Anda di halaman 1dari 3

FARMASI SEBAGAI COMUNICATOR

Oleh : Muhammad Dinar aliando


Seorang farmasi/apoteker harus mampu menjadi
komunikator yang baik, sehingga pelayanan kefarmasian dan
interaksi kepada pasien, masyarakat, dan tenaga kesehatan
berjalan dengan baik, misalnya menjadi komunikator yang baik
dalam PIO (Pelayanan Informasi Obat), Penyuluhan, konseling
dan konsultasi obat kepada pasien, melakukan visite
ke bangsal/ruang perawatan pasien, Pengajar, Narasumber,
dan sebagainya
seorang apoteker dituntut harus dapat bertindak sebagai
komunikator yang baik. Maksud dari pernyataan tersebut
adalah ketika apoteker telah terjun di masyarakat, apoteker
dapat menyampaikan informasi seputar obat kepada orang lain
terutama pasien yang memerlukan informasi tersebut.
Misalnya, apabila ada seorang pasien yang hendak
mengambil/membeli resep di apotek, hendaknya si apoteker
dapat memberikan informasi seputar obat yang ia berikan pada
pasien tersebut, seperti nama obat, kegunaan obat, efek
samping obat, hal-hal yang perlu dihindari ketika mengonsumsi
obat, dan info yang lain yang sekiranya diperlukan oleh pasien
agar si pasien tidak mendapatkan dampak negatif (misalnya
keracunan) akibat salah pengonsumsian obat. Hal tersebut bisa
saja terjadi apabila si pasien tidak memeroleh info yang benar
terkait obat.
Begitulah pentingnya skill apoteker sebagai komunikator
yang baik. Pelatihan apoteker sebagai komunikator dapat
diperoleh apoteker ketika masih dalam perkuliahan. Misalnya,
dalam perkuliahan farmasetika, selain diajarkan bagaimana
seorang apoteker meracik obat, apoteker diajarkan pula
bagaimana cara mengkomunikasikan obat dalam resep
terhadap pasien. Sebagai contoh adalah mahasiswa farmasi
UIN Malang 2013 yang sekarang tengah menerima matakuliah
farmasetika III, dalam setiap pertemuan kuliahnya mahasiswa
diwajibkan untuk mengisi form pelatihan pelayanan resep
(untuk membuktikan apakah resep tersebut sudah rasional
atau belum) dan latihan untuk mengkomunikasikan pelayanan

resep tersebut terhadap pasien (dalam bentuk presentasi


dalam kelas dan mahasiswa lain sebagai pasien). Selain melalui
perkuliahan, skill sebagai komunikator yang baik dapat
diperoleh ketika seorang calon sarjana farmasi melakukan KKN
(Kuliah Kerja Nyata), dimana mereka dilatih dan diuji secara
langsung dengan menempatkan mereka di tengah masyarakat.
Sebagai hasil kesepakatan WHO dengan federasi farmasi
internasional di Vancouver pada tahun 1997, disepakati bahwa
format pelayanan kefarmasian adalah berbasis pasien dengan
prosedur yang dikenal sebagai pharmaceutical care. Format
baru ini berdampak pada peran apoteker terhadap pasien,
dengan demikian peran apoteker sebagai communicator sangat
diperlukan untuk menunjang kualitas apoteker yang baik. Untuk
mendukung hal tersebut, didirikan PIO (Pelayanan Informasi
Obat) dimana apoteker aktif memberikan informasi seputar
obat terhadap masyarakat yang dapat mengurangi
risiko iatrogenic disease, yakni penyakit yang timbul akibat
pengonsumsian obat.
Dhadhang (2010) menyatakan bahwa terdapat dua
komunikasi apoteker dalam pemberian info terhadap pasien,
yakni komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Dimana
komunikasi verbal mengacu pada tanya jawab antara apoteker
dan pasien baik secara tertulis maupun tidak tertulis (akan
lebih baik jika keduanya). Ketika apoteker berkomunikasi
dengan pasien, apoteker harus mencoba menciptakan suasana
yang tenang dan santai. Di sini pentingnya skill apoteker
sebagai komunikator untuk menciptakan suasana yang nyaman
ketika terjadi komunikasi kepada pasien, sehingga pasien dapat
menyerap informasi dengan baik. Selain komunikasi verbal,
terdapat komunikasi nonverbal, yakni apoteker harus
senantiasa memperhatikan berbagai tanda nonverbal, seperti
tanda cemas, marah, atau malu. Banyak studi menunjukkan
bahwa komunikasi nonverbal sama pentingnya dengan
komunikasi verbal. Buruknya hubungan apoteker dengan
pasien merupakan hasil dari komunikasi nonverbal yang buruk.
Terdapat data yang menyatakan bahwa ketidakpatuhan terjadi
pada 30% sampai 50% dari pasien yang menerima obat.
Penyebabnya kegagalan pengobatan yang demikian adalah

multifokus dan dapat berkisar dari kurangnya edukasi, terkait


dengan terapi sampai pada hambatan finansial yang
menghalangi pengadaan obat.
Studi tambahan sudah menunjukkan bahwa intervensi
oleh apoteker, menggunakan konseling lisan dan tertulis pada
permulaan terapi obat, menghasilkan perbaikan yang signifikan
dalam kepatuhan pasien. Studi ini juga menujukkan betapa
pentingnya konseling dan edukasi terhadap pasien yang
berkesinambungan di luar pertemuan awal, yang tentunya
konseling dan edukasi yang baik dapat diperoleh melalui
komunikasi antara apoteker dan pasien secara baik.
Sumber:
Kurniawan, Dhadhang Wahyu dan Lutfi Chabib. 2010.
Pelayanan Informasi Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai