yang diberikan akan semakin lambat dan penerapannya di
lapangan tidak maksimal. Hal ini berpengaruh terhadap meningkat
tidaknya produksi. Pengalaman berusahatani juga memiliki kaitan erat
dengan usia. Petani yang memiliki pengalaman usaha yang relatif lama
cenderung berhati-hati dalam bertindak dan berpikir lebih mapan dalam
mengadopsi suatu teknologi pertanian dan menerapkannya ke dalam
usahataninya. Faktor lain yang berpengaruh adalah tingkat pendidikan.
Petani

yang

mengenyam

tingkat

pendidikan

yang

tinggi

akan

menyebabkan petani lebih dinamis dan semakin mudah mengadopsi


penyuluhan. Sedangkan jumlah tanggungan keluarga berpengaruh pada
motivasi

petani

untuk

meningkatkan

usahataninya

dalam

rangka

memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya. Anggota keluarga


yang memiliki usia produktif untuk bekerja merupakan sumberdaya
manusia yang dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja pada saat proses
produksi berlangsung sehingga lebih menghemat biaya produksi.
Luas lahan juga memiliki hubungan dengan proses adopsi petani.
Semakin luas usahatani maka semakin giat petani untuk meningkatkan
produksinya. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksinya adalah
dengan jalan merubah cara bertani menjadi lebih baik atau mengadopsi
teknologi pertanian yang lebih efektif dan efisien. Faktor lain yang
berpengaruh pada proses adopsi teknologi adalah sifat kekosmopolitan.
Petani yang memiliki sifat kekosmopolitan yang tinggi memiliki pola pikir
yang lebih terbuka terhadap hal-hal yang baru, karena mereka cenderung
lebih banyak melakukan interaksi dengan orang-orang sekitar sehingga
akses informasi dan proses adopsi teknologi tertentu lebih cepat
mendapat respon positif termasuk merespon hal-hal yang disampaikan
dalam kegiatan penyuluhan.
Peran serta penyuluhan sangat berperan penting dalam mengubah
pola pikir dan pandangan petani terhadap adopsi teknologi padi organik.
Penyuluhan sebagai kegiatan yang dilakukan dalam upaya pencapaian

tujuan pembangunan pertanian. Kegiatan ini dilakukan agar petani


mendapatkan efisiensi dalam berusahatani.
Semakin sering petani mengikuti penyuluhan maka semakin mudah
pula mereka menerima adopsi inovasi yang diberikan oleh penyuluh.
Sehingga petani akan dapat menerapkannya pada usahatani mereka.
Adapun skema kerangka pikir dapat dilihat dalam bentuk berikut:

PENYULUHAN

PETANI

MENOLAK
ADOPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN :

USIA
TINGKAT PENDIDIKAN
PENGALAMAN BERUSAHA TANI
JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA
LUAS LAHAN
SIFAT KEKOSMOPOLITAN
FREKUENSI PETANI MENGIKUTI PENYULUHAN

ADOPSI TEKNOLOGI PADI ORGANIK

PRODUKSI
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian di Kelurahan Manisa,
Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009.
2.8. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dan kerangka pemikiran
dalam uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi padi organik tergolong
rendah.
2. Faktor-faktor yang meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman
berusahatani, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, sifat
kekosmopolitan, dan frekuensi petani mengikuti penyuluhan
memiliki hubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap
teknologi padi organik.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Manisa, Kecamatan
Baranti, Kabupaten Sidenreng-Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan purposive sampling dengan
pertimbangan bahwa kelurahan ini merupakan salah satu daerah potensil
penghasil padi organik di Kabupaten Sidrap. Waktu pelaksanaan
penelitian dilakukan selama 3 bulan dari bulan Maret sampai Mei 2009.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi yang menjadi objek penelitian ini yaitu petani padi organik
yang terdapat di kelurahan Manisa. Populasi yang menjadi objek pada
penelitian ini yaitu seluruh petani padi organik yang terdapat di kelurahan
Manisa. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 30 orang petani
organik dari 4 kelompok tani. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
sederhana (simple random sampling).

Dengan demikian maka peneliti

memberi hak yang sama kepada setiap subjek dari populasi untuk
memperoleh kesempatan dipilih menjadi sampel.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif


kuantitatif. Data kuantitatif, yaitu data yang diperoleh berupa angka-angka
meliputi umur luas lahan, pendapatan, dan jumlah input yang digunakan
dalam proses produksi.
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
petani responden dengan menggunakan kuesioner.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi/lembaga terkait.
Data ini diperoleh dari Kantor Lurah Manisa, Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Kab. Sidrap, Balai Penyuluh Pertanian serta
beberapa kepustakaan yang mendukung.
3.4 Analisis Data
Data primer diperoleh dari responden yang berasal dari kuisioner
yang diformat sedemikian rupa. Selanjutnya ditabulasi dan dianalisis
secara deskriptif.
Analisis data yang digunakan untuk membuktikan hipotesis
pertama yaitu dengan menggunakan sistem skoring, yaitu memberikan
skor pada setiap pertanyaan yang menyatakan tingkat adopsi petani
terhadap teknologi padi organik. Nilai skor terdiri dari 2 tingkatan, yaitu :
Skor 2 : Untuk responden yang aktif, produktif, dan memiliki
tingkat adopsi teknologi yang tinggi.
Skor 1 : Untuk responden yang kurang aktif dan tidak produktif,
dan memiliki tingkat adopsi yang rendah.

Penentuan skor di atas berdasarkan hasil penilaian dari kuisioner


pada tiap-tiap tahapan adopsi yang telah dilakukan oleh petani. Tahapan
adopsi yang dimaksud adalah tahap kesadaran, minat, evaluasi,
percobaan, dan penerapan. Total skor yang diperoleh oleh tiap-tiap
responden kemudian ditentukan nilai skor rata-ratanya.
Tingkat adopsi petani dikategorikan tinggi jika nilai skor dari seluruh
pertanyaan lebih besar dari nilai skor rata-rata, sebaliknya tingkat adopsi
petani dikategorikan rendah jika nilai skor yang dicapai lebih kecil dari nilai
skor rata-rata. (Sudjana,1992).
Nilai Rata-rata / x

= xi (Jumlah Nilai data)


n
(Banyak Data)

Untuk membuktikan hipotesis kedua yaitu dengan menggunakan


analisis Chi-Kuadrat (Chi-Square) . Pengujian ini dimaksudkan untuk
melihat apakah variable bebas sebagai penentu tingkat adopsi, memiliki
hubungan dengan variable terikat. Pengujian korelasi variable bebas
terhadap

tingkat

adopsi

meliputi

faktor

usia,

tingkat

pendidikan,

pengalaman berusahatani, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, sifat


kekosmopolitan,

dan

frekuensi

petani

penyuluhan(Sudjana,1996)

Model analisis Chi-Square dengan rumus sebagai berikut :


N [( AD-BC) (N/2)]
X= ---------------------------(A+B)(C+D)(A+C)(B+D)

mengikuti

Dimana : X = Nilai Chi-Square


N = Jumlah Sampel
A-D = Nilai tiap sel dari table kontingensi
N/2 = Jumlah responden dibagi dua
Pengambilan kesimpulan didasarkan pada :
a. Apabila X hitung lebih besar dari pada nilai X tabel, maka terdapat
hubungan antara kedua variabel
b. Apabila X hitung lebih kecil dari pada nilai X tabel, maka tidak
terdapat hubungan antara kedua variabel
Jika hasil analisis Chi-Square ini menunjukkan adanya hubungan
antara kedua variabel yang diteliti, maka akan dilanjutkan dengan uji
contingency (C) kedua variabel dengan tujuan untuk menguji apakah
hubungan tersebut nyata atau tidak nyata.

C=

Dimana :

X2
X 2 =n

C = Contingenci
X = Nilai Chi-Square
N = banyaknya sampel

Nilai C berkisar 0 1,000. Semakin besar nilai koefisien


kontingensinya berarti hubungan antara dua variabel makin erat.
Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien kontingensi digunakan
batasan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2006) seperti terlihat pada
tabel :

Interval Koefisien
0,00 0,199

Tingkat Keeratan Hubungan


Sangat rendah

0,20 0,399

Rendah

0,40 0,599

Sedang

0.60 0,799

Tinggi

0,80 1,00

Sangat tinggi

3.5 Konsep Operasional


Konsep

operasional

digunakan

dalam

penelitian

ini

untuk

memudahkan dalam pengambilan data dan informasi serta menyamakan


persepsi. Konsep operasional tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertanian

organik

merupakan

strategi

pertanian

yang

meminimalkan penggunaan bahan kimiawi sebagai input produksi.


2. Padi organik adalah jenis padi yang dibudidayakan disamping
masih

menggunakan

input

anorganik

juga

sudah

mulai

menggunakan pupuk organik.


3. Responden adalah petani padi dalam hal ini petani yang
mengusahakan padi organik.
4. Inovasi adalah sesuatu yang dinilai baru, tetapi lebih luas dari itu,
yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya
pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.
5. Adopsi adalah proses perubahan perilaku baik yang berupa:
pengetahuan (cognitive), maupun keterampilan (psycho-motoric)
pada seorang petani setelah menerima inovasi yang telah

disampaikan dalam penyuluhan. Proses adopsi ini harus melewati


beberapa tahapan dan memerlukan waktu yang panjang.
6. Petani padi organik adalah penduduk Kelurahan Manisa yang
bekerja dan menghidupi keluarganya dari usaha padi organik.
7. Tingkat adopsi adalah tingkat penerapan petani terhadap teknologi
padi organik yang diberikan oleh Petugas Penyuluh Lapangan.
8. Luas lahan adalah ukuran lahan yang digunakan oleh petani dalam
melakukan aktivitas usaha padi organik selama satu musim tanam
yang dinyatakan dalam satuan are.
9. Penyuluhan adalah suatu pendidikan nonformal yang diberikan
oleh Petugas Penyuluh Lapangan kepada petani agar mengadopsi
padi organik.
10. Frekuensi petani mengikuti penyuluhan adalah seberapa sering
petani responden mengikuti kegiatan penyuluhan yang diukur
dengan jumlah kehadiran.
11. Usia adalah usia petani terhitung sejak lahir sampai penelitian ini
dilakukan yang diukur dalam satuan tahun.
12. Pendidikan adalah lama tahun pendidikan formal yang telah
ditempuh oleh petani responden yang dinyatakan dalam satuan
tahun
13. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah jiwa yang biaya hidup
dan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh petani sebagai kepala
keluarga yang dinyatakan dalam satuan jumlah orang.

14. Pengalaman Berusaha tani adalah lamanya petani responden


melakukan usahatani yang diukur dalam tahun.
15. Sifat

kekosmopolitan

adalah

frekuensi

petani

responden

berhubungan dengan lingkungan sosialnya seperti bepergian


keluar kelurahan/kecamatan/ kabupaten, frekuensi mengakses
informasi dan lain-lain. Frekuensi tersebut diukur dengan sistem
scoring kemudian dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu
kosmopolit dan tidak kosmopolit.
16. Produksi adalah hasil panen yang diperoleh dari usaha padi
organik selama satu musim tanam yang dinyatakan dalam satuan
kilogram kg/musim tanam.

BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi
4.1.1. Letak Geografis dan Administratif
Kecamatan Baranti merupakan salah satu wilayah kecamatan dari
11 kecamatan yang ada di Kabupaten Sidenreng Rappang. Secara
geografis Kecamatan Baranti terletak 15 km di bahagian Utara Ibukota

Kabupaten Sidenreng Rappang atau 200 km sebelah Utara Ibukota


Provinsi Sulawesi Selatan.
Kelurahan Manisa merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan.
Kelurahan ini berjarak 30 km dari ibukota kecamatan dan 16 km dari
ibukota kabupaten. Luas wilayah Kelurahan Manisa adalah 7,04 km 2
yang terbagi atas empat lingkungan yaitu Lingkungan Manisa, Lingkungan
Talumae, Lingkungan Kampung Baru dan Lingkungan Tangkoli. Secara
geografis Kelurahan Baranti mempunyai batas wilayah sebagai berikut:
-

Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Benteng

Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Panreng

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Watang Pulu

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Baranti

4.1.2. Keadaan Iklim dan Topografi


Wilayah Kelurahan Manisa mempunyai curah hujan rata-rata 132
mm per tahun. Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt Ferguzon termasuk
tipe iklim B dengan kategori 7 bulan basah dan 4 bulan kering sedangkan
suhu udara bervariasi antara 27C 31C. Jenis tanah yang dimiliki
kelurahan bertopografi dataran rendah dengan ketinggian 27 m dari
permukaan laut (dpl) ini adalah jenis tanah Latosol atau tanah liat
berwarna hitam kecoklatan.
4.1.3. Pola Penggunaan Lahan

Lahan yang terdapat di Kelurahan Manisa umumnya digunakan


sebagai sawah irigasi teknis, tegalan dan kebun campuran. Kebun
diusahakan dengan menanami tanaman campuran kelapa, kakao dan
pisang. Jenis tanaman lain yang merupakan sumber pendapatan adalah
jagung, kacang tanah, dan sayur-sayuran yang ditanam pada pematang
sawah. Pola penggunaan lahan di Kelurahan Manisa dapat dilihat pada
tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pola Penggunaan Lahan di Kelurahan Manisa, Kecamatan
Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009.
No.
Pola Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Persentase (%)
1. Sawah Irigasi Teknis
523,40
74,35
2. Bangunan dan Pemukiman
39,40
5,59
3. Tegalan
52,58
7,47
4. Kebun Campuran
78,62
11,17
5. Lain-lain
10,00
1,42
Jumlah
704
100
Sumber: Kantor Lurah Manisa, 2009.
Tabel 1 menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan di kelurahan
Manisa adalah sawah irigasi teknis 523,40 ha (74,35%). Hal ini
disebabkan karena sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah di
sector pertanian tanaman pangan khususnya padi sawah. Selanjutnya
disusul oleh kebun campuran sebesar 78,62 ha (11,17%) dan tegalan
52,58 ha (7,47%) kemudian bangunan dan pemukiman yaitu 39,40 ha
(5,59%) meliputi perkantoran, gedung sekolah, rumah ibadah, pekuburan
dan sebagainya.
4.2. Keadaan Penduduk

4.2.1. Penyebaran Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur


Umur penduduk sangat mempengaruhi aktivitas seseorang dalam
mengelola bidang usahanya. Penduduk yang usianya masih muda relatif
memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dan lebih termotivasi
meningkatkan aktifitasnya dibandingkan dengan penduduk yang usianya
lebih tua. Mengenai jumlah penduduk Kelurahan Manisa dapat dilihat
pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Kelurahan
Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009.
No

Kelompok Umur
Jumlah
Persentase
(Tahun)
(jiwa)
(%)
1.
0 - 14
819
18,85
2.
15 - 54
2.985
68,7
3.
55
541
12,45
Jumlah
4.345
Sumber: Kantor Lurah Manisa, 2009.
Tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok umur 0 14 tahun
sebanyak 819 jiwa (18,85%). Kelompok ini merupakan kelompok umur
yang belum produktif yang umumnya masih berstatus sebagai pelajar dan
usia pra sekolah. Kelompok umur 15 54 tahun sebanyak 2.985 jiwa
(68,7%) dimana kelompok ini tergolong umur produktif yang bekerja pada
berbagai bidang. Kelompok 55 tahun ke atas sebanyak 541 jiwa (12,45%)
yang merupakan kelompok umur tidak produktif.
4.2.2. Penyebaran Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis

kelamin

memberikan

klasifikasi

tertentu

dalam

jenis

pekerjaan. Peranannya akan dapat menentukan bagi perkembangan

wilayah baik skala regional maupun skala nasional. Mengenai jumlah


penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kelurahan
Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009.
No.
1.
2.

Jenis Kelamin

Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Sumber: Kantor Lurah Manisa, 2009.

Jumlah (jiwa)
2.148
2.197
4.345

Persentase (%)
49,44
50,56
100

Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelurahan Manisa


berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 2.148 jiwa (49,44%)
dan perempuan sebanyak 2.197 jiwa (50,56%). Jumlah persentase
penduduk laki-laki dan perempuan hampir seimbang walaupun jumlah
penduduk perempuan lebih banyak dari jumlah penduduk laki-laki dengan
selisih sebesar 1,12% yang tergolong dari berbagai tingkatan usia yakni
anak-anak, dewasa dan orang tua.
4.2.3. Penyebaran Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan menjadi salah satu tolak ukur majunya suatu
wilayah atau masyarakat. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi pola
pikir dalam bertindak dan mengambil keputusan dalam kegiatannya,
terutama dalam pengelolaan usahatani. Semakin tinggi tingkat pendidikan
maka semakin luas pula pengetahuan yang dimiliki, dan sebaliknya
semakin rendah tingkat pendidikan maka akan lambat pula untuk
menerima suatu informasi. Mengenai tingkat pendidikan penduduk
Kelurahan Manisa dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
2009.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Tingkat Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Belum sekolah
Tidak tamat SD
SD/sederajat
SLTP/sederajat
SLTA/sederajat
D1
D2
D3
S1
S2
Lain-lain
Jumlah
Sumber: Kantor Lurah Manisa, 2009.

Jumlah (jiwa)
233
110
119
939
1.117
825
14
21
22
83
1
861
4.345

Persentase (%)
5,36
2,53
2,74
21,61
25,71
18,98
0,32
0,48
0,51
1,91
0,02
19,82
99,99

4.2.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian


Mata pencaharian penduduk terkait dengan pemenuhan kebutuhan
hidup diri dan keluarga sehari-hari. Selain itu, mata pencaharian juga
dapat menentukan taraf hidup dan tingkat kemakmuran pada daerah
tersebut

yang

dapat

dilihat

dari

laju

perekenomiannya.

Dengan

memanfaatkan lahan yang sebagian besar digunakan sebagai sawah


irigasi teknis maka penduduk Kelurahan Manisa pada umumnya bekerja
sebagai petani. Untuk mengetahui jenis mata pencaharian penduduk
Kelurahan Manisa dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Kelurahan
Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009.
No.
1.
2.
3.
4.

Mata Pencaharian
Buruh/swasta
Pegawai Negeri
Pengrajin
Pedagang

Jumlah (jiwa)
257
125
45
46

Persentase (%)
5,91
2,88
1,04
1,06

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Penjahit
Tukang batu
Tukang kayu
Peternak
Montir
Dokter
Sopir
Pengemudi becak
TNI/Polri
Pengusaha
Petani
Lain-lain
Jumlah
Sumber: Kantor Lurah Manisa, 2009.

32
93
60
52
3
1
61
3
4
12
763
2.788
4.345

0,74
2,14
1,38
1,19
0,07
0,02
1,40
0,07
0,09
0,28
17,56
64,17
100

Tabel 5 menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan mata


pencaharian di kelurahan Manisa umumnya di dominasi oleh penduduk
yang bermatapencaharian campuran yaitu sebesar 2.788 jiwa (64,17%).
Kemudian sebagian besar juga penduduk bermatapencaharian sebagai
petani dengan jumlah 763 jiwa (17,56%) dan peringkat ketiga adalah
penduduk yang berprofesi sebagai buruh/swasta sebanyak 257 jiwa.
(5,91%). Persentase penduduk yang lain ada yang berprofesi sebagai
dokter sebanyak 1 jiwa (0,02%), pedagang sebanyak 46 jiwa (1,06%),
pengrajin sebanyak 45 jiwa (1,04%), sopir sebanyak 61 jiwa (1,40%), polri
sebanyak 4 jiwa (0,009%), dan sebagainya.
4.3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana merupakan penunjang setiap bentuk
aktifitas penduduk. Tersedianya sarana dan prasarana juga menjadi faktor
pendorong kemajuan masyarakat karena memudahkan masyarakat dalam

menjalankan aktifitasnya. Adapun uraian sarana dan prasarana yang


terdapat di Kelurahan Manisa dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6. Sarana dan Prasarana di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,


Kabupaten Sidrap, 2009.
No.
Jenis Sarana dan Prasarana
1. Sarana Peribadatan
- Masjid
2. Prasarana Olahraga
- Lapangan Sepak Bola
- Lapangan Bulu Tangkis
- Lapangan Voli
3. Prasarana Kesehatan
- Puskesmas
- Posyandu
- Toko Obat
4. Sarana Pendidikan
- SD/Sederajat
- TK
- TPA
- Lembaga Pendidikan Keagamaan
5. Transpotasi Darat
- Jalan Aspal
- Jalan Tanah
6. Komunikasi
- Telepon
Sumber: Kantor Lurah Manisa, 2009.

Jumlah (unit)
4
1
1
3
1
5
1
5
3
5
1
2.265 m
10.690 m
50

Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah sarana dan prsarana


kelurahan Manisa yaitu sarana peribadatan berupa masjid sebanyak 4
unit, kemudian prasarana kesehatan dengan puskesmas sebanyak 1 unit,

posyandu 5 unit, dan took obat sebanyak 1 unit. Sarana pendidikan


seperti SD dan sederajat yakni 5 unit, TK 3 unit, TPA 5 unit, dan lembaga
pendidikan keagamaan 1 unit. Untuk transportasi darat dilengkapi dengan
jalan aspal sepanjang 2.265 m dan jalan tanah 10.690 m. sarana
komunikasi belum berkembang dengan baik yakni 50 unit hanya terdapat
pada pemukiman warga yang berlokasi dekat dengan jalan poros.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Identitas Responden
Identitas responden menggambarkan kondisi atau keadaan serta
status orang yang menjadi responden tersebut. Identitas seorang petani
penting untuk diketahui, karena kemampuan petani sebagai pembudidaya
dipengaruhi oleh beberapa unsur diantaranya meliputi usia, luas lahan,
tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga.
Usia petani mempengaruhi kemampuan fisik dan cara berpikir
dalam berusaha. Luas lahan akan mempengaruhi petani dalam mencari
metode-metode dalam proses produksi dengan tingkat produksi yang
tinggi. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir dan cepat tidaknya
teknologi baru diadopsi oleh petani dalam bekerja. Dan lama berusahatani
mempengaruhi

kemampuan

dan

berpikir

petani

dalam

mengolah

usahataninya.
5.1.1 Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan petani dalam berusahatani. Usia mempengaruhi fisik dan

pola pikir petani. Pada umumnya petani yang berusia muda memiliki
kemampuan fisik yang lebih baik dibanding dengan petani yang berusia
relatif tua. Seseorang yang masih muda relatif lebih cepat menerima halhal baru, lebih berani mengambil resiko, dan lebih dinamis. Sedangkan
seseorang yang relatif tua mempunyai kapasitas pengelolaan yang
matang dan memiliki banyak pengalaman dalam mengelola usahataninya,
sehingga ia sangat hati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh usia responden berkisar antara 23
tahun sampai 63 tahun. Usia responden disajikan dalam tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Petani Responden Menurut Kelompok Usia di Kelurahan
Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, Sulawesi
Selatan, 2009.
Kelompok
Jumlah
No
Usia
Kategori
Responden
Persentase
(Tahun)
(Orang)
(%)
1.
> 40,7
Tua
12
40
2.

< 40,7
Jumlah

Muda

18

60

30

100,0

Berdasarkan data pada Tabel 7, terlihat bahwa dari 30 orang petani


responden terdapat 12 orang (40%) berumur tua atau di atas rata-rata
40,7 tahun dan 18 orang (60%), petani responden berumur muda atau di
bawah umur rata-rata 40,7 tahun.. Hal ini menggambarkan responden
yang berusia muda lebih banyak dibandingkan dengan yang berusia tua.
Usia yang masih muda identik dengan usia produktif dan usia yang
relatif tua identik dengan usia yang kurang atau tidak produktif. Hal ini
berarti bahwa usia petani responden sebagian besar berada pada usia
produktif yang berarti fisik dan tenaga mereka masih kuat untuk bekerja

dan masih mampu untuk terlibat langsung dengan berbagai kegiatan yang
menunjang kemajuan dan pengelolaan usahataninya.

5.1.2 Tingkat Pendidikan


Pendidikan formal responden merupakan jenjang sekolah yang
ditempuh oleh responden yang diperhitungkan dari sistem pendidikan
sekolah yang telah berhasil ditamatkan oleh responden.
Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah tahun sukses atau
lamanya pendidikan formal yang pernah diikuti oleh petani. Tingkat
pendidikan merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk berfikir
dan bertindak secara rasional. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang biasanya lebih teliti dan kritis.
Tabel 8. Jumlah Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan di
Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009.
Lama
Jumlah
No
Pendidikan
Kategori
Responden
Persentase
(Tahun)
(Orang)
(%)
1.
> 8,6 (SMP)
Tinggi
19
63,3
2.

< 8,6 (SMP)


Jumlah

Rendah

11

36,7

30

100,0

Tabel 8 menunjukkan bahwa petani responden berada pada


tingkatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama
(SLTP). Petani responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 19 orang
dengan persentase 63,3 % dan petani responden yang berpendidikan
rendah sebanyak 11 orang dengan persentase 36,7 %. Hal ini

menggambarkan

bahwa

sebagian

besar

petani

responden

telah

menamatkan pendidikan di jenjang SLTP.


Petani responden yang berpendidikan tinggi didominasi oleh
kalangan muda. Dari seluruh responden rata-rata mereka hanya
bersekolah hanya sampai tingkatan SLTP. Petani responden yang
merasakan pendidikan hanya sampai tingkatan SD berjumlah 11 orang,
pada tingkatan SLTP berjumlah 10 orang, pada tingkatan SLTA berjumlah
8 orang, dan yang menyelesaikan jenjang S1 hanya 1 orang responden.
Tingkat

pendidikan

sangat

mempengaruhi

proses

adopsi

dan

keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan. Hal ini sejalan dengan


pendapat Van Den Ban (2006), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
petani maka pola pikir juga semakin luas dan tentunya akan lebih cepat
dalam menerima satu inovasi yang disampaikan. Sebaliknya masyarakat
yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk mengadopsi
suatu

inovasi

baru

sehingga

dalam

hal

ini

akan

mempersulit

pembangunan.
5.1.3 Pengalaman Berusahatani
Pengalaman

berusahatani

yang

dimaksud

adalah

mulai

diperhitungkan sejak seorang petani mulai terlibat dalam kegiatan


usahatani. Pengalaman berusahatani ini merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap kemampuan bekerja dan berpikir petani
dalam mengelola usahataninya. Pada umumnya, semakin lama petani
berusaha tani maka petani akan mempunyai sikap yang lebih berani

dalam menanggung resiko penerapan teknologi pertanian. Artinya


semakin lama berusahatani, petani lebih respon dan cepat tanggap
terhadap gejala yang mungkin akan terjadi dengan penerapan teknologi
pertanian dan apabila terjadi kegagalan dalam penerapannya maka yang
petani yang bersangkutan lebih siap untuk menanggulanginya. Dari
pengalaman berusahatani yang lebih mapan petani dapat mengubah
metodenya menjadi metode yang lebih baik dari sebelumnya dan
mengurangi tingkat resiko kegagalan dalam pengelolaan usahataninya
sehingga lebih produktif dari waktu ke waktu. Pengalaman berusahatani
responden dapat dilihat lebih jelas dalam tabel 9.
Tabel 9. Jumlah Petani Responden Menurut Pengalaman Berusaha Tani
di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009.
Pengalaman
Jumlah
No
berusahatani
Kategori
Responden
Persentase
(Tahun)
(Orang)
(%)
1.
>20,26
Tinggi
13
43,3
2.

<20,26

Rendah

Jumlah

17

56,7

30

100,0

Terlihat pada Tabel 9 bahwa pengalaman berusahatani responden


yang berada pada kategori tinggi yakni 13 orang petani responden dengan
persentase (43,3 %) dan yang memiliki pengalaman berusahatani yang
dikategorikan rendah terdapat 17 orang petani responden (56,7 %). Hal ini
menggambarkan bahwa petani responden belum memiliki pengalaman
yang

cukup

untuk

menentukan

dan

mengembangkan

usahatani

selanjutnya, sehingga memerlukan proses`pembelajaran yang lebih dalam

berusahatani. Lama berusahatani erat kaitannya dengan usia petani.


Petani yang usianya lebih tua dan memiliki pengalaman berusahatani
yang lebih banyak cenderung lebih berhati-hati dalam menyerap teknologi
baru yang ditawarkan dari luar, sebaliknya petani yang berusia lebih muda
dengan pengalaman berusahatani yang sedikit cenderung lebih terbuka
dalam

menerima

proses

adopsi

dan

inovasi

karena

kurangnya

pengalaman yang dimiliki dalam pengelolaan usahatani serta gambaran


resiko kegagalan yang akan didapatkannya di lapangan. Hal ini senada
dengan pendapat Sari dalam (Fitrah AR., 2008) yang menyatakan bahwa
petani yang telah lama bergulat dalam dunia usahataninya dapat
meningkatkan kemampuan petani serta memberikan modal yang besar
dalam menentukan usahataninya ke arah yang lebih maju.
5.1.4 Jumlah Tanggungan Keluarga
Tanggungan keluarga adalah semua orang yang tinggal dalam
suatu rumah dengan biaya dan kebutuhan hidup lainnya ditanggung
kepala

keluarga.

Tanggungan

keluarga

merupakan

salah

satu

sumberdaya manusia pertanian yang dimiliki oleh petani, terutama yang


berusia produktif dan ikut membantu dalam usahataninya. Jumlah
anggota keluarga dapat menambah sumber tenaga kerja dalam
mengerjakan proses produksi namun di satu sisi jumlah yang terlalu
banyak dapat menyebabkan biaya beban hidup juga bertambah terutama
anggota keluarga yang tidak aktif bekerja. Jumlah tanggungan keluarga
petani responden dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Petani Responden Menurut Jumlah Tanggungan


Keluarga di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten
Sidrap, Sulawesi Selatan, 2009.
Jumlah
Jumlah
No
Tanggungan
Kategori
Responden
Persentase
Keluarga
(Orang)
(%)
(Orang)
1.
> 3,36
Banyak
10
33,3 %
2.

< 3,36

Sedikit

Jumlah

20

66,7 %

30

100,0

Pada Tabel 10 terlihat bahwa petani responden di Kelurahan


Manisa cenderung memiliki jumlah tanggungan keluarga yang sedikit
yakni sebanyak 20 orang petani responden (33,3%). Sedangkan yang
dikategorikan banyak hanya 10 orang petani responden (66,7%). Hal ini
menekankan bahwa keluarga yang harus dibiayai hidupnya oleh petani
responden pada umumnya tidak begitu banyak, sehingga biaya yang
dikeluarkan pun terbilang relatif sedikit. Hal ini akan menekan biaya di luar
usahatani, sehingga potensi untuk memaksimalkan usahatani semakin
besar. Namun jika usia tanggungan berada di bawah usia produktif dan
tidak ikut membantu dalam usahatani maka mereka tetap menjadi beban.
Dengan

demikian

petani

responden

akan

semakin

gigih

untuk

meningkatkan pendapatannya melalui pengadopsian beberapa teknologi


pertanian. Dengan harapan semakin meningkatkan tingkat kesejahteraan
keluarganya.
5.1.5 Luas Lahan
Luas lahan merupakan kepemilikan lahan oleh petani yang
digunakan untuk usahatani padi yang biasanya dinyatakan dalam satuan

are. Luas lahan usahatani mempengaruhi hasil produksi, karena luas


lahan

garapan

petani

responden

lebih

memungkinkan

untuk

memaksimalkan tingkat produksi sekaligus dapat meningkatkan kualitas


usahataninya. Identitas petani responden berdasarkan luas lahan dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11.

No
1.
2.

Jumlah Petani Responden Menurut Luas Lahan di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009.
Jumlah
Luas Lahan
Kategori
Responden
Persentase
(are)
(Orang)
(%)
> 1,039
Luas
9
30
< 1,039

Sempit

Jumlah

21

70

30

100,0

Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar luas lahan petani


responden masih sempit yakni di bawah rata-rata 1,039 are dengan
jumlah responden sebanyak 21 orang dengan persentase 70%,
sementara petani yang berlahan luas berada di atas rata-rata 1,039 are
dengan jumlah sebanyak 9 orang responden dengan persentase 30%. Hal
ini menunjukkan bahwa petani responden yang memilki lahan yang sempit
cenderung lebih mudah menerapkan adopsi teknologi padi organik
dibandingkan dengan petani responden yang memiliki lahan yang luas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, beberapa
petani responden yang memiliki lahan luas tidak serta-merta menerapkan
adopsi padi organik pada seluruh areal persawahan mereka. Awalnya
petani

responden

melakukan

tahapan

percobaan

yakni

hanya

mengaplikasikan pada sebagian kecil lahan mereka, untuk mengukur


resiko kegagalan jika menerapkan inovasi baru tersebut, kemudian
setelah percobaan dianggap berhasil, maka proses afirmasi dilakukan
dengan menambah luas areal penanaman hingga mencapai luas areal
keseluruhan. Sedangkan petani yang memiliki lahan sempit dapat dengan
mudah mengadopsi teknologi baru dikarenakan resiko kegagalan dan
kerugian yang dialami tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan petani
responden yang memiliki lahan yang luas.

5.1.6 Sifat Kekosmopolitan


Sifat

kekosmopolitan

merupakan

gambaran

hubungan

atau

interaksi petani terhadap dunia luar sistem sosialnya. Pada penelitian ini
sifat kekosmopolitan ditinjau dari intensitas interaksi dengan instansi atau
lembaga terkait yang berhubungan dengan usahataninya, kebiasaan
petani bepergian ke luar lingkungan sosialnya, seperti melakukan kontak
dengan kepala desa, ketua kelompok tani dan pemandu lapang, serta
pemanfaatan media informasi (televisi, radio, surat kabar). Sifat
kekosmopolitan ini dihitung dengan metode scoring untuk mengetahui nilai
skor petani responden pada Lampiran 12.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor petani responden berada
pada kisaran 6 12. Semakin bayak petani responden berhubungan
dengan dunia luar maka petani dapat dikatakan kosmopolit, sebaliknya
semakin kurang mereka berhubungan dengan dunia luar mereka semakin

tidak kosmopolit.

Untuk lebih jelasnya mengenai keadaan petani

responden berdasarkan sifat kekosmopolitan dapat dilihat pada Tabel 12.


Tabel 12. Jumlah Petani Responden Menurut Sifat Kekosmopolitan di
Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009.
Jumlah
Persentase
No
Skor
Kategori
Responden
(%)
(Orang)
1.
> 9,02
Kosmopolit
13
43,3
2.

< 9,02

Tidak Kosmopolit

Jumlah

17

56,7

30

100,0

Berdasarkan Tabel 12 petani responden yang kosmopolit berjumlah


13 orang dengan perolehan skor di atas rata-rata sedangkan yang tidak
kosmopolit berjumlah 17 orang dengan perolehan skor di bawah rata-rata
9,02 dan persentase 56,7%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar
petani responden tergolong tidak kosmopolit yang disebabkan masih
rendahnya intensitas interaksi petani dengan lingkungan sosialnya dan
rendahnya penggunaan teknologi untuk mendapatkan berbagai informasi.
Petani responden masih kurang sadar mengenai pentingnya akses
informasi bagi usahatani mereka, sehingga masih banyak petani yang
belum tahu tentang teknologi baru di bidang pertanian ataupun informasi
penting lainnya.
Salah satu faktor yang berpengaruh pada rendahnya sifat
kekosmopolitan yang dimiliki oleh petani responden adalah lokasi tempat
tinggal petani dan areal persawahan yang agak jauh dari pusat kota,
kurang terjangkaunya jaringan komunikasi seperti pesawat telepon dan

internet, kemudian keadaan jalan yang tidak mendukung untuk dilalui alat
transportasi beroda empat sehingga petani seringkali merasa enggan
untuk bepergian jauh dari lingkungan mereka.
5.1.7 Frekuensi Petani Mengikuti Penyuluhan
Penyuluhan adalah bagian integral dari suatu sistem pembangunan
pertanian. Penyuluhan yang progresif akan menunjang percepatan adopsi
teknologi pertanian. Partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan
pertanian adalah merupakan bentuk keikutsertaan petani dalam kegiatan
penyuluhan pertanian, dimana kegiatan penyuluhan pertanian bertujuan
untuk menambah pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman dalam
mengelola produk-produk pertanian sehingga kegiatan penyuluhan
pertanian dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 13.

Tabel 13. Jumlah Petani Responden Menurut Frekuensi Petani Mengikuti


Penyuluhan di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,
Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, 2009.
Intensitas
Jumlah
Persentase
No
Penyuluhan
Kategori
Responden
(%)
(kehadiran)
(Orang)
1.
< 5,8
Kurang aktif
12
40%
2.

> 5,8
Jumlah

Aktif

18

60%

30

100,0

Tabel 13 menunjukkan bahwa petani responden lebih banyak yang


aktif mengikuti kegiatan penyuluhan yaitu sebanyak 18 responden (60
persen) dengan jumlah kehadiran 68 kali pertemuan atau skor yang

diperoleh di atas dari nilai rata-rata yaitu 5,8, sedangkan yang kurang aktif
mengikuti penyuluhan terdapat 12 orang responden (40 persen) dengan
jumlah kehadiran 35 kali pertemuan dan skor yang diperoleh berada di
bawah nilai rata-rata.. Hal ini menunjukkan bahwa petani responden
memiliki

kesadaran

untuk

menambah

pengetahuan

serta

akan

mempermudah terjadinya proses adopsi inovasi teknologi pertanian.


Penyuluhan di Kelurahan Manisa dilakukan setiap 2 minggu sekali
atau 2 kali sebulan yang dilaksanakan di masing-masing kelompok tani
selama musim tanam itu berlangsung (4 bulan). Semakin sering petani
mengikuti

kegiatan

penyuluhan,

maka

petani

semakin

mudah

mendapatkan inovasi dari pusat informasi yaitu penyuluh, sehingga terjadi


pergeseran pola pikir dari yang sebelumnya kurang tahu menjadi tertarik
dan ingin tahu akibat bertambahnya informasi dan pengetahuan yang
kemudian dengan perlahan proses adopsi inovasi akan semakin mudah.
Penyuluhan

yang

dilakukan

secara

intensif

(melalui

pendekatan

kelompok) akan membuat petani mau dan mampu menerapkan teknologi


baru pada usaha taninya masing-masing. Sukses-tidaknya penerapan
(adopsi) teknologi pertanian adalah karena adanya kerja sama yang baik
antara petani dan penyuluh
5.2

Tingkat Adopsi Petani


Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan

dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya


adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses
ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan

proses berdasarkan dimensi waktu. Dalam penyuluhan pertanian, banyak


kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja, tetapi untuk
sampai tahapan mereka mau menerima ide-ide tersebut diperlukan waktu
yang relatif lama (Junaidi,2007).
Cepat atau lambatnya tingkat adopsi petani terhadap suatu
teknologi dipengaruhi oleh beberapa faktor, sedangkan tingkat adopsi
diukur dengan melakukan penelitian terhadap tahapan-tahapan adopsi
yang dilakukan oleh petani responden untuk mengetahui apakah tingkat
adopsi tergolong tinggi dan rendah. Hal ini dapat dlihat pada skema
berikut :

FAKTOR FAKTOR
YANG
BERHUBUNGAN

Tahapan
adopsi
ADOPSI TINGGI

TEKNOLOGI
PADI ORGANIK

ADOPSI
ADOPSI RENDAH

5.2.1 Tahapan Adopsi

Pada dasarnya. Proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan


sebelum masyarakat mau menerima/menerapkan suatu teknologi dengan
keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antara tahapan satu
dengan yang lainnya itu tidak selalu sama tegantung sifat inovasi,
karakteristik sasaran, keadaan lingkungan, dan aktivitas kegitan yang
dilakukan oleh penyuluh. Dari tahapan-tahapan adopsi inilah kita dapat
mengukur tingkat adopsi petani terhadap suatu teknologi pertanian yang
selanjutnya dikategorikan tingkat adopsi tinggi atau rendah.
Menurut Lionberger (1960), langkah-langkah yang dilakukan
seseorang untuk mengadopsi suatu ide atau gagasan baru adalah
sebagai berikut :
1. Kesadaran (awareness), yaitu pengetahuan pertama tentang ide
baru, produk atau latihan.
2. Tumbuhnya minat (Interest), yaitu aktif mencari informasi tentang
ide atau gagasan baru untuk mengetahui manfaat dan penerapan
ide atau gagasan baru tersebut.
3. Evaluasi (Evaluation), yaitu penilaian terhadap informasi dilihat dari
suatu kondisi, apakah cocok untuk diterapkan.
4. Percobaan (Trial), dimana bersifat sementara untuk mencoba
gagasan atau ide baru yang diterima untuk lebih meyakinkan.
5. Penerapan (Adoption), yaitu penggabungan secara penuh latihan
kedalam operasi atau pelaksanaan yang berkesinambungan.

Tabel 14.

No
1.
2.
3.
4.
5.

Rekapitulasi Hasil Analisis Tahapan Adopsi Petani di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009

Tahapan
Adopsi
Kategori
Kesadaran
(Awareness)
Minat
(Interest)
Evaluasi
(Evaluation_
Percobaan
(Trial)
Adopsi
(Adoption)

Jumlah
Responden
total Persentase (%) total
(Orang)
Tinggi Rendah Tinggi Rendah
Tinggi Rendah
> 9,56 < 9,56
16
14
30,0
53,3
46,7
100,0
Skor

> 9,93

< 9,93

19

11

30,0

63,3

36,7

100,0

> 7,6

< 7,6

16

14

30,0

53,3

46,7

100,0

> 18,6

< 18,6

13

17

30,0

43,3

56,7

100,0

> 6,23

< 6,23

10

20

30,0

33,3

66,7

100,0

Tabel 14 menunjukkan bahwa tahapan-tahapan adopsi yang


dilakukan oleh petani responden dari tahap Kesadaran sampai pada tahap
interest terus mengalami peningkatan, akan tetapi ketika masuk pada
tahapan evaluasi sampai pada adopsi, tabel menunjukkan tahapan adopsi
petani mengalami penurunan. Hal menggambarkan bahwa tingkat
keingintahuan petani awalnya cukup baik sehingga terus melakukan
evaluasi, akan tetapi sampai pada tahapan percobaan jumlah responden
yang bersikap aktif berkurang yang diakibatkan kendala teknis yang
dihadapi oleh petani responden berbeda-beda yakni ada yang sulit
menerapkan dan ada yang mudah menerapkan adopsi teknologi.. Untuk
pembahasan lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan tabel berikutnya
mengenai tahap-tahapan adopsi teknologi untuk mengukur tingkat adopsi
petani.

5.2.1.1

Kesadaran (Awareness)

Tahap kesadaran adalah tahapan adopsi dimana petani mulai


sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. Awalnya
petani hanya sekedar dan ingin tahu hingga timbul kesadaran dari dalam
dirinya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tahapan kesadaran

yaitu faktor pribadi dimana petani mulai melakukan kontak dengan


sumber-sumber informasi di luar masyarakatnya dan kemudian kontak
dengan individu-individu di dalam kelompok masyarakatnya yang
berkenaan dengan adopsi teknologi yang ingin diketahuinya. Faktor
lingkungan yakni mencakup tersedianya akses dan media komunikasi dan
adanya kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok tani sebagai
wadah bermusyawarah. Tahapan kesadaran Petani responden untuk
mengadopsi teknologi padi organik dapat dilihat pada tabel 15.
Tabel 15.

No

Rekapitulasi Hasil Analisis Tahapan Kesadaran Petani di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2000

Kategori Tahapan
Kesadaran

1.

Tinggi

> 9,56

Jumlah Petani
Responden
(Orang
16

2.

Rendah

< 9,56

14

46,7

30

100,0

Jumlah

Skor

Persentase
(%)
53,3

Berdasarkan Tabel 15 petani responden yang memiliki kesadaran


terhadap teknolgi yang tinggi adalah sebanyak 16 orang responden
dengan persentase 53,3 % dan petani yang memiliki kesadaran yang tidak
tinggi sebanyak 14 orang petani resonden dengan persentase 46,7%. Hal

ini menggambarkan bahwa setelah adanya proses penyuluhan yang


dilakukan oleh penyuluh petani mulai menyadari manfaat dan kelebihan
teknologi padi organik dibandingkan dengan teknologi sebelumnya yang
mereka gunakan.
Tingginya

tingkat

kesadaran

petani

di

kelurahan

Manisa

dipengaruhi oleh proses komunikasi yang berjalan baik antara penyuluh


dan para anggota kelompok tani, sehingga akses informasi juga berjalan
dengan baik. Dari informasi itulah petani memperoleh pengetahuan
tentang inovasi padi organik baik mengenai manfaat, teknik budidaya,
bahkan pemasaran hasil produksi. Petani mulai sadar akan manfaat
pupuk dan pestisida organik yang tidak merusak lingkungan dan memiliki
efek yang baik bagi kesehatan. Meskipun demikan populasi petani yang
sadar akan pentingnya inovasi ini masih terlalu sedikit jika dibandingkan
dengan jumlah populasi petani secara keseluruhan yang ada di daerah ini.
Hal ini dikarenakan akses media komunikasi di kelurahan ini belum begitu
berkembang yakni

hanya terbatas pada masyarakat petani yang

bertempat tinggal dekat dengan kecamatan dan jalan poros. Disamping


itu, keadaan sarana transportasi juga belum cukup memadai seperti
keadaan jalan yang belum tersentuh aspal dan rusak, sehingga petani
yang lokasi

tempat tinggalnya berada di pelosok desa tidak mampu

menjangkau akses informasi mengenai inovasi ini.


5.2.1.2

Minat (Interest)

Tahapan minat adalah tahapan dimana petani mulai menaruh minat


yang seringkali ditandai oleh keinginannya untuk bertanya atau untuk
mengetahui lebih banyak/lebih jauh tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. Tahapan ini
dipengaruhi oleh faktor pribadi seperti keaktifan petani mencari sumbersumber informasi, faktor yang berkaitan dengan kebutuhan petani
misalnya

ingin

meningkatkan

produksi.

Faktor

lingkungan

yang

mempengaruhi tahapan ini adalah adanya sumber informasi secara rinci


dan didukung pula bahasa dan kebudayaan orang setempat. Bahasa
merupakan instrument komunikasi yang paling menentukan dalam
penyebarluasan suatu informasi. Tahapan minat petani terhadap tingkat
adopsi teknologi padi organik dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 16.

Rekapitulasi Hasil Analisis Tahapan Minat Petani di Kelurahan


Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, Sulawesi
Selatan, 2009

1.

Kategori Tahapan
Minat
Tinggi

> 9,93

2.

Rendah

< 9,93

No

Jumlah

Skor

Jumlah Petani
Responden (Orang)
19

Persentase
(%)
63,3

11
30

36,7
100,0

Berdasarkan Tabel 16 petani responden yang memiliki minat yang


tinggi terhadap adopsi padi organik adalah sebanyak 19 orang responden
(63,3%) dan petani responden yang memiliki minat yang rendah terhadap
teknologi ini sebanyak 11 orang (36,7). Tingginya minat petani terhadap
teknologi ini dipengaruhi oleh tahapan adopsi sebelumnya yakni

kesadaran. Atas informasi yang telah diperoleh, petani mulai menaruh


minat atau sifat ketertarikan

dengan melakukan kegiatan tanya-jawab

pada saat berlangsungnya penyuluhan berikutnya. Mereka mulai aktif


mencari informasi yang berkaitan dengan teknologi ini serta mengadakan
kontak atau interaksi dengan sesama anggota kelompok tani, penyuluh,
seta mengakses media yang mendukung untuk terpenuhinya rasa keingintahuan mereka.
Tingginya minat petani terhadap adopsi teknologi juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan. Keadaan lingkungan Kelurahan Manisa masih
tergolong asri dan alami, karena sebagian besar masyarakatnya masih
bersifat tradisional belum tersentuh gaya hidup modern. Beberapa
diantara mereka masih ada yang belum mampu berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Indonesia terutama mereka yang tinggal dipelosok.
Hal ini cukup menyulitkan berjalannya tahapan adopsi karena komunikasi
dengan penyuluh tidak dengan baik sehingga tingkat adopsi padi organik
di kelurahan ini masih rendah.
Hasil penelitian di lapangan juga menemukan bahwa petani yang
memiliki minat adopsi yang tinggi umumnya

bertempat tinggal dekat

dengan kota dan memiliki akses jalan yang baik. Bahasa yang mereka
gunakan bukan lagi bahasa lokal sehingga mereka mengerti dan paham
atas apa yang disampaikan oleh penyuluh. Dari adanya situasi yang
demikian maka dapat disimpulkan proses jalannya komunikasi terutama
yang berkaitan dengan pemakaian bahasa sangat berperan penting dalam

menumbuhkan kesadaran dan minat petani terhadap adopsi teknologi


tertentu. Untuk itulah agen atau petugas penyuluhan juga perlu
mempelajari bahasa, adat dan budaya yang digunakan oleh masyarakat
tani di lokasi penyuluhan mereka sehingga sasaran dan target penyuluhan
dapat

tercapai

yang

pada

akhirnya

dapat

meningkatkan

taraf

kesejahteraan hidup petani.


5.2.1.3

Evaluasi (Evaluation)

Kata evaluasi dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan


sebagai padanan istilah dari penilaian, yaitu suatu tindakan pengambilan
keputusan untuk menilai suatu obyek, keadaan, peristiwa, atau kegiatan
tertentu yang sedang diamati. Kegiatan evaluasi selalu mencakup
kegiatan observasi atau pengamatan, membanding-bandingkan antara
hasil

pengamatan

dengan

pedoman-pedoman

yang

ada,

dan

pengambilan keputusan atau penilaian atas obyek yang diamati. Kegiatan


evaluasi yang dilakukan oleh petani adalah tahapan penilaian petani atas
adopsi

teknologi

tertentu,

faktor-faktor

sosial

atau

hal-hal

yang

berpengaruh terhadap peningkatan usahataninya termasuk bagaimana


cara menghindari resiko kegagalan dan mengambil langkah atau
keputusan yang tepat yang berkaitan dengan usahataninya.

Tahapan

evaluasi petani Kelurahan Manisa terhadap teknologi padi organik dapat


dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 17.

Rekapitulasi Hasil Analisis Tahapan Evaluasi Petani di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009

1.

Kategori
Tahapan
Evaluasi
Tinggi

> 7,6

Jumlah Petani
Responden
(Orang)
16

2.

Rendah

< 7,6

14

46,7

30

100,0

No

Jumlah

Skor

Persentase
(%)
53,3

Tabel 17 menunjukkan bahwa petani responden yang memiliki


tahapan evaluasi yang tinggi sebanyak 16 0rang (53,3%) sementara
petani yang meiliki evaluasi yang rendah sebanyak 14 orang (46,7%). Hal
ini menggambarkan setelah adanya tahapan kesadaran dan minat, petani
responden mulai melakukan pengamatan apakah areal persawahan
mereka cocok menerapkan adopsi ini, seperti apa padi organik itu dan
membandingkan kelebihan-kelebihan padi organik dari teknologi yang
mereka gunakan, mengambil keputusan untuk melakukan adopsi dan
melakukan penilaian.
Tingginya tahapan evaluasi masyarakat tani di kelurahan Manisa
dipengaruhi oleh hasil pengamatan yang telalh dilakukan oleh petani
responden. Mereka mulai menilai bahwa semakin lama areal persawahan
mereka semakin sulit digarap akibat pengguanaan pupuk kimia yang telah
berlangsung cukup lama. Tanah mereka menjadi padat dan keras saat
dibajak, kurang gembur dan subur. Berbeda dengan pemanfaatan bahan
organik yang cenderung memperbaiki struktur tanah dan memperkaya
akan unsure hara.

Petani di kelurahan Manisa juga mulai menayadari bahwa ternyata


pemakaian dan ketergantungan tanah terhadap pupuk kimia dari setiap
musim tanam semakin bertambah. Hal ini cukup merugikan petani karena
harus mengeluarkan biaya yang lebih lagi untuk membeli pupuk. Kondisi
ini semakin diperparah jika terjadi kelangkaan subsidi pupuk. Harga pupuk
akan melonjak naik, sementara petani kecil dengan areal luas lahan yang
sempit menjadi semakin kewalahan. Pada akhirnya mereka harus
menemukan solusi serta melakukan perubahan dan peningkatan terhadap
areal persawahan mereka sehingga alasan inilah yang pada akhirnya
mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi padi organik.
Motivasi yang mendasari petani untuk mengadopsi teknologi ini
berbeda-beda.

Sebagian

besar dipengaruhi

oleh keinginan

untuk

memperbaiki lingkungan persawahan mereka, tetapi ada pula yang


tertarik meningkatkan pendapatan dikarenakan harga beras organik di
pasaran lebih tinggi dibandingkan beras anorganik. Masyarakat modern
telah menyadari dampak buruk bagi kesehatan jika mengkonsumsi beras
anorganik dalam jangka lama yakni dapat menimbulkan kanker dan
berbagai penyakit yang berbahaya. Sedangkan beras organik sangat
aman bagi kesehatan maka tidak heran jika harganya agak mahal di
pasaran.
5.2.1.4 Percobaan (Trial)
Tahapan

percobaan

adalah

tahapan

dimana

petani

mulai

menerapkan atau mencoba teknologi dalam skala kecil untuk lebih

meyakinkan penilaiannya, sebelum menerapkan untuk skala yang lebih


luas lagi. Tahapan percobaan meliputi keterampilan spesifik, keberanian
menanggung resiko, dan kepuasan pada cara-cara lama yang digunakan.
Faktor

dari

lingkungan

yang

mempengaruhi

tahapan

ini

adalah

penerangan tentang cara-cara praktek yang spesifik dari penyuluh, faktorfaktor alam, faktor harga input dan produk. Tahapan percobaan petani
responden terhadap teknologi padi organik di kelurahan Manisa dapat
dilihat pada tabel 18.
Tabel 18.

Rekapitulasi Hasil Analisis Tahapan Percobaan Petani di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009

1.

Tinggi

> 18,26

Jumlah Petani
Responden
(Orang)
13

2.

Rendah

< 18,26

17

56,7

30

100,0

No

Kategori Tahapan
Percobaan

Jumlah

Skor

Persentase
(%)
43,3

Tabel 18 menunjukkan bahwa petani responden yang memiliki


tahap evaluasi yang baik sebanyak 13 orang (43,3%) dan yang rendah
sebanyak 17 orang (56,7%). Hal ini menunjukkan sebagian besar
responden tidak melakukan evaluasi dengan baik. Beberapa di antara
responden ada yang melakukan afirmasi atau pengulangan tahap
percobaan lebih dari 2 kali, dan sedikit diantaranya yang dengan cepat
mengadopsi teknologi ini.

Rendahnya evaluasi petani terhadap teknologi ini dipengaruhi


kesulitan petani untuk memperoleh bibit organik dan proses pengangkutan
pupuk organik ke areal persawahan. Pada awal permulaan mengadopsi
teknologi ini memang diperlukan jumlah bahan organik yang banyak
bahkan lebih banyak daripada penggunaan pupuk kimia dikarenakan
bahan organik ini harus memperbaiki struktur lahan persawahan yang
rusak atau semakain sulit digarap. Petani memerlukan berkarung-karung
pupuk kandang sementara akses transportasi untuk mengangkut pupuk
tersebut menuju areal persawahan mereka kurang memadai.
Perbedaan antara pupuk kimia dan pupuk organik adalah pupuk
kimia semakin lama digunakan maka intensitas penggunaannya semakin
bertambah dari waktu ke waktu sehingga membutuhkan biaya tambahan
dalam proses produksi. Hal ini dikarenakan pupuk kimia memiliki efek
merusak struktur tanah dan menyebabkan tanah sulit dibajak, semakin
hari semakin tidak subur sehingga intensitasnya harus terus-menerus
ditambah. Sedangkan pupuk organik jika digunakan dari waktu ke waktu
intensitasnya semakin berkurang, karena bahan organiknya yang
membuat struktur tanah jadi lebih baik dan gembur, subur dan kaya akan
unsure hara yang dibutuhkan tanaman. Strukturnya yang gembur
membuat tanah tidak sulit digarap dan memudahkan pekerjaan petani
pada saat proses pembalikkan lahan.
Petani responden di kelurahan Manisa tidak terlalu sulit untuk
memperoleh bahan-bahan pembuatan pupuk organik. Mereka dapat

memperoleh bahan-bahan organik berupa kotoran hewan seperti kotoran


ayam dan sapi pada peternak-peternak yang tersebar luas di Kelurahan
Manisa. Selain itu di Kelurahan Manisa juga terdapat pabrik pupuk organik
yang bernama UD. Kusumawaty Manisa yang khusus memproduksi
bahan dan pupuk organik.
Selain faktor di atas petani juga masih memiliki kelemahan atau
kurang baik dalam menerapkan langkah-langkah budidaya sehingga
mereka kurang puas dengan hasil percobaan yang telah dilakukannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dikaji, hal ini dipengaruhi oleh intensitas
petani dalam mengikuti penyuluhan sebagian besar masih kurang aktif
sehingga informasi mengenai teknik-teknik budidaya padi organik juga
masih kurang. Penyebabnya kurang aktifnya petani mengikuti penyuluhan
adalah akses jalan yang tidak bagus sehingga ke depannya memerlukan
perhatian khusus pemerintah setempat. Sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh suatu wilayah sangat mendukung proses suksesnya adopsi
teknologi. Adopsi teknologi ini diharapkan dapat dijangkau oleh petani
yang berada di pelosok desa agar mampu meningkatkan kegiatan
usahataninya.
5.2.1.5

Penerapan (Adoption)

Tahapan penerapan atau adopsi merupakan tahapan akhir dari


proses adopsi teknologi dimana petani mulai menerapkan pada lahan
persawahannya dengan skala yang lebih luas setelah melakukan
percobaan pada skala yang kecil dengan penuh keyakinan berdasarkan

penelitian dan uji coba yang telah dilakukan dan diamatinya pada tahapan
adopsi sebelumnya. Tahapan penerapan ini dipengaruhi oleh faktor dari
dalam diri petani seperti kepuasan pada pengalaman pertama ,
kemampuan mengelola dengan cara baru. Faktor lingkungan yang turut
mempengaruhi

tahapan

ini

adalah

analisa

keberhasilan/kegagalan

kemudian tujuan dan minat keluarga tani. Tahapan penerapan petani


responden kelurahan Manisa dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19.

Rekapitulasi Hasil Analisis Tahapan penerapan Petani di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009

Kategori
Tahapan
Penerapan

No

Skor

Jumlah Petani
Responden
(Orang)

Persentase
(%)

1.

Tinggi

> 6,23

10

33,3

2.

Rendah

< 6,23

20

66,7

30

100,0

Jumlah

Tabel 19 menunjukkan bahwa jumlah petani yang melakukan


proses adopsi tinggi yakni sebanyak 10 orang responden dengan
persentase 33,3%, dan sebanyak 20 orang responden (66,7) melakukan
proses adopsi yang rendah. Hal ini berarti tahapan adopsi yang dilakukan
petani masih rendah dan tingkat adopsi petani terhadap padi organik juga
tergolong rendah.
Rendahnya proses penerapan teknologi padi organik di Kelurahan
Manisa turut dipengaruhi oleh rendahnya tahapan evaluasi petani
sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya sebagian besar petani
merasa

kurang

puas

terhadap

hasil

percobaan

yang

dilakukan

sebelumnya, ditambah lagi hambatan-hambatan yang ditemui petani pada


saat tahapan percobaan ini dilakukan.
Salah satu faktor yang menyebabkan kurang memuaskannya hasil
percobaan yang diperoleh adalah sulitnya pengadaan bibit padi organik
akibat kurangnya perhatian pemerintah setempat untuk mensubsidikan
bibit padi organik. Petani di kelurahan Manisa yang tergolong memiliki
tahapan evaluasi yang rendah sebagian besar tidak menggunakan bibit
organik melainkan memakai bibit non organik. Sehingga peneliti sampai
pada satu kesimpulan bahwa pengaplikasian pertanian organik di
kelurahan Manisa tidaklah murni tergolong ke dalam pertanian organik,
karena bibitnya bukan merupakan murni bibit organik serta pengaplikasian
pupuk di areal persawahan masih ada yang menggunakan pupuk kimia
untuk mengoptimalkan pertumbuhan padi dengan skala 75% pupuk
organik dan 25% pupuk anorganik.
Proses konversi pemakaian lahan dari pertanian anorganik menuju
pertanian organik membutuhkan waktu yang relatif lama. Lahan yang
pernah terkontaminasi pupuk kimia dalam waktu lama masih menyimpan
residu kimia di dalam tanah yang sulit dihilangkan dalam waktu singkat.
Air yang berada di dalam tanah juga sudah terkontaminasi bahan kimia,
sehingga ketika lahan yang tercemar ketika dikonversi menjadi pertanian
organik tidak dapat dikatakan murni pertanian organik. Bahan-bahan
organik yang dicampurkan ke lahan yang dikonversi dari pertanian
anorganik menuju pertanian organik harus menetralisir sifat racun akibat

bahan kimia terlebih dahulu. Jika sifat racun kimianya sudah hilang maka
secara perlahan-lahan juga telah memperbaiki struktur tanah persawahan
yang rusak. .Hal ini sesuai dengan pendapat Andoko (2009) Pertanian
organik yang murni adalah lahan dan teknik budidayanya terbebas dari
pemanfaatan pupuk kimia.
5.2.2 Tingkat Adopsi Petani terhadap Teknologi Padi Organik
Tingkat adopsi petani terhadap padi organik diperoleh dari proses
mengukur dan menilai tahapan-tahapan adopsi yang telah dilakukan oleh
petani. Tahapan-tahapan adopsi yang dimulai dari tahap kesadaran,
minat, evaluasi, trial, dan adopsi sangat mempengaruhi pada kesimpulan
tinggi rendahnya

tingkat adopsi.

Hasil rekapitulasi tahapan-tahapan

adopsi yang telah dilakukan petani menghasilkan kesimpulan tingkat


adopsi petani terhadap teknologi padi organik yang dapat dilihat pada
tabel 20.
Tabel 20.

No

Tingkat Adopsi Petani terhadap Teknologi Padi Organik di


Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan, 2009
Kategori
Jumlah
Persentase
Tingkat
Skor
Responden
(%)
Adopsi
(orang)

1.

Tinggi

> 51,83

14

46,7

2.

Rendah

< 51,83

16

53,3

30

100,0

Jumlah

Tabel 20 menunjukkan bahwa tingkat adopsi petani terhadap padi


organik tergolong rendah. Hal ini diukur dari rekapitulasi penilaian
tahapan-tahapan adopsi dimana petani yang memiliki tingkat adopsi yang
rendah lebih besar yakni sebanyak 16 orang responden dengan

persentase 53,3% dan yang tinggi sebanyak 14 orang dengan persentase


46,7 %
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari tahapan-tahapan
adopsi, pada saat penyuluh memperkenalkan teknologi padi organik
tingkat kesadaran, minat dan evaluasi petani cukup baik. Petani sangat
tertarik dengan manfaat membudidayakan padi organik serta keuntungan
yang akan diperolehnya. Akan tetapi setelah mencapai tahap mencoba
dan menerapkan, respon petani agak menurun. Pada kedua tahapan ini
tidak berjalan baik dikarenakan hasil percobaan yang didapatkan kurang
memuaskan dan keberanian menanggung resiko yang rendah.
Faktor sosial yang mempengaruhi rendahnya tingkat adopsi petani
adalah masalah sarana jalan dan akses media komunikasi yang belum
berkembang baik, dan faktor bahasa lokal yang digunakan penduduk yang
menjadi tantangan dalam kegiatan penyuluhan.
Meskipun kendala-kendala di atas sangat berpengaruh pada
tingkat adopsi petani yang rendah, akan tetapi di Kelurahan Manisa
terdapat pabrik pupuk organik yaitu UD. Kusumawaty

Manisa yang

memudahkan petani dalam memperoleh pupuk dan menunjang eksisnya


proses adopsi ini sampai pada tahapan difusi inovasi. Pabrik ini didirikan
oleh salah seorang responden petani organik yang bernama Muh. Farid
Bada dan merupakan responden yang memiliki tingkat adopsi teknologi
padi organik yang paling tinggi. Responden ini memiliki ketertarikan yang
sangat besar setelah menerima penyuluhan mengenai padi organik, dan

setelah mengadopsi teknologi ini sang responden memiliki visi untuk


menyebarluaskan teknologi ini dengan jalan melakukan kerjasama
dengan pemerintah dan pihak pertanian dalam pembangunan pabrik ini.
Pabrik ini cukup berpengaruh dalam proses difusi padi organik ke desa
lain bahkan telah merambah ke beberapa kecamatan yang jaraknya dekat
dengan

Kecamatan

Baranti.

Pemasarannya

belum

terlalu

luas

dikarenakan tingkat adopsi masyarakat terhadap teknologi ini yang masih


rendah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan, tingkat adopsi padi
organik di Kelurahan Manisa bisa tergolong tinggi ke depannya.
5.3

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi


Petani terhadap Teknologi padi Organik
Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi petani

terhadap teknologi padi organik yakni meliputi usia, tingkat pendidikan,


pengalaman berusahatani, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan,
intensitas penyuluhan, dan sifat kekosmopolitan. Untuk mengetahui
hubungan faktor-faktor tersebut dengan tingkat adopsi petani yaitu
dianalisis dengan uji statistic yakni metode Chi-kuadrat atau Chi-Square.
Hasil analisis faktor-faktor internal yang berhubungan dengan tingkat
adopsi petani dapat dilihat pada tabel 21.

Tabel 21.

Rekapitulasi Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Tingkat Adopsi Petani terhadap Budi Daya Padi

Organik, di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten


Sidrap, Sulawesi Selatan, 2009.
Faktor-Faktor
No
Internal yang
Berhubungan
1. Usia

6,043

X2
Tabel
95%
3,841

X2
Hitung

Hubungan

Koefisien
C

Keeratan
Hubungan

Nyata

0,40

Sedang

2.
.

Tingkat
Pendidikan

3,999

3,841

Nyata

0,34

Rendah

3.

Pengalaman
berusaha tani

0,175

3,841

Tidak Nyata

0,074

Sangat
Rendah

4.

Jumlah
Tanggungan
keluarga

0,820

3,841

Tidak Nyata

0,16

Sangat
Rendah

5.

Luas Lahan

1,843

3,841

Tidak Nyata

0,24

Rendah

6.

Sifat
Kekosmopolitan

16,101

3,841

Nyata

0,58

Sedang

9,380

3,841

Nyata

0,47

Sedang

7.

Frekuensi
Petani
Mengikuti
Penyuluhan

Tabel 21 menunjukkan terdapat 4 faktor yang berhubungan nyata


dengan tingkat adopsi petani terhadap budidaya padi organik yaitu usia,
tingkat pendidikan, Sifat Kekosmopolitan, dan frekuensi petani mengikuti
penyuluhan, sedangkan faktor lainnya seperti pengalaman berusahatani,
jumlah tanggungan keluarga dan luas lahan memiliki hubungan yang tidak
nyata dengan tingkat adopsi petani. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai X2
hitung dan nilai X2 tabel pada taraf kepercayaan 95%. Jika nilai X2 hitung
lebih besar dari pada nilai X2 tabel (X2 hitung > X2 tabel) maka terdapat
hubungan yang nyata dan sebaliknya jika X2 hitung lebih kecil dari nilai X2

tabel (X2 hitung < X2 tabel) maka terdapat hubungan yang tidak nyata
diantara variabel tersebut.
Berdasarkan nilai koefisien kontingensi (C), terlihat bahwa semua
fakor-faktor yang nyata tersebut memiliki tingkat keeratan hubungan yang
rendah dan sedang. Nilai koefisien usia sebesar 0,40, tingkat pendidikan
petani sebesar 0,34, sifat kekosmopolitan sebesar 0,58, dan frekuensi
petani mengikuti penyuluhan sebesar 0,47. Artinya bahwa keempat faktor
tersebut memang berhubungan nyata tetapi kaitannya tidak begitu erat.

5.4

Faktor-Faktor yang Berhubungan Nyata Dengan Tingkat


Adopsi Petani Terhadap Teknologi Padi Organik
Faktor yang berhubungan nyata dengan tingkat adopsi petani

adalah usia, tingkat pendidikan, sifat kekosmopolitan dan intensitas


penyuluhan. Hal ini menggambarkan bahwa keempat variabel tersebut
memiliki hubungan timbal balik dengan tingkat adopsi petani terhadap
teknologi padi organik.
5.4.1 Usia dengan Tingkat Adopsi Petani
Faktor yang berhubungan nyata dengan adopsi petani adalah usia.
Hal ini berdasarkan nilai X2 hitung 6,043 yang lebih besar dari nilai X2
tabel yaitu 3,841. Nilai koefisien kontingensi sebesar 0,40 yang
menunjukkan hubungan keeratan yang sedang antara variabel usia
dengan tingkat adopsi. Hasil perhitungan korelasi antara usia dan tingkat
adopsi dapat dilihat pada Lampiran 7.

Usia memiliki hubungan yang nyata terhadap tingkat adopsi petani,


yang dimana berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa petani
responden sebagian besar tergolong muda dan produktif dan memiliki
tingkat adopsi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat soekartawi
bahwa semakin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin
tahu apa yang belum sehingga mereka berusaha lebih cepat melakukan
adopsi. Selain itu, petani yang berusia muda lebih cepat dan lebih terbuka
menerima hal-hal baru yang dijumpainya. Mereka cenderung lebih
antusias mencoba. Dengan kata lain petani muda lebih haus dengan
sesuatu yang bersifat baru dan mereka merasa tertantang melakukan hal
tersebut tanpa terlalu khawatir dengan resiko apa yang akan di hadapi ke
depannya.
5.4.2 Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Adopsi
Pada tabel 21 rekapitulasi hasil analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi padi
organik diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan berpengaruh nyata
terhadap tingkat adopsi petani. Hal tersebut berdasarkan analisis data
dimana X2 hitung sebesar 3,999 lebih besar dari nilai X2 tabel yaitu 3,841
dengan nilai koefisien kontingensi sebesar 0,34 yang menunjukkan
keeratan hubungan tergolong rendah atau meskipun berpengaruh nyata
tetapi keeratan hubungan antar tingkat adopsi dan faktor tingkat
pendidikan tidak begitu erat. Hasil perhitungan korelasi antara tingkat

pendidikan dan tingkat adopsi

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

lampiran 8.
Nilai tersebut menandakan tingkat pendidikan yang dimiliki petani
berhubungan

dengan

tingkat

adopsi

meskipun

berdasarkan

hasil

penelitian yang diperoleh kaitan antara keduanya sangat rendah. Petani


yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki cara berpikir
yang lebih matang dan mampu menerima hal baru. Mereka tidak segan
mengajukan

pertanyaan

terhadap

hal-hal

yang disampaikan

oleh

penyuluh yang masih dianggap kurang jelas dan menyalurkan aspirasinya


di hadapan masyarakat yang lain. Berbeda dengan petani yang memiliki
tingkat pendidikan rendah yang cenderung enggan untuk langsung
bersuara di depan masyarakat lainnya dalam beberapa pertemuan.
Aspirasi petani sangat diperlukan dalam pembangunan pertanian dan
meningkatkan kesejahteraan petani.
Hal ini sesuai dengan pendapat Junaidi (2007) bahwa pendidikan
merupakan faktor penting dalam menunjang kelancaran pembangunan.
Masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan mudah untuk
mengadopsi suatu inovasi baru sehingga akan memperlancar proses
pembangunan. Sebaliknya masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan
rendah akan sulit untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga dalam
hal ini akan mempersulit pembangunan. Tingkat pendidikan digunakan
sebagai parameter kemampuan sumber daya manusia dan kemajuan
suatu wilayah. Orang yang berpendidikan cenderung berpikir lebih
rasional dan umumnya cenderung menerima adanya pembaharuan.

5.4.3 Sifat Kekosmopolitan dengan Tingkat Adopsi


Berdasarkan hasil analisis data faktor ketiga yang memiliki
hubungan

nyata

dengan

tingkat

adopsi

petani

adalah

sifat

kekosmopolitan. Hal ini terlihat dengan nilai X2 hitung yaitu 16,101 dengan
koefisien kontingensi 0,56 yang menandakan keeratan hubungan yang
tergolong sedang. Hasil perhitungan korelasi antara sifat kekosmopolitan
dengan tingkat adopsi petani dapat dilihat pada lampiran 6 dan 12. Hal ini
berarti semakin kosmopolit seorang petani maka tingkat adopsinya
semakin tinggi. Petani responden yang sering bepergian atau berkunjung
ke desa lain atau kota serta bersifat terbuka dengan lingkungan sosialnya
baik dilakukan secara langsung (face to face) ataupun melalui media
telekomunikasi umumnya cenderung aktif dalam mengakses informasi
yang berkaitan dengan usahataninya sehingga proses berjalannya adopsi
inovasi lebih cepat.
Tingkat kekosmopolitan mempengaruhi cepat lambatnya petani
menerima inovasi, sehingga petani diharapkan lebih aktif dalam mencari
informasi baru. Peningkatan produktivitas padi dilakukan dengan berbagai
cara. Diantaranya dengan membentuk kelompok tani di desa-desa dimana
kelompok tani ini diharapkan dapat menjadi wadah dan sarana bagi petani
untuk berkomunikasi dengan pemerintah maupun dengan petani lainnya.
Tingkat kekosmopolitan juga mempengaruhi sikap petani terhadap
kelompok tani, yang mana jika kekosmopolitannya tinggi maka petani
umumnya memiliki sifat positif terhadap kelompok taninya. Hal ini sesuai

dengan pendapat hilakore bahwa orang kosmopolitan adalah orang yang


merasa nyaman dimanapun mereka di dunia ini berada karena mereka
memiliki sifat yang positif dan sikap keterbukaan terhadap informasi yang
sangat berarti bagi pengembangan diri, memungkinkan pertambahan
pengetahuan, perubahan sikap yang lebih dinamis dan peningkatan
keterampilan yang akhirnya dapat mempengaruhi kemampuan dan
kreativitas petani.

5.4.4 Frekuensi Petani Mengikuti Penyuluhan dengan Tingkat


Adopsi
Penelitian memberikan hasil bahwa ternyata intensitas penyuluhan
memiliki hubungan yang nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap
teknologi padi organik. Hal ini tergambar pada rekapitulasi hasil analisis
faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan tingkat adopsi dimana nilai
X2 hitung untuk frekuensi petani yang mengikuti penyuluhan lebih besar
daripada nilai X2 tabel yaitu sebesar 9,380 dengan keeratan hubungan
yang tergolong sedang. Hal ini sejalan dengan teori bahwa semakin intens
seorang petani mengikuti kegiatan penyuluhan maka semakin banyak
pengetahuan yang diperolehnya untuk diadopsi dan diterapkan dalam
usahataninya.
Meskipun dari hasil penelitian yang diperoleh tingkat adopsi petani
tergolong rendah, hal ini juga memiliki keterkaitan dengan faktor intensitas
penyuluhan. Ada kemungkinan meskipun penyuluhan sudah sering

dilakukan, tetapi karena petani masih belum banyak melihat bukti di


sekitar sawah mereka, maka tindakan adopsi belum dilakukannya. Faktor
lain

yang

berpengaruh

terhadap

rendahnya

mengikuti

kegiatan

penyuluhan adalah keadaan jalan yang rusak menybabkan petani yang


berada dipelosok desa menjadi terlambat dan tidak dapat mengakses
informasi

yang

banyak

mengenai

teknologi

baru

yang

sedang

berkembang.
Kecepatan adopsi inovasi, juga sangat ditentukan oleh semakin
intensif dan seringnya intensitas atau frekuensi promosi yang dilakukan
agen pembaharuan (penyuluh) setempat dan atau pihak-pihak lain yang
berkompeten dengan adopsi inovasi tersebut seperti : lembaga penelitian,
produsen, pedagang, dan atau sumber informasi (inovasi) tersebut.
Promosi adopsi teknologi dapat dilakukan dengan mengadakan praktek
pada saat kegiatan penyuluhan berlangsung atau menyiapkan sebuah
lahan percontohan terhadap adopsi teknologi tertentu untuk menarik minat
petani dan merubah pola pikir petani untuk bersikap lebih terbuka dan
maju. Jika sasaran penyuluhan tercapai dengan baik maka dapatlah
dikatakan bahwa kegiatan penyuluhan dianggap berhasil dalam proses
adopsi inovasi.
Penyuluhan

pertanian

dilaksanakan

untuk

menambah

kesanggupan para petani dalam usahanya memperoleh hasil-hasil yang


dapat memenuhi keinginan mereka tadi. Jadi penyuluhan pertanian
tujuannya adalah perubahan perilaku (bertambahnya kesanggupan)

keluarga-keluarga tani sasaran, sehingga mereka dapat memperbaiki cara


bercocok tanamnya, lebih beruntung usahataninya dan lebih layak
hidupnya, atau yang sering dikatakan keluarga tani maju itu. Bila keluarga
tani itu maju, maka kaum taninya juga akan dinamis, yaitu tinggi
reseptivitasnya dan penuh responsif terhadap hal-hal yang baru. Bila
kaum tani dinamis (dan kaum lainnya juga demikian), maka masyarakat
luas

akan

besar

kesadarannya

untuk

masalah-masalah

sosial

(Wiriaatmadja, 1973).

5.5

Faktor-Faktor yang Berhubungan Tidak Nyata Dengan Tingkat


Adopsi Petani Terhadap Teknologi Padi Organik
Hasil

analisis

Chi-Kuadrat

menunjukkan

faktor-faktor

yang

berhubungan tidak nyata dengan tingkat adopsi adalah pengalaman


berusahatani, jumlah tanggungan kelurga dan luas lahan. Hal tersebut
menggambarkan bahwa tidak adanya hubungan timbal-balik antara faktorfaktor tersebut dengan tingkat adopsi.
5.5.1 Pengalaman Berusahatani
Pengalaman berusahatani ternyata memiliki hubungan yang tidak
nyata dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi padi organik. Nilai
X2 hitungnya ternyata lebih kecil dari nilai X2 tabel yaitu sebesar 0,175,
sehingga hubungannya tidak nyata.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan di lapangan, sebagian
besar petani responden masih memiliki pengalaman berusahatani yang

rendah. Kurangnya pengalaman berusahatani mempengaruhi sikap


kehati-hatian dalam mengambil resiko dikarenakan kurangnya referensi
pengalaman menghadapi berbagai kendala dan tantangan di lapangan.
Sifat kehati-hatian juga berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani
akibatnya petani tidak terlalu positif dan memiliki keterbukaan terhadap
hal-hal yang baru serta berusaha mempertahankan titik aman pada
kondisi yang telah dijalaninya tanpa berpikir bahwa dengan adanya
perubahan adopsi teknologi, keadaan petani yang sebelumnya dapat lebih
maju dan meningkat.
5.5.2 Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga memiliki hubungan yang tidak nyata
dengan tingkat adopsi yang dilakukan oleh petani responden. Dimana
pada tabel 9 terlihat nilai X2 hitung lebih kecil yaitu sebesar 0,820
dibandingkan nilai X2 tabel 3,84.
Hasil penelitian ini memperoleh bahwa besar kecilnya jumlah
tanggungan keluarga seorang petani tidak mempengaruhi tingginya
tingkat adopsi. Hal ini bertentangan dengan konsep penelitian dimana
dikatakan semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka petani
cenderung lebih gigih untuk melakukan sesuatu yang lebih baik demi
peningkatan pendapatannya dan perbaikan kesejahteraan keluarganya.

Dari hasil wawancara yang dilakukan diperoleh bahwa rata-rata


petani responden memiliki tanggungan keluarga relative sedikit yaitu
kurang dari 4 jiwa, namun rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi, pengetahuan yang bagus dan sikap terbuka terhadap teknologi

padi organik. dengan kata lain, jumlah tanggungan keluarga tidak menjadi
motivasi dalam menambah wawasannya dalam bidang pertanian.
5.5.3 Luas Lahan
Berdasarkan dari hasil analisis Chi-Kuadrat diperoleh hasil bahwa
luas lahan tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi petani
terhadap teknologi padi organik. hal ini dibuktikan dengan nilai X2 hitung
sebesar 1,843 lebih kecil dari nilai X2 tabel yaitu 3,841. Hasil perhitungan
korelasi antara luas lahan dan tingkat adopsi petani dapat dilihat pada
lampiran 11.
Besarnya luas lahan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan
tingkat adopsi. Petani responden yang berlahan sempit atau luas juga
melakukan proses adopsi inovasi teknologi meskipun hasil penelitian yang
diperoleh masih tergolong rendah. Umumnya petani yang berlahan sempit
memiliki tingkat adopsi yang tinggi dibandingkan petani yang berlahan
luas karena mereka tidak terlalu dipengaruhi oleh pertimbangan rasio
biaya korbanan produksi. Petani yang berlahan sempit memiliki resiko
yang lebih rendah jika mengalami kegagalan di lapangan akibat adopsi
teknologi pertanian yang baru. Dalam proses adopsi teknologi pertanian,
para petani yang berlahan luas tidak serta-merta menerapkan adopsi
teknologi tersebut pada seluruh areal persawahan mereka. Petani
cenderung menerapkan pada sebagian kecil areal lahan saja untuk
dilakukan

percobaan

satu

sampai

beberapa

kali

untuk

melihat

perkembangan dan hasil yang lebih baik dari penerapan teknologi

tersebut. Sehingga jika terjadi resiko kegagalan maka petani dapat


menghentikan proses adopsi inovasi karena mengkhawatirkan kerugian
materi yang akan diperolehnya. Sedangkan petani yang berlahan sempit
lebih mudah menerapkan adopsi inovasi karena jika terjadi resiko
kegagalan mereka tidak mengalami kerugian yang sangat besar walaupun
pada akhirnya berpengaruh pada tingkat pendapatan mereka yang
menurun.
Hasil penelitian di lapangan menemukan bahwa sebagian besar
luas lahan petani tergolong sempit, berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa petani responden diketahui bahwa salah satu faktor penyebab
hal ini adalah adanya penurunan luas lahan areal persawahan akibat di
konversi menjadi pemukiman penduduk, disamping karena faktor-faktor
lain seperti adanya serangan hama dan penyakit, masalah irigasi dan lainlain.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis hasil penelitian maka


dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut :
1. Tingkat adopsi petani terhadap padi organik di kelurahan Manisa
masih tergolong rendah.
2. Faktor internal yakni usia, tingkat pendidikan dan faktor Eksternal
yakni

intensitas

penyuluhan

dan

sifat

kekosmopolitan

menunjukkan hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi,


sedangkan faktor internal yakni pengalaman berusahatani, jumlah
tanggungan keluarga serta faktor eksternal yakni luas lahan
menunjukkan hubungan yang tidak nyata.
6.2 Saran
1. Para

agen

penyuluhan

perlu

selain

memberikan

informasi

penyuluhan secara langsung pada tiap-tiap pertemuan dengan


anggota kelompok tani melalui kegiatan penyuluhan, juga harus
memberikan pendekatan secara individual atau bersifat istimewa
kepada masyarakat tani yang tergolong ke dalam usia tua sehingga
sasaran adopsi dapat tercapai dan seluruh masyarakat tani bisa
mengetahui manfaat apa yang akan diperoleh dari proses adopsi
inovasi yang disuluhkan.
2. Petani

perlu

meningkatkan

keikutsertaan

dalam

kegiatan

penyuluhan dan melakukan tahapan-tahapan adopsi dengan benar.


3. Perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana dari pihak
pemerintah setempat agar sasaran dan target penyuluhan adopsi

teknologi kepada petani dapat optimal supaya mendukung


pengembangan

pertanian

organik

serta

meningkatkan

kesejahteraan petani.

DAFTAR PUSTAKA
Adicondro, G.J., 1990. Tiga dilemma Penyelenggaraan Pendidikan Untuk
Orang Kecil. Bina Darma No.28 1990.
Achmad, Affandi. 1977. Pedoman bercocok Tanam Padi, Palawijo, Sayursayuran. Departemen Pertanian. Badan Pengendali Bimbingan
Masal. Jakarta.

Agung, I Gusti Ngurah, Haidy A. Passy, dan Sugiharso. 1994. Teori


Ekonomi Mikro Suatu Analisis Produksi Terapan. Lembaga
emografi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia. Jakarta.
AAK. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. Yogyakarta.
Achmad, Yakin. 2008. Beras Kemasan Asal Jawa Beredar di Sulsel.
Harian Seputar Indonesia. 4 Desember 2008.
Anonim,
2007.
Dasar-Dasar
Penyuluhan
Pertanian.
http://www.pustaka.ut.ac.id/learning.php?m=learning2&id=163.
Diakses tanggal 4 November 2008.
Anonim, 2008. Inovasi Padi Organik. http//:www.wikipedia.org diakses
pada tanggal 8 Desember 2008.
Andoko, Agus, Drs. 2009. Budi Daya Padi Secara Organik. Penebar
swadaya.
Badan Pusat Statistik. Sulawesi Selatan dalam Angka 2006.
Basri, Haas, 1994. Dasar-dasar Agronomi. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Cohen, JM dan Uphoff, NT., 1997. Rural Development Participation,
Consept and Measure For Project Design Implementation and
Evaluation. Published By The Rural Development Committee for
Center For International Studies, Cornell University, New York.
Daniel, 2004., Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit Bumi Perkasa,
Jakarta.
Djojohadikusumo, Sumitro, 1990. Ekonomi Umum, Asas-asas, Teori dan
Kebijaksanaan. Penerbit Erlangga, Yogyakarta.
Ensminger, D., 1962. Need for Extension Training in kammath (ed),
Extension Education in Community Development 58-65 p.
Gliessman, S.R. 2007. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food
System. Second Edition. CRC Press. New York.
Hilakore, A Martije. 2004. Meningkatkan Kreativitas Petani Kota Kupang
Melalui Peternakan Cacing Tanah untuk Meningkatkan Pendapatan
Keluarga. http://rudyct.com/PPS702ipb /08234/.pdf. Diakses pada
tanggal 24 april 2009
http://www.knowledgebank.irriorg/troprice.
http//:www.sulsel.go.id diakses pada tanggal 28 Desember 2008.

http//:www.wikipedia.org diakses pada tanggal 28 Desember 2008.


Johannsen, J., A. Mertineit, B. Wilhelm, R. Buntzel-Cano, F. Schone, and
M. Fleckenstein. 2005. Organik farming, A contribution to
suistanable poverty alleviation in developing countries? German
NGO Forum Environment & Developmen.
Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi, Difusi dan Inovasi (Teknologi)
dalam Penyuluhan Pertanian.
Kartasapoetra. 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara.
Jakarta.
Lionberger, Herbert F. 1960. Adoption of New Ideas and Practices. The
Iowa State University Press. Missouri.
International Rice Research Institute, 2007. Organik rice. Fact sheets,
RiceKnowledge Bank. www.knowledgebank.irri.org.
Mosher, A.T. 1991. Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Syaratsyarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi. CV. Yasaguna.
Jakarta.
Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.
Muttakin, J. 2005. Kehilangan Hasil Padi Sawah Akibat Kompetisi Gulma
pada Kondisi SRI (System Of Rice IntencificationaI). Tesis.
Pascasarjana. Unpad Bandung.
Patong, Dahlan, 1986. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Lephas. Ujung
Pandang.
Rahmawati, N. 2005. Pemanfaatan Biofertilizer pada Pertanian Organik.
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Roger, E.M dan F. Floyd Shomaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide
Baru. Disarikan Oleh Abdilah Hanafi. Usaha Nasional. Surabaya.
Santosa, Entun, 2005. Rice Organik Farming is A programme for
Strengtenning Food Security in Sustainable Rural Development.
Makalah.
Sastraatmaja, Entang. 1993. Penyuluhan Pertanian Falsafah, Masalah,
dan Strategi. Alumni. Bandung.
Siregar, Hadrian. 1980. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. PT Sastra
Hudaya. Bogor.

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas


Indonesia Press. Jakarta.
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung, CV. Alfabeta
Sugeng, R. H,. 1992. Bercocok Tanam Padi. Penerbit Aneka Ilmu,
Semarang.
Suparyono dan Agus Setyono. 1993. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syam, Mahyuddin, 2008. Padi Organik dan Tuntutan Peningkatan
Produksi
Beras.
http://www.pustaka.ut.ac.id/learning.php?m=learning2&id=163.
Diakses tanggal 17 Januari 2009.
Utami, S.N.H. dan S. Handayani, 2003. Sifat Kimia Entisol Pada Sistem
Pertanian Organik. Ilmu pertanian 10(2): 63-69.
Van Den Ban, A.W dan H.S. Hawkins. 2006. Penyuluhan Pertanian.
Cetakan ke-8 Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Disampaikan pada
seminar Internasional Kamboja ROF.
Wiriaatmadja, S. 1973. Pokok-pokok
Yasaguna. Jakarta.

Penyuluhan

Pertanian.

CV.

Wulandari, Diasmi. 2008. Peranan Penyuluhan terhadap Peningkatan


Produksi dan Pendapatan Petani (Studi Kasus di Kelurahan KiruKiru, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru). Skripsi
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas
Hasanuddin.

Peta Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009.

Lampiran 1. Identitas Petani Responden di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Nama Responden
Pan gede
Lanta
Anwar Dalle
Sapri
Asparuddin
Siga
M. Damis
Tandi
Liwang
Lasade
Muh. Farid Badda
Saleh
H. Abd. Munir
Landupe
H. Taba
Ilham
Latunru
Syukri
Sakka
Muhrin
Masri S.
H. Tahang
Suudi
Lauleng
Gusti Nyoman
Dg. Rewa
Amir
Sulardi
Muhseng
H. Juraeje
Jumlah
Rata-rata

Usia
(tahun)

Pendidikan
(tahun)

Luas Lahan (are)

5
12
9
12
12
6
9
9
5
9
12
9
6
12
9
9
6
3
6
9
16
12
12
6
6
9
12
5
2
9
258

Pengalaman
usahatani
(tahun)
27
34
18
20
27
25
7
17
15
19
31
26
30
19
22
20
6
10
35
5
23
34
11
21
18
6
7
11
17
48
608

40
52
35
40
39
46
29
33
57
39
42
37
46
35
38
29
27
50
58
26
38
60
31
52
30
38
23
30
40
63
1203
40,1

0.7
0.4
2
0.5
2
2
0.55
0.8
2.3
2.1
1
1
0.4
0.55
1
0.8
0.75
1.4
0.47
2.1
0.6
1.5
0.8
1
0.45
0.6
0.7
0.55
1
1.16
31,8

Jumlah
tanggungan
(orang)
3
2
2
2
6
2
2
3
4
6
4
3
4
3
7
2
2
4
3
5
2
3
3
2
6
3
4
3
3
3
101

Intensitas
penyuluhan
(kehadiran)
4
6
5
4
6
4
8
3
6
8
8
8
5
6
6
7
5
3
6
8
8
4
6
5
4
6
8
7
8
3
174

8,6

20,26

1,039

3,36

5,8

Lampiran 2. Penggunaan Pupuk dan Obat-obatan Petani Padi Organik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009

102

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Nama

Pupuk (Kg)
Urea
150
50
150
50
200
150
50
50
200
200
100
200
50
50
200
50
50
100
50
200
50
150
100
100
50
50
50
100
200
200
3.350

Kandang
2,000
1,000
2,000
500
0
2,500
500
1,500
0
2,000
1,000
1,000
500
0
0
1,500
500
1,000
1,000
0
0
1,000
1,000
0
1,000
500
500
1,500
2,000
0
26.000

KCl

Pan gede
Lanta
Anwar Dalle
Sapri
Asparuddin
Siga
M. Damis
Tandi
Liwang
Lasade
Muh. Farid Badda
Saleh
H. Abd. Munir
Landupe
H. Taba
Ilham
Latunru
Syukri
Sakka
Muhrin
Masri S.
H. Tahang
Suudi
Lauleng
Gusti Nyoman
Dg. Rewa
Amir
Sulardi
Muhseng
H. Juraeje
Jumlah
Rata-rata

111,7

1181,81

Pestisida (ml)
Seprin

225

Kompos
0
0
0
250
0
0
0
0
500
0
0
500
250
1,000
2,000
0
1,000
0
0
1,000
500
500
0
1,000
1,000
0
250
0
0
1,000
10.750

1500

550

NPK Organik
0
50
0
0
0
0
50
0
0
0
100
0
0
50
0
100
0
0
50
0
50
0
0
100
0
0
0
0
0
100
650

37,5

767,85

375

91,7

72,22

0
50
0
0
0
0
25
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
50
25
0
0
0
0
0
0
25
0
50
0
0

Ze Organik

Total biaya pupuk


dan pestisida

0
0
600
0
0
0
0
300
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
300
0
0
0
0
0
300
0

0
0
0
0
100
0
0
0
0
150
0
0
50
0
0
0
50
0
0
0
0
150
0
0
0
0
0
0
50
0

595,000
498,000
895,000
377,500
390,000
695,000
313,000
515,000
660,000
855,000
506,000
835,000
417,500
878,000
1,860,000
566,000
1,005,000
450,000
388,000
1,010,000
528,000
965,000
530,000
1,006,000
1,015,000
250,000
390,000
550,000
975,000
1,136,000
21.053.000
701.766,7

103

Lampiran 3. Faktor produksi Pupuk dan Obat-obatan Petani Padi Organik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Nama Responden
Pan gede
Lanta
Anwar Dalle
Sapri
Asparuddin
Siga
M. Damis
Tandi
Liwang
Lasade
Muh. Farid Badda
Saleh
H. Abd. Munir
Landupe

15
16

H. Taba

17
18
19
20
21
22
23
24

Latunru

25
26
27
28
29
30
Jumlah
Rata-rata

Ilham
Syukri
Sakka
Muhrin
Masri S.
H. Tahang
Suudi
Lauleng
Gusti Nyoman
Dg. Rewa
Amir
Sulardi
Muhseng
H. Juraeje

156,000
112,000
248,000
155,000
268,000
208,000
150,000
195,000
227,200
273,000
168,000

586,000
498,000
606,000
222,000
240,000
686,000
313,000
372,000
380,000
855,000
506,000

77,000
126,000
74,000
72,000
230,000
105,000
75,000
125,000
220,000
96,000
70,000

1,205,625
1,058,313
3,665,250
850,500
1,913,250
3,054,375
1,105,500
2,625,000
4,184,750
2,409,750
2,775,000

Pajak
Lahan
(Rp)
17,500
10,000
50,000
12,500
50,000
50,000
12,500
20,000
55,000
52,500
25,000

157,000
150,000
108,500
188,000

835,000
417,500
878,000
728,000

30,000
28,000
66,000
90,000

3,018,375
1,523,250
1,238,250
2,515,125

152,000
111,000

566,000
475,000

120,000
95,000

234,000
150,000
207,000
140,000
192,000
124,800
225,000
126,000

670,000
388,000
540,000
528,000
740,000
530,000
1,006,000
724,000

148,500
133,200
150,000
147,000
211,500
5,215,700
166,742.33

330,000
265,000
550,000
975,000
1,136,000
17,545,500
560,917.52

Bibit (Rp)

Pupuk (Rp)

Pestisida
(Rp)

HOK (Rp)

Pajak Air
(Rp)

NPA (Rp)

Total Biaya (Rp)

14,000
8,000
40,000
10,000
40,000
40,000
10,000
15,000
46,000
42,000
20,000

75,000
14,000
73,333
71,000
58,333
72,500
10,000
71,666
62,500
80,500
81,000

2,131,125
1,826,313
4,756,583
1,393,000
2,799,583
4,215,875
1,676,000
3,423,666
5,175,450
3,808,750
3,645,000

25,000
12,500
12,500
25,000

20,000
10,000
10,000
20,000

69.17
8,000
14,000
132,750

4,085,444.17
2,149,250
2,327,250
3,698,875

2,351,250
1,214,250

20,000
18,000

17,000
15,000

20,000
67,166

3,246,250
1,995,416

127,000
130,000
290,000
71,000
175,000
130,000
30,000
70,000

3,225,750
1,519,500
1,809,750
1,800,750
1,913,250
2,479,125
3,598,500
796,312.50

35,000
12,500
52,500
15,000
37,500
20,000
25,000
12,500

28,000
10,000
40,000
12,000
30,000
15,000
20,000
10,000

69,166
71,000
80,500
67.33
15,000
102,500
65,000
68,330.34

4,388,916
2,281,000
3,019,750
2,566,817.33
3,102,750
3,401,425
4,969,500
1,807,143

37,000
107,000
60,000
96,000
100,000
3,122,000
99,808.18

1,140,750
1,138,125
865,500
4,259,250
3,091,125
64,345,501
2,057,081.22

15,000
17,000
12,500
27,500
27,500
777,500
24,856.14

12,000
14,000
10,000
22,000
22,000
622,000
19,884.91

67,333
66,666
14,000
59.17
70,000
1,601,439
51,196.90

1,750,583
1,740,991
1,662,000
5,526,809.17
4,658,125
93,229,640
2,980,487.20

104

Lampiran 4. Jumlah dan Nilai Produksi Petani Padi Organik di Kelurahan Manisa,
Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009
No
Nama Responden
Penerimaan
Biaya Produksi
Pendapatan
(Rp)
(Rp)
1
Pan gede
15,390,000
2,131,125
13,258,875
2
Lanta
9,450,000
1,826,313
7,623,687
3
Anwar Dalle
23,490,000
4,756,583
18,733,417
4
Sapri
10,800,000
1,393,000
9,407,000
5
Amran
23,220,000
2,799,583
20,420,417
6
Siga
23,760,000
4,215,875
19,544,125
7
M. Damis
10,260,000
1,676,000
8,584,000
8
Tandi
15,660,000
3,423,666
12,236,334
9
Liwang
24,975,000
5,175,450
19,799,550
10
Lasade
33,480,000
10,108,750
23,371,250
11
Muh. Farid Badda
17,550,000
3,645,000
13,905,000
12
Saleh
17,050,000
4,085,444.17
12,964,556
13
H. Abd. Munir
9,900,000
2,149,250
7,750,750
14
Landupe
11,070,000
2,327,250
8,742,750
15
H. Taba
18,090,000
3,698,875
14,391,125
16
Ilham
15,950,000
3,246,250
12,703,750
17
Latunru
15,255,000
1,995,416
13,259,584
18
Syukri
20,520,000
4,388,916
16,131,084
19
Sakka
12,375,000
2,281,000
10,094,000
20
Muhrin
24,300,000
3,019,750
21,280,250
21
Masri S.
14,025,000
2,566,817.33
11,458,183
22
H. Tahang
21,600,000
3102750
18,497,250
23
Suudi
15,390,000
3401425
11,988,575
24
Lauleng
16,500,000
4969500
11,530,500
25
Gusti Nyoman
8,100,000
1,807,142.84
6,292,857
26
Dg. Rewa
14,850,000
1,750,583
13,099,417
27
Amir
16,200,000
1,740,991
14,459,009
28
Sulardi
13,500,000
1,662,000
11,838,000
29
Muhseng
17,050,000
5,526,809.17
11,523,191
30
H. Juraeje
16,775,000
4,658,125
12,116,875
Jumlah
506,535,000
99,529,640
407,005,360
Rata-rata

16,193,574

3,181,894

13,011,680

105

Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Tingkat Adopsi Petani Terhadap Padi Organik di Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009.
Kesadaran

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Skoring
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12

Nilai
10
10
8
7
10
9
11
9
9
10
12
10
9
10
11
10
8
9
9
9
11
8
11
11
10
10
7
11
9
10

360

287

Kategori
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi

Minat
Skoring
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12

Nilai
9
8
9
11
10
8
12
8
8
10
12
10
10
12
10
10
10
8
10
9
12
9
12
8
10
12
8
12
11
10

360

298

Evaluasi
Kategori
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi

Skoring
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10

Nilai
8
7
6
5
6
7
9
7
7
8
10
8
7
8
8
8
6
7
7
7
9
6
9
9
8
10
5
10
9
8

300

228

Trial
Kategori
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi

Skoring
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22
22

Nilai
17
16
19
17
20
18
21
17
18
22
21
19
17
21
18
21
18
16
19
16
22
16
21
17
17
21
17
18
18
20

660

558

Adopsi
Kategori
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi

Skoring
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8

Nilai
5
6
6
5
7
6
7
5
6
6
8
7
6
8
6
6
5
6
5
5
7
6
7
6
5
8
6
7
6
8

240

187

Total Tingkat Adopsi


Kategori
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi

skoring
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64
64

nilai
49
47
48
45
53
48
60
46
48
56
63
54
49
59
53
55
47
46
47
46
61
45
60
51
50
61
42
58
53
56

1.920

1555

76,56
73,43
75
70,31
82,81
75
93,75
71,87
75
87,5
98,43
84,37
76,56
92,18
82,81
85,93
73,43
71,87
73,43
71,87
95,31
70,31
93,75
79,68
78,12
95,31
64,06
90,625
82,81
87,5
2429,58

Kategori
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi

106

Lampiran 6. Skor Sifat Kekosmopolitan Petani Padi Organik, Kelurahan Manisa,


Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, 2009
No

Nama Responden

Pan gede

Sifat
Kekosmopolitan
Skor
12

Lanta

12

Anwar Dalle

12

Sapri

12

Asparuddin

12

Siga

12

M. Damis

12

Tandi

12

Liwang

12

10

Lasade

12

11

Muh. Farid Badda

12

12

Saleh

12

13

H. Abd. Munir

12

14

Landupe

12

15

H. Taba

12

16

Ilham

12

17

Latunru

12

18

Syukri

12

19

Sakka

12

20

Muhrin

12

21

Masri S.

12

22

H. Tahang

12

23

Suudi

12

24

Lauleng

12

25

Gusti Nyoman

12

26

Dg. Rewa

12

27

Amir

12

28

Sulardi

12

29

Muhseng

12

30

H. Juraeje
Jumlah

12

9,06

Rata-rata

Nilai

Kategori

12

6
6
7
11
12
8
12
6
6
12
11
6
7
12
12
12
8
7
8
8
10
8
12
6
7
12
9
12
7
12

Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit
Tidak Kosmopolit
Kosmopolit

360

272

Lampiran 7. Hasil Perhitungan Antara Tingkat Adopsi Petani Dan Faktor Usia,
Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap 2009.
No

Tingkat Umur

Tingkat Adopsi Teknologi


Jumlah

(Thn)
Tinggi

Rendah

Tua > 40,7

2 (A)

8 (B)

10

Muda < 40,7

12 (C)

8 (D)

20

Jumlah

14

16

30 (N)

2
N [ (AD BC) N/2) ]
2
X

=
(A + B)(C + D)(A + C)(B + D)
2
30 [ (28) (812) (30/2) ]

=
(10)(20)(14)(16)
270750
=

= 6,043
44800

Pada derajat kebebasan = 1 dan 0,5 = 3,84 dimana X hitung lebih besar
daripada X tabel (6,043 > 3,84), maka dikatakan faktor tingkat umur berhubungan
nyata terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani. Kemudian keeratan hubungan
antara faktor tingkat umur dengan tingkat adopsi teknologi, sebagi berikut:

C =

X
X + n

C =

6,043

0,40

6,043 + 30

Jadi, tingkat keeratan hubungan antara kedua variabel di atas tergolong sedang.

Lampiran 8. Hasil Perhitungan Antara Tingkat Adopsi Petani Dan Faktor


Pendidikan, Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten
Sidrap 2009
No

Tingkat Pendidikan

Tingkat Adopsi Teknologi


Jumlah
Tinggi

Rendah

Tinggi > SMP

12 (A)

7 (B)

19

Rendah SMP

2 (C)

9 (D)

11

Jumlah

14

16

30 (N)

2
N [ (AD BC) N/2) ]
2
X

=
(A + B)(C + D)(A + C)(B + D)
2
30 [ (129) (72) (30/2) ]

=
(19)(11)(14)(16)
187230
=

= 3,999
46816

Pada derajat kebebasan = 1 dan 0,5 = 3,84 dimana X hitung lebih besar
daripada X tabel (3,999 > 3,84), maka dikatakan faktor tingkat pendidikan berhubungan
nyata terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani. Kemudian keeratan hubungan
antara faktor pendidikan dengan tingkat adopsi teknologi, sebagai berikut:

C =

X
X + n

C =

3,999

0,34

3,999 + 30

Jadi, tingkat keeratan hubungan antara kedua variabel di atas tergolong Rendah.

Lampiran 9. Hasil Perhitungan Antara Tingkat Adopsi Petani Dan Faktor


Pengalaman Berusahatani, Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,
Kabupaten Sidrap 2009
No

Pengalaman

Tingkat Adopsi Teknologi


Jumlah

Berusahatani
(Tahun)
Tinggi

Rendah

Tinggi > 20,26

6(A)

7 (B)

13

Rendah < 20,26

8 (C)

9 (D)

17

Jumlah

14

16

30 (N)

2
N [ (AD BC) N/2) ]
2
X

=
(A + B)(C + D)(A + C)(B + D)
2
30 [ (69) (78) (30/2) ]

=
(13)(17)(14)(16)
8670
=

= 0.175
49504

Pada derajat kebebasan = 1 dan 0,05 = 3,84 dimana X hitung lebih kecil
daripada X tabel (0,175 < 3,84), maka dikatakan faktor pengalaman berusahatani tidak
berhubungan nyata terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani. Kemudian keeratan
hubungan antara faktor pengalaman berusahatani dengan tingkat adopsi teknologi,
sebagi berikut:

C =

X
X + n

C =

0,175
0,175 + 30

0,074

Jadi, tingkat keeratan hubungan antara kedua variabel di atas tergolong sangat
rendah.

Lampiran 10. Hasil Perhitungan Antara Tingkat Adopsi Petani Dan Faktor Jumlah
Tanggungan Keluarga, Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti,
Kabupaten Sidrap 2009
No

Jumlah Tanggungan

Tingkat Adopsi Teknologi


Jumlah

Keluarga (Orang)
Tinggi

Rendah

Banyak > 3,36

4(A)

6 (B)

10

Sedikit < 3,36

10 (C)

10 (D)

20

Jumlah

14

16

30 (N)

2
N [ (AD BC) N/2) ]
2
X

=
(A + B)(C + D)(A + C)(B + D)
2
30 [ (410) (610) (30/2) ]

=
(10)(20)(14)(16)
36750
=

= 0,82
44800

Pada derajat kebebasan = 1 dan 0,5 = 3,84 dimana X hitung lebih kecil
daripada X tabel (0,82 < 3,84), maka dikatakan faktor jumlah tanggungan keluarga
tidak berhubungan nyata terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani. Kemudian
keeratan hubungan antara faktor jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat adopsi
teknologi, sebagai berikut:

C =

C =

0,82

0,16

X + n

0,82 + 30

Jadi, tingkat keeratan hubungan antara kedua variabel di atas tergolong sangat
rendah.

Lampiran 11. Hasil Perhitungan Antara Tingkat Adopsi Petani Dan Faktor Luas
Lahan, Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap
2009
No

Luas Lahan

Tingkat Adopsi Teknologi


Jumlah

(Ha)
Tinggi

Rendah

Luas > 1,039

3 (A)

6 (B)

Sempit < 1,039

11 (C)

10 (D)

21

Jumlah

14

16

30 (N)

2
N [ (AD BC) N/2) ]
2
X

=
(A + B)(C + D)(A + C)(B + D)
2
30 [ (310) (611) (30/2) ]

=
(9)(21)(14)(16)
78030
=

= 1,843
42336

Pada derajat kebebasan = 1 dan 0,5 = 3,84 dimana X hitung lebih kecil
daripada X tabel (1,843 < 3,84), maka dikatakan faktor luas lahan tidak berhubungan
nyata terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani. Kemudian keeratan hubungan
antara faktor luas lahan dengan tingkat adopsi teknologi, sebagi berikut:

C =

C =

X + n

1,843

= 0,24

1,843 + 30

Jadi, tingkat keeratan hubungan antara kedua variabel di atas tergolong Rendah.
Lampiran 12. Hasil Perhitungan Antara Tingkat Adopsi Petani Dan Faktor Sifat
Kekosmopolitan, Kelurahan Manisa, Kecamatan Baranti, Kabupaten
Sidrap 2009
No

Sifat Kekosmopolitan

Tingkat Adopsi Teknologi


Jumlah

(Skor)
Tinggi

Rendah

Kosmopolit >9,06

12 (A)

1 (B)

13

Tidak Kosmopolit

2 (C)

15 (D)

17

14

16

30 (N)

<9,06
Jumlah

2
N [ (AD BC) N/2) ]
2
X

=
(A + B)(C + D)(A + C)(B + D)
2
30 [ (1215) (12) (30/2) ]

=
(13)(17)(14)(16)
797070
=

= 16,101
49504

Pada derajat kebebasan = 1 dan 0,5 = 3,84 dimana X hitung lebih besar
daripada X tabel (16,101 > 3,84), maka dikatakan faktor sifat kekosmopolitan
berhubungan nyata terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani. Kemudian keeratan

hubungan antara faktor sifat kekosmopolitan dengan tingkat adopsi teknologi, sebagai
berikut:

C =

C =

X + n

16,101

0,58

16,101 + 30

Jadi, tingkat keeratan hubungan antara kedua variabel di atas tergolong sedang.

Lampiran 13. Hasil Perhitungan Antara Tingkat Adopsi Petani Dan Faktor
Frekuensi Petani Mengikuti Penyuluhan, Kelurahan Manisa,
Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap 2009
No

Frekuensi Mengikuti

Tingkat Adopsi Teknologi


Jumlah

Penyuluhan
(Kehadiran)
Tinggi

Rendah

> 5,8

13 (A)

5 (B)

18

< 5,8

1 (C)

11 (D)

12

Jumlah

14

16

30 (N)

2
N [ (AD BC) N/2) ]
2
X

=
(A + B)(C + D)(A + C)(B + D)
2
30 [ (1311) (51) (30/2) ]

=
(18)(12)(14)(16)
453870
=

= 9,38
48384

Pada derajat kebebasan = 1 dan 0,5 = 3,84 dimana X hitung lebih besar
daripada X tabel ( 9,38 > 3,84), maka dikatakan faktor frekuensi perani mengikuti
penyuluhan berhubungan nyata terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani.
Kemudian keeratan hubungan antara faktor frekuensi petani mengikuti penyuluhan
dengan tingkat adopsi teknologi, sebagi berikut:

C =

X
X + n

C =

9,38

= 0,47

9,38 + 30

Jadi, tingkat keeratan hubungan antara kedua variabel di atas tergolong sedang.

Lampiran 14.
KUISIONER
TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PADI ORGANIK
A. IDENTITAS PETANI RESPONDEN (PADI ORGANIK)
1. Nama

: .

2. Umur

tahun

3. Jenis kelamin

Wanita

4. Pendidikan

5. Agama

6. Status lahan

: Pemilik/penyewa/penyakap

7. Warga/suku

8. Jumlah tanggungan

: ..orang

9. Pekerjaan utama

: ....

10. Pekerjaan sampingan

Laki-laki

tahun

11. Pengalaman berusahatani : ..tahun

No.

Hubungan
Umur
Dengan Kepala
(Tahun)
Keluarga

Nama

Pekerjaan

Membantu
Dalam Usaha
Tani

1.
2.
3.
4.
5.
dst.

B. USAHATANI PADI ORGANIK


- Luas lahan
- Status lahan
No.
1.

= ..ha
= milik/sakap/garap
Uraian

Produksi

Satuan
kg

Jumlah
Fisik

Harga/Satuan
(Rp)

Total
Nilai (Rp)

2.

3.

4.

5.
6.
7.

Saprodi
a. Bibit
kg
.
b. Pupuk
kg
.
Pupuk Kandang
kg
.
Urea
kg
.
TSP
kg
.
KCL

.
c. Pestisida
.
.
Tenaga Kerja
a. Pengolahan Lahan
HKSP .
b. Penanaman
HKSP .
c. Pemeliharaan
HKSP .
b. Panen
HKSP .
c. Pasca Panen
HKSP .
Pajak/iuran
Pajak
Iuran air
Iuran lainnya
Total biaya variabel (1+2+3) =
Total biaya tetap (4) =
Pendapatan bersih cabang usahatani =

HKSP =

.
.
.
.

.
.
.
.

.
.
.

.
.
.

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Tenaga Kerja x Hari Kerja x Jam Kerja x Variabel x UMP


8

C. KUESIONER TAHAPAN ADOPSI PETANI (SKOR 2-1)


1. Kesadaran (AWARENESS)
1. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) sudah lama mendengar tentang teknologi padi
organik?
a. Ya/sudah lama (2)
b. Ya/belum lama (1)
2. Dari mana Bapak/Ibu/ Sdr (i) mendengar tentang teknologi padi organic?
a. Penyuluhan, dan kelompok tani (2)
b. Teman dan kelompok tani (1)

3. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) mengetahui keuntungan dan manfaat tentang padi
Organik ?
a. Sangat tahu (2)
b. Belum terlalu tahu (1)
4. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) mengetahui tujuan pembudidayaan padi secara
organic ?
a. Tahu banyak (2)
b. sedikit (1)
5. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) peduli akan kelestarian lingkungan dan keseimbangan
ekosistem ?
a. Peduli (2)
b. Kurang peduli (1)
6. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) mengetahui tujuan dan manfaat bahan organic (bibit,
pupuk dan pestisida) pada pembudidayaan padi organic?
a. Sangat tahu (2)
b. Kurang tahu (1)
2. Minat (Interest)
1. Seberapa besar minat Bapak/Ibu/ Sdr (i) untuk mengadopsi teknologi padi
organic ?
a. Sangat Besar (2)
b. Cukup Besar (1)
2. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) aktif dalam mencari informasi mengenai teknologi padi
organic ?
a. Aktif (2)
b. Kurang aktif (1)
3. Mengapa Bapak/Ibu/ Sdr (i) ingin ikut penyuluhan tentang adopsi padi organic ?
a. Ingin tahu (2)
b. Diajak teman/himbauan pemerintah (1)
4. Berasal darimana motivasi Bapak/Ibu/ Sdr (i) ingin mengusahakan padi organic ?
a. motivasi dari dalam diri (2)

b. pengaruh teman dan kelompok tani (1)


5. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) sering melakukan kontak dengan anggota kelompok
tani, dan penyuluh?
a. Sering (2)
b. Jarang (1)
6. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) setuju jika teknologi padi organik dipandang perlu
untuk dibudidayakan secara universal ?
a. Setuju dan perlu (2)
b. Setuju dan tidak perlu (1)
3. Evaluasi (Evaluation)
1. Apakah alasan Bapak/Ibu/ Sdr (i) mengkonversi lahan untuk ditanami padi
organic ?
a. Optional (2)
b. Kolektif/himbauan dari pemerintah (1)
2. Apakah tujuan dari Bapak/Ibu/ Sdr (i) untuk mengusahakan dan melakukan
budidaya padi organic ?
a. Memperbaiki struktur lahan, kesadaran lingkungan (2)
b. Meningkatkan pendapatan (1)
3. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) sering bertanya dan pernah melakukan studi banding
dengan teman petani yang telah lebih dulu mengadopsi teknologi padi organic ?
a. Sering dan pernah (2)
b. jarang dan tidak pernah (1)
4. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) termasuk cepat atau lambat dalam mengkaji dan
mengadopsi teknologi padi organic di kelurahan anda?
a. Cepat (2)
b. lambat (1)
5. Apakah Bapak/Ibu/ Sdr (i) sudah paham betul dengan informasi teknik atau caracara bertanam mengenai padi organic yang telah anda peroleh?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)

4. Percobaan (Trial)
1. Seberapa besar dan bagaimana kesanggupan bapak/Ibu/ Sdr (i) menanggung
dan menerima resiko kegagalan dalam proses adopsi teknologi ini ?
a. sangat besar (2)
b.kurang siap (1)
2. Apakah bapak/Ibu/ Sdr (i) melakukan atau mengkonversi lahan sebagian atau
keseluruhan untuk ditanami padi organik?
a. Keseluruhan (2)
b. sebagian (1)
3. Apakah bapak/Ibu/ Sdr (i) orang yang pertama kali atau tergolong paling cepat
mengusahakan padi organic di daerah ini ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
4. Apakah bapak/Ibu/ Sdr (i) melakukan percobaan dulu pada sebagian areal
persawahan sebelum mengadopsi teknologi ini ?
a. Ya (2)
b. tidak (1)
5. Berapa kali percobaan yang bapak/Ibu/ Sdr (i) lakukan (tahap afirmasi) sebelum
mengadosi teknologi ini ?
a. 1 kali (2)
b. > 1 kali (1)
6. Apakah bapak/Ibu/ Sdr (i) yakin terhadap uji coba dan penerapan tahapantahapan teknik teknologi ini sudah dilakukan dengan benar
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
7. Apakah bapak/Ibu/ Sdr (i) memakai bibit padi organic ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
8. Apakah alasannya bapak/Ibu/ Sdr (i) memakai pupuk dan pestisida organic ?
a. Sadar akan manfaatnya, produktivitas tinggi, kualitasx baik (2)
b. Harganya murah (1)

9. Apakah bapak/Ibu/ Sdr (i) sulit mendapatkan bibit, pupuk dan pestisida organic?
a. Tidak sulit (2)
b. Sulit (1)
10. Apakah harga bibit dan pupuk organic tergolong mahal ?
a. tidak (2)
b. ya (1)
11. Apakah bapak/Ibu/ Sdr (i) telah memberikan dosis atau pemakaian pupuk
dengan tepat sesuai dengan yang dianjurkan?
a. ya (2)
b. tidak (1)
5. Penerapan (Adoption)
1. Apakah sulit bagi bapak/Ibu/ Sdr (i) dalam menerapkan teknologi ini ?
a. Tidak (2)
b. Ya (1)
2. Apakah anda telah menerapkan penerapan materi yang telah diberikan penyuluh
dengan benar ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
3. Apakah anda akan merubah cara bertani anda yang terdahulu beralih kepada
pertanian organic ?
a. Ya (2)
b.tidak (1)
4. Apakah anda akan mengusahakan padi organic dalam jangka panjang atau
berngsur-angsur mengganti teknologi budidaya anda yang terdahulu menjadi
teknologi padi organik?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)

D. KUESIONER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PETANI


(SKOR 2-1)
Sifat Kekosmopolitan
1. Apakah anda sering ke kantor-kantor pemerintah (kantor desa, kecamatan,
kabupatan, kantor pertanian di kecamatan, dll) ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
2. Apakah anda sering mengikuti kegiatan dalam kelompok Tani anda ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
3. Apakah anda sering mencari berbagai informasi melali media (elektronik, telepon,
Koran, majalah dsb) ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
4. Apakah anda sering mengikuti berbagai kegiatan di desa, antar desa, kecamatan,
kabupaten, dll?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
5. Apakah anda sering bepergian ke luar desa ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
6. Apakah anda pernah mengikuti studi banding ke daerah lain yang diadakan oleh
pemerintah setempat ?
a. Ya (2)
b. Tidak (1)
Kendala Yang dihadapai Petani dalam adopsi ?
Sebutkan-kendalanya.

Anda mungkin juga menyukai