Anda di halaman 1dari 7

Infeksi Intrauterin

Infeksi intrauterin atau korioamnionitis merupakan infeksi secara klinis pada cairan
amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera sebelum atau pada saat
persalinan yang disebabkan oleh bakteri1,2. Penelitian membuktikan bahwa insiden dari
infeksi intrauterin adalah 0,5-2% dari semua persalinan, dan dihubungkan dengan 20-40%
kasus sepsis neonatal dini dan pneumonia1,3. Pada kehamilan cukup bulan, insiden terjadi
pada sekitar 5% kehamilan4. Infeksi ini berhubungan dengan ketuban pecah dini dan
persalinan lama. Sekitar 25% infeksi intrauterin disebabkan oleh ketuban pecah dini. Makin
lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin7,8.
ETIOLOGI
Organisme penyebab dari korioamnionitis seringkali multipel. Gibbs, dkk (1982)
mengidentifikasikan mikroorganisme yang ditemukan dalam cairan amnion pasien dengan
korioamnionitis yaitu Bakteroides Sp (25%), Gardnerella vaginalis (24%), grup
streptokokus (12%), streptokokus aerob jenis lain (13%), E.coli (10%), dan gram negatif lain
(10%). Hampir semua bakteri dalam penelitian tersebut merupakan bakteri yang ditemukan
pada sediaan apus wanita dengan vaginosis bakterial. Sehingga banyak penelitian
menghubungkan kejadian korioamnionitis dengan vaginosis bakterial9.
PATOFISIOLOGI
Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari serviks dan
vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan8,10. Selain itu dapat pula akibat
infeksi transplasental yang merupakan penyebaran hematogen dan bakteremia maternal
dan induksi bakteri pada cairan amnion akibat iatrogenik pada pemeriksaan amniosintesis,
pasca transfusi intrauterin dan kordosintesis. Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah
waktu antara ketuban pecah dan persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah
pemeriksaan dalam selama persalinan, nulipara, dan adanya bakterial vaginosis.

Gambar 1. Tempat potensial infeksi bakteri di uterus11.

Korioamnionitis terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya selaput


ketuban. Walaupun sangat jarang, korioamnionitis dapat juga terjadi pada keadaan dimana
selaput ketuban masih intak12.
Sebanyak 3% dari neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis dengan
pecahnya selaput ketuban < 24 jam sebelum persalinan, akan menderita bakteremia. Bila
pecahnya selaput ketuban terjadi >24 jam maka sebanyak 17% neonatus akan mengalami
bakteremia11.
Pada keadaan selaput ketuban yang masih intak, korioamnionitis sangat jarang
terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh infeksi Listeria monosytogenes, yang merupakan
batang gram positif anaerob, yang menginfeksi janin secara hematogen (infeksi
transplasental) dan dapat menyebabkan kematian janin. Gejala pada ibu dapat asimtomatis
atau hanya berupa demam ringan dan jarang menyebabkan sepsis pada ibu. Streptokokus
grup A juga dapat menyebakan infeksi janin dan rongga amnion pada selaput ketuban yang
masih intak11.

Organisme penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang korio desidua,
dan pada beberapa kasus dapat melintas melalui membran korioamnion yang masih utuh
dan masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan infeksi pada janin12.
Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko penyebab
prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang menghubungkan antara
korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang paling banyak dipergunakan saat ini
adalah teori invasi bakteri dari ruang koriodesidua, yang memulai terjadinya proses
persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri
akan mengakitivasi desidua dan membran fetus untuk memproduksi beberapa sitokin, yang
diantaranya tumor nekrosis factor- (TNF- ), interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6,
interleukin-8, dan granulosite coloni stimulating factor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin,
endotoksin

dan

eksotoksin

akan

menstimulasi

sintesis

prostaglandin

yang

akan

terakumulasi dengan sintesis dan pelepasan metaloprotease dan komponen bioaktif lainnya.
Prostaglandin akan menstimulasi kontraksi uterus sementara metaloprotease akan
menyerang membran korioamnion yang akan menyebabkan pecahnya membran.
Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang menyebabkan terjadinya
perlunakan serviks12.
Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi
terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari corticotropin
releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi CRH dari plasenta. Hal
ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin berupa peningkatan kortisol yang
berhubungan dengan peningkatan kadar prostaglandin12.

Gambar 2. Kolonisasi bakteri koriodesidua dapat menyebabkan persalinan prematur 12.

DIAGNOSIS
Tanda dan gejala klinis korioamnionitis meliputi14 :
1. Demam (suhu intrapartum > 100.4 F atau > 37,8 C)
2. takikardia ibu (>120x/menit)
3. takikardia janin (>160x/menit)
4. cairan ketuban berbau atau tampak purulen
5. uterus teraba tegang
6. leukositosis ibu (leukosit 15.000-18.000 sel/mm3)
Bila terdapat dua dari enam gejala diatas ditemukan pada kehamilan, maka risiko terjadinya
neonatal sepsis meningkat.
Gibbs, dkk mengemukakan gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu suhu ibu
37,8C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100 x/menit), takikardia
janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan leukositosis ibu (>15.000
sel/mm3) 1.
Korioamnionitis seringkali bukan suatu gejala akut, namun merupakan suatu proses
kronis dan tidak menunjukkan gejala sampai persalinan dimulai atau terjadi ketuban pecah
dini. Bahkan sampai

setelah persalinan sekalipun pada wanita yang terbukti memiliki

korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis atau kultur) dapat tidak ditemukan tanda
klasik diatas selain tanda-tanda prematuritas12.

Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat membantu


penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan serum CRP (C-reative
protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan amnion, dan deteksi asam organik
bakterial dengan kromatografi gas-cairan14. Peningkatan kadar CRP memiliki spesifisitas
yang tinggi untuk diagnosis korioamnionitis. Kadar CRP rata-rata pada kehamilan adalah
0,7-0,9 mg/dl. Terdapat peningkatan sedikit selama persalinan8,10.
Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang lebih pasti
dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil amniosintesis
merupakan metode diagnostik terbaik1,3. Ditemukannya bakteri gram positif memiliki nilai
prediktif positif (positif predictive value/PPV) 93,3%, sedangkan ditemukannya gram negatif
memiliki nilai prediktif negatif 85,4% (negatif predictive value/NPV). Akurasi tes tergantung
dari konsentrasi bakteri saat pengambilan sampel8,10. Pada pasien dengan suspek
korioamnionitis, kadar glukosa cairan amnion yang rendah merupakan prediktor yang baik
dari hasil positif kultur cairan amnion namun merupakan prediktor yang buruk untuk
korioamnionitis secara klinis9. Ditemukannya leukosit esterase antigen pada cairan amnion
memiliki sensitivitas 91% dan nilai PPV 95%.
Deteksi asam organik bakteri dengan menggunakan kromatografi gas-cairan cukup
sensitif namun memerlukan alat yang rumit dan tidak praktis8,10.
Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis korioamnionitis adalah
ketika terlihat set leukosit mononuclear dan polimonorfonuklear menginfiltrasi selaput korion.
Sebelum 20 minggu hampir semua sel leukosit polimorfonuklear adalah sel yang berasal
dari ibu, sedangkan selanjutnya merupakan respon inflamasi dari janin6.
Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas tidak satupun yang cukup sensitif dan spesifik
digunakan secara tersendiri terlepas dari gejala dan tanda klinis untuk mendiagnosis
korioamnionitis.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terjadinya korioamnionitis berhubungan dengan
ketuban pecah dini. Untuk mendiagnosa adanya ketuban pecah dapat dilakukan
pemeriksaan inspekulo (untuk melihat adanya genangan atau rembesan cairan amnion),
nitrazin tes, tes daun pakis, tes evaporasi, USG, fluoresen intraamnonitik, tes diamin
oksidase, fibronektin janin dan pemeriksaan AFP pada sekret vagina8.
PENATALAKSANAAN
Korioamnionitis diterapi antimikroba dan janin dilahirkan tanpa memandang usia
gestasi. Antibiotika yang diberikan adalah antibiotika intravena berspektrum luas. Untuk
sebagian besar kasus, cukup digunakan antibiotika tunggal. Terdapat penelitian yang
membuktikan bahwa pemberian antibiotika intrapartum dibandingkan dengan postpartum
akan menurunkan kejadian sepsis & pneumonia neonatal dan morbiditas postpartum ibu.

Standar baku jenis pemberian antibiotika untuk korioamnionitis akut belum ada, banyak
studi

melakukan

evaluasi

terhadap

pemberian

antibiotika.

Terdapat

studi

yang

merekomendasikan pemberian ampisilin (2 g setiap 6 jam) ditambah dengan gentamisin


(1,0-1,5mg/kg setiap 8 jam)14. Ampisilin diberikan sebagai pilihan pertama karena dapat
melintasi plasenta dengan cepat (<30 menit) dalam konsentrasi tinggi (rasio darah
maternal/darah umbilicus 0,71). Regimen intravena yang direkomendasikan termasuk
cefoxitin (4X2gr), cefotetan (2x2gr), piperasilin atau mezlocilin (4x3-4gr), ampisilin sulbaktam
(4x3gr), tikarsilin/klavulanat (4x3gr). Pada kasus yang lebih berat misalnya pada sepsis
dapat diberikan terapi kombinasi yang terdiri dari penisilin atau ampisilin, aminoglikosida dan
agen anaerob seperti klindamisin (3x900gr). Literatur lain menganjurkan pemberian
gentamisin 5mg/kgBB/hari dosis tunggal10. Pada korioamnionitis lama pemberian antibiotika
belum ada standar baku. Pemberian antibiotika intravena dapat dilanjutkan hingga 48-72
jam bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan antibiotika oral. Kepustakaan lain
menyarankan pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa tambahan
antibiotika oral sesudahnya14.
Pilihan cara persalinan pada kasus korioamnionitis sebaiknya pervaginam. Jika
persalinan tidak timbul spontan, maka dilakukan induksi persalinan, baik dengan
medikamentosa atau mekanik15. Persalinan perabdominam meningkatkan risiko demam
postpartum akibat infeksi (endometritis) pada ibu. Endometritis dapat terjadi pada 30%
pasien dengan persalinan perabdominam, dibandingkan risiko pada persalinan pervaginam
hanya 10%. Morbiditas ibu meningkat 5x lipat pada persalinan perabdominam jika
dibandingkan dengan persalinan pervaginam8. Namun persalinan perabdominam dapat
dipertimbangkan bila persalinan diperkirakan belum selesai dalam interval 12 jam setelah
diagnosis ditegakkan. Hal ini didasarkan dari suatu penelitian yang mengemukakan tidak
terdapatnya perbedaan peningkatan infeksi neonatus jika jarak antara diagnosis
korioamnionitis dan persalinan < 12 jam, namun peningkatan kejadian infeksi neonatus
setelah interval 12 jam belum dapat dipastikan. Pada suatu penelitian persalinan
perabdominam berhubungan dengan meningkatnya kejadian atonia uteri, perawatan ibu di
ICU dan skor apgar yang rendah16.
MORBIDITAS DAN MORTALITAS AKIBAT KORIOAMNIONITIS
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, terutama pada
neonatus dengan berat badan lahir rendah, dimana terjadi peningkatan 3-4x lipat kematian
perinatal diantara neonatus dengan berat lahir yang rendah yang dilahirkan dari ibu yang
menderita korioamnionitis. Selain itu terjadi juga kejadian respiratory distress syndrome
(RDS), perdarahan intraventrikular, dan sepsis neonatal atau meningitis7,10. Janin memiliki
risiko tinggi terhadap kejadian pneumonia neonatal ataupun kongenital akibat aspirasi cairan

amion yang terinfeksi. Korioamnionitis dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal
dan pneumonia.
Korioamnionitis merupakan penyebab nyata terjadinya morbiditas maternal, namun
jarang mengakibatkan mortalitas maternal. Bakteremia dapat terjadi pada 2-5% kasus.
Infeksi intrapartum meningkatkan risiko infeksi puerpuralis pada persalinan pervaginam
menjadi 13%, dibandingkan dengan persalinan yang tidak disertai dengan infeksi
intrapartum hanya 6%13. Pada ibu korioamnionitis dapat mengakibatkan metritis, peritonitis,
sepsis hingga kematian ibu.

Anda mungkin juga menyukai