Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN ANALISIS JURNAL

Cardiopulmonary Resuscitation Decisions In The Emergency Department:


An Ethnography Of Tacit Knowledge In Practice
RSUD Banyumas

Kelompok 1

Disusun oleh:
Ilham Fachrurozy
Trinara Apriliana
Endah Atmawati
Wawan Setiawan
Genti Larasati Welas

I4B0150
I4B015036
I4B015039
I4B015029
I4B015040

KEMENTERIAN RISET TEJNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN PROFESI UNSOED
PURWOKERTO
2016
BAB I. PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara.
Walau telah ada kemajuan dalam hal tatalaksana kegawatdaruratan
kardiovaskular, angka ketahanan hidup mereka dengan henti jantung di dalam
maupun luar rumah sakit tetap rendah (Mulia & Siswanto, 2011). Menurut
Goldbelger (2012) lima dari 1000 pasien yang dirawat di rumah sakit
dibeberapa negara berkembang diperkirakan mengalami henti jantung dan
kurang dari 20% dari jumlah pasien tersebut tidak mampu bertahan hingga
keluar dari rumah sakit. Sedangkan menurut penelitian di Amerika penyakit
jantung merupakan pembunuh nomor satu, setiap tahun hampir 330.000 warga
amerika meninggal secara mendadak karena henti jantung (Bala et al, 2014).
Di Indonesia Jumlah prevalensi penderita henti jantung tiap tahunnya
belum didapatkan data yang jelas, namun diperkirakan sekitar 10 ribu warga,
yang berarti 30 orang per hari yang mengalami henti jantung. Data di ruang
perawatan koroner intensif Rumh Sakit Cipto Mangunkusuma tahun 2006,
menunjukkan, terdapat 6,7 % pasien mengalami atrial fibrilasi, yang
merupakan kelainan irama jantung yang bisa menyebabkan henti jantung
(Depkes, 2006).
Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba aktivitas pompa jantung
efektif, mengakibatkan penghentian sirkulasi (Muttaqin, 2009). Ketika henti
jantung terjadi penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah resusitassi
jantung paru (RJP) segera (Baughman & Joann, 2000). Walaupun usaha untuk
melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang
akibat tidak dilakukannya resusitasi. Namun perlu diperhatikan pula indikasi
dan kontraindikasi dilakukannya resusitasi tersebut.
Di Rumah sakit, khususnya Instalasi Gawat Darurat (IGD)
mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan
keperawatan sementara serta pelayanan darurat, bagi pasien yang datang
dengan gawat darurat medis. Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan
yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk
mencegah kematian dan kecacatan (Depkes RI, 2006). Sehingga tenaga
kesehatan yang berada di IGD haruslah tenaga kesehatan yang kompeten
dalam tindakan kritis seperti kemampuan dalam resusitasi jantung paru.

Resusitasi jantung-paru adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu


usaha untukmengembalikan keadaan henti nafas dan atau henti jantung (yang
dikenal dengan kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian
biologis (Muttaqin, 2009). Di IGD ini pertimbangan etis berkembang seiring
perkembangan praktik resusitasi. Mengelola beberapa keputusan terkait
resusitasi adalah tugas yang sulit bila dilihat dari berbagai prespektif. Masalah
etis yang mencakup apakan akan memulai atau kapan akan menghentikan RJP
adalah masalah yang kompleks dan mungkin beragam di seluruh pengaturan
(Di dalam atau diluar rumah sakit), penyedia (dasar atau lanjutan), dan
populasi pasien (Neonatal, pediatri, dan orang dewasa) (American Heart
Association [AHA], 2015). Karena dalam setiap kasus, tenaga kesehatan di
IGD harus cepat dan tepat dalam memutuskan apakah akan melanjutkan,
memulai atau menghentikan RJP pada pasien dengan riwayat pasien yang
tidak lengkap dan data klinis yang terbatas (Boucher, 2010). Kemampuan ini
memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan pada
situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien
kritis.
B. Tujuan
Tujuan dari analisis jurnal Cardiopulmonary Resuscitation Decisions In The
Emergency Department: An Ethnography Of Tacit Knowledge In Practice
adalah

BAB II. RESUME JURNAL

BAB III. PEMBAHASAN


A. Pembahasan

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah suatu usaha untuk mengembalikan


fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi serta mengatasi akibat berhentinya fungsifungsi tersebut pada orang-orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu. RJP
merupakan salah satu tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Tujuannya adalah
untuk membantu atau mengembalikan oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi yang
efektif hingga kembalinya sirkulasi spontan atau hingga intervensi Bantuan Hidup
Lanjut (BHJL) dapat mulai dilakukan. Resusitasi mencegah agar sel-sel tidak
rusak akibat kekurangan oksigen.
Upaya pemberian resusitasi dilakukan tidak hanya di rumah sakit saja tetapi
bisa saja dilakukan dimana pun ketika keadaan darurat. Banyak dari kasus
kematian yang disebabkan karena penanganan resusitasi yang terlambat. Unit
gawat darurat sebagai unit penanganan awal dalam kejadian darurat, menuntut
tenaga kesehatan di unit gawat darurat harus secara cepat memutuskan tindakan
yang akan diberikan pada pasien yang darurat maupun tidak. Terkadang tenaga
kesehatan tidak memberikan tindakan resusitasi pada pasien dengan prognosis
yang tidak jelas meskipun resusitasi yang dilakukan pada pasien yang memiliki
progonosis yang tidak jelas merupakan praktek klinis yang baik. Dalam beberapa
kasus, tenaga kesehaan harus melakukan tindakan resusitasi tanpa harus
mengetahui data dan riwayat penyakit pasien. Dalam pengambilan keputusan,
pengalaman sangatlah dibutuhkan. Pengalaman tentang penanganan pada pasien
darurat akan membuat tenaga kesehatan semakin mudah mengambil keputusan.
Dalam Jurnal yang berjudul Cardiopulmonary resuscitation decisions in the
emergency department: An ethnography of tacit knowledge in practice
membahas tentang pengambilan keputusan resusitasi oleh staf Emergency
Departement (ED). Pengambilan keputusan resusitasi harus berdasarkan analisis
data sesuai kondisi klien terlebih dahulu. Penelitian ini dilakukan di dua unit
gawat darurat Inggris Utara, satu unit darurat di pinggiran kota (kota kecil) dan
yang satu di kota besar. Selama penelitian, analisis dilakukan terhadap
pengambilan keputusan seputar resusitasi 11 pasien. Tujuh pasien datang ke unit
gawat darurat dengan gagal jantung. Lima diantaranya sudah meninggal di
perjelanan menuju rumah sakit dan tidak dilakukan resusitasi lebih lanjut. Dan
dua pasien lainnya berhasil di bawa ke unit gawat darurat namun pemberian

resusitasi terhadap kedua pasien tersebut tidak mampu menyelamatkan nyawa


mereka. Sedangkan empat pasien yang lain mengalami serangan jantung di unit
gawat darurat. Dua diantaranya meninggal setelah dilakukan resusitasi.
Sedangkan dua yang lainnya berhasil selamat dan di bawa ke unit intensive. Hal
inilah yang akhirnya menjadi bahan diskusi oleh peneliti tentang bagaimana mereka
mengambil keputusan mengenai tindakan CPR dalam waktu sesingkat mungkin. Selama

diskusi diperoleh data bahwa ada tidaknya tindakan resusitasi dibedakan menjadi
empat kategori. Kategori resusitasi yang dapat dilakukan meliputi: Arrested and
died (a & d); Arrested and will die (a & will d); Arrested and may die (a & may d)
and Arrested and should live (a & should l). Pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki praktisi memungkinkan untuk menempatkan situasi resusitasi yang
kompleks dalam pengambilan keputusan yang cepat.
Masing-masing kategori resusitasi tersebut memiliki karakteristik atau
kondisi klien yang berbeda yaitu:
1. Arrested and died
Karakteristik klien yang masuk dalam kategori ini yaitu klien yang sudah
sekarat, dimana kondisi tersebut sudah tidak memungkinkan untuk
dilakukan resusitasi karena hasilnya akan sia-sia. Kondisi aini akan
digambarkan dalam kasus Mr. Tomas, Usia 68 tahun dengan penyakit infark
miokard akut dua tahun yang lalu dan saat ini nadi klien sudah tidak teraba
lagi.
2. Arrested and will died
Karakteristik yang masuk dalam kategori ini yaitu klien denga kondisi
serangan jantung dimana usia pasien sudah lanjut dan disertai penyakit
penyerta yang lain. Kondisi ini akan digambarkan dalam kasus Mrs Craven,
usia 87, telah ditemukan oleh asisten rumah tangganya tergletak di lantai,
kemudian di bawa ke UGD. Setibanya di UGD, Mrs Craven setengah sadar
dan saat itu tekanan darahnya tinggi yaitu 187/87 mmHg. nadi femoral
sangat lemah.
3. Arrested and may died
Karakteristik klien yang masuk dalam kategori ini yaitu klien yang sudah
mendapat resusitasi dan terdapat tanggapan namun kondisi klien tidak
stabil. Kondisi ini akan digambarkan dalam kasus Mrs Wilson, usia 65,
dengan gejala flu. Hari berikutnya, ia ditemukan oleh seorang pekerja

perawatan di lantai rumahnya dalam keadaan terjatuh dan dipindahkan ke


ED di mana dia mengalami dua serangan jantung. Klien menglami
bradikardi, dan muntah. Saat dirawat klien mendapat terapi cairanm kaliun
sebanyak 4 liter. Setelah itu nadi klien teraba dan klien dimungkinkan akan
hidup. Namun kondisi klien menurun lagi, saat itu terapi cairan dan
resusitasi dilanjutkan selama 30 menit. Setelah kondisinya tidak membaik
maka diberikan adrenalin melalui vena besar. Namun pH darah klien 6.8.
4. Arrested and should live
Karakteristik klien yang masuk dalam kategori ini yaitu kondisi klien
dengan serangan jantung akut yang tidak memiliki penyekit penyerta kronis.
Selain itu kondisi klien yang masuk dalam kategori ini yaitu serangan
jantung dimasa kecil, dimana nilai sosial yang sangat luar biasa diberikan
kepada anak untuk memberikan resusitasi yang lebih panjang demi harapan
hidupnya. Kondisi yang digambarkan ada serangan jantung anak yang
pingsan kemudian diberikan injeksi morfin ketika diketahui dari hasil
monitor anak masih hidup maka tindakan resusitasi terus dilanjutkan untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB IV. IMPLIKASI KEPERAWATAN DAN APLIKABILITAS

BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa keputusan tenaga
kesehatan mengenai penggunaan resusitasi melibatkan anggapan situasi
implicit untuk empat kategori resusitasi. Empat kategori tersebut yaitu
Arrested and died, Arrested and will died, Arrested and may died serta
Arrested and should live. Penerapan kategori merupakan indikasi bagaimana
praktisi terampil mengembangkan strategi untuk mengatasi ketidakpastian
moral menyeimbangkan intervensi dan penarikan pengobatan dalam situasi
kritis hidup dan mati. Kategori-kategori ini dibangun dengan cepat dan cermat
serta

pengambilan

keputusan

dengan

pendekatan

heuristik

yang

memungkinkan tenaga kesehatan untuk mengabaikan informasi yang kurang

penting, fokus pada informasi teknis dan fisik sebagai indikasi kritis serta dan
memperhitungkan konteks sosial.
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. (2015). Fokus utama: Pembaruan pedoman
American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC. Texas:
American Heart Association.
Bala, R. & Junadi. (2014). Gambaran pengetahuan dan pelaksann bntuan hidup
dasar perawat gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD
LLabuang Biji Makasar. Jurnal Ilmiah kesehatan dianosis 4: 23021721.
Baughman, D. C., & Joann C. H. (2000). Keperawatan medikal bedah. Jakarta:
EGC.
Boucher, M., (2010). Family witnessed resuscitation. Emerg. Nurse 18 (5),10-14
Departemen Kesehatan RI. (2006) Kurikulum pelatihan penolong pertama
kegawatdaruratan, Jakarta.

Goldberger, Z. D., Chan, P. S., & Berg, R. A. (2012. Duration of Resuscitation


Efforts

and

Survival

After

in-hospital

Cardiac

Arrest:

an

Observational Study. 380.


Mulia, B., & Siswanto, B. B. (2011). Cardiocerebral Resuscitation: Advances in
Cardiac Arrest Resuscitation. Medikal Journal Indonesia.
Muttaqin, A. (2009). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan
kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai