Simon GK)
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak. ENL merupakan masalah yang serius karena string leriadi
benilang, menyebabkan komplikasi rang tidak ringan. merapengamhi
rotinitas dan kepatuhan pcndenia terhadap pengobaian, sehingga
mempakan salah satu kendala dalam eliminasi penyakit kusia. ENL
merupakan kelaziman dalam perjalanan maupun pengobaian penyakit
kusia leruiama tipe LL, kadang-kadang bisa* terjadi pada lipe BL.
Beberapa faktor yang mempengamhi terjadinya ENL di amaranya infeksi,
sires fisik maupun psikis, kehamilan. operasi, dan beberapa obat-obaian.
Terjadinya ENL merupakan pcran dari kompleks imun humoral yang
melibaikan antigen load rang tinggi dari M Lepra, aniibodi liier tinggi,
dan komplemen (C3,C4) sera sekresi Tumor Seeming Factor (TNF) a.
ENL berbeda dengan eriiema nodosum. Pemeriksaan histopatologis pada
ENL menunjukkan ieriadiaacufe>sedangkan pada eriiema nodosum
mcmberikan gmbmn panniculitis unpa disertai aiau minimal vasculitis.
Dalam menangani ENL perlu mempertimbangkan berai ringannya reaksi.
Anggapan bahwa anesiesi, paralisa, dan kontraktur mempakan akibat
pcnyakii kusia rang tidak dapai diccgah mempakan hal yang tidak benar.
Diagnosis dini ENL dengan pemeriksaan klinis yang teliii dan
pemeriksaan penunjang yang tepat termasuk histopaiologis, sera
pengobaian dan penatalaksanaan yang baik dari reaksi kusia dapai
mencegah timbulnya kecacatan.
Kata kunci: Eritema Nodosum Leprosum (ENL), reaksi kusia lipe 2
ERTITEMA NODUSUM LEPROSUM (ENL)
Simon GK1)
Medical Faculty Lampung University
Abstract. ABSTRACT Erythema Sodosum Leprosum (ENL) is the serious
problem in leprosy patients because of recurrently, can cause the serious
complications, and influences the discipline of the MDT treatment, so
ENL is the one of (he obstacles in leprosy elimination. ENL occurs almost
exclusively in LL patients, only occasionally appearing in BL patients.
Factors known can precipitate ENL are intercurrent infections, injury,
physical and menial stress, pregnancy and parturition, surgery, protective
immunization, and some medicines. ENL is associated with an immune
complex syndrome (an antigen-antibody reaction involving complement)
and thus is a humoral antibody response, and Tumor Naming Factor
(TXF) a. secretion. ENL is different with Erythema Nodosum. The
histopathologic feature of ENL is predominantly vasculitis, whereas
Erythema Nodosum is panniculitis with minimal or without vasculitis. The
treatment of ENL depends on the severity of reaction. The judgement
about anaesthetic, paralysis, and contracture can not be prevented is not
correct Early diagnose of ENL with carefully physical examination and
supported by histopathologic examination, and appropriate treatment can
prevent the disability.
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit
infeksi yang kronik, yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium leprae yang
bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas
pertama,
lalu
kulit
dan
mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat
ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.. Kusta biasa
disebut
juga
lepra
atau
1
morbus Hansen .
Penderita
kusta
dapat
mengalami reaksi kusta. Reaksi
kusta ini adalah interupsi dengan
episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat
kronik, yang merupakan suatu
reaksi
kekebalan
(cellular
response) atau reaksi antigen
antibody (humoral response).
Reaksi kusta dibagi menjadi dua
yaitu reaksi tipe I atau reaksi
reversal yang disebabkan karena
meningkatnya kekebalan seluler
secara cepat dan reaksi tipe II
atau reaksi erythema nodosum
leprosum (ENL) yang merupakan
reaksi humoral yang ditandai
dengan
timbulnya
nodul
kemerahan, neuritis, gangguan
saraf, dll.
Penyebab
kusta
adalah
Mycobacterium
leprae
berbentuk
basil
dengan ukuran 3-8 Um x
0,5 Um, tahan asam dan
alkohol, serta positif
Gram. Sampai sekarang
belum
dapat dibiakkan
dalam
media
artifisial.
Masa
replikasi
kuman
memerlukan waktu yang
sangat lama dibandingkan
bermigrasi
dan
beraktivasi.
Akibatnya aktivitas regenerasi
saraf berkurang dan terjadi
kerusakan
saraf
yang
progresif.Sedangkan pada kusta
tipe LL, terjadi kelumpuhan
sistem-imunitas,
dengan
demikian makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman sehingga
kuman
dapat
bermultiplikasi
dengan bebas, yang kemudian
dapat merusak jaringan1.
Respon
imun
pada
penyakit kusta meliputi respon
imun humoral atau antibody
mediated immunity dan respon
imun seluler atau cell mediated
immunity (CMI). Pada respon
imun
humoral,
tubuh
akan
memproduksi
antibodi
untuk
menghancurkan antigen yang
masuk. Dengan CMI, antigen
akan
memacu
produksi
sel
pertahanan spesifik yang dapat
dimobilisasi
untuk
menghancurkan
antigen
dan
akan memicu terjadinya reaksi
kusta. Meskipun respon imun
berfungsi sebagai pertahanan
tubuh terhadap bakteri atau
antigen, tetapi respon imun yang
berlebihan dapat menimbulkan
reaksi kusta reversal maupun
ENL.
Pada
kusta
tipe
lepromatosa aktivasi limfosit Th2
mempengaruhi produksi IL - 4
dan
IL
-10,
yang
akan
menstimulasi
respon
imun
humoral dan intensitas produksi
antibody limfosit B2.
Mekanisme imunopatologi
ENL masih kurang jelas. ENL
diduga merupakan manifestasi
pengendapan kompleks antigen
antibodi pada pembuluh darah3.
Perlu ditegaskan bahwa pada
ENL tidak terjadi perubahan tipe.
Lain
halnya
dengan
reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi
pada tipe borderline (Li, BL, BB,
BT, Ti) sehingga dapat disebut
reaksi borderline. Diperkirakan
reaksi
pada
ENL
ada
hubungannya
dengan
reaksi
hipersensitivitas
tipe
lambat.
Reaksi peradangan terjadi pada
tempat-tempat
basil
lepra
berada, yaitu pada saraf dan
kulit, umumnya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama1.
Secara
ringkasnya
fenomena ini berupa kompleks
imun akibat reaksi antara antigen
M.leprae + antibody (IgM, IgG) +
komplemen kompleks imun.
Komplemen
akan
bergabung
dengan kompleks imun dan
akhirnya
akan
membentuk
endapan kompleks imun dan
menghasilkan polimorfonuklear
leukotaktik
factor.1Itulah
sebabnya penimbunan kompleks
imun pada pembuluh darah dan
lesi
merupakan
karakteristik
reaksi ENL5.
Terdapat juga penelitian
yang mempelajari peranan tumor
nekrosis faktor alfa,(TNF-a) pada
patogenesiss ENL. Penderita LL
yang menunjukkan reaksi ENL
setelah
terapi
MDT
juga
menunjukkan kadar TNF-a yang
tinggididuga
akibat
sel
mononuklear pada darah tepi
penderita
ENL
yang
dapat
meningkatkan jumlah TNF.Faktor
nekrosis
tumor
ini
bisa
menimbulkan
kerusakan
langsung pada sel dan jaringan,
mengaktifkan makrofag, memacu
makrofag memproduksi IL-1 dan
IL-6 dan memacu sel hepar
menghasilkan protein reaktif C
(PRC).
Konsentrasi antigen dari
bakteri
yang
tinggi
dalam
jaringan akan meningkatkan level
antibodi IgM dan IgG pada
penderita
tipe
lepromatosa.
Formasi
dan
berkurangnya
komplek imun serta aktivasi
sistem
komplemen
dengan
meningkatnya
mediator
inflamasi, merupakan mekanisme
imunopatologi penting pada ENL.
Selama
reaksi
ENL
terjadi
penurunan tingkat IgM anti PGL
-1
(phenol
glukolipid)
yang
dijumpai
pada
kusta
tipe
borderline.
Antigen
Mycobacterium leprae muncul
pada saraf dan kulit penderita
reaksi
tipe
ini.
Infeksi
Mycobacterium
leprae
akan
meningkatkan ekspresi major
histocompatibility
complex
(MHC) pada permukaan sel
makrofag dan memacu limfosit
Th CD 4 untuk menjadi aktif
dalam
membunuh
Mycobacterium leprae2.
GEJALA KLINIS
Gejala
dan
keluhan
penyakit
bergantung
pada
multiplikasi
dan
diseminasi
kuman M. leprae, respons imun
penderita terhadap kuman M.
leprae,
komplikasi
yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf
perifer6.
Bentuk
tipe
klinis
bergantung pada sistem imunitas
seluler (SIS). SIS baik akan
tampak gambaran klinis kearah
tuberkuloid,
sebaliknya
SIS
rendah
akan
memberikan
gambaran lepromatosa. Tipe I
atau
indeterminate
tidak
termasuk dalam spektrum. TT
adalah tipe tuberkuloid polar,
yakni
tuberkuloid
100%,
Klasifikasi
Madrid
WHO
Tuberkuloid,
Borderline,
Lepromatosa
Pausibasilar, Multibasilar
Puskesmas
Pausibasilar, Multibasilar
Tabel 1. zona spektrum kusta
Menurut beratnya
dibedakan menjadi
reaksi
Beratnya
reaksi
tipe
II
dapat
palpebrarum
sebagian
atauseluruhnya,
mengakibatkan
lagoftalmus
yang
selanjutnya,
menyebabkan
kerusakan
bagian
bagian
mata
lainnya.
Secara
sendirian
atau
bersama sama akan
menyebabkan kebutaan2.
Fenomena
lucio
merupakan reaksi kusta
yang sangat berat yang
terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular
difus.
Gambaran
klinis
berupa plak atau infiltrate
difus,
berwarna
merah
muda, bentuk tidah teratur
dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstermitas,
kemudian
meluas
keseluruh tubuh. Lesi yang
berat
tampak
lebih
eritematous
disertai
purpur,
bula
kemudian
dengan
cepat
terjadi
nekrosis
serta
ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut1.
Gambaran
histopatologi menunjukan
nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh
darah superficial, edema,
dan proliferasi endothelial
pembuluh
darah
lebih
dalam. Didapatkan basil
M.Leprae
di
endotel
kapiler. Walaupun tidak
ditemukan
infiltrate
polimorfonuklear
seperti
pada ENL namun dengan
imunofluorensi
tampak
deposit imonoglobulin dan
komplemen
didalam
dinding pembuluh darah.
Titer kompleks imun yang
beredar dan krigobulin
sangat tinggi pada semua
penderita2.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan
bakterioskopik
digunakan
untuk membantu menegakkan
diagnosis
dan
pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat
dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam, antara lain
dengan
pewarnaan
ZiehlNeelsen. Jumlah tempat yang
diambil untuk pemeriksaan
ruitn sebaiknya minimal 4-6
tempat, yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4
lesi lain yang paling aktif (yang
paling
eritematosa
dan
infiltratif).
Cara pengambilan
bahan dengan menggunakan
skapel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian
basil
hidup,
sedangkan
fragmented
dan
granular
merupakan
bentuk
mati.
Kepadatan
BTA
tanpa
membedakan
solid
dan
nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan
dengan
indeks
bakteri (IB) dengan nilai dari 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100
lapang pandang (LP), 1+ bila
1-10 BTA dalam 100 LP, 2+
bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+
bila 1-10 BTA rata-rata dalam
1 LP, 4+ bila 11-100 BTA ratarata dalam 1 LP, 5+ bila 1011000 BTA rata-rata dalam 1 LP,
6+ bila >1000 BTA rata-rata
dalam 1 LP. Pemeriksaan
dengan
menggunakan
mikroskop
cahaya
dengan
minyak
emersi
pada
pembesaran lensa obyektif
100x. IB seseorang adalah IB
rata-rata semua lesi yang
dibuat sediaan1.
2. Pemeriksaan histopatologik
Adanya massa epiteloid
yang berlebihan dikellingi oleh
limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat.
Pada penderita dengan sistem
imunitas selular rendah atau
lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan
M.
leprae
yang sudah ada di dalamnya,
bahkan
dijadikan
tempat
berkembang biak dan disebut
sel Virchow atau sel lepra atau
sel busa.
Granuloma adalah
akumulasi makrofag dan atau
derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid
adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak
ada basil atau hanya sedikit
dan
nonsolid.
Pada
tipe
lepromatosa terdapat kelim
sunyi
subepidermal
(subepidermal
clear
zone),
Pemeriksaan
penunjang
pada
ENL
dapat
berupa
pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan histopatologi
Pada
pemeriksaan
laboratorium,
dilakukan
pemeriksaan protein dan
sel darah merah dalam
urine
yang
dapat
menunjukkan
terjadinya
glomerulonefritis
akut.
Pada pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop,
dapat terlihat kompleks
imun
pada
glomerulus
ginjal. Pada pemerksaan
hematologi
dapat
ditemukan
leukositosis
PMN,
trombositosis,
peninggian LED, anemia
normositik normokrom dan
peninggian
kadar
gammaglobulin
Pemerikaan histologi, ENL
akan
menunjukkan
inflamasi
akut
berupa
lapisan
infiltrat
pada
inflamasi
granulomatosa
yang kronik dari BL dan
LL7.
Selain
itu,
akan
tampak
peningkatan
vaskularisasi
dengan
dilatasi
kapiler
pada
dermis bagian atas dan
pada dermis bagian bawah
terdapat infiltrasi lekosit
polimorfonuklear
yang
lokalisasinya
disekeliling
pembuluh
darah
dan
menyerang
dinding
pembuluh darah.3 Terdapat
pembengkakan dan edema
endothelium
vena,
arteriole dan arteri-artei
kecil
pada
lasi
ENL.
Fragmen basil sedikit dan,
terdapat
disekitar
pembuluh
darah.
Kerusakan
dinding
vaskuler
ini
mengakibatkan
ekstravasasi eritrosit.3
PENATALAKSANAAN
Pengobatan
kusta
disarankan memakai program
Multi Drugs Therapy (MDT),
yang
direkomendasikan
oleh
WHO sejak 1981. Tujuan dari
program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin
meningkat, menurunkan angka
putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita1.
10
11
Ofloksasin
merupakan obat turunan
fluorokuinolon yang paling
efektif terhadap M. leprae,
dibandingkan
dengan
siprofloksaisn
dan
pefloksasin. Dosis optimal
harian 400 mg, dosis
tunggal yang diberikan
dalam 22 dosis. Kerjanya
melalui hambatan pada
enzim
girase
DNA
mikobakterium.
Efek
sampingnya adalah mual,
daire
dan
gangguan
saluran
cerna
lainnya,
berbagai
gangguan
susunan
saraf
pusat
termasuk
insomnia,
dizziness,
nervousness,
dan
halusinasi.
Walau
demikian jarang ditemukan
dan
biasanya
tidak
membutuhkan penghentian
pemakaian obat. Bisa juga
digunakan levofloxacin 500
mg lebih efektif.
B. Minosiklin
Minosiklin
merupakan
turunan tetrasiklin yang
bersifat lipofilik sehingga
mampu menembus dinding
M.
leprae.
Minosiklin
bekerja
dengan
menghambat
sintesis
protein
melakui
mekanisme yang berbeda
dengan obat anti kusta
yang lain. Dosis harian
yang diberikan 500 mg.
efek sampingnya adalah
nausea, vomitus, dan diare.
C. Klaritromisin
Klaritromisin
merupakan
golongan makrolid yang
mempunyai
aktivitas
bakterisidal
dengan
menghambat
suntesis
protein melalui mekanisme
yang lain dari minosiklin.
Penghentian obat lazim
disebut release from treatment
12
pengelolaan
reaksi
eritema
nodosumleprosum
(ENL) berat.
Prinsip umum:
2. Reaksi berat
Berikut
adalah
pedoman WHO untuk
1.
2.
3. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat
bervariasi dalam manifestasinya.
4. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter
di pusat rujukan.
5. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat
disesuaikan oleh dokter sesuai dengan kebutuhan pasien
individu.
6. Pemberian prednisone dengan cara bertahap atau
tappering off selama 12 minggu. Setiap 2 minggu
pemberian prednison harus dilakukan pemeriksaan untuk
pencegahan cacat.
7. Pemberian analgetik, bila perlu sedative
8. Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin
9. Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah
sakit
10.
11.
12.
Manajemen dengan kortikosteroid:
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan
pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi
demam dannyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi
1mg/KgBB dengan total durasi pemberian 12 minggu.
13.
Minggu
14.
Dosis
harian
15.
1-2
16.
40 mg
17.
3-4
18.
30 mg
19.
5-6
20.
20 mg
21.
7-8
22.
15 mg
23.
9-10
24.
10 mg
25.
11-12
26.
5 mg
27.
28.
29.
30.
13
49.
38.
5-8
39.
30 mg
40.
9-12
41.
20 mg
42.
13-16
43.
15 mg
44.
17-20
45.
10 mg
46.
21-24
47.
5 mg
48.
Obat
lain
yang
berguna
dalam
pengobatan
reaksi ENL adalah pentoxifylline
saja
atau
dalam
kombinasi
denganklofazimin/ prednisolone.
Karena
alasanefek
samping
teratogenik,
WHO
tidak
menganjurkan
penggunaanthalidomide
untuk
50. .
51.
52.
KESIMPULAN
53.
54.
Reaksi kusta hampir
selalu terjadi pada penderita
kusta baik sebelum pengobatan,
sedang dalam pengobatan dan
sesudah
pengobatan.
Reaksi
kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :
reaksi tipe I atau reaksi reversal
dan reaksi tipe II atau reaksi ENL
dengan manifestasi klinis yang
jelas.
manajemenreaksi
ENL
pada
kusta.nPengobatan reaksi kusta
tipe II berulang selain prednison,
perlu ditambahkan clofazimin
dengan dosis dewasa sebagai
berikut : Selama 2 bulan 3 X 100
mg / hari , Selama 2 bulan2 X
100 mg / hari Selama 2 bulan1 X
100 mg / hari2
55.
Walaupun
reaksi kusta ini sangat sering
ditemukan namun etiologinya
masih belum jelas. Beberapa
factor pencetus diduga berkaitan
dengan angka kejadian reaksi ini,
seperti : setelah pengobatan
antikusta yang intensif, stress
fisik
/
psikis,
imunisasi,
kehamilan,
persalinan,
menstruasi, infeksi, trauma, dll.
14
56.
Reaksi
ENL
terutama
terjadi
pada
tipe
lepromatosa (LL) dan borderline
lepromatosa (BL). Reaksi ini
ditandai dengan adanya nodus
eritematosa yang nyeri, terutama
di ekstremitas, dan beberapa
gejala prodormal dan gejala
sistemik.
57.
Penatalaksanaan dari reaksi ini
58.
59.
60.
61.
62.
63.
DAFTAR
PUSTAKA
64.
1. Kosasih,
A,
Wisnu,M,
Sjamsoe,E, dkk. Kusta. Buku
Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI, edisi kelima.
2007.
Jakarta:
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia. Hlm.73-88.
2. Prawoto. Faktor-faktor risiko
yang berpengaruh terhadap
terjadinya reaksi (Studi di
wilayah
kerja
Puskesmas
Kabupaten Brebes). Available
at:
http://eprints.undip.ac.id/177
45/2/PRAWOTO.pdf.
Access
on : March 8 2013.
3. Amirudin
MD.
Eritema
Nodosum Leprosum. Ilmu
Penyakit
Kusta.
2003.
Makassar
:
Hassanudin
University Press. Hlm. 83-99.
4. Dermatology Online Journal
[Online]. 2001. Available at:
url:http://dermatology.cdlib.org/121/
case_presentations/leprosy2/chauh
an.html.Access on:March 8 2013.
5. Freedbeg IM, Eizen AZ, Wolff K,
Austen
KF,
Goldsmith
LA.
Fitzpatricks
Dermatology
in
General Medicine. 6th ed. 2003,
ditujukan
untuk
mengatasi
neuritis, mencegah paralisis dan
kontraktur, mengatasi gangguan
mata, dan disarankan untuk
istirahat
atau
imobilisasi.
Diharapkan
dengan
penatalaksanaan yang baik dan
cepat,
dapat
mengurangi
kecacatan permanen yang dapat
terjadi pada penderita kusta.
15